Baktimu Kepada Orang Tuamu - Ridho Allah Bagimu
Birrul Walidain
1. Kedudukan Birrul
Walidain dalam Islam
Salah satu perintah
agung dari Allah Ta’ala untuk hamba-Nya adalah perintah untuk birrul
walidain. Birrul walidain adalah hal yang diperintahkan dalam agama islam agar
seseorang dapat menggapai ridho Allah, yang ini menjadi tujuan hidupnya.
Seorang anak, meskipun
telah berkeluarga, tetap wajib berbakti kepada kedua orang tuanya. Kewajiban
ini tidaklah gugur bila seseorang telah berkeluarga. Namun sangat disayangkan,
betapa banyak orang yang sudah berkeluarga lalu mereka meninggalkan kewajiban
ini.
Oleh karena itu bagi seorang muslim, berbuat baik dan berbakti kepada orang tua bukan hanya sekedar memenuhi tuntunan norma susila dan norma kesopanan, namun yang utama adalah dalam rangka menaati perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Ta’ala berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا
“Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah
kepada kedua orang tua” (QS. An Nisa: 36).
Perhatikanlah, dalam ayat
ini Allah Ta’ala menggunakan bentuk kalimat perintah. Allah Ta’ala juga
berfirman:
قُلْ تَعَالَوْا اَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ اَلَّا
تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًاۚ
“Katakanlah: “Marilah
kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tua...”
(QS. Al An’am:
151)
Dalam ayat ini juga digunakan bentuk kalimat perintah. Allah juga berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا
“Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al Isra: 23)
2. Keutamaan dan Kedudukan Birrul Walidain dalam Islam
1.
Perintah
birrul walidain setelah perintah tauhid
Lihat QS. Annisa 36, QS. Al Baqarah 83, QS. Al
An'am 151, QS. Al Isra' 23.
Allah menggandengkan perintah birrul walidain Ini
dengan Perintah Tauhid, menunjukkan bahwa masalah birrul walidain adalah masalah
yang sangat urgen, mendekati pentingnya tauhid bagi seorang muslim.
2. Amalan yang Paling Utama
Ketika beliau ditanya oleh Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu:
أيُّ
العَمَلِ أحَبُّ إلى اللَّهِ؟ قالَ: الصَّلاةُ علَى وقْتِها، قالَ: ثُمَّ أيٌّ؟
قالَ: ثُمَّ برُّ الوالِدَيْنِ قالَ: ثُمَّ أيٌّ؟ قالَ: الجِهادُ في سَبيلِ
اللَّهِ قالَ: حدَّثَني بهِنَّ، ولَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزادَنِي
“Amal apa yang paling
dicintai Allah ‘Azza Wa Jalla?”. Nabi bersabda: “Shalat pada waktunya”.
Ibnu Mas’ud bertanya lagi: “Lalu apa lagi?”. Nabi menjawab: “Lalu birrul
walidain”. Ibnu Mas’ud bertanya lagi: “Lalu apa lagi?”. Nabi menjawab: “Jihad
fi sabilillah”. Demikian yang beliau katakan, andai aku bertanya lagi,
nampaknya beliau akan menambahkan lagi (HR. Bukhari
dan Muslim)
Para ulama memberi
catatan, ini berlaku bagi jihad yang hukumnya fardhu kifayah. Demikian juga birrul
walidain lebih utama dari semua amalan yang keutamaannya di bawah jihad fi
sabiilillah. Birrul walidain juga lebih utama dari thalabul ilmi selama bukan
menuntut ilmu yang wajib ‘ain, birrul walidain juga lebih utama dari safar
selama bukan safar yang wajib seperti pergi haji yang wajib. Adapun safar dalam
rangka mencari pendapatan maka tentu lebih utama birrul walidain dibandingkan
safar yang demikian.
3. Birrul Walidain adalah Salah Satu
Pintu Surga yang Ada di Dunia
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
الوالِدُ
أوسطُ أبوابِ الجنَّةِ، فإنَّ شئتَ فأضِع ذلك البابَ أو احفَظْه
“Kedua orang tua itu
adalah pintu surga yang paling tengah. Jika kalian mau memasukinya maka jagalah
orang tua kalian. Jika kalian enggan memasukinya, silakan sia-siakan orang tua
kalian” (HR. Tirmidzi, ia berkata: “hadits ini shahih”, dishahihkan Al Albani
dalam Silsilah Ash Shahihah no.914)
4.
Berbakti Kepada Orang Tua
Dapat Menghilangkan Kesulitan Yang Sedang Dialami
Lihat Kisah 3 Orang yang
terjebak didalam Gua dalam hadits Bukhori dan Muslim.
3. Kedudukan Ibu dalam
Perkara Birrul Walidain
1.
