Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Menerima Pemberian Barang/Jasa Menurut Syari’at Islam - Fatwa

Kabeldakwah.com

FATWA HUKUM MENERIMA PEMBERIAN BARANG/JASA

MENURUT SYARI’AT ISLAM

Daftar Isi:

MENIMBANG:

MENGINGAT:

Perbedaan Suap dan Hadiah:

Hukum memberi ada 3, yaitu:

Permasalahan:

MEMUTUSKAN:

MENETAPKAN BAHWA:

----------------------------------------

Dengan mengharap berkah, rahmah, dan ridha Allah.

Dewan ******************(nama dewan fatwa):

MENIMBANG:

a. Bahwa ajaran Islam memerintahkan umatnya dalam aktivitas kehidupannya untuk selalu berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah supaya selamat di dunia maupun di akhirat.

b. Bahwa pegawai dalam menjalankan tugas lembaga yang diamanahkan kepadanya sering berinteraksi dengan pihak lain.

c. Bahwa pegawai dalam tugasnya, dimungkinkan mendapatkan pemberian barang/jasa dari pihak lain.

d. Bahwa pemberian barang/jasa kepada pegawai yang bersangkutan sebagaimana poin c, memiliki konsekuensi hukum syariat Islam.

e. Bahwa ****(nama lembaga)****  dalam aktivitas kelembagaannya, dimungkinkan akan terus melakukan penugasan kepada pegawai tertentu yang harus berinteraksi dengan pihak lain untuk memenuhi kebutuhan dan keberlangsungan lembaga.

f. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, maka ***(nama dewan fatwa)*** perlu membuat ketentuan hukum sesuai syariat Islam.

----

MENGINGAT:

a. Firman Allah Subhanahu Wata’ala:

1. Firman Allah dalam QS. Al Baqarah: 168 ; 172 ; 188

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” [QS. Al-Baqoro: 168]

2. Firman Allah dalam QS. Al Maidah: 88

وَكُلُوا۟ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ حَلَٰلًا طَيِّبًا ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِىٓ أَنتُم بِهِۦ مُؤْمِنُونَ

Artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” [QS Al Maidah: 88]

3. Firman Allah dalam surat Ali-‘Imran ayat 188:

لَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَآ أَتَوا۟ وَّيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُوا۟ بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا۟ فَلَا تَحْسَبَنَّهُم بِمَفَازَةٍ مِّنَ ٱلْعَذَابِ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Artinya: “Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” [QS. Ali Imran: 188]

Dalam menafsirkan ayat di atas, al Haitsami rahimahullah berkata: “Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mngetahui hal itu tidak halal bagi kalian”. [Kitab, Az Zawajir, Haitsami 1/131, senada dengan yang ditafsirkan al Baghawi, Syarhussunnah, 10/88]

4. Allah berfirman.

فَهَلۡ عَسَيۡتُمۡ إِن تَوَلَّيۡتُمۡ أَن تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَتُقَطِّعُوٓاْ أَرۡحَامَكُمۡ ٢٢ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَعَنَهُمُ ٱللَّهُ فَأَصَمَّهُمۡ وَأَعۡمَىٰٓ أَبۡصَٰرَهُمۡ ٢٣

Artinya: “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” [QS. Muhammad: 22 – 23]

Abul ‘Aliyah rahimahullah berkata, “Membuat kerusakan di permukaan bumi dengan suap dan sogok.” [Kitab, Ahkamul Qur’an, al Qurthubi, 16/208].

Dalam mensifati orang-orang Yahudi, Allah berfirman:

سَمَّٰعُونَ لِلۡكَذِبِ أَكَّٰلُونَ لِلسُّحۡتِۚ.... ٤٢

Artinya ; “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram…..” [QS. Al-Maidah: 42]

Tentang ayat ini, Hasan dan Said bin Jubair rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau berkata: “Jika seorang Qodi (hakim) menerima suap, tentu akan membawanya kepada kekufuran”. [Kitab, Al Mughni, 11/437].

