Bung Karno: Diponegoro itu Ulama Linuhung, Berjuang untuk Agungnya Agama Islam - Dr. Adian Husaini
![]() |
Kabeldakwah.com: https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro |
Bung Karno: Diponegoro
itu Ulama Linuhung, Berjuang untuk Agungnya Agama Islam
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan
Da’wah Islamiyah Indonesia)
Dalam berbagai kesempatan berdialog dengan para santri, guru, dan siswa lembaga pendidikan Islam, saya mengedarkan kuisener yang salah satu isinya adalah sebuah pernyataan: “Pangeran Dipenegoro berjuang melawan Belanda karena tanah warisan leluhurnya dirampas oleh Belanda.” Banyak di antara mereka yang menjawab “SETUJU” untuk pernyataan tersebut.
Jawaban itu tidak aneh! Sebab, buku-buku sejarah
di sekolah-sekolah memang menjelaskan Diponegoro berperang melawan Belanda
karena urusan tanah dan tahta. Bukan urusan agama. Padahal, fakta sejarah
tidaklah demikian. Dalam disertasinya di Universitas Indonesia, Prof. Dr. Rifyal
Ka’bah mengungkap sebuah fakta penting tentang perlawanan Pengeran Diponegoro
yang mengangkat senjata melawan penjajah Kristen Belanda. Tujuan perang itu
tidak lain adalah untuk menuntut pemberlakuan syariat Islam di Tanah Jawa.
Mengutip buku berjudul
Gedenkschrift van den Orloog op Java, karya F.V.A. Ridder de Stuers,
(Amsterdam: Johannes Müller, 1847), Rifyal Ka’bah memaparkan penuturan seorang
Letnan Kolonel Belanda pada masa Perang Diponegoro (1825-1830), yang menyatakan
bahwa tujuan Perang Diponegoro adalah agar hukum Islam berlaku untuk orang
Jawa. Diceritakan dalam buku ini, bahwa Belanda mengirim delegasi ke pedalaman
Salatiga untuk berunding dengan Pangeran Diponegoro dan para pembantunya.
Delegasi yang membawa surat Gubernur Jenderal Hendrik Markus de Kock ini
diterima oleh Kyai Modjo, Ali Basa, dan lain-lain.
Belanda meminta
peperangan segera dihentikan, agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi. Kyai
Modjo menjawab bahwa perang tidak dapat dihentikan selama tuntutan mereka belum
terpenuhi. Dalam perundingan itu, pihak Diponegoro juga menggunakan ungkapan
“Laa mauta illaa bil-ajal” (Tidak ajal berpantang mati).
Kyai Modjo juga menyebutkan QS.
an-Naml: 27 yang merupakan ucapan Nabi Sulaiman kepada Ratu Bilqis, (yang
artinya): “Jangan kalian bersikap arogan terhadapku dan datanglah kepadaku
dengan menyerahkan diri.” Ketika ditanya, apa maksud ungkapan itu, Kyai Modjo
menjawab: “Komt gij allen tot mijnen Vorst, en gaat langs het pad der
regtvaardigheit.” (Supaya kalian datang menemui Pangeranku dan berjalanlah
melalui jalan keadilan).
Kyai Modjo menegaskan,
bahwa keinginan Diponegoro adalah agar hukum Islam seluruhnya berlaku untuk
orang Jawa. Sedangkan persengketaan antara orang Jawa dan orang Eropa
diputuskan berdasarkan hukum Islam dan persengketaan antara orang Eropa dengan
orang Eropa, dengan persetujuan Sultan, diputuskan berdasarkan hukum Eropa.
(Lihat, Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi
Jakarta).
Di zaman Bung Karno,
pernah diadakan acara Peringatan 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro, di
Istana Negara, tanggal 8 Januari 1955. Ketika itu, Presiden Soekarno
menyampaikan pidato yang menyatakan: “Diponegoro adalah satu figuur yang besar,
satu Ulama yang linuhung, satu orang yang takut kepada Allah s.w.t., orang yang
beragama Islam, yang cinta pada agama Islam itu, dan tidak berhenti-henti dia
mengemukakan bahwa salah satu tujuan beliau, agungnya agama Islam ini. (Lihat buku Pahlawan Diponegoro terbitan
Kementerian Penerangan RI, tahun 1955).
Jadi, Pangeran Kyai
Diponegoro memang bukan seorang makelar tanah. Dia berjuang untuk agama dan
sekaligus untuk bangsanya. Tentu tidak adil jika meletakkan motif dan tujuan
perjuangan seorang ulama seperti Diponegoro direduksi dari urusan agama menjadi
sekedar urusan duniawi. Sekolah-sekolah Islam dan pondok-pondok pesantren
harusnya mengajarkan sejarah para pejuang Islam dengan benar, dan menjauhkan
diri dari rekayasa sejarah yang dibuat oleh para orientalis. Lembaga-lembaga
pendidikan Islam perlu menyadari, bahwa sejak dulu, penjajah selalu berusaha
menjauhkan umat Islam dari agamanya sendiri.
Adalah Christian Snouck
Hurgronje yang terkenal sebagai orientalis yang sangat mengkhawatirkan
perkembangan Islam di Indonesia. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda,
Dr. Aqib Suminto mengutip satu artikel Snouck di majalah Indische Gids, yang
dengan tegas mengingatkan bahwa Islam berbahaya bagi Belanda. Bagi Snouck,
Islam sama sekali tidak bisa diangap remeh, baik sebagai agama maupun sebagai
kekuatan politik di Indonesia. Ia menolak anggapan bahwa kaum Muslimin akan
beralih ke agama Kristen secara besar-besaran. (Lihat, Aqib Suminto, Politik
Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985).
Cendekiawan asal Belanda,
Karel Steenbrink juga mencatat, bahwa Snouck Hurgronje berpendapat, sistem
Islam telah menjadi sangat kaku dan tidak mampu lagi menyesuaikan diri dengan
abad baru. Snouck melakukan langkah-langkah untuk membebaskan kaum Muslimin
dari agama mereka. Menurutnya, hanya melalui organisasi pendidikan yang
berskala luas atas dasar yang universal dan netral secara agamis, pemerintah
kolonial dapat ‘membebaskan’ atau melepaskan Muslimin dari agama mereka.
“Pengasuhan dan
pendidikan adalah cara untuk mencapai tujuan tersebut. Bahkan, di negeri-negeri
berbudaya Islam yang jauh lebih tua dibanding kepulauan Nusantara, kita
menyaksikan mereka bekerja dengan efektif untuk membebaskan umat Muhammad dari
kebiasaan lama yang telah lama membelenggunya,” demikian tulis Snouck seperti
dikutip Karel Steenbrink. (Lihat, Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian:
Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596 - 1942), (Bandung: Mizan,
1995), hal. 96).
Melalui bukunya, Snouck
Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck
Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan
kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan
Islam’. Tahun 1938, M. Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul: ”Suara
Azan dan Lonceng Gereja”. Artikel ini mengomentari hasil Konferensi Zending
Kristen di Amsterdam pada 25 - 26 Oktober 1938, yang juga menyinggung
pentingnya peran pendidikan Barat dalam menjauhkan kaum Muslim dari agamanya.
Natsir mengutip ungkapan Prof. Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de
Islam, ”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel
te emancipeeren.” (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin
dari genggaman Islam).
Pikiran Rakyat, 30 Agustus 2021
Red: Dudy S.Takdir
Posting Komentar untuk "Bung Karno: Diponegoro itu Ulama Linuhung, Berjuang untuk Agungnya Agama Islam - Dr. Adian Husaini"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.