Bencana Yang Timbul Karena Lidah
Inilah Bencana Lidah itu
1. Alkalaamu fimaa laa ya'nihi (Ungkapan yang tidak
berguna)
2. Fudhulul Kalaam (Berbicara yang berlebihan)
3. Al khoudh fil baathil (Ungkapan yang mendekati
kebatilan dan maksiat)
4. Al Miraa' wal jadaal (Berbantahan, bertengkar dan
debat kusir).
5. Al Khushumah à Istifa-ulhaq (Banyak omong yang
berlebih-lebihan) ingin mendapatkan haknya.
6. Al Mizaah (Bercanda dan senda gurau)
8. Al La'nu (Melaknat, walaupun binatang atau benda,
apatah lagi manusia)
9. Al
Ghina' wasy-syi'r (Bernyanyi dan bersyair)
10. Attaqo'ur fil kalaam (Berfasih-fasih dalam berbicara
untuk menarik perhatian)
11. Insyaa'ussirri (Membocorkan rahasia)
12. Alkadzabu (Dusta atau berbohong dalam perkataan,
janji dan sumpah)
13. Al Ghiibah (Menceritakan keburukan orang lain)
14. Al-madzhu (Sanjungan yang menjerumuskan)
16. An-namiimah (Adu domba atau menghasut)
Lidah adalah salah satu
ayat Allah, juga salah satu nikmat-Nya. Maka wajiblah manusia memeliharanya
dari dosa dan kemaksiatan, serta menjaganya dari ucapan-ucapan yang bisa
menimbulkan penyesalan dan kerugian. Lidah akan menjadi saksi pada hari kiamat.
"Pada hari ketika lidah, tangan dan kaki menjadi saksi atas mereka
terhadap apa-apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. 24:24)
Lidah termasuk nikmat
Allah SWT yang sangat besar bagi manusia. Kebaikan yang diucapkannya melahirkan
manfaat yang luas dan kejelekan yang dikatakannya membuahkan ekor keburukan
yang panjang. Karena dia tidak bertulang, dia tidak sulit untuk digerakkan dan
dipergunakan. Dia adalah alat paling penting yang bisa dimanfaatkan oleh
syaithan dalam menjerumuskan manusia.
1. Alkalaamu fimaa laa ya'nihi (Ungkapan yang tidak berguna)
Nabi Saw. telah bersabda:
"Barang siapa mampu menjaga apa yang terdapat antara dua janggut dan apa
yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin dia masuk surga. ( Muttafaq ‘alaih,
dari Sahl bin Sa'ad)
Kadang seseorang
mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan dan tanpa dipertimbangkan sebelumnya,
sehingga menimbulkan kerugian dan penyesalan.
"Sesungguhnya
seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang
menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara
timur dan barat". (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)
Kita hendaknya hanya
mengucapkan sesuatu yang bermanfaat, karena ucapan yang mubah dapat mengarah
kapada hal yang makruh atau haram.
"Barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berbicara yang baik atau
diam". (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)
Bila seseorang telah
mengerti bahwa ia akan dihisab dan dibalas atas segala yang ucapan lidahnya,
maka dia akan tahu bahaya kata-kata yang diucapkan lidah, dan dia pun akan
mempertimbangkan dengan matang sebelum lidahnya dipergunakan. Allah berfirman:
"Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, kecuali di dekatnya ada
malaikat Raqib dan ‘Atid." (QS.Qoof: 18)
2. Fudhulul Kalaam (Berbicara yang berlebihan)
Lidah memiliki kesempatan
yang sangat luas untuk taat kepada Allah dan berdzikir kepadanya, tetapi juga
memungkinkan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan berbicara berlebihan.
Semestinya kita mampu mengendalikan lidah untuk berdzikir dan taat kepada
Allah, sehingga bisa meninggikan derajat kita. Sedangkan banyak berbicara tanpa
dzikir kepada Allah akan mengeraskan hati, dan menjauhkan diri dari Allah ‘Azza
wa Jalla.
Menuju surga cepat dengan
lisan, menuju nerakapun cepat dengan lisan. Lisan bagai ‘jaring' kalau
menjaringnya baik akan mendapatkan hasil yang baik, sebaliknya jika tidak
hasilnya akan sedikit dan melelahkan. Kata orang lidah tidak bertulang, maka
lebih senang mengatakan apa-apa tanpa berfikir. Bahaya lidah ini sebenarnya
besar sekali. Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, "Tiada akan lurus
keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan lurus
hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. dan seorang hamba tidak akan memasuki
syurga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya."
Allah telah memberikan
batasan tentang pembicaraan agar arahan pembicaran kita bermanfaat dan
berdampak terhadap sesama, sebagaimana firman-Nya: "Tidak ada kebaikan
pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi shodaqoh atau berbuat ma'ruf atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena
mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang
besar." (Annisa:114)
3. Al khoudh fil baathil (Ungkapan yang mendekati kebatilan dan maksiat)
Hasan Al Bashri semasa mudanya pernah merayu
seorang wanita cantik di tempat sepi, perempuan itu menegur, "Apakah
engkau tidak malu? "Hasan Al Bashri menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu
mengawasi pula sekelilingnya, setelah ia yakin di tempat itu hanya ada mereka
berdua, dan tidak terlihat siapapun, Hasan Al Bashri bertanya, "Malu
kepada siapa? Di sini tidak ada orang lain yang menyaksikan perbuatan kita.
"Wanita itu menjawab, "Malu kepada Dzat yang mengetahui khianatnya
mata dan apa yang disembunyikan di dalam hati "
Lemas sekujur tubuh Hasan
Al Bashri. Ia menggigil ketakutan hanya karena jawaban sederhana itu, sehingga
ia bertobat tidak ingin mengulangi perbuatan jeleknya lagi. Karena itulah
Rasulullah saw. mengingatkan, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari kiamat, ucapkanlah yang bermanfaat, atau lebih baik diam saja".
Orang-orang sufi lebih
tekun menggunakan mulutnya untuk berdzikir dari pada berbincang-bincang,
memperingatkan dengan prihatin; Manusia paling sering tertimpa bahaya dan
paling banyak mendapatkan kesusahan adalah lidahnya terlepas dan hatinya
tertutup. Ia tidak dapat berdiam diri, dan kalau berkata tidak bisa
mengungkapkan yang baik-baik. contohnya tentang minum arak dan sebagainya.
4. Al Miraa' wal jadaal (Berbantahan, bertengkar dan debat kusir).
Jadaal adalah menentang
ucapan orang lain gunanya untuk menyalahkan secara lafadz dan makna. Perdebatan
dalam isu-isu agama dan ibadat tidak banyak faedah yang didapat kecuali jika
dilangsungkan dengan etika debat yang benar, hormat-menghormati antar peserta
dan dengan kekuatan ilmiah yang meyakinkan. Biasanya debat yang tidak dikawal
oleh akhlak lebih banyak mengundang kepada pertengkaran dan permusuhan yang
merugikan.
Tidak dinafikan debat
merupakan salah satu uslub yang sangat berkesan dalam menyebarkan Islam, dakwah
dan kebenaran, tetapi ia adalah langkah ketiga dan terakhir, yaitu setelah
terjadi kebuntuan dimana pendekatan dengan hikmah dan nasihat/pengajaran yang
baik tidak berhasil. Itupun dilangsungkan dengan akhlak dan adab yang tinggi.
Sehubungan dengan ini
Allah berfirman: "Serulah ke jalan Tuhanmu wahai Muhammad dengan hikmat
kebijaksanaan dan nasihat pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka
dengan cara yang lebih baik" (al-Nahl: 125). Ayat ini meletakkan debat
pada tempat terakhir, yaitu selepas pendekatan hikmah dan nasihat yang baik.
Debat menjadi langkah terakhir, bukan karena kurang berkesan atau tidak ada
faedahnya, tetapi karena kesukaran mematuhi aturan, akhlak, adab dan aturannya.
Mungkin banyak orang
bersedia debat, tetapi tidak banyak yang bersedia patuh kepada akhlak dan
adabnya. Perhatikan ayat di atas, ada dua perkataan yang disebut tatkala
memperkatakan uslub atau gaya dakwah, iaitu mawizah (nasihat) dan jidal
(debat). Kedua-duanya hendaklah dengan cara yang baik, malah jidal dikehendaki
dengan cara terbaik.
Debat selalu dirusak oleh
tidak adanya ikhlas antara dua kubu yang terkait. Pendebat selalu menginginkan
kemenangan sekalipun ia tidak mempunyai hujjah. Pendebat tidak bersedia
mengalah, sekalipun ternyata ia berada pada pihak yang salah. Pendebat akan
memilih untuk berkata ‘ya' apabila lawan berkata ‘tidak' dan berkata ‘tidak'
apabila lawan berkata ‘ya'.
Debat selalu dikuasai
oleh pihak yang handal bercakap, sekalipun tidak berisi. Keadaannya bagaikan
dua pasukan pemain sepak bola yang masing-masing mempunyai ‘suporter' yang
tidak pernah mengaku kalah sekalipun tidak pernah bermain. Kalaupun ada yang
mengaku, tetapi hanya dalam gelanggang, di luar belum tentu. Begitulah debat
yang tidak berakhlak dan biasa kita saksikan.