5. Firman Allah dalam QS. Ali Imran: 161

وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَغُلَّۚ وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ بِمَا غَلَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفۡسٍ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ ١٦١

Artinya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali-Imran: 161)

b. Hadits-Hadits dari Rasulullah Muhammad:

إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

Artinya: “Sesungguhnya perkara-perkara yang halal telah jelas, dan sesungguhnya perkara-perkara yang haram telah jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barang siapa yang meninggalkan syubhat dia telah terjaga agamanya dan kehormatannya, dan barangsiapa yang terjatuh ke dalam syubhat maka dia telah terjatuh ke dalam perkara yang haram” (HR. Muslim)

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

Artinya: “Orang-orang muslim itu terikat dengan kesepakatannya” (HR. Abu Dawud)

عن أبي حميد السعيد:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُوْلٌ. (رواه أحمد)

Artinya: “Dari Abu Humaid as-Sa’idi, Rasulullah bersabda, “Hadiah untuk para pegawai adalah ghulul (harta yang di dapat dari khianat terhadap amanah, korupsi).” (HR. Ahmad, no. 23601)

عَنْ عَدِىِّ بْنِ عَمِيرَةَ الْكِنْدِىِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولاً يَأْتِى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya: “Dari ‘Adi bin ‘Amirah al-Kindi, Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang kami beri amanah dengan suatu pekerjaan, lalu dia tidak menyerahkan sebuah jarum atau yang lebih bernilai daripada itu kepada kami, maka harta tersebut akan dia bawa pada hari kiamat sebagai harta ghulul (korupsi).” (HR. Muslim, no. 4848)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِىِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

Artinya: “Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, Buraidah, Nabi bersabda, “Siapa saja yang kami pekerjakan, lalu dia telah kami beri gaji, maka semua harta yang dia dapatkan di luar gaji (dari pekerjaan tersebut -pent) adalah harta yang berstatus ghulul (korupsi).” (HR. Abu Daud, no. 2943; Dalam kitab, Kaifa, hlm. 11, Syekh Abdul Muhsin al-Abbad mengatakan, “Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang shahih dan dinilai shahih oleh Al-Albani.”)

 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

Artinya: “Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Manusia akan menjumpai suatu masa yang di masa tersebut orang tidak lagi memiliki kepedulian apakah dia mendapatkan harta dari jalan yang halal ataukah dari jalan yang haram.” (HR. Bukhari, no 2083)

Menurut Syekh Abdul Muhsin al-Abbad, orang-orang yang tidak memiliki kepedulian terhadap halal dan haram memiliki prinsip bahwa semua harta yang bisa didapatkan itulah harta yang halal, sedangkan semua harta yang tidak bisa mereka dapatkan itulah harta yang haram. Adapun dalam ajaran Islam, sesuatu yang halal adalah semua hal yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, sesuatu yang haram adalah semua hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. [Kitab, Kaifa Yu`addi al-Muwazhzhaf al-Amanah, hlm. 10]

Rasulullah Muhammad bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُنْتِنُ مِنَ الإِنْسَانِ بَطْنُهُ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَأْكُلَ إِلاَّ طَيِّبًا فَلْيَفْعَلْ

Artinya: “Sesungguhnya bagian badan manusia yang pertama kali membusuk adalah perutnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mampu untuk memakan makanan yang halal saja, maka hendaknya dia usahakan.” (HR. Bukhari, no. 6733, dari Jundab bin Abdillah)

Rasulullah bersabda:

عَنْ عُمَر عَبْدِ اللهِ بْنِ قاَلَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الرَاشِى وُاْلمُرْتَشَىِ

Dari Ibnu Umar, ia berkata: “Rasulullah melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap”. [HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190. Syaikh Al-Albani berkata,”Shahih.” Lihat: Irwa’ Ghalil, 8/244]

Dalam riwayat Tsauban, terdapat tambahan hadits: “Arrosyi” (…dan perantara transaksi suap)”. [HR. Ahmad, 5/279 dalam sanadnya ada Laits bin Abi Salim, hafalannya bercampur, dan Syaikhnya, Abul Khattab majhul]

Hadits ini menunjukkan, bahwa suap termasuk dosa besar, karena ancamannya adalah Laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat Allah. Al Haitsami rahimahullah memasukkan suap kepada dosa besar yang ke-32.

