Qawaid Qur’aniyyah Kaidah Ke 49 – Jika Engkau Tidak Tahu Maka Bertanyalah Kepada Ahlinya
Allah berfirman:
فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl: 43)
Ini adalah kaidah
Qur`āniy yang baku. Kaidah ini memiliki dampak yang sangat kuat dalam
meluruskan perjalanan manusia menuju Tuhannya, dan dalam mengatur ibadah,
muamalah, perilaku, dan mengetahui apa yang tersembunyi baginya serta urusan
agama yang kurang dipahaminya.
Kaidah ini disebutkan
berulang di dua tempat dalam Kitabullah. Pertama di surah An-Naḥl dan kedua di
surah Al-Anbiyā`.
Kedua ayat itu disebutkan dalam konteks memberikan arahan kepada orangorang kafir, baik yang durhaka ataupun yang mendustakan, untuk bertanya kepada Ahli Kitab sebelum mereka. Dalam arahan tersebut terdapat isyarat yang jelas bahwa orang-orang musyrik yang durhaka tersebut tidak mengetahui, dan mereka adalah orang-orang bodoh. Kalau tidak demikian, maka pemberian arahan untuk bertanya tersebut tidak ada faedahnya.
Jika Anda merenungkan
kaidah ini beserta konteksnya di kedua tempat dalam surah An-Naḥl dan surah
Al-Anbiyā`, maka akan didapati hal-hal berikut ini:
1. Secara umum kaidah ini
berisi pujian kepada orang-orang yang berilmu.
2. Jenis ilmu yang paling
tinggi adalah ilmu dengan kitab Allah yang diturunkan. Karena Allah
memerintahkan orang yang tidak mengetahui makna-makna wahyu untuk bertanya
kepada mereka dalam semua kejadian.
3. Orang yang bertanya
dan orang bodoh keluar dari ruang lingkup sekadar ikut-ikutan begitu dia
bertanya. Di dalamnya tersirat bahwa Allah telah memberikan amanah kepada
mereka terkait wahyu dan penurunannya, mereka diperintahkan untuk menyucikan
jiwa mereka, dan supaya menggunakan sifatsifat kesempuranaan.
4. Kaidah ini juga
memberi isyarat tentang keutamaan orang-orang yang berzikir, yaitu para pembawa
Al-Qur`ān yang mulia in. Mereka itulah orang-orang yang berzikir sebenarnya,
dan mereka lebih berhak menyandang nama ini dibandingkan orang lain.
5. Perintah untuk belajar
dan bertanya kepada orang yang berilmu. Tidaklah diperintahkan untuk bertanya
kepada mereka kecuali karena mereka berkewajiban mengajarkan dan menjawab
tentang apa yang mereka ketahui.
6. Pengkhususan
pertanyaan kepada orang yang berzikir dan berilmu berisi larangan untuk
bertanya kepada orang yang terkenal bodoh dan tidak berilmu. Dan orang tersebut
pun dilarang untuk menjawabnya.
Sebagian orang terjatuh
pada kekeliruan dalam menerapkan kaidah ini. Di antara bentuk kekeliruan
tersebut adalah:
1. Sebagian orang Anda perhatikan ketika dia
menghadapi masalah atau kejadian baru yang butuh untuk ditanyakan maka dia
bertanya kepada orang terdekat yang ditemuinya, meskipun dia tidak mengetahui
kondisi orang tersebut, apakah dia orang yang berilmu atau tidak. Sebagian
orang lagi ada yang berpatokan pada penampilan lahiriah saja. Jika dia melihat
ada tanda-tanda kebaikan padanya maka dia mengira orang tersebut merupakan
penuntut ilmu atau ulama yang layak untuk dimintai fatwa. Ini adalah sebuah
kekeliruan.
Saya tidak tahu, apa yang
akan dilakukan oleh orang seperti itu jika ada di antara mereka yang sakit?
Apakah dia akan menyetop orang pertama yang ditemuinya di jalan untuk bertanya
kepadanya? Ataukah mereka akan pergi menemui dokter paling pintar dan paling
ahli?
Saya tidak tahu, apa yang
akan dilakukan orang tersebut jika mobilnya mogok atau rusak? Apakah dia akan
menyerahkannya kepada orang terdekat yang lewat? Atau dia akan mencari teknisi
paling pintar yang bisa memperbaiki kerusakan mobilnya?
Jika ini terkait dengan
perbaikan urusan-urusan dunia, maka kehatihatiannya dalam memperbaiki urusan
agamanya harus lebih besar lagi.
Malik bin Anas berkata,
«Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil
agama kalian.»
Di antara bentuk
penyimpangan lain terhadap kaidah ini adalah:
2. Tidak teliti dalam
mengambil ilmu dari ahli zikir yang sebenarnya. Karena orang yang berafiliasi
kepada ilmu sangat banyak, dan orang yang purapura berafiliasi kepada ilmu
lebih banyak lagi. Siapa yang menonton orangorang yang tampil di
program-program televisi akan mengetahui hal tersebut. Sesungguhnya manusia,
karena kelemahan mereka dalam pengetahuan dan kurang bisa membedakan, mengira
bahwa setiap orang yang berbicara tentang Islam merupakan ulama dan bisa
dimintai fatwanya terkait masalahmasalah agama. Mereka tidak bisa membedakan
antara dai atau orator, dan orang berilmu yang mengetahui tempat pengambilan
dalil, dan tempat-tempat nas. Akibatnya akan muncullah berbagai fatwa aneh bahkan
salah yang tidak menyinggung masalah sedikit pun dan tidak bisa diterima.
Kemudian akan banyak muncul orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, dan
mencari-cari rukhsah. Sehingga sikap keagamaan mereka menjadi tipis, dan ibadah
mereka menjadi lemah karena beberapa sebab, di antaranya: karena fatwa
serampangan yang bertebaran di berbagai stasiun televisi.
Maksud dari penjelasan
ringkas ini adalah untuk mengingatkan tentang pentingnya seseorang berhati-hati
dalam bertanya. Ia tidak boleh bertanya kecuali kepada orang yang bisa
melepaskan tanggung jawabnya, yaitu orang yang lebih bertakwa, lebih berilmu,
dan lebih warak. Mereka itulah orang-orang yang benarbenar disebut ahli zikir,
orang-orang yang sifat mereka disebutkan dalam kaidah ini: “Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
(Qawaid Qur’aniyyah 50
Qa’idah Qur’aniyyah fi Nafsi wal Hayat, Syeikh DR. Umar Abdullah bin Abdullah
Al Muqbil)
Posting Komentar untuk "Qawaid Qur’aniyyah Kaidah Ke 49 – Jika Engkau Tidak Tahu Maka Bertanyalah Kepada Ahlinya"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.