Ustadz Abu Nida Chomsaha bin Sofwan - Sesepuh Da’i Salafiyyin di Indonesia
Kabeldakwah.com |
Beberapa waktu lalu kami menyempatkan menyimak
beberapa video berita aktivitas Daurah Masyayikh di Batu, Malang, pada 30 Mei –
2 Juni 2023. Daurah tahunan yang diinisiasi oleh STAI Ali bin Abi Thalid
Surabaya ini menginjak usianya ke-22 pada tahun ini. Syaikh Prof. Dr. Basim
Al-Jawabirah dan Syaikh Utsman Al-Khamis menjadi tamu istimewa pada kesempatan
kali ini.
Ditengah menyimak video aktivitas Dauroh,
nampak seorang peserta yang terlihat sudah sangat sepuh sekali diberikan
kesempatan untuk memberikan testimoni. Jenggotnya sudah memutih semua. Murah
senyum. Kata-katanya sangat lembut. Bergamis putih sederhana. Namun begitu,
usia dan keadaan tak mengendorkan semangat sama sekali.
Sosok Beliau tentu tak asing bagi para
pemerhati Dakwah Salafi di Indonesia. Hasil gerakan dakwah Salafiyyin yang hari
ini dirasakan, salah satunya merupakan hasil kontribusi besar dari dakwah
Beliau.
Nama asli beliau adalah Chomsaha bin Sofwan. Namun Beliau lebih dikenal dengan nama Abu Nida.
Lahir di Banyutengah, Panceng, Gresik, Jawa
Timur pada tahun 1954. Usia Beliau kini sekitar 69 tahun.
Beliau lahir dalam lingkungan keluarga Muslim
yang bernaung dibawah organisasi Persyarikatan Muhammadiyah.
Masa belajar Beliau ketika kecil Beliau
habiskan selama 6 tahun di Madrasah Ibtida’iyah (MI) Al-Ma’arif yang dikelola
oleh organisasi Nahdhatul Ulama (NU).
Selanjutnya Beliau melanjutkan belajar di
Pendidikan Guru Agama (PGA) Pertama Muhammadiyah selama 3 tahun dan PGA Atas
Muhammadiyah selama 3 tahun.
Setelahnya Beliau melanjutkan menuntut ilmu
selama 6 tahun di Pondok Pesantren Muhammdiyah Karangasem, Paciran, Lamongan.
Di Pondok Karangasem inilah Beliau menimba
ilmu langsung dari Pemimpin Pondok saat itu, K.H. Abdurrahman Syamsoeri (1925 –
1997) atau yang juga dikenal dengan panggilan Yi Man.
Sampai disini terlihat bagaimana Ustadz Abu
Nida tumbuh besar dibawah didikan dan pengaruh pemikiran Muhammadiyah.
Menurut pengamatan kami, setidaknya ada 2 ciri
khas menonjol dari dakwah Persyarikatan Muhammadiyah yang mungkin sangat
membekas pada diri Ustadz Abu Nida, yaitu dakwah pemurnian agama Islam dari TBC
(takhayul, bid’ah dan, churafat) dan pentingnya pendidikan/tarbiyah generasi
muslim melalui pendirian madrasah/sekolah untuk mewujudkan generasi Islam
Berkemajuan.
Dua ciri khas tersebut bisa jadi yang kemudian
menginspirasi Beliau untuk teguh melanjutkan estafet dakwah pemurnian agama
Islam dengan mendirikan Yayasan Majelis At-Turots Al-Islamy yang berfokus pada
pendidikan bercorak tashfiyyah dan kaderisasi Da’i, yang kini menaungi berbagai
Pondok Pesantren/Ma’had/Sekolah Tinggi yang tersebar di sejumlah wilayah di
Indonesia.
Sebelum lanjut, sedikit akan kami sampaikan
mengenai pofil K.H. Abdurrahman Syamsori atau Yi Man, yang merupakan guru dari
Ustadz Abu Nida ini.