Etika debat yang perlu
dipatuhi untuk menghasilkan natijah yang baik bahkan sekaligus debat disifatkan
sebagai terbaik ialah:
1. Hindari penggunaan
bahasa yang rendah, tindakan yang kasar dan tidak menghormati pemikiran lawan.
Jika perlu, adakan penengah untuk menengahi perjalanan debat. Penengah perlu
diberi hak memberi kartu kuning atau merah, bahkan ‘menskor' pendebat yang
melanggar disiplin debat dan aturan.
2. Hendaklah lebih banyak
mencari titik persamaan antara kedua-dua pihak. Kurangi usaha mencari titik
perbedaan. Lebih banyak persamaan yang ditemui, lebih banyak hasil yang
diperoleh. Arahkan sepenuhnya kepada titik-titik persamaan.
Debat al-Quran yang
berlangsung antara Nabi s.a.w. dengan Yahudi dan Nashara bahkan dengan kaum
musyrikin menjadi contoh untuk dipelajari, disiplin, akhlak dan etikanya.
Dikemukakan di sini debat antara Nabi dengan musyrikin dalam ayat 24-26 surah
Saba' yang bermaksud:
"Bertanyalah wahai
Muhammad, siapa yang memberi rezeki kepada kamu dari langit dan bumi?
Terangkanlah jawabnya ialah Allah. Sesungguhnya tiap-tiap satu golongan, sama
ada kami atau kamu tetap di atas hidayat atau tenggelam dalam kesesatan.
Katakanlah: Tuhan akan menghimpunkan kita semua pada hari kiamat, kemudian akan
menyelesaikan krisis di antara kita dengan penyelesaian yang benar."
Debat nabi-nabi jelas
beretika dan halus budi bahasanya. Setiap patah kata dalam ungkapannya dapat
menjadi contoh bagi para da'i yang mencintai kebenaran. Tetapi sayang, sebagian
pendebat sekarang banyak menyimpang jauh dari panduan nabi-nabi, mereka
berdebat seolah-olah berperang. Segala isu yang muncul dalam dakwah, besar
kemungkinan ada persamaannya dalam politik.
5. Al Khushumah à Istifa-ulhaq (Banyak omong yang berlebih-lebihan) ingin
mendapatkan haknya.
"Orang yang amat
dibenci di sisi Allah adalah orang yang banyak omong." (al hadits) Mulutmu
Harimaumu, seyogyanya setiap pemimpin menjaga ucapannya. Sebab, salah-salah
mulutnya bisa menjadi sumber malapetaka. Pepatah di atas mengingatkan kita
semua agar lebih hati-hati dalam berucap dan mengeluarkan pernyataan. Bahwa
sumber dari segala bencana di dunia ini bukan pada bencana alam, letusan gunung
berapi, banjir, ataupun gempa bumi, melainkan bersumber pada mulut kita sendiri.
Menurut ilmu kedokteran,
dalam tubuh manusia terdapat banyak lubang, tetapi di antara lubang-lubang itu,
hanya lubang mulut yang paling banyak mengandung virus. Ada lubang telinga,
lubang hidung, bahkan lubang saluran pembuangan kotoran, tetapi semua itu tidak
ada artinya jika dibandingkan dengan lubang mulut. Mulut manusia memang
berbisa.
Secara lahiriyah mulut
manusia itu mengandung banyak virus, terlebih secara batiniah. Itulah sebabnya,
ketika Rasulullah didatangi seseorang yang hendak menanyakan tentang Islam
dengan satu pertanyaan yang tidak perlu lagi disusul dengan pertanyaan lainnya,
maka Rasulullah memberi jawaban singkat: Katakanlah aku beriman kepada Allah,
kemudian beristiqamalah. Sahabat tersebut bertanya, dengan cara apa kami memeliharanya?
Rasulullah memberi isyarat kepada lisannya.
Islam itu bukan terletak
pada simbol-simbol, seperti kiai, haji, tuan guru, syekh, atau habib. Letak
Islam itu pada tampilan akhlaqnya, terutama pada kemampuannya untuk menjaga
mulutnya.
Pertama, menjaga mulutnya
agar tidak kemasukan barang haram. Kedua, menjaga mulutnya agar tidak
mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya dikatakan. Masuk keluarnya sesuatu
dari mulut itu harus benar-benar dijaga, sebab letak keselamatan manusia, dunia
dan akhiratnya itu terletak pada kemampuannya untuk menjaga hal tersebut di
atas.
Abu Bakar ash-Shiddiq,
khalifah pertama pengganti Rasulullah pernah meletakkan tongkat di mulutnya
untuk menjaga ucapannya. Lalu ia menunjuk lisannya seraya berkata: "Inilah
yang dapat mengeluarkanku dari tempat tempat keluar (maksudnya: keluar dari
batas-batas kebenaran)."
Sebagai khalifah, Abu
Bakar dikenal orang yang paling hemat dalam berbicara. Ketika ditunjuk menjadi
khalifah, ia hanya berpidato sebentar.
Meskipun pidatonya
sebentar, tapi kata-katanya dihafal oleh para sahabat, juga kaum muslimin
hingga sekarang. Singkat, tapi padat. Penuh arti dan konsisten. Apa yang
dikatakan, itulah yang ada di dalam pikiran dan perasaannya. Antara ucapan dan
tindakannya tidak terdapat perbedaan. Antara ucapannya hari ini dan besok tidak
saling bertentangan.
Meskipun Abu Bakar
memerintah kaum muslimin dalam tempo yang amat singkat, tapi banyak hal yang
bisa diselesaikan. Ancaman disintegrasi (pemurtadan), kerusuhan rasial antar
suku dan golongan, dan berbagai gejolak dalam negeri segera dapat diatasi,
bukan dengan kata-kata, tapi tindakan. Bukan dengan lelucon, humor, apalagi
gaya ketoprakan.
Pemimpin model Abu Bakar
inilah yang kita nantikan saat ini untuk memimpin bangsa Indonesia menuju
gerbang masa depan.
Semua pemimpin seharusnya
dapat menahan diri dari perkataan yang tidak benar, mengandung fitnah, dan adu
domba. Mereka harus menahan diri dari ucapan yang dapat menyakiti atau melukai
perasaan orang lain, walaupun mengandung substansi yang benar. Pemimpin adalah
orang yang hemat berbicara, sedikit berkata-kata, dan berbicara seperlunya
saja.
Abu Bakar bin `Iyasy
mengatakan, ada empat orang pembesar kerajaan, yaitu raja India, raja Cina,
kaisar dan Sultan, berkumpul dalam suatu majelis. Salah seorang di antara
mereka berkata, "Aku menyesal atas apa yang pernah aku katakan dan aku
tidak menyesal atas apa yang belum aku katakan." Yang kedua menyahut,
"Jika aku berkata dengan sepatah kata, sesungguhnya perkataan itu
menguasaiku, sementara aku tidak menguasainya. Tetapi jika aku tidak
mengatakannya, aku dapat menguasai kata itu dan dia tidak dapat
menguasaiku."
Yang lain kemudian
menyampaikan pendapatnya tentang perkataan juga, "Sangat aneh orang yang
berbicara, terkadang perkataannya membahayakannya, terkadang pula mendatangkan
manfaat baginya." Sedangkan yang keempat mengakhiri pembicaraan dengan
satu pendapat, "Aku dapat menyangkal apa yang belum aku ucapkan. Aku lebih
mampu untuk melakukan itu daripada menyangkal apa yang telah aku ucapkan."
Sayang, masih banyak
pemimpin kita yang memble, kata-katanya sulit dipegang. Hari ini berkata A,
besok sudah berkata B. Jika A dan B itu merupakan kelanjutan, tak ada soal.
Yang menjadi masalah, bahwa B itu merupakan penyangkalan terhadap A. Karenanya,
rakyat bingung mana yang harus dipegang. Apalagi kata-katanya sering
ditafsirkan lain oleh para punggawanya sendiri, sehingga rakyat harus berpikir
seratus kali untuk memahami ucapan pemimpinnya sendiri.
Inilah kenyataan yang
kita hadapi sekarang, di mana para pemimpin bangsa berkata semaunya sendiri
tanpa memperhitungkan risiko yang bakal terjadi. Tidak disadari bahwa tiap kata
yang keluar dari mulutnya mengandung konsekuensi-konsekuensi. Salah ucap
sedikit saja bisa mendatangkan bencana, baik bagi dirinya maupun kepada orang
lain. Itulah sebabnya, kenapa Rasulullah memberi teladan kepada ummatnya agar
berkata yang benar dan baik atau diam. Jika tidak bisa berkata yang benar dan
baik, lebih baik diam. Diam itu emas.
