Apakah Sama antara Musik dengan Syair? – Kajian Ilmiah Kontemporer
Kabeldakwah.com |
Apakah Sama antara Musik
dengan Syair?
بسم الله الرحمن الرحيم
Semakin jauh suatu zaman
dengan masa kenabian; maka menjadi semakin tersamarkan pula hakikat kebenaran.
Bukan disebabkan kebenaran itu yang tidak terang, namun lebih disebabkan kepada
banyaknya pihak-pihak yang membuat kebenaran itu menjadi bias, baik karena
kesengajaan ataupun tidak.
Nampak begitu tepat gambaran yang disampaikan oleh Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu (W: 32 H) berikut dengan masa kita,
إنكم أصبحتم في زمان
كثير فقهاؤه، قليل خطباؤه، قليل سؤاله، كثير معطوه، العمل فيه خير من العلم،
وسيأتي زمان قليل فقهاؤه، كثير خطباؤه، كثير سؤاله، قليل معطوه، العلم فيه خير من
العمل.
"Sesungguhnya kalian saat ini (masa
sahabat dan tabi'in, pent) berada pada zaman yang banyak pakar fikihnya namun
sedikit penceramahnya, sedikit peminta-pemintanya namun banyak yang gemar
memberi; amalan pada masa ini lebih baik dari pada ilmu. Dan sungguh akan
datang suatu zaman yang sedikit ahli fikihnya namun banyak penceramahnya,
banyak yang meminta-minta namun sedikit yang gemar memberi. Mendalami ilmu agama pada
saat itu lebih baik dari ibadah sunnah." (Ash-Shahiihah (3189))
Dan satu dari sejumlah
kebenaran yang berusaha dijadikan bias (samar), ialah permasalahan musik. Dalam
kondisi ulama-ulama terdahulu semuanya bersepakat akan haramnya musik; lantas
ada saja satu dua oknum yang berusaha mengaburkannya dengan mengatakan bahwa
sya'ir sama dengan musik. Sebagaimana halnya sya'ir yang berisikan kebaikan itu
boleh; maka demikian pula dengan musik!
Tentu ini ucapan yang
tidak benar, karena itulah, kami tergerak untuk menerangkan hakikat
permasalahan ini dengan penukilan dari ulama-ulama terdahulu.
Sebelum masuk dalam
pembahasan, penting kita mengenal istilah-istilah yang akan dikaji, sehingga
bisa terhindar dari mencampur aduk antara sesuatu yang berlainan jenis.
Tulisan ini berisi
pendahuluan, inti pembahasan, dan kesimpulan. Wabillaahi at-Taufiiq.
🗒 PENDAHULUAN
📬 Istilah Bahasa Indonesia
1. Musik dalam KBBI
disebutkan bahwa musik memiliki dua makna: mu·sik n 1 ilmu atau seni menyusun
nada atau suara dl urutan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk menghasilkan
komposisi (suara) yg mempunyai kesatuan dan kesinam-bungan; 2 nada atau suara
yg disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan
(terutama yg menggunakan alat-alat yg dapat menghasilkan bunyi-bunyi itu);
2. Lagu dalam KBBI: la·gu
n 1 ragam suara yg berirama (dl bercakap, bernyanyi, membaca, dsb): bacaannya
lancar, tetapi kurang baik -- nya
3. Nyanyi dalam KBBI:
nya·nyi v, ber·nya·nyi v mengeluarkan suara bernada; berlagu (dng lirik atau
tidak): bekerja sambil ~ dapat mengurangi kelelahan;
4. Syair dalam KBBI
dimaknakan -salah satunya- dengan puisi, dan puisi ialah: pu·i·si n 1 ragam
sastra yg bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan
bait; 2 gubahan dl bahasa yg bentuknya dipilih dan ditata secara cermat
sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan
tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus.
📬 Kesimpulan istilah
Indonesia
1. Musik: nada yang
disusun. Penggunaan utamanya yang menggunakan alat-alat (baca: alat musik).
2. Lagu: ragam suara yang
berirama (naik turun secara teratur). Contoh jelasnya seperti yang tertera
dalam nukilan dari KBBI di atas, "Bacaannya lancar, tetapi kurang baik
lagunya." Dari sini kita pahami, lagu berbeda dengan musik!