Meski akhirnya memutuskan untuk ikut berdakwah
melalui Muhammadiyah, Yi Man ternyata cukup lama menuntut ilmu di pondok-pondok
tradisional, seperti di Pondok Pesantren Tulungagung, Jawa Timur pada sekitar
tahun 1940 – 1944, Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur pada tahun
1945, dan Pondok Pesantren Kedunglo, Bandar Kidur, Kediri, Jawa Timur pada
sekitar tahun 1945 – 1946.
Titik balik Yi Man terjadi ketika Beliau
semakin erat dan intens bertukar pikiran dengan murid-murid K.H. Ammar Faqih
Maskumambang yang berdomisili di Paciran dan sekitarnya, diantaranya adalah
Kyai Amin Musthofa – guru dan sekaligus mertua dari Yi Man –, dan Kyai Ridhwan
Syarqowi. Selain itu Yi Man juga berhubungan dengan dekat dengan H. Sa’dullah,
yang merupakan tokoh perintis Muhammadiyah di Desa Blimbing, Lamongan. Yi Man
juga aktif dalam Masyumi dan banyak mendapat pengaruh pemikiran-pemikiran
reformis dari tokoh-tokoh Masyumi saat itu, seperti Buya M. Natsir dan K.H.
Misbach.
Kedekatannya dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah
dan Masyumi mengantarkan Beliau ikut mengembangkan organisasi Muhammdiyah di
Lamongan, dan puncaknya adalah ketika Beliau didaulat sebagai Ketua
Muhammadiyah Daerah Lamongan dari tahun 1977 – 1992 dan menjadi anggota Majelis
Tarjih dan Tanwir Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1978 – 1992.
Kedekatan Yi Man dengan Buya M. Natsir membawa
sejarah baru bagi Ustadz Abu Nida. Setelah lulus dari Pesantren Karangasem, Yi
Man kemudian mengutus Ustadz Abu Nida untuk mengikuti program Da’i-Da’i
transmigran yang diselenggarakan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)
yang dipimpin oleh Buya M. Natsir. Beliau tidak sendiri, ada beberapa murid
lainnya yang ikut serta juga, diantaranya adalah Ustadz Aunur Rofiq Ghufron,
sahabatnya yang kelak akan saling bahu membahu menggerakan dakwah.
Pengalaman menjadi Da’i transmigran di
pedalaman nampak sangat berkesan pada diri Ustadz Abu Nida. Dalam beberapa
kesempatan – sebagaimana dapat di lihat pada beberapa rekaman video wawancara
Beliau di Youtube – sering Beliau menceritakan kesannya tentang bagaimana Buya
M. Natsir mendidik para da’i, terutama dalam hal keikhlasan dalam berdakwah.
Sebelum diterjunkan ke daerah terpencil, Buya
M. Natsir dan DDII membekali para da’i dengan pelatihan sosiologi pendesaan,
penyuluhan pertanian, dan manajemen di Pondok Pesantren Darul Falah, Bogor
selama kurang lebih tujuh bulan. Ustadz Abu Nida sendiri setelahnya dikirim
untuk berdakwah di daerah Buluh Merindu, Dedai, Kabupaten Sintang, Kalimantan
Barat, selama kurang lebih 2,5 tahun.
Pada sekitar tahun 1979/1980, babak baru dalam
kehidupan Ustadz Abu Nida dimulai. Beliau mendapatkan tawaran beasiswa untuk
melanjutkan studi ke Fakultas Ushuluddin, Universitas Muhammad bin Su’ud,
Riyadh, Arab Saudi. Beasiswa ini Beliau dapatkan atas rekomendasi dari Buya M.
Natsir.