Dalil pertama
Dari Mu’awiyah bin Haidah
Al Qusyairi radhiallahu’ahu, beliau bertanya kepada Nabi:
يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال: أُمَّكَ، قُلْتُ:
مَنْ أَبَرُّ ؟ قال: أُمَّكَ، قُلْتُ: مَنْ أَبَرُّ: قال: أُمَّكَ، قُلْتُ: مَنْ
أَبَرُّ ؟ قال: أباك، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ
“wahai Rasulullah, siapa
yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa
lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa
lagi? Nabi menjawab: ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya”
(HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya hasan).
Hal ini disebabkan karena kesulitan yang dirasakan
ibu ketika hamil, bahkan terkadang ia bisa meninggal ketika itu. Dan
penderitaannya tidak berkurang ketika ia melahirkan. Kemudian cobaan yang ia
alami mulai dari masa menyusui hingga anaknya besar dan bisa mengurus diri
sendiri. Ini hanya dirasakan oleh ibu”.
2.
Dalil Kedua
Dari Atha bin Yassar, ia
berkata:
عن ابنِ عبَّاسٍ أنَّهُ أتاهُ رجلٌ، فقالَ: إنِّي خَطبتُ
امرأةً فأبَت أن تنكِحَني، وخطبَها غَيري فأحبَّت أن تنكِحَهُ، فَغِرْتُ علَيها
فقتَلتُها، فَهَل لي مِن تَوبةٍ؟ قالَ: أُمُّكَ حَيَّةٌ؟ قالَ: لا، قالَ: تُب إلى
اللَّهِ عزَّ وجلَّ، وتقَرَّب إليهِ ما استَطعتَ، فذَهَبتُ فسألتُ ابنَ عبَّاسٍ:
لمَ سألتَهُ عن حياةِ أُمِّهِ ؟ فقالَ: إنِّي لا أعلَمُ عملًا أقرَبَ إلى اللَّهِ
عزَّ وجلَّ مِن برِّ الوالِدةِ
“Dari Ibnu ‘Abbas, ada
seorang lelaki datang kepadanya, lalu berkata kepada Ibnu Abbas: saya pernah
ingin melamar seorang wanita, namun ia enggan menikah dengan saya. Lalu ada
orang lain yang melamarnya, lalu si wanita tersebut mau menikah dengannya. Aku
pun cemburu dan membunuh sang wanita tersebut. Apakah saya masih bisa
bertaubat? Ibnu Abbas menjawab: apakah ibumu masih hidup? Lelaki tadi menjawab:
Tidak, sudah meninggal. Lalu Ibnu Abbas mengatakan: kalau begitu bertaubatlah
kepada Allah dan dekatkanlah diri kepadaNya sedekat-dekatnya. Lalu lelaki itu
pergi. Aku (Atha’) bertanya kepada Ibnu Abbas: kenapa anda bertanya kepadanya
tentang ibunya masih hidup atau tidak? Ibnu Abbas menjawab: aku tidak tahu
amalan yang paling bisa mendekatkan diri kepada Allah selain birrul walidain
(terutama kepada Ibu)” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya shahih)
Pertanyaan: jika opini ibu
bertentangan dengan opini ayah, maka siapa yang diambil opininya?
Dijawab oleh Syaikh Musthofa al
‘Adawi: “Yang diambil opininya adalah yang lebih sesuai dengan kebenaran dan
lebih dekat kepada ketaqwaan dan ihsan. Adapun jika tidak bisa dibedakan mana
opini yang lebih shahih, maka jika perkaranya terkait dengan sikap atau
perlakuan baik, maka ibu didahulukan. Adapun jika perkaranya terkait dengan hal
umum yang memang bidangnya para lelaki maka opini ayah didahulukan. Wallahu
a’lam”.
Istri yang taat Pada Suami
Sebagian istri saat ini
melupakan keutamaan taat pada suami. Sampai-sampai menganggap ia harus lebih
daripada suami sehingga dialah yang mesti ditaati karena karirnya lebih tinggi
dan titelnya lebih mentereng. Wallahul
musta’an.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita mana saja yang
meninggal dunia lantas suaminya ridha padanya, maka ia akan masuk surga.” (HR.
Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854. Abu Isa Tirmidzi mengatakan bahwa
hadits ini hasan gharib. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini
hasan).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا
وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ
الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita
selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan),
serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar
taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini,
“Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1:
191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits
ini shahih)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا
أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ
الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud
kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada
suaminya” (Hadits hasan shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1159), Ibnu
Hibban (no. 1291 – al-Mawaarid) dan al-Baihaqi (VII/291))
4. Dosa Durhaka Kepada Kedua Orang Tua
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ألا
أنبِّئُكم بأكبرِ الكبائرِ. ثلاثًا، قالوا: بلَى يا رسولَ اللهِ، قال: الإشراكُ
باللهِ، وعقوقُ الوالدينِ
“maukah aku kabarkan
kepada kalian mengenai dosa-dosa besar yang paling besar? Beliau bertanya ini
3x. Para sahabat mengatakan: tentu wahai Rasulullah. Nabi bersabda: syirik
kepada Allah dan durhaka kepada orang tua” (HR. Bukhari – Muslim).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
أكبرُ
الكبائرِ: الإشراكُ بالله، وقتلُ النفسِ، وعقوقُ الوالدَيْنِ، وقولُ الزورِ . أو
قال: وشهادةُ الزورِ
“dosa-dosa besar yang
paling besar adalah: syirik kepada Allah, membunuh, durhaka kepada orang tua,
dan perkataan dusta atau sumpah palsu” (HR. Bukhari-Muslim dari sahabat Anas
bin Malik).