Sedangkan menurut Ijma’, telah tenjadi kesepakatan umat tentang haramnya suap secara global, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnul Atsir, [Kitab, An Nihayah, 2/226] dan Shan’ani rahimahullah [Kitab, Subulussalam, 1/216].

Adapun hadiah, Ia merupakan pemberian yang dianjurkan oleh syariat, sekalipun pemberian itu -menurut pandangan yang memberi- sesuatu yang remeh.

Disebutkan dalam hadits, dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad, beliau bersabda: “Wahai, wanita muslimah. Janganlah kalian menganggap remeh pemberian seorang tetangga kepada tetangganya, sekalipun ujung kaki kambing”. [HR. Bukhari, no. 2566. Lihat Fathul Bari, 5/198]

Juga dari Abu Hurairah, dan Nabi bersabda: “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencinta”. [HR. Bukhari, dalam Adabul Mufrad, no. 594. Ibnu Hajar berkata,”Sanadnya shahih”]

Tentang anjuran saling memberi hadiah, di kalangan ulama telah terjadi Ijma’, karena Ia memberikan pengaruh yang positif di masyarakat; baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Bagi yang memberi, itu sebagai cara melepaskan diri dari sifat bakhil, sarana untuk saling menghormati dan sebagainya. Sedangkan kepada yang diberi, sebagai salah satu bentuk memberi kelapangan terhadapnya, hilangnya kecemburuan dan kecurigaan, bahkan mendatangkan rasa cinta dan persatuan dengan sesama.

Perbedaan Suap dan Hadiah:

Seorang muslim yang mengetahui perbedaan ini, maka ia akan dapat membedakan jalan yang hendak Ia tempuh, halal ataukah haram. Perbedaan antara suap dan hadiah, di antaranya:

1. Suap adalah, pemberian yang diharamkan syariat, dan ia termasuk pemasukan yang haram dan kotor. Sedangkan hadiah merupakan pemberian yang dianjurkan syariat, dan ia termasuk pemasukan yang halal bagi seorang muslim.

2. Suap, ketika memberinya tentu dengan syarat yang tidak sesuai dengan syariat, baik syarat tersebut disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung. Sedangkan hadiah, pemberiannya tidak bersyarat.

3. Suap, diberikan untuk mencari muka dan mempermudah dalam hal yang batil. Sedangkan hadiah, ia diberikan dengan maksud untuk silaturrahim dan kasih-sayang, seperti kepada kerabat, tetangga atau teman, atau pemberian untuk membalas budi. [Kitab, Ar-Ruh, Ibnul Qayyim, 1/240]

4. Suap, pemberiannya dilakukan secara sembunyi, dibangun berdasarkan saling tuntut- menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati. Sedangkan hadiah, pemberian terang-terangan atas dasar sifat kedermawanan.

5. Suap, biasanya diberikan sebelum pekerjaan, sedangkan hadiah diberikan setelahnya. [Kitab, Hadaya Lil Muwazhzhafin, Dr. al Hasyim, hal. 27-29]

Hukum memberi ada 3, yaitu:

1. Pemberian yang diharamkan memberi maupun mengambilnya.

Kaidahnya, pemberian tersebut bentujuan untuk sesuatu yang batil, ataukah pemberian atas sebuah tugas yang memang wajib dilakukan oleh seorang pegawai.

Misalnya pemberian kepada pegawai setelah ia menjabat atau diangkat menjadi pegawai pada sebuah instansi. Dengan tujuan mengambil hatinya tanpa hak, baik untuk kepentingan sekarang maupun untuk masa akan datang, yaitu dengan menutup mata terhadap syarat yang ada untuknya, dan atau memalsukan data, atau mengambil hak orang Lain, atau mendahulukan pelayanan kepadanya daripada orang yang lebih berhak, atau memenangkan perkaranya, dan sebagainya. Diantara permisalan yang juga tepat dalam permasalahan ini adalah, pemberian yang diberikan oleh perusahaan atau toko kepada pegawainya, agar pegawainya tersebut merubah data yang seharusnya, atau merubah masa berlaku barang, atau mengganti nama perusahaan yang memproduksi, dan sebagainya.