Menurut sebagian sumber, beasiswa ini bermula
saat Buya M. Natsir dianugerahi penghargaan King Faishal Award oleh Kerajaan
Arab Saudi pada tahun 1980. Saat itu, Buya M. Natsir meminta agar hadiah
kepadanya tersebut cukuplah dengan diberikannya kesempatan kepada pelajar
Muslim di Indonesia untuk belajar di Universitas di Arab Saudi. Maka sejak saat
itu, pelajar Musim Indonesia memiliki kesempatan yang luas untuk mendapatkan
beasiswa pendidikan di Arab Saudi.
Ustadz Abu Nida tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Diambil-lah tawaran beasiswa tersebut. Sahabatnya – Ustadz Aunur
Rofiq – ternyata ikut mendapatkan beasiswa juga.
Di kemudian hari keduanya juga bersahabat
akrab dengan rekan lainnya yang sama-sama mendapat beasiswa yang memiliki
kesamaan visi dalam dakwah, yaitu Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin.
Ketiganya kelak akan mengukir takdirnya
masing-masing dengan mendirikan lembaga dakwah yang menjadi pusat tarbiyah dan
kaderisasi da’i-da’i Salafiyyin di Nusantara.
Kami pernah sedikit mengulas kepeloporan 3
sahabat ini dalam gerakan dakwah dan nasab keilmuan mereka dalam sebuah tulisan
yang kami posting di facebook, tetapi entah kenapa tulisan tersebut diblokir
oleh pihak facebook.
Alhamdulillah, sebagian kawan menyempatkan
untuk menyalinnya disini:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid02jLrv3KJ4ougdbH3HKHq4EFr7pdT4fdiqw1fWCWwbKC7wibXXWytoB7ExDvgcUP6Fl&id=100005254360518&mibextid=Nif5oz
Selama masa kuliah, Ustadz Abu Nida banyak
menghabiskan waktunya di kantor DDII cabang Riyadh untuk mengurus segala macam
pekerjaan sampai menyelesaikan studinya kurang lebih 6 tahun dan ikut membantu
mencari dana di Riyadh.
Pada 1985 Ustadz Abu Nida pulang ke tanah air
dan kemudian mendapat penugasan di DDII Solo. Selanjutnya pada 1987, Beliau
ditugaskan ke DDII Yogyakarta dan ditugaskan mengajar di Pondok Pesantren Ibnul
Qayyim yang ada di dusun Gandu, Sendangtirto, Berbah, Sleman, yang diasuh oleh
K.H. Hisyim Syafi’i.
Selanjutnya, dengan dukungan Bapak Saifullah
Mahyuddin (Ketua Kantor Cabang DDII Yogyakarta), Beliau kemudian mengajar di
forum-forum kajian Islam di sekitar kampus UGM dan IKIP Yogyakarta (sekarang
UNY), termasuk di Gelanggang UGM. Beliau membuka halaqah-halaqah dan
daurah-daurah di sejumlah masjid kampus, seperti Masjid Mardiyah di dekat
Fakultas Kedokteran UGM, Masjid Mujahidin dekat IKIP Yogyakarta, Masjid Siswa
Graha di Pogung, dan Masjid STM di Kentungan.
Bersama para mahasiswa, Ustadz Abu Nida
mengadakan dauroh mahasiswa setiap liburan bertempat di Pondok Pesantren Ibnul
Qoyyim, Gandu. Daurah Mahasiswa satu bulan ini sering diadakan sampai beberapa
angkatan sehingga dikenal dengan sebutan Daurah Ibnul Qayyim. Para alumnus
daurah tersebut diharapkan kelak menjadi penyambung dakwah Salafiyah di
daerahnya masing-masing.
Selanjutnya pada sekitar tahun 1993, Ustadz
Abu Nida mulai merintis lembaga pendidikan setingkat ibtidaiyah dengan nama
Ma’had Tahfizhul Quran. Dimulai dengan menyewa sebuah rumah di Dusun Sedan,
Desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Pada tahun yang sama,
Beliau bersama beberapa da’i mendirikan Yayasan Majelis At-Turots Al-Islamy
yang bergerak di bidang dakwah dan sosial.