3. Nyanyi: mempunyai arti
yang agak berdekatan dengan lagu. Hanya saja nyanyi, lebih terarah pada
perbuatannya itu sendiri.
4. Sya'ir: sastra yang
terikat dengan irama tertentu.
📬 Catatan Penting
Untuk memahami bahasan
ini dengan baik, kita harus membaca kembali kesimpulan empat istilah di atas
sambil menyimak point berikut:
● Keliru saat seseorang
menyamakan antara musik dengan semua yang berirama. Musik memang pasti
berirama, tapi tidak setiap yang berirama itu disebut musik.
● Musik berasal dari
alat-alat musik. Sedangkan lagu atau sya'ir -secara makna asal bahasa- hanya
berasal dari lantunan suara.
● Penggunaan istilah
"Lagu" di zaman kita sekarang memang sudah sangat identik dengan
"lantunan suara yang beriring alat musik". Padahal makna asalnya,
lagu tidak harus diiringi alat musik. Sebagaimana contoh tadi, "Bacaannya
lancar, tetapi kurang baik lagunya."
● Sya'ir dan ucapan yang
berirama namun kosong dari musik; hukumnya ialah seperti hukum ucapan biasa.
Akan datang perinciannya dalam pembahasan Hukum Ghina'.
🗒 INTI BAHASAN
📬 Istilah Bahasa Arab
serta Hukumnya
Setelah kita ketahui
sejumlah istilah bahasa Indonesia yang terkait dengan musik. Kita akan sebutkan
istilah Arab yang menjadi asal pembahasan dan kemudian kita sinkronkan dengan
istilah Indonesia tadi.
1⃣ ISTILAH PERTAMA
Al-Ghina' (الغناء) - makna
asalnya ialah suara.
Demikian disebutkan dalam
kamus-kamus bahasa Arab (baca: Tahdziib Al Lughoh pada kata ghain dan nun,
Mu'jam Maqoyiis Al-Lughoh IV/398, Mishbaah Al-Muniir, II/109).
Disebutkan dalam Lisaan
Al-'Arab (XV/139),
كل من رفع صوته ووالاه،
فصوته عند العرب غناء.
"Siapa saja yang
menaikkan intonasi suaranya secara bersambung. Maka suaranya disebut Ghina'
menurut orang Arab."
Lebih lanjut dalam
Al-Mishbaah (II/109) disebutkan, "Orang yang ber-ghina', yakni seorang
yang melantunkan suaranya."
Tersimpulkan dalam
tinjauan bahasa, bahwa ghina' berkisar pada dua makna, (1) Menaikkan suara dan
(2) Melantunkannya.
الغناء يطلق على رفع
الصوت، وعلى الترنم.
"Ghina' digunakan
pada makna meninggikan suara dan melantunkannya."(Al-Fath, IV/442)
Dalam penggunaan para
sahabat, ghina' juga dipakai untuk lantunan suara yang umumnya diiringi
alat-alat musik. (baca: Ithaaf Al Qori, hlm. 25).
Hukum Ghina'
Dari penyebutan istilah
Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab di atas kita dapati sebuah kesimpulan bahwa
padanan kata Ghina' ialah "lagu/nyanyian", yaitu suara yang bernada.
(terus diingat catatan penting di atas, bahwa tidak semua "yang berlagu/bernada
itu sama dengan musik").
Ghina' ialah suara yang
berirama (baca: atau yang dilantunkan). Maka pada asalnya, tidak ada hukum
haram yang masuk pada ghina' selama isinya ucapan yang mubah.
Ketika Al-Hafizh Ibnu
'Abdil Barr rahimahullah menyebutkan riwayat tentang Bilal yang mengeraskan dan
melantunkan suaranya saat bersya'ir, beliau lantas berkata,
وهذا الباب من الغناء
قد أجازه العلماء ووردت الآثار عن السلف بإجازته وهو يسمى غناء الركبان وغناء
النصب والحداء هذه الأوجه من الغناء لا خلاف في جوازها بين العلماء.
روى ابن وهب عن أسامة
وعبد الله ابني زيد بن أسلم عن أبيهما زيد ابن أسلم عن أبيه أن عمر بن الخطاب قال
الغناء من زاد الراكب أو قال زاد المسافر.