2. Pemberian yang terlarang mengambilnya, dan diberi keringanan dalam memberikannya.

Kaidahnya, pemberian yang dilakukan secara terpaksa, karena apa yang menjadi haknya tidak dikerjakan, atau disengaja diperlambat oleh pegawai bersangkutan yang seharusnya memberikan pelayanan.

Sebagai misal, pemberian seseorang kepada pegawai atau pejabat, yang ia lakukan karena untuk mengambil kembali haknya, atau untuk menolak kezhaliman terhadap dirinya. Apalagi Ia melihat, jika sang pegawai tersebut tidak diberi sesuatu (uang, misalnya), maka ia akan melalaikan, atau memperlambat prosesnya, atau ia memperlihatkan wajah cemberut dan masam.

Syaikhul Islam Ibnu TaImiyyah rahimahullah berkata: Jika seseorang memberi hadiah (dengan maksud) untuk menghentikan sebuah kezhaliman atau menagih haknya yang wajib, maka hadiah ini haram bagi yang mengambil, dan boleh bagi yang memberi. Sebagaimana Nabi bersabda, “Sesungguhnya aku seringkali memberi pemberian kepada seseorang, lalu ia keluar menyandang api (neraka),” ditanyakan kepada beliau,”Ya, Rasulullah. Mengapa engkau memberi juga kepada mereka?” Beliau menjawab, “Mereka tidak kecuali meminta kepadaku, dan Allah tidak menginginkanku bakhil.” [Kitab, Majmu’ Fatawa, 31/286. Lihat pula pembahasan ini di Fathul Qadir, 7/255, Mawahibul Jalil, 6/121, al Hawil Kabir, 16/283; Nailul Author, 10/259-261]

3. Pemberian yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan memberi dan mengambilnya.

Kaidahnya, suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memperkuat tali silaturahim atau menjalin ukhuwah Islamiah, dan bukan bertujuan memperoleh keuntungan duniawi.

Rasululloh bersabda:

تَهَادُوا تَحَابُّوا

Artinya: “Saling memberilah kalian niscaya kalian saling mencintai” (HR. Al-Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod)

Permasalahan:

Di bawah ini ada beberapa permasalahan, yang hukumnya masuk dalam bagian ini, sekalipun yang afdhal bagi pegawai, tidak menerima hadiah tersebut, sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari tuduhan dan sadduz zari’ah (penghalang) baginya dari pemberian yang haram.

1. Hadiah seseorang yang tidak mempunyai kaitan dengan pekerjaan (usahanya). Sebelum orang tersebut menjabat, ia sudah sering juga memberi hadiah, karena hubungan kerabat atau yang lainnya. Dan pemberian itu tetap tidak bentambah, meskipun yang ia beri sekarang sedang menjabat.

2. Hadiah orang yang tidak biasa memberi hadiah kepada seorang pegawai yang tidak berlaku persaksiannya, seperti Qodi bersaksi untuk anaknya, dan hadiah tersebut tidak ada hubungannya dengan usahanya.

3. Hadiah yang telah mendapat izin dan oleh pemerintahannya atau instansinya.

4. Hadiah atasan kepada bawahannya.

5. Hadiah setelah ia meninggalkan jabatannya, dan yang lain-lain.

----

MEMUTUSKAN:

1. Bahwa pegawai telah sepakat, waktu jam kerja pegawai sesuai peraturan kepegawaian yang telah disahkan oleh ketua yayasan.

2. Bahwa setiap pegawai telah mendapatkan hak gaji setiap bulan dari yayasan, yang besar nominalnya telah disepakati bersama.