Tentang hal ini, Allah
swt mengingatkan kita: "Tiada satu ucapan yang diucapkannya melainkan ada
di dekatnya para malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS Qaaf: 18)
Pemimpin yang ideal
adalah mereka yang sibuk dengan kerja dan kerja. Seluruh alam pikirannya hanya
dipenuhi dua hal, yaitu tanggung jawab kepada Allah swt, dan rakyat yang
menjadi tanggungannya. Karenanya, ia selalu sibuk bekerja dan bekerja, berpikir
dan berpikir. Matanya terbuka, telinga terbuka, pikirannya terbuka, dan hatinya
juga terbuka. Satu yang lebih banyak tertutup, yaitu mulutnya. Ia gunakan
mulutnya untuk berdzikir, memuji Asma Allah, memberi nasehat seperlunya, dan
membimbing bangsa menuju pulau cita-cita.
Sayang, pemimpin kita
masih jauh dari harapan. Begitu terpilih menjadi pemimpin, maka program
utamanya bukan pemulihan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan
menyelesaikan berbagai problem masa lalu, tapi yang dipikirkan pertama kali
adalah bagaimana mengamankan posisi dan melanggengkan kekuasaan. Kesibukannya
bukan mengurus rakyat, tapi memperbesar dukungan dan menghabisi lawan
politiknya. Oleh karenanya, jangan bertanya soal visi, missi, dan prioritas
program kepada pemimpin model ini. Tidak ada dan tak akan pernah ada. Yang ada
di otak kepalanya hanya satu, yaitu bagaimana mengamankan kekuasaan.
6. Al Mizaah (Bercanda dan senda gurau)
Becanda yang benar
sajalah yang dibenarkan dalam Islam. Rasullullah acapkali bercanda. Rasullullah
saw. bersabda: "Sesungguhnya saya (Nabi Muhammad saw) suka juga
bersedagurau dan saya tidak akan mengatakan kecuali yang benar-benar."
Seperti kisah Rasullullah bersama seorang nenek yang menanyakan apakah si
dia(nenek) tsb akan masuk syurga. Dan dijawab Rasul saw, bahwa hanya orang muda
saja penghuni syurga. Si nenek pun terkejut, dan akhirnya Rasullullah
menerangkan bahwa biarpun orang tua akan menjadi muda kembali bila masuk
syurga.
Rasullullah saw. berkata:
"Sesungguhnya engkau (hai ibu tua) tidak lagi berupa seorang tua-bangka
pada waktu itu (yakni setelah masuk syurga). Karena Allah Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung ".
Maksudnya: tanpa melalui kelahiran dan langsung menjadi gadis. "Dan Kami
jadikan mereka gadis-gadis perawan"
Pada hadits tersebut dan
hadits-hadits yang lain, banyak menceritakan bagaimana Rasullullah saw.
bercanda, dan sesungguhnya bercanda yang benar saja yang diperbolehkan.
Beberapa dai banyak yang menggunakan banyolan-banyolan dalam penyampaian
dakwahnya, terkadang sudah keterlaluan. Padahal Islam adalah agama yang serius,
bukan dijadikan bahan tertawaan. Masyarakat yang mendengar dai-dai ini
berbanyol, hanya mendapatkan ketawanya saja, sedangkan ilmunya hilang terbawa
gelak tawanya. Dan sesungguh Allah sangat murka pada sesuatu yang berlebihan,
termasuk ketawa. Padahal dalam suatu hadits yang menyebutkan bahwa sesungguhnya
bercanda itu menyempitkan hati. Di hadist tsb, menerangkan bahwa Rasullulllah
tak pernah terlihat palate (langit2 pada tenggorokan)-nya bila beliau sedang
ketawa, hanya senyuman-lah yang selalu menghiasi pribadi beliau saw.
7. Bidza'atul lisan wal qoulul faahisy was-sab (Ungkapan yang menyakitkan
(nyelekit), kata-kata jorok dan caci maki.
Secara sadar atau tidak
banyak kita jumpai perkataan yang menjurus kepada mencaci, menghina,
merendah-rendahkan, mengejek-ngejek dan mempermain-mainkan nama Allah,
sifat-sifat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, ayat-ayat-Nya dan
hukum-hukum-Nya serta hukum-hukum yang diterangkan oleh rasul-Nya. Dan juga
perkataan yang menolak, menafikan dan mengingkari segala perkara dari ‘alim
ulama' dimana semua orang tahu bahwa perkara itu dari agama.
Mislanya seperti katanya
mengenai mana-mana hukum Islam:
(1) "Hukum apa
ini?"
(2) "Hukum ini sudah
usang."
(3) "Zaman sekarang
tidak pantas diharamkan riba karena menghalangi kemajuan."
(4) "Dalam zaman
yang serba maju ini kaum wanita tak perlu dibungkus-bungkus."
(5) "Berzina jikalau
suka sama suka apalah haramnya?"
(6) "Minum arak
kalau dengan tujuan hendak menyehatkan badan untuk beribadat apalah
salahnya?"
(7) "Berjudi kalau
masing-masing sudah rela menerima untung ruginya apa salahnya?"
(8) "Kalau
diberlakukan hukum-hukum Islam sampai kiamat kita tak maju-maju."
(9) "Ini perbuatan
tidak beradab' - diceritakan bahwa Nabi Muhammad saw. setelah makan: menjilat
sisa makanan di jarinya.
Untuk itu Imam Al Bashri
mengemukakan bahwa lidah orang berakal itu terletak dibelakang akalnya. Jika ia
hendak berkata, dipikirkannya lebih dahulu. Kalau perkataan itu kira-kira bakal
bermanfaat baginya, ia akan mengucapkannya,. Kalau dirasakannya akan membahayakan
dirinya, ia memilih diam. Sedangkan hati orang dungu terletak dibelakang
lidahnya. Jika ia mau berkata, langsung saja diucapkannya. "Apalagi
mengatakan yang tidak pernah dikerjakan, dan membungkus keburukan hati dan
keculasan perangai dengan ucapan indah yang berbunga-bunga. Barangkali manusia
dapat dikelabui, tetapi apakah Allah swt. dapat ditipu?
8. Al La'nu (Melaknat, walaupun binatang atau benda, apatah lagi manusia)
Akhir-akhir ini kebiasaan
melaknat (mengutuk) banyak merebak di tengah-tengah masyarakat, baik yang tua
maupun yang muda, laki-laki maupun wanita, dewasa maupun anak-anak, sehingga
didapati seseorang melaknat anaknya, saudaranya, tetangganya, bahkan melaknat
kedua orang tuanya dengan mengatakan, "Terlaknatlah kedua orang tuaku atau
terlaknatlah ibuku, aku akan melakukan ini dan ini (seperti terkutuk bapakku
jika aku tidak melakukan ini dan ini. Pent)." Biasanya dipakai untuk
mengancam atau menantang.
Tidak diragukan lagi
ucapan seperti itu adalah ucapan keji dan mungkar yang tidak mendatangkan ridha
Allah, seperti dalam firman-Nya: "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya
melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (Qaaf: 8)
Dalam ayat lain Allah berfirman, "Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar
mengawasi." (al-Fajr: 14) "Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku:
Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik, sesungguhnya syaithan
itu menimbulkan perselisihan di antara mereka."
Dan beberapa hadits Nabi
yang melarang hal tersebut di antaranya: Hadits Abu Dawud Tsabit bin ad-Dhahak
berbunyi: Melaknat seorang mukmin adalah seperti membunuhnya." (Mutafaqun
‘alaihi) Hadits Abu Hurairah berbunyi,"Tidak pantas bagi seorang shiddiq
(orang yang mengikuti kebenaran) menjadi tukang laknat." (HR Muslim) ;
Hadits Abu Darda' berbunyi,"Tukang-tukang laknat tidak akan menjadi
pemberi syafaat dan pemberi kesaksian pada hari kiamat." (HR Muslim)
Hadits Abdullah bin
Mas'ud berbunyi, "Seorang mukmin bukanlah tukang cela dan tukang laknat
dan bukanlah orang yang suka berkata keji lagi kotor." (HR Tirmidzi) ;
Hadits ini dicantumkan oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab beliau Shahih Jami'
Tirmidzi no 610 dan Silsilah Hadits Shahih no 320
Di dalam Silsilah Hadits
Shahih tercantum sebuah hadits yang berbunyi "Apabila sebuah laknat
terucap dari mulut seseorang, maka ia (laknat itu) akan mencari sasarannya.
Jika ia tidak menemukan jalan menuju sasarannya, maka ia akan kembali kepada
orang yang mengucapkannya."
Hadits ini dinyatakan
hasan oleh Syaikh al-Albani di dalam Silsilah Hadits Shahih no 1269: Dari
‘Imran bin Hushain ia berkata, "Ketika Rasulullah berada dalam sebuah
lawatan, tiba-tiba seorang wanita dari kalangan Anshar mengutuk onta yang
ditungganginya karena jengkel. Rasulullah yang mendengar ucapannya itu lantas
bersabda: "Ambilah barang-barang yang ada di atas punggung onta itu dan
lepaskanlah onta itu sebab onta itu dilaknat."