أخبرنا أحمد بن محمد
قال حدثنا أحمد بن الفضل قال حدثنا محمد بن جرير قال حدثنا إسماعيل بن موسى
الفزاري قال أخبرنا سفيان بن عيينة عن هشام بن عروة عن أبيه قال قال عمر نعم زاد
الراكب الغناء نصبا.
"Jenis ghina' (baca: suara yang berirama)
semacam ini ialah jenis yang dibolehkan oleh ulama. Terdapat sejumlah atsar
dari salaf akan bolehnya. Diistilahkan yang seperti ini dengan ghina' rukban
(berkendara), ghina' nashb, dan ghina' hudaa' (mengembala). Jenis-jenis ghina' ini
tidak diperselisihkan oleh ulama akan bolehnya.
الغناء من زاد الراكب.
"Ghina' ialah sangu
seorang musafir."
Dalam riwayat lain beliau berkata,
نعم زاد الراكب الغناء
نصبا
"Sebaik-baik bekal
musafir ialah ghina' nashb." (At-Tamhiid, XXII/197 - kami hilangkan sanad
yang disebutkan beliau pada terjemahan).
Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah menyatakan,
ويلتحق بالحداء هنا
الحجيج المشتمل على التشوق إلى الحج بذكر الكعبة وغيرها من المشاهد، ونظيره ما
يحرض أهل الجهاد على القتال، ومنه غناء المرأة لتسكين الولد في المهد.
"Disamakan dengan
bolehnya ghina' hudaa': ghina' (lantunan) Jama'ah haji yang mengandung
kerinduan pada haji, berisikan penyebutan tentang Ka'bah dan tempat-tempat lain
di Makkah. Dan yang semisal juga, ghina' untuk menyemangati jihad, dan ghina'
seorang ibu untuk menenangkan anaknya." (Al-Fath: X/538)
Ketentuan Ghina' Tetap
pada Hukum Mubah
Ahlul 'ilmi menyatakan,
bahwa lantunan suara yang tidak beriring dengan musik memiliki hukum sama
dengan ucapan biasa. Persis halnya dengan sya'ir yang berirama.
Diriwayatkan dari ucapan
Ibnu Sirin dan Asy-Sya'bi rahimahumallah, mereka menyatakan,
الشعر كلام فحسنه حسن
وقبيحه قبيح.
"Sya'ir hukumnya
seperti ucapan. Yang baik kandungannya; maka baik. Yang buruk; maka pun
buruk." (At-Tamhiid, XXII/196)
Jadi muatan ucapan yang
diiramakan tidak boleh ada unsur yang bisa membangkitkan syahwat, fanatisme
kelompok, celaan terhadap pihak tertentu, dan seterusnya.
Kemudian syarat lainnya
ialah, hendaknya lantunannya dengan lantunan yang biasa saja (tidak berlebihan
hingga menjadi sangat mirip dengan musik) dan tidak dilakukan oleh seorang
wanita dihadapan laki-laki; sehingga tidak menimbulkan fitnah (godaan) bagi yang
mendengarnya. (Syaikh Al 'Utsaimiin dalam Fataawaa Nur 'alad Darb)
Dan yang tak kalah
penting disebutkan oleh para ulama, ialah jangan sampai seseorang terlampau
menggandrungi hal-hal ini hingga membuat dia lupa dan berpaling dari Al Qur'an.
(baca: Fataawaa Islaamiyah, IV/533).
Meski sebatas yang kami
ketahui, tidak dijumpai di zaman kita sekarang yang memenuhi syarat di atas
dari kalangan penyanyi lagu-lagu religi. Sebab mayoritas yang ada (bila tidak
dikatakan keseluruhan), lantunannya pasti beriring dengan alat-alat musik.
2⃣ ISTILAH
KEDUA
Ma'azif (المعازف). Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan,
المعازف هي آلات اللهو
كلها، لا خلاف بين أهل اللغة في ذلك
"Ma'azif ialah semua
jenis alat-alat musik. Tidak ada perselisihan di kalangan ahli bahasa Arab
tentang makna ini." (Al-Ighatsah, I/260)
Menjadi catatan penting
disini, ialah bahwa sejumlah sahabat menggunakan istilah ghina' pada lantunan
suara yang diiringi alat musik. Sebab memang pada umumnya -baik dulu maupun
sekarang-, suara yang berirama itu diikuti dengan musik.
