Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dua Jenis Sunni Salafy - Ust. Dr. Aris Munandar, S.S., M.P.I.

Kabeldakwah.com

Dua Jenis Sunni Salafy

Menurut Ibnu Rajab al-Hanbali ahli sunnah atau sunni itu memiliki dua pengertian, ahli sunnah dalam makna yang sempurna dan ahli sunnah dalam makna yang tidak demikian.

«كشف الكربة في وصف أهل الغربة» (ص320):

ومراد هؤلاء الأئمة بالسنة: طريقة النبي صلى الله عليه وسلم التي كان عليها هو وأصحابه السالمة من الشبهات والشهوات.

ولهذا كان ‌الفضيل بن ‌عياض يقول: أهل السنة من عرف ما يدخل في بطنه من حلال.

وذلك لأن أكل الحلال من أعظم خصائل السنة التي كان عليها النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه رضي الله عنهم.

Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Maksud mereka, para imam dengan istilah sunnah adalah ‘jalan’ yang ditempuh oleh Nabi SAW dan para shahabatnya yang benar-benar bersih dari pemahaman sesat dan bersih dari maksiat. Oleh karena itu al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, ‘Ahli sunnah adalah orang yang mengetahui makanan yang masuk ke dalam perutnya apakah dari harta yang halal ataukah tidak’. Fudhail mengatakan demikian karena memakan harta dan makanan yang halal adalah termasuk perkara ‘sunnah’ yang paling agung. Memastikan memakan dan mengambil harta yang halal adalah bagian dari ‘jalan’ Nabi SAW dan para shahabatnya.

ثم صار في عرف كثير من العلماء المتأخرين من أهل الحديث وغيرهم السنة عبارة عما سَلِمَ من الشبهات في الاعتقادات خاصة في مسائل الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر، وكذلك في مسائل القدر وفضائل الصحابة، وصنفوا في هذا العلم باسم السنة لأن خطره عظيم والمخالف فيه على شفا هلكة

Kemudian pengertian sunnah dalam budaya (baca: istilah) ulama ahli hadis generasi belakangan (mutaakhirin) dan lainnya mengalami pergeseran (baca: penyempitan makna). Sunnah dalam hal ini bermakna akidah yang bersih dari paham sesat terutama dalam masalah keimanan kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya dan hari akhir.

Demikian pula dalam permasalahan takdir dan kemuliaan para shahabat. Mereka lantas menulis buku dalam ilmu ini (baca: ilmu akidah) dan diberi judul as-Sunnah. Sunnah diberi makna akidah yang bersih dengan pertimbangan bahwa bahaya tergelincir dalam masalah akidah adalah bahaya yang besar dan orang yang menyimpang dalam bab akidah itu berada di tepi jurang kebinasaan.

وأما السنة الكاملة فهي الطريق السالمة من الشبهات والشهوات كما قال الحسن ويونس بن عبيد وسفيان والفضيل وغيرهم،

Sedangkan sunnah dalam pengertian yang sempurna adalah ‘jalan’ yang bersih dari pemikiran sesat dan bersih dari melakukan maksiat sebagaimana pemaknaan sunnah yang diberikan oleh al-Hasan al-Bashri, Yunus bin Ubaid, Sufyan, al-Fudhail bin ‘Iyadh dan lain-lain” [Kasyfu al-Kurbah fi Washfi Ahli al-Ghurbah hlm 319-320).

Ahli sunnah atau sunni salafy itu punya dua pengertian, ala ulama salaf/mutaqaddimin dan disebut dengan sunni dalam makna yang sempurna dan ala ulama belakangan/mutaakhirin atau bisa kita sebut sunni minimalis.

Sunni Salafy dalam makna yang sempurna adalah orang yang bebas benar-benar bebas dari pemahaman dan pemikiran yang sesat (syubuhat) dan bebas dari melakukan berbagai maksiat atau syahawat.

Dalam pengertian ini ahli bid’ah atau orang yang memiliki akidah yang sesat dan menyimpang bukan sunny salafy. Demikian pula orang fasik, pelaku dosa besar atau terus menerus melakukan dosa kecil juga bukan sunny salafy.

