Meluruskan Penukilan Yang Salah Atas Hari Arafah - Ahmad Syahrin Thoriq
Ikhtilaf Hari Arafah
Tulisan ini adalah untuk menjawab
sebuah broadcast yang dikirim ke saya yang ditulis oleh al ustadz Shidiq al jawi
hafidzahullah, di mana beliau mengklaim bahwa ada Ijma' (kesepakatan) para ulama
bahwa hari puasa Arafah itu harus mengikuti wakru Wuquf Arafah jama'h haji.
Beliau mengklaim adanya konsensus
ulama dalam masalah ini. Menyatakan ini bukan ranah khilafiyah bahkan menyebutnya
masuk perkara: Ma'lumun minad diini bidh dlaruurah.
Saya tidak akan menulis "sanggahan" atas tulisan tersebut seandainya beliau hanya menyatakan sebuah pendapat pribadi yang diaggap paling kuat. Itu sah saja. Tapi ketika beliau membawa-bawa Ijma' dan kalimat dharurat fi addin, ini jelas harus diluruskan.
Karena konsekuensi menyelisihi
ijma' apa lagi perkara yang diistilahkan dengan darurat fi addin (seperti halnya
kewajiban shalat 5 waktu, puasa Ramadhan, haji dan semisalnya) itu bukan sekedar
haram atau dapat dosa, tapi menyebabkan pelakunya murtad keluar dari Islam.
Tulisan beliau tidak saya
cantumkan di sini agar tidak menjadikan bahasan menjadi panjang hingga banyak yang
enggan untuk membacanya. Saya cukup akan screenshotkan saja bagian yang akan saya
komentari.
Saya awali tulisan ini dengan
mengomentari bagian definisi Arafah yang dicantumkan dalam bahasan tersebut.
Penulis menukil perkataan
al imam Badruddin al Aini, salah seorang ulama dalam madzhab Hanafi: "Hari
Arafah menunjukkan waktu (al zamaan) dan tempat (al makaan) sekaligus. Dari segi
waktu, hari Arafah adalah hari ke-9 bulan Dzulhijjah. Sedang dari segi tempat, hari
Arafah adalah hari di mana para jamaah haji berwukuf di Arafah. (Umdatul Qari Syarah
Shahih Al Bukhari, syarah hadits no. 603, 5/339).
Saya kemudian merujuk ke kitab
tersebut, dan setelah membolak balik halaman kitab sangat tebal dengan jumlah 25
jilid tersebut, fakta yang saya dapatkan adalah:
Pertama, kelihatannya penulis
keliru mencantumkan nomor hadits dan bahasannya. Karena saya menemukan bukan pada
syarah hadits ke-603, tapi hadits yang ke 628. Lalu ada juga beberpa kalimat semisal
dibahasan hadits sebelumnya yakni pada hadits ke-183, di bab adzan.
Tapi ini hanyalah masalah
nomor hadits yang dimungkinkan perbedaan cetakan atau kalau toh kekeliruan penyebutan
adalah kesalahan yang wajar.
Kedua, saya tidak mendapatkan
kalimat asli dalam kitab 'Umdatul Qari dari apa yang penulis (ustadz Shidiq al Jawi)
cantumkan ditulisannya di bagian: "Hari Arafah" (yauma 'Arafah) menunjukkan
waktu (al zamaan) dan tempat (al makan) sekaligus."
Itu tidak ada dalam kitab,
di bab manapun. Karena saya juga mencoba melacak ke bab-bab lain yang mungkin ada
kalimat yang bisa dimaknai seperti terjemahan diatas, namun hasilnya nihil.
Karena yang ada hanyalah,
kalimat setelahnya: Dari segi waktu, hari Arafah adalah hari ke-9 bulan Dzulhijjah.
Sedang dari segi tempat, hari Arafah adalah hari di mana para jamaah haji berwukuf
di Arafah.
Yang tertulis dalam kitab Umdatul Qari adalah sebagai
berikut:
وأما عرفة فإنها تطلق على
الزمان، وهو التاسع من ذي الحجة، وعلى المكان وهو الموضع المعروف الذي يقف فيه الحجاج
يوم عرفة
"Adapun Arafah sesungguhnya jika ia dimutlakkan
kepada waktu, maka dia adalah tanggal 9 dari bulan Dzulhijjah. Dan jika dikaitkan dengan
tempat, maka dia dikenal dengan tempat wuqufnya jamaah haji pada hari Arafah."
Dan tentu saja dengan kalimat
ini menunjukan bahwa al Imam 'Aini justru termasuk yang berpendapat bahwa hari Arafah
itu adalah nama lain tanggal 9 dari bulan Dzulhijjah, bukan berkaitan dengan wuquf
Arafah.
Maka jelas disini bahwa kalimat:
"Hari Arafah menunjukkan waktu dan tempat sekaligus." Adalah tambahan
sendiri oleh penulis artikel dan merupakan bentuk tadlis atau minimal kesalahan
ilmiah yang parah.