Terdapat ayat dan
beberapa hadits yang menunjukkan akan haramnya alat-alat musik. Kami akan
sebutkan yang paling jelas sisi penunjukan hukum haramnya.
(1) Dari Al-Qur'an
● Firman Allah subhanahu
wa ta'ala,
وَمِنَ النَّاسِ مَن
يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
"Dan di antara
manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk
menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan
Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan."
(QS. Luqman: 6).
Dijelaskan oleh Abdullah
bin Mas'ud dan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum bahwa makna perkataan yang tidak
berguna dalam ayat ini ialah musik. (baca: takhrij atsar ini dalam Ithaaf Al
Qori, hlm. 131)
Ketika perkataan tidak
berguna itu disifati sebagai alat menyesatkan manusia dari jalan Allah; ini
menunjukkan bahwa ia merupakan hal yang haram. Sebab tidak mungkin Allah
menyifati perkara yang halal sebagai penyesat.
(2) Dari Hadits
● Sabda Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa
sallam,
ﻟَﻴَﻜُﻮْﻧَﻦَّ ﻓِﻲ ﺃُﻣَّﺘِـﻲ
ﺃَﻗْﻮﺍﻡٌ ﻳَﺴْﺘَـﺤِﻠُّﻮﻥَ ﺍﻟﺤُﺮَّ ﻭﺍﻟﺤَﺮِﻳْﺮَ ﻭﺍﻟـﺨَﻤْﺮَ ﻭﺍﻟـْﻤَﻌَﺎﺯِﻑَ.
“Sungguh pada umatku
nanti akan ada kaum yang menganggap halal zina, sutera, khamr, dan Musik.” HR.
Al Bukhari secara ta'liq (5590), Abu Dawud (4039), dinilai shahih oleh Syaikh
Nashir dalam ash-Shahiihah.
Sisi yang menunjukkan
haramnya musik sangat jelas dalam hadits ini, yaitu sabda Rasulullah Shollallahu
‘alaihi wa sallam, "menganggap halal", artinya hukum asal perkaranya
ialah haram. Lebih jelas lagi, ialah ketika musik digandeng dengan perkara yang
disepakati akan haramnya; yaitu zina dan khamr. (baca:
Ash-Shahiihah, I/191)
● Dan hadits,
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ
عَلَيَّ، أَوْ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ
حَرَامٌ.
"Sesungguhnya Allah
telah mengharamkan khamr, judi, dan gendang. Dan setiap yang memabukkan itu
haram." (HR. Ahmad (2476) dengan sanad shahih.)
Jika gendang diharamkan
secara jelas dalam hadits ini; bagaimana lagi dengan alat musik lain yang lebih
kuat pengaruhnya. (baca: Ithaaf Al Qori, hlm. 233 - 260)
(3) Konsensus Ulama
Sisi lain menguatkan
benarnya konsekuensi hukum haram musik dari dalil di atas ialah adanya ijma'
(kesepakatan) yang telah dinukil oleh sejumlah ulama akan haramnya musik.
● Al-Qurthubi,
أما المزامير والأوتار
والكوبة: فلا يختلف في تحريم استماعها، ولم أسمع عن أحدٍ ممن يعتبر قوله من السلف
وأئمة الخلف من يبيح ذلك.
"Berkaitan dengan
alat musik tiup, yang bersenar, dan yang ditabuh; maka tidak diperselisihkan
ulama akan keharaman mendengarkannya. Aku tidak pernah mendengar satupun ucapan
dari tokoh yang mu'tabar, baik dari kalangan salaf maupun orang belakangan yang
membolehkan mendengarkan alat-alat musik ini." (Dinukil dalam Az-Zawajir II/193, oleh
Al-Haitami).
● Abu Zakariya An-Nawawi,
المزمار العراقي وما
يضرب به الاوتار حرام بلا خلاف.