‘Imran berkata,
"Sekarang aku melihat wanita itu berjalan di tengah keramaian, namun tidak
ada satu orang pun yang menegurnya." (HR Muslim). Dalam riwayat lain dari
Abu Barzah berbunyi: "Janganlah menyertai kami onta yang telah
dilaknat." (HR Muslim) Maksudnya adalah teguran keras kepada wanita yang
melaknat ontanya tadi karena onta tersebut bertasbih kepada Allah dan tidak
berhak dilaknat. Maka, sebagai teguran keras kepadanya, Rasulullah melarangnya
menyertai rombongan dengan menunggang onta tersebut. Bukan berarti Rasulullah
membenarkan perbuatan wanita itu yang mengatakan bahwa onta itu terkutuk sebab
beliau tidak melarang menyembelih atau menjual onta tersebut. Demikian
penjelasan Imam Nawawi.
Hakekat laknat adalah
menjauhkan sesuatu dari rahmat Allah. Seseorang yang melaknat berarti telah
menyatakan bahwa sesuatu telah dijauhkan dari rahmat Allah, padahal itu
termasuk perkara gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Maka
perbuatan seperti ini termasuk berdusta dan mengada-ada atas nama Allah Dalam
sebuah hadits dari Abu Hurairah ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah
bersabda,
"Dahulu kala ada dua
orang Bani Israil yang bersaudara. Salah seorang di antara keduanya sering
berbuat dosa, sedangkan yang lain tekun beribadah. Yang tekun beribadah selalu
mendapati saudaranya berbuat dosa, ia berkata, ‘Tahanlah dirimu dari perbuatan
dosa!' Pada suatu hari, ia melihat hal serupa, ia berkata, ‘Tahanlah dirimu.'
Saudaranya berkata, ‘Biarkan aku bersama Rabbku! Apakah engkau diutus sebagai
pengawasku?' Maka ia pun berkata kepada saudaranya tersebut, ‘Demi Allah, Allah
tidak akan mengampunimu atau demi Allah, Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam
surga.' Kemudian ruh keduanya dicabut, lalu bertemu kembali di hadapan Allah
Rabbul ‘Alamin. Allah berkata kepada yang tekun beribadah, ‘Apakah engkau
mengetahui tentang Aku? Atau apakah engkau berkuasa atas apa yang ada
ditangan-Ku?' Kemudian Allah berkata kepada saudaranya, ‘Masuklah ke dalam
surga dengan rahmat-Ku.' Dan Allah berkata kepadanya, ‘Seret ia ke
neraka!'"
Abu Hurairah berkata,
"Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, orang tersebut telah mengatakan
sebuah kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya." (HR Abu Dawud
dengan sanad hasan) Cobalah perhatikan kalimat yang diucapkan oleh seorang ahli
ibadah tadi ternyata lebih besar daripada dosa yang dilakukan saudaranya,
karena ia berani bersumpah atas nama Allah Hanya Allah sajalah yang dimintai
pertolongan-Nya.
Merupakan musibah besar
jika seseorang berani melaknat ibunya. Para sahabat sempat menganggap mustahil
perbuatan seperti itu, lalu Rasulullah menjelaskan maksudnya kepada mereka,
yaitu dengan mencela ayah ibu orang lain hingga orang tersebut mencaci ayah
ibunya. (Muttafaqun ‘alaihi
Bagaimana menurut Anda
tentang seseorang yang melaknat langsung kedua orang tuanya seperti realita
yang ada, padahal menjadi penyebab kedua orang tuanya dilaknat saja ia berdosa.!
innalillahi wa inna ilaihi raaji'un
Nasehat kami kepada
segenap kaum muslimin adalah agar mereka bertaqwa kepada Allah serta memelihara
lisan mereka dari melaknat, dan hendaklah mereka menggantinya dengan doa
keberkahan dan kebaikan bagi seluruh kaum muslimin. Hanya Allah sajalah yang
diminta agar memberi taufiq bagi kaum muslimin, untuk menjalankan perintah-Nya
dan meninggalkan larangan-Nya.
Ibnu Assikit berkata,
"Seseorang justru tertimpa celaka karena terpeleset lidahnya, dan tidaklah
ia terkena bahaya lantaran terpeleset kakinya, apabila ia terpeleset kakinya ia
akan sembuh kembali dalam waktu yang tidak lama, tetapi apabila ia terpeleset
gara-gara perkataannya bisa saja ia kehilangan kepalanya. "
Imam Sya'bi: " Aku
diam, maka aku selamat, aku mendengarkan, maka aku tahu. Sesungguhnya manusia
itu mempunyai bagian masing-masing, di telinganya, bagian itu untukya, di
lidahnya bagian itu untuk orang lain ".
9. Al
Ghina' wasy-syi'r (Bernyanyi dan bersyair)
"Dan di antara
manusia (ada) yang mempergunakan lahwul hadits untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu bahan
olok-olokan." (Luqman: 6)
Mengenai ayat ini Ibnu
Abbas ra berkata bahwa Lahwal hadist dalam ayat ini berarti
"Nyanyian". Sebagaimana diketahui bahwa Ibnu Abbas r.a adalah seorang
sahabat yang mendapat do'a dari Rasulullahu shallallahu alaihi wassalam:
"Ya Allah anugrahkanlah kefakihan kepadanya dalam agama ini dan ilmu ta'
wil."
Dengan do'a dari
Rasulullah tersebut para sahabat memberikan gelar kepada Ibnu Abbas r.a dengan
gelar "Turjumanul Qur'an" (Penafsir Al-Qur'an). Ibnu Mas'ud r.a
menerangkan bahwa Lahwal hadist itu adalah al-Ghina (nyanyian). Demi Allah yang
tiada sesembahan selain Dia, 3x. Pernyataan Rasulullah mengenai Ibnu Mas'ud
adalah "Sesungguhnya ia adalah pentalkin yang mudah difahami." Dalam
ayat yang lain Allah berfirman kepada setan: "Dan hasunglah siapa yang
kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu." (Al-Isra': 64)
Ibnu Abbas r.a
mengatakan,"Suaramu" dalam ayat ini adalah segala yang membawa kepada
kemaksiatan. Mujahid, pemimpin para ahli tafsir (murid Ibnu Abbas r.a)
menyatakan bahwa "Suaramu" disini artinya "Al-Ghina"
(nyanyian) dan Al-Bathil. Hasan Al-Basri berkata bahwa ayat ini turun dalam
masalah musik dan lagu. Ibnu Qayyim menambahkan keterangan dari Hasan Al-Basri
bahwa "suaramu" dalam ayat ini adalah duff (rebana).
Kemudian ayat yang ketiga
dalam surat An-Najm: 59-60, Allah berfirman: "Maka apakah kamu merasa
heran dengan pemberitaan ini dan kamu mentertawakan dan tidak menangis sedang
kamu bernyanyi-nyanyi." Kata Ikrimah r.a dari Ibnu Abbas r.a bahwa kata
"As-Sumud" dalam akhir ayat ini berarti Al-Ghina menurut dialek
Himyar. Dia menambahkan bahwa jika mendengar Al-Qur'an dibacakan, mereka
bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.
Dalam hadits yang sahih
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari sahabat Abi Amir dan Abi Malik Al
Asy'ari Rasulullah saw bersabda: "Akan muncul dari kalangan ummatku
sekelompok orang yang menghalalkan farj (perzinahan), sutera, khamar dan
alat-alat musik." (lihat Fatul Bari, 10/51).
Nyanyian dan musik
merupakan dua pintu yang dilalui setan untuk merusak hati dan jiwa. Kaitannya dengan
hal itu, Imam Al-Hafiz Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: "Diantara tipu
daya setan - musuh Allah - dan diantara jerat yang dipasangnya untuk orang yang
sedikit ilmu, akal dan agamanya, sehingga orang yang bersangkutan tersebut
terjebak kedalamnya untuk mendengarkan kidung dan nyanyian yang diiringi musik
yang diharamkan. Satu hal yang mengherankan adalah sebagian manusia yang
mengaku memiliki konsentrasi untuk ibadah justru telah menjadikan nyanyian,
tarian dan lagu-lagu lain sebagai wahana untuk beribadah sehingga mereka
meninggalkan Al-Qur'an. Ibnu Qayyim dalam kitabnya "Ighatsatul-Lahfan min
Mashayidisy-Syaithan" menamai nyanyian seperti itu dengan sepuluh nama,
yaitu: lahwun (main-main), laghwun (pekerjaan sia-sia), zuur (kebathilan), muka
(siulan), tasydiah (tepuk tangan), ruqyatuz-zina (jimat dalam perzinahan),
pedomannya setan, penumbuh nifak didalam hati, suara kedunguan, suara yang
penuh dosa, suara setan atau seruling setan.
