Kisah Santri Mencuri - Perjalanan Taubat: Dari Kelamnya Pergaulan Hingga Cahaya Hidayah (Part 3)
![]() |
Kabeldakwah.com |
Perjalanan
Taubat: Dari Kelamnya Pergaulan Hingga Cahaya Hidayah
<== Part 1
<== Part 2
Suatu hari, seorang ibu
menelepon saya sambil menangis. Dengan suara penuh harap, ia meminta tolong
agar anaknya diselamatkan dari pergaulan dan kebiasaan buruk yang sulit dicegah
lagi.
"Ibu, anak ibu
sekolah di tingkat apa?" tanya saya.
"Dia baru lulus SMA
dan akan kuliah," jawabnya.
"Saya minta tolong,
Ustadz, agar anak saya dimasukkan ke pondok," lanjutnya.
Saya menjelaskan bahwa pondok kami tidak memiliki jenjang pendidikan di atas SMA. Selain itu, jika ia masuk ke pondok, anaknya harus mengulang dari kelas persiapan, yang berarti mundur sekitar empat tahun. Namun, sang ibu tetap bersikeras, "Pokoknya saya ingin anak saya dibimbing oleh Ustadz. Anak saya sudah sangat jauh dari agama, bahkan pernah beberapa hari dipenjara akibat perkelahian. Dia juga perokok berat dan sering mabuk-mabukan."
Saya pun berpikir sejenak
dan akhirnya menawarkan solusi lain. "Baik, begini saja, Bu. Anak ibu bisa
nyantri, tapi di rumah saya, bukan di pondok."
"Terus, belajarnya
bagaimana, Ustadz?" tanyanya.
"Saya yang akan
mengaturnya nanti, Bu," jawab saya.
Akhirnya, sang ibu
membawa anaknya ke rumah saya. Ketika berkenalan dan berbincang, saya melihat
ada tato di badannya. Percakapan kami tidak berlangsung lama karena ia segera
merogoh kantongnya untuk merokok. Ibunya menegur, tetapi malah terjadi keributan
kecil. Saya menenangkan, "Biarkan saja, Bu."
Setelah berdiskusi cukup
panjang, akhirnya pemuda ini, sebut saja AF, mau tinggal di rumah saya. Saya
menempatkannya di lantai dua rumah makan milik saya yang bersebelahan dengan
rumah saya, sementara lantai satu digunakan untuk usaha.
Pendekatan Awal
Hari pertama, saya hanya mengajaknya berbincang ringan, mengenalkan lingkungan pondok, serta berdiskusi tentang dunia perkuliahan. Kemudian, saya mulai mengajaknya sholat.
"Saya nggak bisa
sholat, Ustadz," katanya.
Saya pun bertanya,
"Apakah kamu percaya adanya Allah?"
"Iya, Ustadz, saya
percaya."
"Kamu percaya bahwa
Allah yang menyediakan semua ini untuk kita, memberikan kehidupan, dan
menciptakan kematian?"
"Iya,
Ustadz."
"Kamu tahu hak Allah
atas hamba-Nya?"
"Tidak,
Ustadz."
Saya menjelaskan,
"Hak Allah atas hamba-Nya adalah diibadahi dan ditaati serta tidak boleh
menjadikan tandingan bagi-Nya. Sedangkan hak hamba terhadap Allah adalah jika
ia beribadah hanya kepada-Nya, maka Allah tidak akan mengazabnya dan akan
memasukkannya ke surga."
Saya melanjutkan,
"Kamu percaya bahwa kematian bisa datang kapan saja, tanpa peduli sehat
atau sakit, tua atau muda, kaya atau miskin, dalam keadaan ibadah atau
maksiat?"
"Iya,
Ustadz."
"Lalu, apakah kamu
merasa tenang jika suatu saat ajal menjemput dalam keadaan tidak
sholat?"
Ia terdiam sejenak, lalu
berkata, "Tidak, Ustadz. Saya takut mati dalam keadaan seperti ini. Saya
mau belajar sholat."
Alhamdulillah, dari
sanalah titik awal perubahannya.
Melibatkan dalam Aktivitas Positif
Saya mulai mengajaknya
terlibat dalam kegiatan pondok. Kebetulan, AF sangat menyukai berenang, dan
ternyata kemampuannya luar biasa. Saya pun memintanya melatih para santri. Ia
terlihat sangat senang dan bersemangat, begitu pula para santri yang antusias
belajar darinya.
Seiring waktu, saya
membuat jadwal rutin untuknya, mulai dari mengaji hingga mengikuti tausiyah
harian. Saya juga mengajaknya ke pelosok desa untuk melihat anak-anak kecil
yang penuh semangat belajar agama, meskipun dalam kondisi serba kekurangan.
Saat tiba di desa,
anak-anak berlarian menyambut saya. Saya pun bertanya kepada AF, "Apa yang
kamu rasakan?"
Dengan suara bergetar, ia
menjawab, "Terharu dan sedih, Ustadz. Mereka sejak kecil sudah semangat
sholat dan mengaji, sedangkan saya belum bisa seperti mereka."
Hari itu, saya melihat
perubahan kecil dalam dirinya—ia mulai mengurangi rokok karena semakin sibuk
dengan aktivitas positif.
Menghentikan Kebiasaan
Merokok
Setelah ia mulai belajar
membaca Al-Qur'an, saya pun membicarakan kebiasaannya merokok.
"Kamu tahu nggak
kenapa saya tidak merokok?" tanya saya.
"Tidak,
Ustadz," jawabnya.
"Saya tidak merokok
karena saya sayang pada keluarga dan orang-orang di sekitar saya."
"Kenapa,
Ustadz?" tanyanya heran.
Saya menunjuk tulisan
peringatan di bungkus rokok dan berkata, "Coba baca baik-baik apa yang
tertulis di situ. Selain itu, uang yang kamu gunakan untuk rokok, kalau
diberikan kepada anak-anak miskin yang kita temui kemarin, akan jauh lebih
bermanfaat bagi mereka."
Dengan nada sedikit
ngeyel, ia menjawab, "Kalau begitu, ambil saja uang saya, Ustadz, berikan
ke mereka."
Namun, alhamdulillah, ia
akhirnya bersepakat untuk mengurangi rokok. Dari yang semula dua bungkus per
hari, berkurang menjadi satu batang, hingga akhirnya berhenti sepenuhnya selama
hampir satu bulan.
Sholat pun kini ia
lakukan dengan kesadaran sendiri, bahkan sering mengajak saya ke masjid.
Ngajinya semakin lancar, dan perubahan dalam dirinya semakin terlihat.
Akhirnya, setelah
beberapa waktu tinggal bersama saya, AF pulang ke rumah dengan perubahan
mindset dan perilaku yang jauh lebih baik.
Semoga Allah selalu
menjaga langkahnya agar tetap istiqamah.
Ditulis Oleh: Wahab
Rajasam
Posting Komentar untuk "Kisah Santri Mencuri - Perjalanan Taubat: Dari Kelamnya Pergaulan Hingga Cahaya Hidayah (Part 3)"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.