"Seruling Irak dan
apa saja yang berupa petikan senar; hukumnya haram tanpa ada
perselisihan." (Raudhah
Ath-Thaalibiin, XI/228)
● Ibnu Rajab Al Hanbali,
وأما استماع آلات
الملاهي المطربة المتلقاة من وضع الأعاجم فمحرم، مجمع على تحريمه. ولا يعلم عن أحد
منه الرخصة في شيء من ذلك، ومن نقل الرخصة فيه عن إمام يعتد به فقد كذب وافترى.
"Menyimak alunan
alat-alat musik, terlebih lagi yang dari 'ajam ialah haram. Disepakati akan
keharamannya. Dan tidak diketahui ada satu ulama pun yang memberikan
keringanan. Maka siapa saja yang menukil rukhshah dari seorang imam yang
mu'tabar; maka ia telah berdusta dan mengada-ada." (Al Fath, VI/79).
● Ibnu Hajar Al Haitami Asy-Syafi'i,
ومن حكى فيها خلافا فقد
غلط، أو غلب عليه هواه حتى أصمه وأعماه ومنعه هداه.
"Siapa yang
mengatakan bahwa hukum mendangarkan alat-alat musik ini masih diperselisihkan;
maka dia telah salah. Atau mungkin dia telah dikalahkan oleh hawa nafsunya,
hingga menjadikannya tuli, buta, dan mencegah ia dari hidayah" (Kaffu
Ar-Ri'aa', II/306 - 307).
Dan masih banyak sederet
ulama lain yang menukil kesepakatan akan haramnya nyanyian yang beriring alat
musik, seperti Ibnul Jauzi, Ibnu Shalaah, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim dan yang
lainnya. (baca: Tash-hiih Ad Du'a, hlm. 75)
Segalanya Pasti Memiliki
Hikmah
Benar adanya bila musik
itu nikmat didengarkan; tapi saat syari'at telah mengharamkannya maka pasti
disana ada hikmah kenapa sampai diharamkan. Dan bila kita mengamati, musik
memang benar-benar memberikan pengaruh negatif kepada hati.
الغناء ينبت النفاق في
القلب، كما ينبت الماء الزرع.
"Musik bisa
menumbuhkan kemunafikan dalam hati; sebagaimana halnya air menumbuhkan
tanaman." (Abdullah bin Mas'ud, diriwayatkan Al-Baihaqi X/223)
Lebih dalam kita
menyaksikan, bahwa seorang yang telah teramat menggandrungi musik; dia akan
jauh dari Al-Qur'an.
Dikatakan oleh Imam Ibnul
Qayyim rahimahullah, "Kecintaan terhadap Al Qur'an dan rasa cinta untuk
mendengarkan musik tidak pernah bersatu pada hati seseorang" (Al-Kafiyyah
Asy-Syafiyyah, II/80)
📝 Kesimpulan Pembahasan
1. Melantunkan suara
tanpa alat musik hukum asalnya boleh apabila bersih dari hal-hal yang
terlarang, yakni bersih dari:
● Muatan ucapan yang
membangkitkan syahwat, fanatisme kelompok, celaan pada pihak tertentu, dst,
● Keserupaan identik
dengan musik,
● Dan tidak menjadikannya
sebagai kegemaran utama hingga membuat lupa dari Al Qur'an.
2. Kelirunya paham yang
menyamakan antara bolehnya lantunan sya'ir dengan musik. Karena ghina'
(lantunan suara) dan ma'azif (musik-musikan) ialah dua hal yang berbeda
berdasarkan pada keterangan di point ghina' dan ma'azif di atas. Jadi tidak
tepat bila hukumnya disamakan. [Bila kita mencermati dengan baik pembahasan di
atas; niscaya kita akan sampai pada kesimpulan ke dua ini].
3. Lantunan suara dengan
diiringi alat musik ialah haram, tanpa melihat isi dari liriknya. Berdasarkan
pada ayat Al Qur'an, hadits Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam, dan
sejumlah kesepakatan ulama yang telah kita nukil di atas.
Hanya Allah yang memberi
taufiiq.
Allahu a’lam bisshowaab.
Oleh: Abdullah
Disadur ulang oleh tim Kabeldakwah.com
Posting Komentar untuk "Apakah Sama antara Musik dengan Syair? – Kajian Ilmiah Kontemporer"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.