Ada beberapa nyanyian
yang diperbolehkan yaitu: Menyanyi pada hari raya. Hal itu berdasarkan hadits
A'isyah: "Suatu ketika Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam masuk ke bilik
'Aisyah, sedang di sisinya ada dua orang hamba sahaya wanita yang masing-masing
memukul rebana (dalam riwayat lain ia berkata: "... dan di sisi saya terdapat
dua orang hamba sahaya yang sedang menyanyi."), lalu Abu Bakar mencegah
keduanya. Tetapi Rasulullah malah bersabda: "Biarkanlah mereka karena
sesungguhnya masing-masing kaum memiliki hari raya, sedangkan hari raya kita
adalah pada hari ini." (HR. Bukhari)
Menyanyi dengan rebana
ketika berlangsung pesta pernikahan, untuk menyemarakkan suasana sekaligus
memperluas kabar pernikahannya. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Pembeda antara yang halal dengan yang haram adalah memukul rebana dan suara
(lagu) pada saat pernikahan." (Hadits shahih riwayat Ahmad). Yang dimaksud
di sini adalah khusus untuk kaum wanita. Nasyid Islami (nyanyian Islami tanpa
diiringi dengan musik) yang disenandungkan saat bekerja sehingga bisa lebih
membangkitkan semangat, terutama jika di dalamnya terdapat do'a.
Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam menyenandungkan sya'ir Ibnu Rawahah dan menyemangati para
sahabat saat menggali parit. Beliau bersenandung: "Ya Allah tiada
kehidupan kecuali kehidupan akherat maka ampunilah kaum Anshar dan
Muhajirin." Seketika kaum
Muhajirin dan Anshar
menyambutnya dengan senandung lain: "Kita telah membai'at Muhammad, kita
selamanya selalu dalam jihad." Ketika menggali tanah bersama para
sahabatnya, Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga bersenandung dengan sya'ir
Ibnu Rawahah yang lain: "Demi Allah, jika bukan karena Allah, tentu kita
tidak mendapat petunjuk, tidak pula kita bersedekah, tidak pula mengerjakan
shalat. Maka turunkanlah ketenangan kepada kami, mantapkan langkah dan pendirian
kami jika bertemu (musuh) Orang-orang musyrik telah mendurhakai kami, jika
mereka mengingin-kan fitnah maka kami menolaknya." Dengan suara koor dan
tinggi mereka balas bersenandung "Kami menolaknya,... kami
menolaknya." (Muttafaq 'Alaih)
Nyanyian yang mengandung
pengesaan Allah, kecintaan kepada Rasululah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan
menyebutkan sifat-sifat beliau yang terpuji; atau mengandung anjuran berjihad,
teguh pendirian dan memper-baiki akhlak; atau seruan kepada saling mencintai,
tolong menolong di antara sesama; atau menyebutkan beberapa kebaikan Islam,
berbagai prinsipnya serta hal-hal lain yang bermanfaat buat masyarakat Islam,
baik dalam agama atau akhlak mereka.
Di antara beberapa
langkah yang dianjurkan adalah: Jauhilah dari mendengarnya baik dari radio,
televisi atau lainnya, apalagi jika berupa lagu-lagu yang tak sesuai dengan
nilai-nilai akhlak dan diiringi dengan musik. Di antara lawan paling jitu untuk
menangkal ketergantungan kepada musik adalah dengan selalu mengingat Allah dan
membaca Al Qur'an, terutama surat Al Baqarah. Dalam hal ini Allah Ta'ala telah
berfirman:
"Hai manusia
sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan sebagai penyembuh
bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman."(Yunus: 57)
"Sesungguhnya setan
itu lari dari rumah yang di dalamnya dibaca surat Al Baqarah." (HR.
Muslim)
Membaca sirah nabawiyah
(riwayat hidup Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam), demikian pula sejarah hidup
para sahabat beliau.
Sering kita saksikan,
sebagian para pengikut hawa nafsu, orang-orang yang lemah jiwa dan sedikit
ilmunya manakala mendengar perkara-perkara yang diharamkan secara berturut-turut
ia berkeluh kesah sambil berujar: Segalanya haram, tidak ada sesuatu apapun
kecuali kamu mengharamkannya, kamu telah menyuramkan kehidupan kami, kamu
membuat gelisah hidup kami, menyempitkan dada, kamu tidak memiliki selain haram
dan mengharamkan. Agama ini mudah, persoalannya tak sesempit itu dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Untuk menjawab ucapan
mereka, kita katakan sebagai berikut: Sesungguhnya Allah Subhanallahu Wata'ala
menetapkan hukum menurut kehendak-Nya, tidak ada yang dapat menolak
ketetapan-Nya. Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, maka Ia menghalalkan
apa yang Ia kehendaki dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya pula dan
diantara pilar kehambaan kita kepada Allah Azza Wajalla adalah hendaknya kita
ridha dengan apa yang ditetapkan olehnya, pasrah dan berserah diri kepada-Nya
secara total. Wallahu a'lam.
10. Attaqo'ur fil kalaam (Berfasih-fasih dalam berbicara untuk menarik
perhatian)
Salah satu modal untuk
dapat diterima dalam menjalin hubungan dengan orang lain adalah menarik
perhatian. Untuk itu kerap kali orang berakting untuk mendapatkan perhatian
orang lain. Namun kadang orang sering kebablasan dalam akting yang dimainkan,
sehingga sering dijuluki over acting, sok gagah-gaha, sok fasih. Misalnya saja
ada orang yang sering menggunakan aksen Inggris untuk menunjukkan bahwa dia
dapat berbahasa Inggris. Atau dengan aksen Arab untuk menunjukkan dia dapat
berbahasa Arab, walaupun pada kenyataannya tidak. Pernah dalam kampanye Pemilu
seorang jurkam sebuah parpol besar (dengan penuh semangat berpidato di hadapan
massanya) berkata," Saudara-saudara parpol kami sangat berempati dan
antonius dengan nasib rakyat jelata..." (Maksudnya mungkin antusias).
11. Insyaa'ussirri (Membocorkan rahasia)
Dari hadits itu dapat
kita ketahui bahwa para sahabat lebih suka bila hubungan antara mereka dengan
Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak diketahui orang banyak. Mereka tidak suka orang
lain mengetahui apa yang mereka amalkan. Mudrik bin 'Aun Al-Ahmas berkata:
"Ketika aku berada di sisi Umar radhiyallahu 'anhu, datanglah utusan
An-Nu'man. Umar radhiyallahu 'anhu pun menanyakannya tentang keadaan pasukan.
Utusan itu menyebutkan orang-orang yang terluka dan terbunuh di Nahawand, ia
berkata: "Si Fulan bin Fulan, Fulan bin Fulan dan lain-lain yang tidak
engkau kenal. Umar radhiyallahu 'anhu berkata: "Akan tetapi Allah
Subhanahu wa Ta'ala mengetahui mereka." Dalam riwayat lain disebutkan:
"Akan tetapi Dzat Yang telah mengkaruniakan mereka syahadah (mati syahid)
mengetahui wajah dan nasab mereka."
Dalam kisah yang lain
disebutkan ketika Maslamah bin Abdulmalik kesulitan merebut sebuah benteng yang
tengah dikepungnya. Benteng itu sangat kokoh sehingga sulit ditaklukkan.
Maslamah berkata kepada pasukannya: "Siapakah yang berani masuk menerobos
lewat jendela itu (ternyata pada benteng itu ada sebuah jendela), untuk membuka
pintu benteng dari dalam?" Maka majulah seorang yang bertutup muka, ia
segera menerobos jendela itu dan membuka pintu benteng dari dalam. Begitu pintu
terbuka pasukan kaum muslimin segera menyerbu masuk ke dalam benteng, dan
terja-dilah pertempuran yang sengit. Akhirnya pasukan kaum muslimin dapat
menaklukkan musuh. Selesai peperangan, Maslamah duduk-duduk bersama segenap
pasukannya. Ia berkata: "Siapakah engkau wahai orang yang bertutup
muka?" Namun segenap pasukan diam membisu! Masla-mah berseru sekali lagi:
"Siapakah engkau wahai orang yang bertutup muka?" Namun mereka masih
saja diam. Akhirnya Maslamah berkata: "Demi Allah, wahai orang yang
bertutup muka, silakan datang menemuiku siang atau malam hari!" Pada malam
harinya tiba-tiba ada orang yang menggerak-gerakkan tenda Maslamah, Maslamah
bertanya: "Apakah engkau orang yang bertutup muka itu?" Orang itu
menjawab: "Orang yang bertutup muka itu membuat beberapa persyaratan
kepada kalian." "Apa itu?" tanya Maslamah. "Ia mensyaratkan
agar kalian tidak bertanya tentang namanya dan nama ayahnya, dan kalian jangan
memberinya hadiah serta jangan laporkan namanya kepada khalifah" jawab
orang itu. "Kami penuhi syarat-syaratnya!" balas Maslamah. Orang itu
berkata: "Akulah orang yang bertutup muka itu!"
Hubungan istri adalah
hubungan yang khas, dimana keduanya bisa saling meleburkan diri menjadi satu
kesatuan. Di sana ada cinta, juga kasih dan sayang. Karenanya, dalam kehidupan
suami istri pasti terjadi hubungan intim yang tidak ada orang lain yang
mengetahuinya, kecuali mereka berdua. Saat-saat itu suami mencurahkan segala
kasih sayangnya kepada istri, demikian juga sebaliknya.
Hubungan yang demikian,
sekalipun berbaur antara cinta dan nafsu tapi Allah telah mensakralkannya.