Inilah konsep sunni yang dianut oleh Fudhail bin ‘Iyadh dan ulama salaf lainnya. Dalam konsep Fudhail bin ‘Iyadh sunni adalah orang yang mewaspadai makanan dan minuman yang haram, demikian pula mewaspadai harta dan pendapatan yang haram.

Mengacu konsep ini, orang yang menipu harta orang lain melalui visa haji furada, berangkat umrah, perumahaan bohong-bohongan, investasi bodong, tidak mau bayar utang, tidak mau bayar SPP sekolah anaknya, menilep uang umat, tidak menyalurkan dana bantuan sebagaimana mestinya, mencuri, korupsi uang negara, yayasan atau perusahaan tempat dia bekerja, perempuan yang menuntut ini dan itu kepada mantan suaminya padahal sama sekali bukan kewajiban mantan suami dll bukanlah seorang sunny salafy meskipun dia perempuan bercadar atau pun laki-laki yang berjenggot tebal, bercelana cingkrang dan rajin ikut kajian dan seterusnya.

Demikian pula pelaku maksiat-maksiat yang lain semisal merekayasa tuduhan dan fitnah, menggunjing, menghina, mengejek dan merendahkan orang lain. Semuanya bukanlah sunny salafy menurut konsep sunnah yang sempurna.

Lain halnya dengan ahli sunnah dalam pengertian kedua, ahli sunnah yang minimalis dan itulah konsep ahli sunnah yang dianut oleh para ulama era belakangan/mutaakhirin. Ahli sunnah dalam dalam pengertian ini hanya berkaitan dengan keyakinan dan pemahaman seputar enam rukun iman dan hal-hal lain berkaitan dengan akidah.

Sunni Salafy dalam konsep ini adalah orang yang memiliki akidah yang bersih meski dia seorang pendosa dan ahli maksiat. Boleh jadi ada sunny salafy namun mencuri. Boleh jadi ada sunny salafy namun hobi minum khamr asalkan orang tersebut bersih dari syubuhat (baca: penyimpangan akidah).

Berangkat dari konsep ahli sunnah versi ulama mutaakhirin dimungkinkan ada sunny salafy namun isbal padahal dia menyakini bahwa isbal itu haram bahkan dosa besar.

Demikian pula bisa saja seorang itu sunny salafy murni semurni emas 24 karat namun celananya isbal secara sengaja karena dia memilih dan mengikuti pendapat mayoritas ulama fikih bahwa isbal tanpa maksud kesombongan itu tidak haram.

Adalah hal yang lucu, aneh dan nyata orang yang menganut ahli sunnah dalam pengertian yang kedua namun dia jadikan isbal sebagai salah satu pembatal kesalafian karena dia pribadi memilih berkeyakinan bahwa isbal itu meski tanpa kesombongan hukumnya haram.

Mengikuti dan taklid dengan pendapat mayoritas ulama ahli sunnah pakar-pakar fikih masak mengeluarkan dari sunnah?! Yang layak dijadikan sebagai amalan pembatal kesunnahan dan kesalafian seseorang semestinya adalah hal-hal yang disepakati keharamannya oleh para ulama ahli sunnah. Itupun manakala menganut dan mengikuti konsep ‘sunnah yang sempurna’.

Orang yang menganut sunnah dalam konsep yang sempurna semestinya konsisten dan tidak tebang pilih. Semua hal yang disepakati ulama sebagai maksiat semestinya dia yakini membatalkan kesunnahan dan kesalafian pelakunya baik itu berupa tidak mau bayar utang, tipu-tipu jualan kitab, memfitnah orang yang tidak bersalah dan lain-lain, bukan hanya masalah isbal meski tanpa motif kesombongan, kirim alfatihah, qunut shubuh dan lain-lain yang hukumnya diperselisihkan oleh para ulama.

Ditulis oleh: Ust. Dr. Aris Munandar, S.S., M.P.I.

KabeL DakwaH
KabeL DakwaH Owner Gudang Software Ryzen Store

Posting Komentar untuk "Dua Jenis Sunni Salafy - Ust. Dr. Aris Munandar, S.S., M.P.I."