Kisah Santri Mencuri – Ibrah: Bijaksana dalam Menghukumi (Part 1)
![]() |
Kabeldakwah.com |
Kisah Santri Mencuri –
Ibrah: Bijaksana dalam Menghukumi
==> Part 2
==> Part 3
Seorang santri di pesantren tertangkap mencuri uang kas teman sekamarnya sekaligus teman sekelasnya. Ia mengambil uang tersebut karena ingin membeli sepatu untuk sekolah dan olahraga. Sebelumnya, ia sudah meminta kepada ibunya, tetapi sang ibu belum bisa membelikannya karena harus mencari nafkah seorang diri. Ayahnya pergi tanpa kabar dan tidak bertanggung jawab terhadap keluarganya.
Ketika saya mendengar
kabar bahwa uang kas jenjang SMP hilang, saya segera menelusuri kasus ini. Saya
mulai dengan memeriksa lemari para santri dan bertanya kepada pihak kantin
apakah ada santri yang jajan lebih dari biasanya atau membayar secara tunai, mengingat
pesantren telah menerapkan sistem pembayaran cashless menggunakan kartu
tapcash. Namun, tidak ditemukan kejanggalan di kantin. Kami kemudian mengamati
barang-barang milik para santri untuk melihat apakah ada yang baru. Akhirnya,
kami menemukan seorang santri yang memiliki dua pasang sepatu baru, satu untuk
sekolah dan satu untuk olahraga.
Selanjutnya, saya meminta
bagian kedisiplinan untuk menghubungi ibunya dan menanyakan apakah anaknya
baru-baru ini meminta dibelikan sepatu. Sang ibu menjawab bahwa anaknya memang
sempat meminta sepatu, tetapi ia belum membelikannya karena belum memiliki
cukup uang. Ketika dipanggil, santri tersebut terlihat gelisah dan cemas. Dari
gelagatnya, saya semakin yakin bahwa dialah pelakunya.
Saya kemudian menanyakan
langsung kepadanya, "Berapa yang kamu ambil?"
Dengan suara lirih, ia
menjawab, "Sekian, Ustadz."
Saya menegaskan kepadanya
agar jujur karena jika tidak, kasus ini akan saya serahkan ke pihak kepolisian.
Saya juga menyampaikan bahwa saya memiliki bukti dan saksi. Akhirnya, dengan
menangis, ia mengakui semuanya dan menceritakan kronologinya secara lengkap. Ia
merasa tertekan karena ingin memiliki sepatu seperti teman-temannya.
Saya menghargai
kejujurannya dan bertanya, "Sekarang, apa yang kamu mau lakukan untuk
bertanggung jawab?"
"Saya akan
menggantinya, Ustadz!" jawabnya dengan penuh penyesalan.
Saya kembali bertanya,
"Darimana kamu mendapatkan uang untuk mengganti? Kamu kan belum
bekerja?"
Ia menjawab, "Saya
akan menyisihkan uang jajan saya sampai lunas."
Saya meminta dia untuk
menuliskan semua pernyataannya dan menandatanganinya sebagai bentuk tanggung
jawab. Dalam hati, saya sangat bimbang dan berdoa kepada Allah untuk petunjuk
terbaik. Di satu sisi, anak ini telah melakukan kesalahan besar. Namun di sisi
lain, jika ia dikeluarkan dari pesantren, ibunya pasti akan sangat terpukul.
Anak ini adalah harapan satu-satunya ibunya yang bekerja keras hingga larut
malam demi membiayai pendidikannya. Apalagi, ini adalah kesalahan pertamanya.
Selain itu, ia dikenal sebagai anak yang baik, rajin beribadah, disiplin dalam
shalat, dan sering berpuasa Senin-Kamis.
Saya kemudian menghubungi ibunya dan
memberitahukan bahwa anaknya mencuri, tetapi sudah mengakui kesalahannya,
menyesal, bertekad bertaubat, dan siap bertanggung jawab. Sang ibu sangat
marah, namun saya berusaha menenangkannya. Saya katakan bahwa ini adalah ujian
bagi kita semua.
Agar tidak terjadi
konflik dengan teman-temannya, saya mengumpulkan seluruh anggota kamar dan
memberikan pemahaman bahwa memaafkan sesama muslim adalah ajaran Nabi. Santri
tersebut kemudian meminta maaf kepada teman-temannya dan menyatakan kesiapannya
untuk mengganti uang yang telah dicuri. Saya juga menjelaskan bahwa kondisi
santri ini tidak seberuntung mereka. Ketika saya bertanya apakah mereka mau
memaafkan, mereka menjawab, "Iya, Ustadz," meskipun saya bisa melihat
bahwa beberapa di antara mereka masih ragu.
Beberapa hari setelah
kejadian, santri tersebut masih dicueki oleh teman-temannya. Suatu hari, saya
menemukannya menangis di dekat jemuran. Saya bertanya, "Kenapa kamu
menangis?"
Dengan sedih ia menjawab,
"Ana sedih, Ustadz. Teman-teman nyuekin ana semuanya."
Saya menenangkannya,
"Itu wajar. Kamu harus kuat karena ini konsekuensi dari perbuatan kamu.
Jika kamu benar-benar berubah, in sya Allah teman-temanmu akan menerimamu
kembali."
Saya juga meyakinkannya,
"Ustadz sudah memaafkan kamu, jika kamu benar-benar ingin memperbaiki
diri. Semoga Allah lapangkan hatimu untuk terus belajar Islam."
Alhamdulillah, akhirnya
ia berhasil melunasi hutangnya dan perlahan diterima kembali oleh
teman-temannya. Semoga ini menjadi pelajaran berharga baginya dan bagi kita
semua.
Sebelum menghukum santri, maka Pendidik & Pengasuh hendaknya memperhatikan hal berikut:
1). Memahami secara
detail kronologi peristiwa pelanggaran.
2). Harus tau persis
pelanggaran yang diperbuat santri dilatarbelakangi oleh apa?.
3). Lakukan Penyidikan
hingga ditemukan bukti yang terang (jangan pakai asumsi, tapi harus fakta).
4) Yang menghukum harus
memantaskan diri, bahwa beliau Dimata santri bukanlah ustadz yang NATO (No
Action Talk Only).
5) Ustadz yang menghukum
tidak sedang EMOSI.
6) Saat berhadapan dengan
Santri Pelanggar mampu mengendalikan diri terutama lisannya, tangannya, dan
gestur wajahnya.
7) Ketika memberikan
sanksi harus hikmah, tetap menganggap bahwa santri yang melanggar adalah hamba
Allah dan umat Rasulullah yang sedang butuh uluran tangan kita agar Allah
berikan hidayah.
Karena menghukum itu bisa menjadi kontra produktif jika dilakukan oleh personil yang tidak memahami kaidah menghukum (hingga timbul ketidakadilan). (Lihat faedah dari Wahab Rajasam)
Sumber: Wahab Rajasam (
Publikator: Ahmadi Assambasy
Posting Komentar untuk "Kisah Santri Mencuri – Ibrah: Bijaksana dalam Menghukumi (Part 1)"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.