Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dari Pasaman Hingga ke Tanah Haram - Kisah Pelajaran Zuhud dan Qana’ah

Kabeldakwah.com

مِنْ بَاسَامَانَ إِلَى الْبَيْتِ الْحَرَامِ: دُرُوْسٌ فِي الزُّهْدِ وَالْقَنَاعَةِ

Dari Pasaman ke Tanah Haram - Kisah Pelajaran Zuhud dan Qana’ah

Bismillaahirrahmaanirrahiim...

Aku menuliskan kisah ini didalam kabin pesawat, saat perjalanan pulang dari Tanah Haram. Meskipun tanpa koneksi internet, aku ingin mengabadikan pengalaman ini sebelum terlupakan. Semoga ada manfaat bagi diriku dan bagi siapa pun yang membacanya.

Sekitar dua jam setelah pesawat meninggalkan Madinah, para pramugari Citilink membagikan paket makan malam kepada sekian ratus penumpang. Di dalam kotak kertas berwarna putih hijau itu, ada nasi dengan lauk ayam yang dipotong kecil-kecil, sebungkus plastik berisi potongan apel bertuliskan Del Monte, dan sebotol air mineral yang tampaknya produk Saudi.

Aku menyantap hidanganku hingga habis, lalu menoleh ke sisi kiri, tempat duduk Pak Salamat Dahlan. Ia hanya menggenggam kotak makanannya tanpa menyentuhnya.

"Aku tidak makan nasi itu," katanya pelan. "Juga tidak buka apel."

Ia memilih makan roti yang sebelumnya dibagikan di bus dari hotel menuju bandara. Beberapa saat kemudian, pramugari meletakkan secangkir teh hangat di hadapanku. Aku meminumnya, lalu menyodorkannya padanya.

"Minumlah, Pak," ujarku.

"Aku tak mau kopi," jawabnya.

"Ini teh, lihatlah," kataku.

Pak Salamat mendekatkan cangkir itu ke matanya, lalu meminumnya perlahan. Aku tersenyum, mengingat bagaimana penglihatannya sudah mulai berkurang seiring bertambahnya usia.

Hidup dalam Kesederhanaan

Pak Salamat berasal dari Nagari Pagambiran, Pasaman. Sehari-hari, ia bekerja di kebun, menakik getah karet. Ia memiliki beberapa pohon durian, tetapi ia tidak pernah menikmatinya. Semua hasil kebunnya ia jual.

"Aku makan nasi, lah," katanya

Namun, ia tidak minum kopi, tidak minum teh, tidak merokok, dan tidak pernah menyentuh makanan yang dianggapnya “enak” seperti sate, ketupat sayur, atau durian.

Kesederhanaannya adalah bagian dari hidupnya. Tidak ada kemewahan, tidak ada keinginan berlebihan. Namun, Allah subhanahu wata’ala menakdirkannya berangkat ke Tanah Suci, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"Anak bungsuku di Jakarta yang menyuruhku berangkat," katanya dengan mata berkaca-kaca. Semua pengurusan dilakukan oleh keponakannya yang tinggal di Pariaman.

Namun, di balik kebahagiaan itu, ada kesedihan yang masih membekas. Delapan bulan sebelum keberangkatannya, istrinya wafat. Tidak didahului sakit yang lama, hanya sekejap, lalu ia pergi untuk selamanya.

"Hari Jumat sebelum berangkat umrah, aku pergi ke kuburan istriku. Aku menangis. Lima puluh dua tahun kami hidup bersama, tak berhenti kami menelan kesusahan hidup. Sekarang aku gembira, tapi dia tidak ikut gembira. Hari Minggu, sehari sebelum berangkat, aku pun kembali ke kuburannya."

Ia mengenang istrinya dengan penuh haru. Perjalanan umrah ini adalah kebahagiaan yang terlambat datang, tanpa bisa ia bagi dengan belahan jiwanya yang telah pergi.

Nama yang Mengandung Harapan

Pak Salamat Dahlan lahir setelah tiga kakaknya wafat lebih dahulu. Orang tuanya yang penuh harap memberinya nama Salamat, berharap ia selamat dan panjang umur.

"Aku anak keempat. Tiga orang saudaraku yang lahir sebelum aku, semuanya meninggal sewaktu masih kecil," ujarnya

Harapan itu Allah kabulkan. Kini, dalam usia 75 tahun, ia masih kuat berjalan, masih rajin shalat berjamaah di masjid kampungnya, dan masih terus bekerja di kebun.

"Aku tak ada ke mana-mana. Di kampung, lah," ujarnya sederhana.

Di Tanah Haram, ia ingin beribadah sebaik mungkin. Sejak mendarat di Jeddah hingga take off dari Madinah, tangannya hampir selalu menggenggam tanganku. Ia tidak tahu arah jalan di tengah keramaian bandara, Makkah, dan Madinah.

"Pak Salamat, nanti cacat tangan Pak Ustadz," canda seorang jemaah yang berasal dari Mandailing, Pasaman Timur.

Ketika ditanya bagaimana ia menjalani ibadah umrah, ia menjawab, "Telah tujuh puluh lima tahun umur, baru sekarang aku ke Makkah. Aku melakukan semampuku."

Kesederhanaan yang Mengajarkan Makna Zuhud

Di tengah gemerlap kota suci, di antara jemaah yang membawa koper-koper mewah dan pakaian ihram yang mahal, Pak Salamat tetap bersahaja. Sabuk kain ihramnya adalah karet ban motor yang ia gunakan sebagai pengikat. Kedua kopernya hanya diikat dengan karet yang sama.

Ketika akan pulang, aku menitipkan beberapa barang ke dalam kopernya. Karena ragu akan keamanannya, aku membeli gembok dan memasangkannya di kopernya. Ia hanya tersenyum.

"Aku jarang ke toilet," katanya. "Sudah terbiasa lama jeda waktu buang air besar dan buang air kecil."

Sungguh, kesederhanaannya mengingatkanku pada sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

"Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki secukupnya, dan Allah menjadikannya merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya." (HR. Muslim no. 1054)

Pak Salamat adalah contoh nyata dari hadis ini. Ia tidak memiliki harta berlimpah, tetapi hatinya selalu cukup dengan apa yang ada.

Doa untuk Pak Salamat dan Kita Semua

اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ، وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

"Ya Allah, cukupilah kami dengan rezeki halal-Mu sehingga kami tidak membutuhkan yang haram, dan kayakanlah kami dengan karunia-Mu sehingga kami tidak bergantung kepada selain-Mu."

Semoga Allah subhanahu wata’ala memberikan keberkahan kepada Pak Salamat dan kepada kita semua. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari ketulusan, kesederhanaan, dan keyakinan yang beliau miliki dalam menjalani hidup.

Penulis: Zulkifli Zakaria

Bandar Udara Internasional Minangkabau, Jumat, 8 Sya'ban 1446 H / 7 Februari 2025 M

Tulisan ini dapat dibaca di: http://mahadalmaarif.com

KabeL DakwaH
KabeL DakwaH Owner Gudang Software Ryzen Store dan Jasa Pembuatan Barcode BBM Se-Nusantara Indonesia

Posting Komentar untuk "Dari Pasaman Hingga ke Tanah Haram - Kisah Pelajaran Zuhud dan Qana’ah"