Bentuk Bentuk Durhaka
Kepada Kedua Orang Tua
1.
Menimbulkan gangguan
terhadap orang tua, baik berupa perkataan atau pun perbuatan yang mem-buat
orang tua sedih atau sakit hati.
2.
Berkata “ah” atau “cis”
dan tidak segera memenuhi panggilan orang tua.
3.
Membentak atau menghardik
orang tua.
4.
Bakhil atau kikir, tidak
mengurus orang tuanya, bahkan lebih mementingkan yang lain daripada mengurus
orang tuanya, padahal orang tuanya sangat membutuhkan. Seandainya memberi
nafkah pun, dilakukan dengan penuh perhitungan.
5.
Bermuka masam dan
cemberut di hadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan bodoh,
“kolot”, dan lain-lain.
6.
Menyuruh orang tua,
misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan. Pekerjaan tersebut sangat
tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua dan lemah. Tetapi,
jika si ibu melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri, maka tidaklah
mengapa, dan karena itu seorang anak harus berterima kasih dan membantu orang
tua.
7.
Menyebut kejelekan orang
tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua.
8.
Memasukkan kemungkaran ke
dalam rumah, misalnya alat musik, mengisap rokok, dan lain-lain.
9.
Lebih mentaati isteri
daripada kedua orang tua. Bahkan ada sebagian orang yang tega mengusir ibunya
demi menuruti kemauan isterinya. Nas-alullaahas salaamah wal ‘aafiyah
10. Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan
orang tua dan tempat tinggal ketika status sosialnya meningkat. Tidak diragukan
lagi, sikap semacam itu adalah sikap yang sangat tercela, bahkan termasuk
kedurhakaan yang keji dan nista.
Jangan Mengatakan Ah Kepada Kedua orang Tua
Allah Ta’ala berfirman:
وَقَضَىٰ
رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ
إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ
لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ
الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan Rabb-mu telah
memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan
hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya
atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau
membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah,
‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku
pada waktu kecil.’” (Al-Israa’/17: 23-24)
Bentuk-Bentuk Berbakti Kepada Orang Tua
1.
Bergaul bersama keduanya
dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
disebutkan bahwa memberi kegembiraan kepada seseorang mukmin termasuk shadaqah,
lebih utama lagi kalau memberi kegembiraan kepada orang tua kita
2.
Berkata kepada keduanya
dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya dibedakan adab ber-bicara antara
kepada kedua orang tua dengan ke-pada anak, teman atau dengan yang lain.
Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua.
3.
Tawadhu’ (rendah hati).
Tidak boleh kibr (sombong) apabila sudah meraih sukses atau memenuhi jabatan di
dunia, karena sewaktu lahir, kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan
pertolongan, kita diberi makan, minum, dan pakaian oleh orang tua.
4.
Memberi infaq (shadaqah)
kepada kedua orang tua, karena pada hakikatnya semua harta kita adalah milik
orang tua. Oleh karena itu berikanlah harta itu kepada kedua orang tua, baik
ketika mereka minta ataupun tidak.
5.
Mendo’akan kedua orang
tua. Di antaranya dengan do’a berikut:
رَبِّ
ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا
“Wahai Rabb-ku, kasihilah
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sewaktu kecil.”
Seandainya orang
tua masih berbuat syirik serta bid’ah, kita tetap harus berlaku lemah lembut
kepada keduanya, dengan harapan agar keduanya kembali kepada Tauhid dan Sunnah.
Bagaimana pun, syirik dan bid’ah adalah sebesar-besar kemungkaran, maka kita
harus mencegahnya semampu kita dengan dasar ilmu, lemah lembut dan kesabaran.
Sambil terus berdo’a siang dan malam agar orang tua kita diberi petunjuk ke
jalan yang benar.
Berbakti Kepada orang Tua
yang telah Meninggal Dunia
1.
Meminta ampun kepada
Allah ‘Azza wa Jalla dengan taubat nashuha (jujur) bila kita pernah berbuat
durhaka kepada keduanya di waktu mereka masih hidup.
2.
Menshalatkannya dan
mengantarkan jenazahnya ke kubur.
3.
Selalu memintakan ampunan
untuk keduanya.
4.
Membayarkan
hutang-hutangnya.
5.
Melaksanakan wasiat
sesuai dengan syari’at.
6.
Menyambung silaturrahim
kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya.
Posting Komentar untuk "Baktimu Kepada Orang Tuamu - Ridho Allah Bagimu"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.