Hubungan itu suci dan berpahala. Hunbungan itu baru ternoda jika ada salah
seorang di antaranya, baik suami atau istri yang membuka rahasia mereka berdua
kepada orang lain. Baik karena ingin mengungapkan rasa bahagianya maupun karena
rasa kecewa.
Membuka rahasia rumah
tangga kepada pihak lain sama sekali tidak mendatangkan keuntungan, justru
bencana dan malapetaka. Rumah tangga bisa berantakan karena salah satu pihak
merasa tersinggung dan terhina karenanya. Kehidupan rumah tangga terganggu,
bahkan tidak tertutup kemungkinan jika kemudian masalahnya berkembang sampai
akhirnya terjadi perceraian.
Orang yang tersinggung
sulit diobati. Jika anggota badan yang terluka bisa dijahit dan diperban. Akan
tetapi jika hati yang terluka bisa dibawa sampai mati. Hari ini bisa ditekan,
tapi besok bisa muncul kembali. Itulah sebabnya kenapa kita harus menjaga
rahasia istri atau suami.
Dari Abu Said Al-Khudri
ra beliau berkata: Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya sejelek-jelek
orang di sisi Allah pada hari qiamat kelak adalah suami yang sudah mencurahkan
segala kasih sayangnya kepada istrinya dan istrinya pun sudah menyerahkan
segala kasih sayangnya kepadanya, kemudian dia (suami) menyebarkan rahasia
istrinya (dan istrinya membuka rahasia suaminya). (HR. Muslim)
12. Alkadzabu (Dusta atau berbohong dalam perkataan, janji dan sumpah)
Allah berfirman dalam
surah al-Hajj ayat 30 bermaksud: "Hendaklah kita menjauhi
perkataan-perkataan dusta." Dalam peribahasa mengatakan, "kerana
lidah (mulut) badan binasa" ini mengingatkan kita untuk hidup dalam
suasana yang tenteram, aman dan damai, hendaklah diawasi lidah kerana melalui
tutur kata akan menjadi lebih benar, beradab dan bahasanya lebih santun.
Suka berbohong bukan
sahaja menimbulkan kemarahan orang yang mendengarnya, malah menimbulkan
implikasi buruk kepada si pembohong itu sendiri. Dari Abu Hurairah r.a. katanya
Rasulullah s.a.w. bersabda bermaksud: "Tidak beriman seseorang itu dengan
sempurna sehingga ditinggalkan pembohongan sama ada semasa senda gurau atau
semasa bersengketa atau perbalahan."
Tabiat suka berbohong
termasuk dalam kategori dosa-dosa besar setelah syirik (menyekutukan Allah) dan
durhaka terhadap kedua orang tua. Ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah s.a.w.:
"Mahukah kamu aku tunjukkan perihal dosa-dosa besar? Kami menjawab: Ya,
tentu mahu wahai Rasulullah. Rasulullah menjelaskan: Menyektukan Allah, durhaka
kepada kedua orang tua. Oh ya, (ada lagi) Iaitu perkataan dusta." (Riwayat
Muttafaq Alaih)
Berkata Imam Nawawi di
kitabnya Al-Adzkar (halaman 326): "Ketahuilah! Sesungguhnya menurut
madzhab Ahlus Sunnah bahwa dusta itu ialah: Mengkabarkan tentang sesuatu yang
berlainan (berbeda/menyalahi) keadaannya. Sama saja apakah engkau lakukan
(dusta itu) dengan sengaja atau karena kebodohanmu (tidak sengaja), akan tetapi
tidak berdosa kalau karena kebodohan (tidak sengaja) dan berdosa kalau
dilakukan dengan sengaja". (baca juga syarah Muslim 1/69). Berkata
Al-Hafidz Ibnu Hajar di Al-Fath (1/211): Artinya: "Sesungguhnya dusta itu
ialah: Mengkabarkan tentang sesuatu yang berlainan dengan keadaannya".
13. Al Ghiibah (Menceritakan keburukan orang lain)
Dari Ali ibn Ibrahim,
dari ayahnya, dari An-Nawfali, dari Al-Sakkuni, dari Abu Abdillah (r.a)
berkata: Rasulullah SAAW bersabda: Kerusakan yang dilakukan oleh ghibah
(mengumpat/memfitnah) pada iman seorang mukmin lebih cepat daripada kerusakan
yang disebabkan oleh penyakit aklah (penyakit yang memakan daging di tubuh
manusia) pada tubuhnya.
Diriwayatkan Abu Dzarr
berkata: Ya Rasulullah, apakah ghibah itu? Rasul menjawab: Itu adalah
menyebutkan tentang saudaramu akan sesuatu yang membuat dia merasa jijik. Aku
berkata: Ya Rasulullah, bagaimana jika hal tersebut memang ada pada dirinya?
Rasul menjawab: Ketahuilah, bahwa menyebut tentang sesuatu yang memang ada pada
dirinya, berarti kamu telah mengumpatnya.Abu Dzarr berkata: Nabi SAAW bersabda:
Ghibah merupakan suatu dosa yang lebih besar daripada berzina. Kataku:
Bagaimana itu, ya Rasulullah? (Rasul menjawab): Itu karena orang yang berzina,
jika dia bertobat kepada Allah, Allah menerima tobatnya. Namun ghibah tidak
diampuni oleh Allah, hingga korban daripada ghibah mengampuninya.
Dari Nawfal Al-Bakali,
Ali (karramallahu wajhah) berkata: Janganlah berbuat ghibah, sebab itu adalah
makanan anjing-anjing neraka. Ishaq bin ibn Ammr meriwayatkan dari Ja'far as
Shadiq (R.a) Rasulullah SAW bersabda: Wahai yang telah memeluk Islam dengan
lidah, namun iman belum masuk ke hatinya, janganlah menghina orang-orang muslim
dan janganlah membuka cacat-cacat mereka. Sesungguhnya Allah akan membuka
cacat-cacat mereka, dan barangsiapa yang dibukakan cacatnya oleh Allah, maka ia
akan senantiasa terhina, walaupun dirumahnya sendiri.
Ngomongin orang memang
enak, lain dengan sebaliknya yaitu diam, memang emas;. Tabiat manusia bila
diomongin jadi sesak dada, apalagi dijelek-jelekkan orang lain, pasti emosi,
marah-marah, atau setidaknya muncul rasa benci kepada yang menjelekkan.
Perkecualian barangkali
berlaku pada seorang ulama saleh yang arif bijaksana seperti Hasan Basri. Konon
ia pernah diberitahu oleh seseorang bahwa dirinya dijelek-jelekkan (si Fulan),
lalu ia melakukan pembalasan pula. Harap jangan salah praduga, sebab pembalasan
Hasan Basri bukan dengan omelan, apalagi tindakan fisik.
Tak seorang pun tahu.
Secara diam-diam dia menghadiahkan makanan lezat kesukaan si Fulan yang nakal
tadi berupa kurma dengan kualitas paling istimewa (ruthab) seraya berkata,
"Aku dengar Engkau telah memberikan amal baikmu kepadaku, lalu aku pun
ingin membalas pemberianmu itu, sekalipun mungkin terlalu sedikit dan tidak
sesuai dengan apa yang Engkau berikan," ujarnya tulus. Akhlak mulia Hasan
Basri menjadi teladan bagi si Fulan. Ia lantas bertobat kepada Allah atas
kekhilafannya tersebut.
14. Al-madzhu (Sanjungan yang menjerumuskan)
Imam Ats-Tsauri
menuturkan: "Apabila engkau bukan termasuk orang yang takjub terhadap diri
sendiri, hal lain yang perlu diingat ialah; hindarilah sifat senang disanjung
orang." Maksudnya bukan orang lain tidak boleh memuji perbuatanmu itu,
tetapi janganlah kamu meminta pujian dari orang lain. Hendaknya engkau selalu
berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala (dengan selalu mengingatnya-pent).
Dalam sebuah hadits disebutkan:
"Barangsiapa yang
mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala, meskipun menimbulkan kemarahan
manusia, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan meridhainya dan akan membuat
manusia ridha terhadapnya. Dan barangsiapa yang mencari kesenangan manusia,
hingga membuat Allah murka maka Allah murka kepadanya dan membuat manusia murka
terhadapnya." (HR. At-Tirmidzi).
Dan dalam suatu riwayat:
Dua orang yang memujinya akan balik mencelanya. Ats-Tsauri berkata: Dalam
kategori ini: Engkau menginginkan mereka memuliakanmu dan senang jika engkau
mendapat kehormatan dan kedudukan di hati mereka. Dan banyak orang ingin
membaca kehebatan balaghoh orang yang memujinya sampai-sampai ada yang
menunjukkan bahwa pujian-pujian itu adalah memang bukti nyata keadaan orang
yang dipujinya seolah-olah dia mengatakan seperti apa yang dikatakan seorang
laki-laki yang berdiri di depan Musailamah Alkadzab yang mengaku-aku sebagai
nabi, Musailamah berkata kepadanya: "Aku lebih tahu apa yang ada dalam
hatimu!" Orang itu berkata kepadanya: "Aku juga tahu apa yang ada di
dalam hatimu!" "Apa itu!" sergah Musailamah. Orang itu menjawab:
"Demi Allah, aku tahu sebenarnya engkau menyadari bahwa sesungguhnya aku
mengetahui engkau adalah seorang pendusta!"