Karena jika kita buka di bagian
lain dari kitab 'Umdatul Qari, misalnya pada jilid ke 2 halaman 259 sang imam juga
menyatakan hal yang sama:
قوله من عرفة على وزن فعلة
اسم للزمان وهو اليوم التاسع من ذي الحجة وهذا هو الصحيح
"Perkataan Arafah itu atas wazan Fa'alah merupakan
nama untuk waktu, yaitu tanggal ke-9 dari bulan Dzulhijjah dan ini adalah yang shahih."
Pendapat ulama lainnya.
Pendapat yang menyatakan bahwa hari Arafah itu
adalah nama lain dari 9 bulan Dzulhijjah, bukan nama untuk waktu wuquf di arafah
jama'ah haji, juga dinyatakan oleh para ulama-ulama lainnya. Dintaranya:
1. Al Imam Nawawi rahimahullah:
بِدَليل الحَدِيثِ السَّابِقِ،
وَكَذَلكَ يَوْمَ النَّحْرِ، وَكَذَا يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ اليَوْمُ الذِي يَظْهَرُ
للنَّاسِ أَنَّهُ يَوْمَ عَرَفَةَ، سَوَاءٌ كَانَ التَّاسِعَ أَوْ العَاشِرَ
“Begitu pula dengan hari ‘Arafah,
ia adalah hari yang nampak bagi orang-orang bahwasannya hari itu adalah hari ‘Arafah.
Sama saja apakah itu hari kesembilan atau hari kesepuluh di tempat yang lain (selain
Makkah)." [1]
2. Al imam Ibnu Qudamah al Hanbali
فأما يوم عرفة: فهو اليوم
التاسع من ذي الحجة
"Adapun hari arafah adalah
hari kesembilan dari Dzulhijjah." [2]
3. Al Imam Ibnu Abidin:
يُفْهَمُ مِنْ كَلَامِهِمْ
فِي كِتَابِ الْحَجِّ أَنَّ اخْتِلَافَ الْمَطَالِعِ فِيهِ مُعْتَبَرٌ فَلَا يَلْزَمُهُمْ
شَيْءٌ لَوْ ظَهَرَ أَنَّهُ رُئِيَ فِي بَلْدَةٍ أُخْرَى قَبْلَهُمْ بِيَوْمٍ وَهَلْ
يُقَالُ كَذَلِكَ فِي حَقِّ الْأُضْحِيَّةِ لِغَيْرِ الْحُجَّاجِ؟ لَمْ أَرَهُ وَالظَّاهِرُ
نَعَمْ؛ لِأَنَّ اخْتِلَافَ الْمَطَالِعِ إنَّمَا لَمْ يُعْتَبَرْ فِي الصَّوْمِ لِتَعَلُّقِهِ
بِمُطْلَقِ الرُّؤْيَةِ، وَهَذَا بِخِلَافِ الْأُضْحِيَّةِ فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا كَأَوْقَاتِ
الصَّلَوَاتِ يَلْزَمُ كُلَّ قَوْمٍ الْعَمَلُ بِمَا عِنْدَهُمْ فَتُجْزِئُ الْأُضْحِيَّةُ
فِي الْيَوْمِ الثَّالِثَ عَشَرَ وَإِنْ كَانَ عَلَى رُؤْيَا غَيْرِهِمْ هُوَ الرَّابِعَ
عَشَرَ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
"Telah difahami dari perkataan mereka dalam
kitab Haji bahwa perbedaan mathla’ dianggap sebagai faktor yang diterima, maka tidak
diwajibkan adanya konsekuensi apapun bagi mereka jika negara lain melihat hilal
sehari sebelum hari di Mekkah.
Dan apakah bisa dianggap hal serupa untuk kasus
Qurban bagi selain yang berhaji? Menurut saya demikian pendapat yang benar. Karena perbedaan
mathla’ tidak dianggap dalam puasa kecuali karena keterkaitannya dengan ru’yah.