Pada tahun 1995, Beliau membangun Ma’had
Jamilurrohman As-Salafi yang berlokasi di Banguntapan, Bantul, atas bantuan
Syaikh Muhammad Jabir seorang donatur dari Arab Saudi. Selanjutnya pada tahun
1996, Ma’had Tahfizhul Qur’an di Sleman dipindahkan ke Ma’had Jamilurrohman di
Bantul.
Tahun 2000 mulailah dibangun Islamic Centre
Bin Baz pada lahan seluas 2 Hektar. Pada tahun itu pula Ma’had Tahfizhul Quran
pindah ke Islamic Center Bin Baz.
Tantangan dan rintangan dakwah tentu Beliau
hadapi juga. Bagi yang mengikuti sejarah percabangan gerakan salafi di
Indonesia, tentu sudah sangat ma’ruf tentang bagaimana Beliau mendapat hantaman
bertubi-tubi dari saudara-saudaranya sesama salafi – bahkan yang notabene masih
murid-murid Beliau sendiri – dalam permasalahan-permasalahan yang sebetulnya
bisa diselesaikan dengan lapang dada. Segala macam tuduhan, fitnah, dan
laqab-laqab buruk Beliau hadapi dengan sabar dan ketinggian akhlak.
Dengan kesabaran dan ketekunan, Ustadz Abu
Nida memilih untuk tetap fokus mengembangkan dakwah. Dibawah bendera Yayasan
Majelis Atturots Al-Islamy, Beliau terus mengembangkan sayap dakwah di bidang
yang lain. Pada tahun 2009, Beliau membuka Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Madani
yang berlokasi di Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul. STIKes Madani ini
mempunyai 3 Program Studi: S1 Keperawatan, D3 Kebidanan dan D3 Farmasi. Beliau
juga mendirikan sebuah Sekolah Tinggi Agama Islam di Piyungan, Bantul, yang dinamakan
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Madani Yogyakarta yang memiliki 2 program
studi, yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Pendidikan Bahasa Arab (PBA).
Untuk Islamic Center Bin Baz sendiri per tahun
2022 telah memiliki 26 cabang yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia.
Dalam sebuah penuturannya kepada salah seorang
Da’i (Ustadz Abu Yusuf Akhmad Ja’far), Ustadz Abu Nida pernah menyampaikan:
“Ana berdoa kepada Allah supaya tidak wafat dulu sebelum Ponpes Bin Baz 50
cabang.”
(dinukil dari https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid02RSP8x9X8wmK2ftfSPfz6hxGcFPhWyKXrKscELsHRgYUFpdAHrTPSEgx46uJUGQCil&id=100000665230552&mibextid=Nif5oz
)
Semoga Allah menjaga Beliau dan memanjangkan
umur Beliau dalam keberkahan.
Rujukan:
Artikel berjudul “Konstribusi Pemikiran Abu
Nida` dalam Pengembangan Pendidikan Islam Pondok Pesantren di Indonesia”,
ditulis oleh Qiyadah Robbaniyah dan Roidah Lina dalam Jurnal Ilmu Pendidikan
dan Sains Islam Interdisipiner (JIPSI), Vol. 1, No. 1, Agustus 2022.
Skripsi berjudul “Geliat Perguruan
Muhammadiyah: Pesantren Karangasem Paciran Lamongan 1976-1983”, karya Robithoh
Islami, Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga,
tahun 2011.
Skripsi berjudul “Perkembangan Pondok
Pesantren Karangasem sebagai Lembaga Pendidikan di Lamongan Tahun 1948-1992”,
karya Ova Ariha Rusydiana, Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Semarang, tahun 2017.
Biografi Ustadz Abu Nida dimuat di https://abunida.atturots.or.id/?page_id=2.
Posting Komentar untuk "Ustadz Abu Nida Chomsaha bin Sofwan - Sesepuh Da’i Salafiyyin di Indonesia"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.