Oleh sebab itu, hendaknya
seseorang menyederhanakan bahasa dan tutur katanya. Jangan sampai lisannya
menjadi batu sandungan bagi dirinya, sebab dosa yang dituai lisan pada umumnya
dari hal semacam ini. Seandainya orang yang senang dipuji selalu ingat (bahaya
yang timbul dibalik pujian), niscaya ia menyadari bahwa dialah yang paling mengetahui
akan kelemahan dirinya sendiri. Namun manusia itu selalu lupa, mudah terpedaya
dan suka berpaling dari nasihat orang lain yang mengajarkan kepadanya etika
pergaulan dan nilai-nilai agama. Seorang ahli hikmah bertutur dalam syairnya:
Hai orang jahil yang
terbuai dengan sanjungan menghanyutkan
Kejahilan orang yang
menyanjungmu jangan sampai menguasai kesadaranmu akan kadar dirimu. Pujian dan
sanjungan itu ia ucapkan tanpa sepengetahuannya tentang hakikat dirimu
Dirimulah yang lebih
mengetahui tentang baik buruknya dirimu
Jenis pujian lainnya
adalah memuji diri sendiri atas kekurangan yang ada padanya. Ini termasuk
rekomen-dasi terhadap diri sendiri. Sebagian orang sengaja memuji diri sendiri
di hadapan orang banyak. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
"Janganlah kamu menganggap diri kamu suci" (An-Najm: 32).
Dan perbuatan tadi
termasuk menganggap suci diri sendiri. Rabbah Al-Qaisi pernah ditanya:
"Apakah yang dapat merusak amalan seseorang?" Beliau menjawab:
"Sanjungan orang dan lupa terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah
memberi nikmat"
Seorang penyair berkata:
Sungguh aneh orang yang
memuji dirinya sendiri
Namun tidak menyadari
bahwa pujiannya itu sendiri adalah kekurangan dirinya
Seorang pemuda memuji
diri atas kekurangan yang ada padanya,
menyebut-nyebut aibnya
sendiri hingga diketahui kejelekannya
Pujian sekali-sekali
perlu diberikan. Hal ini membuat orang lain berusaha untuk bekerja lebih baik
lagi. Karena, pada dasarnya semua orang mendambakan penghargaan walaupun hanya
berupa kata-kata pujian.
Rasulullah saw.
memberikan reward kepada para sahabatnya selalu disertai doa. Misalnya Saad Bin
Abi Waqash pernah didoakan Rasulullah tentang dua hal yaitu kalau berdoa pasti
dikabulkan Allah dan kalau memanah pasti kena sasaran. Inilah sanjungan yang dilandasi
persahabatan yang dibangun atas dasar cinta kepada Allah. Lain lagi dengan
‘sanjungan-sanjungan yang palsu' yang selalu keluar dari mulut orang-orang yang
‘mencari muka'.
Biasanya kita dapati pada
masyarakat yang budaya paternalistiknya sangat kuat; budaya ‘Asal Bapat
Senang'; budaya Yes Man dan sebagainya. Berbagai gelar, acap kali disematkan
sebagai tanda loyalnya bawahan terhadap atasan, misalnya Bapak Revolusi, Wali
ul Amri, Bapak Pembangunan dan banyak bentuk-bentuk sanjungan yang pada akhirnya
justru akan menghancurkan orang tersebut. Seperti Firaun yang selalu disanjung,
dipuja oleh rakyatnya dan pada gilirannya Firaun mendeklarasikan dirinya
sebagai tuhan. Dan kita tahu bagaimana akhir dari kehidupan Firaun itu sangat
tragis dan mengenaskan. Dan hanya Allah yang pantas mendapat segala jenis
sanjungan dan pujian.
15. Assukhriyah wal istihza' (Menyebutkan hal yang bikin malu - kejelekan
diceritakan untuk ditertawakan)
Menjelang perpisahannya
dengan Nabi Musa as, Nabi Khidir as, memberi nasihat, "Hai Musa, janganlah
terlalu banyak bicara, dan jangan pergi tanpa perlu, dan jangan banyak tertawa,
juga jangan mentertawakan orang yang berbuat salah, dan tangisilah dosa-dosa
yang telah kamu perbuat, hai putra Ali 'Imran." (Tanbighul Ghafilin:
192-193).
Tertawa, tentu saja,
bukanlah sesuatu yang dilarang. Siapa saja boleh tertawa selagi ingin. Dengan
tertawa menunjukkan, bahwa seseorang sedang dalam keadaan senang.
Bahkan tertawa bisa
menjadi ilham bagi seorang penulis untuk membuat sebuah buku. Akan tetapi,
tertawa dalam pengertian mengeluarkan suara meledak-ledak oleh sebab rasa suka,
geli apalagi mengandung unsur menghina seseorang, ini akan lain ceritanya.
Tertawa dengan cara seperti itu yang disuruh dihindari oleh Nabi Khidir as.
Tidak didapati dalam
ajaran di luar Islam yang mengatur tata hidup sedemikian rupa, hingga masalah
tertawa. Allah swt berfirman, "Maka hendaklah mereka sedikit tertawa dan
banyak menangis sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan."
(QS. At-Taubah:82).
Dalam salah satu
haditsnya beliau saw bersabda, "Seandainya kamu mengetahui apa yang aku
ketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa,...." (HR.Abu Dzar ra).
Rasulullah saw tidak pernah tertawa, kecuali hanya tersenyum, tidak menoleh
kecuali dengan wajah penuh (maksudnya: tidak melirik). (Ja'far Auf, Mas'ud dari
Auf Abdillah)
Berdasarkan hadits di
atas, sebagian ulama berpendapat bahwa tersenyum itu hukumnya sunah, sedang
tertawa terbahak-bahak dihukumi makruh. Maka bagi mereka yang tetap ingin sehat
akalnya, seyogyanya menjauhi tertawa dengan cara demikian (terbahak-bahak atau
meledak-ledak), kata Al-Faqih Abu Laits Samarqandi. Dengan kata lain, orang
yang tidak bisa mengendalikan diri dan gemar tertawa-tawa, akan membuat fungsi
akalnya terganggu, lengah dan lupa diri, yang berarti membuka pintu bagi syetan
untuk masuknya godaan. Dalam surat An-Najm (53): 59-61 Allah memperingatkan,
"Apakah dengan ajaran ini, kalian ta'ajub (heran)? Kamu tertawa dan tidak
menangis. Sedangkan kalian terlengah."
Ibnu Abbas ra berkata,
"Barangsiapa tertawa di saat berbuat maksiat, maka akan bercucuran tangis
di neraka." Tertawa yang berlebihan, termasuk di antara 3 perkara yang
menyebabkan hati seorang menjadi bebal dan membatu. Sedang dua penyebab yang
lainnya yaitu: belum lapar sudah makan lagi dan gemar omong kosong (bicara ke
sana kemari yang tak berguna). Terkadang kita mendapati seseorang yang
kesibukannya membuat orang tertawa-tawa, sehingga bukan semata menjadi hiburan
hati, tapi sudah mengarah pada membuat orang menjadi lengah dan lupa.
Kepada yang berbuat
seperti ini Rasulullah saw memberi peringatan, "Celakalah orang yang
berdusta supaya ditertawakan orang lain. Celakalah dia, celakalah dia!"
(HR. Tirmidzi)
Orang yang terbiasa
tertawa-tawa mendapati suasana yang sepi menjadi sunyi, bila tidak kunjung
diobati. Sedangkan menurut Yahya Mu'adz Razy sebagaimana dikutip al-Faqih ada
empat hal yang dapat menjadi obat bagi mereka yang terkena "penyakit"
seperti ini, yaitu:
1. Ingat akan dosa-dosa
yang telah diperbuat selama ini.
2. Sibuk dengan bekerja
(memenuhi nafkah) untuk diri dan keluarga.
3. Ingat bahwa jatah umur
yang ada tinggal sedikit, dan akan datang kehidupan baru diakhirat.
4. Memperhatikan setiap
musibah yang menimpa, baik diri keluarga maupun orang lain.
16. An-namiimah (Adu domba atau menghasut)
Adu domba merupakan
perangai tercela yang menanamkan dendam diantara manusia, ini merupakan sifat
yang dibenci setiap muslim dan muslimah. Sifat yang buruk ini tidak boleh
diremehkan, karena diantara ciri-ciri adu domba dan yang telah ditetapkan
baginya, bahwa ia bisa memisahkan seseorang dengan kerabatnya, seseorang dengan
teman-temannya, bahkan dirinya dengan anggota saudaranya sendiri.
Diantara kisah yang
menggambarkan sensitifnya sifat ini adalah sebagaimana disebutkan Syeikh Ibnu
Qudamah di dalam kitabnya "Mukhtashar Minhajul Qashidin" bahwa
seseorang menjual budak. Dia berkata kepada pembelinya, budak ini tidak
mempunyai satu aibpun hanya saja dia suka mengadu domba, tidak menjadi soal
bagiku kata pembeli.