Dan ini tak berbeda dengan
udhiyyah, dan yang jelas bahwasanya hal tersebut sama seperti waktu shalat, dimana
diwajibkan bagi setiap kaum melakukannya sesuai waktu yang berlaku di tempatnya,
maka boleh berkurban di hari ke tiga belas sekalipun dalam ru’yah negara lain adalah
hari ke empat belas." [3]
4. Syaikhul Islam Zakariya
Al Anshari:
سن صوم يوم عرفة، وهو تاسع
ذي الحجة
"Disunnahkan untuk puasa
hari Arafah, yakni hari ke sembilan Dzulhijjah." [4]
5. Al Imam Kharsyi al Maliki:
(قَوْلُهُ: وَعَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ) هَذِهِ
الْمَوَاسِمُ الْمُشَارُ بِقَوْلِهِ وَغَيْرِهِ مِنْ الْمَوَاسِمِ، وَعَاشُورَاءُ وَنِصْفُ
شَعْبَانَ مَوْسِمٌ مِنْ حَيْثُ الصَّوْمُ وَغَيْرُهُ مِمَّا يُطْلَبُ فِيهِ، وَالْمَوَاسِمُ
جَمْعُ مَوْسِمٍ الزَّمَنُ الْمُتَعَلِّقُ بِهِ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ وَلَمْ يُرِدْ
بِعَرَفَةَ مَوْضِعَ الْوُقُوفِ بَلْ أَرَادَ بِهِ زَمَنَهُ وَهُوَ الْيَوْمُ التَّاسِعُ
مِنْ ذِي الْحِجَّةِ
"Hari Arafah dan Asyura
-sebagaimana yang disebutkan- adalah salah satu dari musim-musim ibadah. Jika ditinjau
dari sisi puasa, maka Hari Asyura’ dan Nisfu Sya’ban dan yang lainnya adalah musim
ibadah yang dituntut untuk berpuasa pada musim tersebut.
Musim adalah waktu yang terkait
dengan suatu hukum syariat. Bukanlah yang dimaksud dengan lafal “Arafah” adalah
tempat wukuf, akan tetapi yang dimaksud adalah waktunya, yaitu waktu wukufnya, 9
Dzulhijjah.” [5]
6. Al imam Ibnu Hajar al Asqalani:
كلاما ظاهره أن هذه المسألة
كانت مشتهرة عند الناس أنها راجعة إلى اختلاف المطالع
"Pendapat yang benar bahwa dalam masalah ini
(puasa Arafah) telah masyhur di sisi orang banyak bahwa ia di kembalikan kepada
perbedaan mathla'." [6]
7. Syaikhul islam Ibnu Taimiyah:
سئل شيخ الإسلام رحمه الله،
عن أهل مدينة رأى بعضهم هلال ذي الحجة، ولم يثبت عند حاكم المدينة فهل لهم أن يصوموا
اليوم الذي في الظاهر التاسع.وإن كان في الباطن العاشر؟ فأجاب: نعم. يصومون التاسع
في الظاهر المعروف عند
الجماعة، وإن كان في نفس الأمر يكون عاشرا... فإن في السنن عن أبي هريرة عن النبي صلى
الله عليه وسلم أنه قال: صومكم يوم تصومون، وفطركم يوم تفطرون، وأضحاكم يوم تضحون.
Beliau ditanya tentang kasus penduduk Madinah yang
sebagiannya melihat hilal Dzulhijjah, tapi itu tidak diterima oleh gubernur Madinah,
apakah mereka berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjahnya padahal sebenarnya itu 10 Dzulhijjah?
Beliau menjawab: "Ia dia ikut berpuasa pada
tanggal 9 Dzulhijjah sesuai yang dilakukan oleh orang banyak. Walaupun itu bisa
jadi keadaannya sudah tanggal 10. Dan disebutkan dalam kitab sunan dari riwayat
Abu Hurairah bahwa Nabi shalallahu'alaihi wassalam bersabda: Puasalah kalian pada
hari kami berpuasa, dan berbukalah pada hari kami berbuka, dan beridul Adha pada
hari kami ber-idul Adha." [7]
Demikianlah bahasan awal ini. Dimana kesimpulannya
adalah mayoritas ulama dari berbagai madzhab telah menyatakan bahwa hari Arafah
itu kaitannya dengan tanggal 9 bulan Dzulhijah. Sehingga dari sini saja - Tidak
usah menunggu tulisan saya ini selesai - kita sudah bisa tahu bahwa klaim "Ijma"
tersebut adalah kekeliruan yang nyata.
Dan tidak usah jauh-jauh kita melihat definisi
ini, cukup buka kamus seperti al Muhith kita akan dapatkan lafadz yang semakna:
يومُ عَرَفَةَ: التاسِعُ
من ذي الحِجَّةِ.
"Hari Arafah: 9 dari Dzulhijah.
Bahasan masih akan kita lanjutkan ke bab-bab berikutnya,
minimal di dua bahasan yakni:
1. Dalil mayoritas ulama bahwa puasa Arafah adalah
tanggal 9 Dzulhijjah.
2. Bantahan dalil-dalil klaim Ijma' bahwa hari
Arafah adalah waktu Wuquf di Arafah.
Wallahu a'lam.
Referensi:
1. Al Majmu' Syarh al muhadzdzab (5/27)
2. Al Mughni (4/446)
3. Hasyiyah Ibnu Abidin (2/394)
4. Fathul wahhab (1/145)
5. Syarh Mukhtashar Al-Khalil (2/234)
6. Inba'il Ghamar ( 3/350)
7. Majmu' Fatawa (2/460)
============================
Disusun oleh: Ahmad Syahrin Thoriq
Posting Komentar untuk "Meluruskan Penukilan Yang Salah Atas Hari Arafah - Ahmad Syahrin Thoriq"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.