3. Bahwa pegawai tidak diperkenankan bekerja kepada pihak lain pada waktu jam kerja untuk mendapatkan penghasilan lain sebagai tambahan, kecuali telah mendapatkan ijin dari yayasan.

4. Bahwa pegawai yang mendapatkan imbalan barang/jasa dari pihak lain pada saat jam kerja/dinas, maka berlaku 2 (dua) status hukum, yaitu:

a. Pemberian barang/jasa atas nama pegawai, karena tugas yang diamanahkan kepadanya; maka hukumnya ghulul (haram).

Alasannya, jika seseorang tidak menjadi pegawai di yayasan maka pegawai tidak mendapatkan imbalan barang/jasa itu.

b. Pemberian barang/jasa atas nama pegawai, karena urusan pribadi dengan pihak lain yang tidak terkait dengan urusan dinas; maka hukumnya boleh (halal).

Alasannya, seseorang pegawai tetap mendapatkan imbalan barang/jasa itu walaupun tidak bekerja sebagai pegawai di yayasan.

5. Bahwa imbalan barang/jasa pegawai yang berstatus ghulul (haram) adalah menjadi hak milik yayasan yang keberadaannya harus dilaporkan oleh pegawai yang bersangkutan.

6. Bahwa setelah pegawai memberikan laporan kepada yayasan, maka yayasan memiliki otoritas penuh untuk mengelolanya.

7. Bahwa imbalan barang/jasa yang diterima yayasan dan diserahkan kembali sebagian atau seluruhnya kepada pegawai maka status hukumnya menjadi halal.

8. Semua yang berstatus hukum GHULUL dapat menjadi HALAL jika telah mendapat pengesahan dari yayasan.

9. Semua yang berstatus RISYWAH, maka hukumnya tetap haram.

----

MENETAPKAN BAHWA:

1. Pemberian barang/jasa dari wali murid atau pihak lain kepada pegawai secara spontan tanpa direncanakan dan diminta sebelumnya, (contoh: membayarkan sesuatu barang/jasa di tempat perbelanjaan atau sejenisnya), hukumnya HADIAH (boleh)

2. Pemberian barang/jasa untuk meloloskan calon peserta didik dalam seleksi PMB, atau penerimaan pegawai yayasan, maka hukumnya RISYWAH (haram)

3. Menambah harga pembelian pada bukti kuitansi pembelian barang untuk keperluan lembaga adalah tindakan penipuan, maka hukumnya HARAM.

4. Pemberian barang/jasa dari supplier barang/jasa kepada pegawai untuk meloloskan pemesanan, maka hukumnya RISYWAH (haram).

5. Pemberian barang/jasa/uang pengembalian (cash back) dari toko, supplier, mitra/rekanan kepada pegawai dalam urusan kepentingan lembaga, maka hukumnya GHULUL (haram).

6. Pemberian barang/jasa dari wali murid di awal, tengah, atau akhir tahun ajaran dan jelang lebaran bagi guru, yang mengampu anak didiknya dan tidak mengampu anak didiknya, hukumnya GHULUL (haram)

7. Pemberian umroh, haji atau wisata dari wali murid atau pihak lain kepada pegawai, maka hukumnya GHULUL (haram)

8. Pemberian barang/jasa dari wali murid kepada pegawai yang direncanakan sebelumnya atau dengan cara meminta jasa sebelumnya, contoh: membuat SIM, Akte Kelahiran, dan semacamnya, maka hukumnya GHULUL (haram)

9. Diskon pembelian barang/jasa yang diambil oleh pegawai yang ditugaskan kepadanya dari tempat perbelanjaan, maka hukumnya GHULUL (haram).

 ----

Demikian Fatwa ***(nama dewan fatwa)**, selanjutnya mohon dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan mohon digunakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di ***(nama tempat)***

Hari Sabtu, tanggal 10 Maret 2018

KabeL DakwaH
KabeL DakwaH Owner Gudang Software Ryzen Store

Posting Komentar untuk "Hukum Menerima Pemberian Barang/Jasa Menurut Syari’at Islam - Fatwa"