Setelah beberapa hari
budak itu berada dirumah pembeli, dia menghampiri tuannya seraya berkata,
"Sebenarnya tuanku tidak mencintai nyonya.
Meskipun begitu, dia
tetap ingin menikahi nyonya. Jika nyonya menghendaki, saya bisa membujuknya
agar dia tidak menceraikan nyonya, lalu ambillah pisau untuk mencukur rambutnya
tatkala dia tidur. Hal ini bisa menyihirnya, sehingga dia senantiasa mencintai
nyonya."
Lalu budak itu berkata
kepada tuannya, "istri tuan berkomplot dengan seseorang dan ingin membunuh
tuan selagi tuan sedang tidur." Maka sang tuan pura-pura tidur, lalu sang
istri menghampirinya pelan-pelan sambil membawa pisau. Dia mengira istrinya
benar-benar akan membunuhnya.
Maka dia segera bangkit
dan membunuh istrinya. Keluarga sang istri mendatanginya, lalu membunuhnya.
Bahkan permusuhan merembet antara kabilah suami dan istri.
Adu domba bisa
menimbulkan tindak pembunuhan, bahkan peperangan antara dua kabilah. Di dalam
masyarakat kita banyak terdapat peristiwa yang menunjukkan betapa besar akibat
yang ditimbulkan adu domba. Sedangkan istri yang ideal mempunyai sikap yang
pasti dalam menghadapi adu domba sesuai dengan hukum syari'at tentang adu
domba, bahwa,
"tidak akan masuk
surga orang yang suka mengadu domba." (muttafaq alaihi).
Jika ada seseorang wanita
yang menghampirinya dan mengucapkan perkataan yang buruk, dan hal ini
seringkali terjadi, maka dia tidak mau mendengarkannya dan tidak
memperdulikannya. Bahkan kalau perlu dia membungkam mulut wanita tersebut dan
menimpukkan batu kepadanya, sekedar untuk mengajarkan haramnya adu domba.
Ada kalanya seseorang
berkata padanya, "Suamimu telah berbuat begini dan begitu", atau
"Dia merasa respek terhadap masakan wanita lain", atau "Dia
hendak menikah lagi". Tetapi dalam kondisi seperti apapun istri yang
solehah dan ideal bisa keluar dari setiap cobaan dengan mendapat kemenangan,
rumah tangganya tetap utuh karena memang dia sudah dipersiapkan sebagai istri
yang ideal. An-Nawawy rahimahullah menyebutkan bahwa wanita yang menerima
kedatangan orang lain yang hendak mengadu domba dan mengatakan begini dan
begitu padanya, harus bersikap sebagai berikut:
1. Tidak membenarkan
perkataannya, karena dia orang yang suka mengadu domba dan fasik.
2. Melarang tindakannya,
menasihatinya dan menunjukkan sisi keburukan perbuatannya.
3. Membencinya karena
Allah, karena dia adalah orang yang dibenci di sisi Allah. Kita harus membenci
orang yang dibenci Allah.
17. Al khotho' fi daqo-iqul kalaam (Bertanya yang bukan-bukan, hingga
memberatkan orang yang menjawab)
Abu Hurairah radhiallahu
'anhu, menceritakan bahwasanya di mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi
Wasallam bersabda: " Apa yang aku larang kalian dari (mengerjakan)-nya maka
jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan kalian untuk (melakukan)-nya maka
lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian, karena sesungguhnya yang
menghancurkan orang-orang yang sebelum kalian adalah karena banyaknya
pertanyaan-pertanyaan mereka (yang mereka ajukan) dan perselisihan mereka
dengan para Nabi-Nabi (yang diutus kepada) mereka ". (H.R.Bukhari dan
Muslim).
Dalam hadits tersebut
kita diperintahkan untuk hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi Wasallam dan menjauhi apa saja yang dilarang oleh beliau.
Larangan tersebut dimaksudkan agar kita tidak terjebak dengan apa yang telah
menimpa umat-umat terdahulu yang hancur dan binasa gara-gara terlalu banyak
bertanya kepada Nabi-Nabi mereka tentang sesuatu yang tidak ada faedahnya
begitu juga seringnya mereka berselisih dan membantah Nabi-Nabi mereka
tersebut.
Banyak hadits-hadits lain
yang senada dengan hadits tersebut yang menunjukkan larangan bertanya tentang
hal-hal yang tidak perlu dan justru memojokkan posisi si penanya sendiri
seperti pertanyaan seseorang yang menanyakan kepada Nabi bagaimana nasibnya
nanti, apakah di neraka atau di surga? Atau yang bertanya tentang nasabnya, dan
lain-lainya. Begitu juga larangan bertanya perihal yang sia-sia, atau dengan
maksud mengejek atau dimaksudkan untuk menyombongkan diri/berkeras kepala
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Munafik dan selain mereka.
Pertanyaan serupa yang
juga dilarang adalah mempertanyakan ayat-ayat dengan tujuan untuk sekedar
menunjukkan kekerasan hati dan penolakan terhadapnya seperti yang dilakukan
oleh kaum Musyrikun dan Ahlul Kitab.
Begitu juga larangan
melontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar hal-hal yang hanya diketahui oleh
Allah semata dan tidak dapat diketahui oleh manusia, seperti bertanya tentang
kapan saat kiamat terjadi dan tentang ruh.
Hadits-Hadits tersebut
juga berbicara tentang larangan bagi kaum Muslimin untuk bertanya banyak
seputar hal yang berkaitan dengan halal dan haram dan larangan bertanya seputar
hal yang belum terjadi seperti ada seseorang yang bertanya tentang apa yang terjadi
terhadap keluarganya padahal masalah yang ditanyakannya itu masih bersifat
dugaan/perandaian.
Jadi, hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah diatas (hadits yang kita bicarakan) maksudnya
adalah: barangsiapa yang tidak menyibukkan dirinya dengan memperbanyak bertanya
tentang hal-hal yang tidak terdapat semisalnya dalam Al-Quran ataupun as-Sunnah
tetapi justeru kesibukannya hanya dalam memahami firman Allah dan Sabda
Rasul-Nya yang tujuannya semata-mata hanya agar dapat menjalankan segala yang
diperintahkan kepadanya dan menjauhi segala yang dilarang baginya, maka orang
semacam inilah yang dimaksud oleh hadits di atas dengan orang yang
mendatangkan/melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah.
Sedangkan orang yang
tidak memberikan perhatiannya untuk memahami apa yang diturunkan oleh Allah
kepada RasulNya dan justeru banyak menyibukkan dirinya dengan menciptakan
pertanyaan-pertanyaan yang masih bersifat kemungkinan; bisa terjadi dan bisa
tidak, dan mencari-cari jawabannya berdasarkan pertimbangan logika semata, maka
orang semacam ini dikhawatirkan termasuk orang yang telah melanggar hadits
tersebut di atas yaitu melakukan larangan dan meniggalkan perintah yang ada.
Sesungguhnya banyaknya
terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak bersumber sama sekali dari AlQuran
maupun dari as-Sunnah lantaran meninggalkan kesibukan yang semestinya diarahkan
kepada perbuatan melakukan perintah Allah dan RasulNya dan menjauhi
larang-larangan keduanya. Jika saja orang yang ingin melakukan suatu pekerjaan
bertanya tentang apa yang disyari'atkan oleh Allah berkaitan dengan pekerjaan
tersebut (yang ditanyakannya) lantas dia menjalankan pekerjaan itu, begitu juga
dia bertanya tentang pekerjaan apa yang dilarang oleh Allah lantas dia
meninggalkan pekerjaan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peristiwa-peristiwa
tersebut terjadi masih dalam kaitannya dengan Al-Quran dan as-Sunnah. Sebab
yang terjadi justeru sebaliknya, seseorang melakukan suatu pekerjaan
berdasarkan logika dan hawa nafsunya semata, sehingga secara umum peristiwa-peristiwa
itu terjadi dalam kondisi yang bertentangan dengan apa yang disyari'atkan oleh
Allah, dan dalam hal ini barangkali sangat sulit untuk merujuknya kembali
kepada hukum-hukum yang telah disebutkan dalam AlQuran dan as-Sunnah karena
sudah terlalu jauh dari keduanya.
Secara global,
barangsiapa yang melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi
Wasallam dalam hadits tersebut (yang kita bahas) dan menjauhi apa yang dilarang
oleh beliau dan dia memfokuskan dirinya hanya pada apa yang diperintahkan
kepadanya saja, terlepas dari yang lainnya maka dia akan mendapakan keselamatan
di dunia dan akhirat sedangkan orang yang berbuat sebaliknya dengan menyibukkan
dirinya berdasarkan pertimbangan logika dan perasaan semata, maka dia telah terjerumus
kedalam apa yang dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam sama seperti
halnya Ahlul Kitab yang binasa lantaran terlalu banyak bertanya dan berselisih
dengan para Nabi mereka dan ketidaktundukan serta ketidakta'atan mereka kepada
para Rasul yang diutus kepada mereka.
Dari berbagai sumber
Posting Komentar untuk "Bencana Yang Timbul Karena Lidah"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.