Pelajaran Dari Kisah Sang Guru Teladan Nabi Ibrahim 'Alaihissalam dan Keluarganya - Khutbah Idhul Adha
Khutbah Idhul Adha
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
الحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
رَبِّ الأَرَضِيْنَ وَالسَّمَاوَات، الْحَمْدُ للهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ
الصَّالِحَات، وَبِعَفْوِهِ تُغْفَرُ الذُّنُوْبُ وَالسَّيِّئَات، وَبِكَرَمِهِ
تُقبَلُ الْعَطَايَا وَالْقُرُبَات، وَبِلُطْفِهِ تُسْتَرُ العُيُوْبُ
وَالزَّلاَّت، الْحَمْدُ للهِ الَّذِي أَمَاتَ وَأَحْيَا، وَمَنَعَ وَأَعْطَى،
وَأَرْشَدَ وَهَدَى، وَأَضْحَكَ وَأَبْكَى؛
﴿وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ
يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ
وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا﴾ (الإسراء: 111)
اللهُ أَكْبَرُ عَدَدَ مَا ذَكَرَ
اللهَ ذَاكِرٌ وَكَبَّرَ، اللهُ أَكْبَرُ عَدَدَ مَا حَمِدَ اللهَ حَامِدٌ
وَشَكَرَ، اللهُ أَكْبَرُ عَدَدَ مَا تَابَ تَائِبٌ وَاسْتَغْفَرَ، اللهُ أَكْبَرُ
مَا أَعَادَ عَلَيْنَا مِنْ عَوَائِدِ فَضْلِهِ وَجُوْدِهِ مَا يَعُوْدُ فِي كُلِّ
عِيْدٍ وَيَظْهَر.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ
اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةً أَدَّخِرُهَا لِيَوْمٍ كَانَ شَرُّهُ
مُسْتَطِيْراً، سُبْحَانَ مَنْ لَمْ يَزَلْ عَلِيًّا كَبِيْرًا، سَمِيْعاً
بَصِيْراً، لَطِيْفاً خَبِيْراً، عَفُوًّا غَفُوْرًا.
وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا
وَحَبِيْبَنَا مُحَمَّداُ عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ بَعَثَهُ باِلْهُدَى وَدِيْنِ
الْحَقِّ بَشِيْراً وَنَذِيْراً وَدَاعِياً إِلَى اللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا
مُنِيْرًا، اللّهُمَّ صَلِّ عَلىَ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ وَخَلِيْلِكَ مُحَمَّدٍ
بْنِ عَبْدِ الله، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَن اقْتَفَى أَثَرَهُ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَة.
أَمَّا بَعْدُ؛
Jamaah Shalat Idul Adha yang dimuliakan
Allah...
Di pagi hari yang penuh berkah ini, di balik
hati yang cerah ceria ini, kita kembali mengumandangkan takbir berulang-ulang,
sebagai pernyataan yang tulus dan ikhlas akan kebesaran dan keagungan Allah
subhanahu wa ta’ala. Sekaligus sebagai pengakuan bahwa kita adalah hamba yang teramat kecil,
sangat lemah dan penuh dengan keterbatasan. Kita memuja dan memuji kepada-Nya
Rabb semesta Alam sebagai wujud kesyukuran atas segala limpahan nikmat dan
rahmat-Nya yang tak terhingga dan tak terhitung dengan jumlah bilangan.
Alhamdulillahilladzi
bini'matihi tatimmussolihaat, Pada pagi hari ini kita kembali merasakan
kegembiraan dan kebahagiaan dalam suasana Hari Raya Idul Adha. Bukan untuk
berpesta pora, tetapi untuk melakukan instrospeksi, mengambil pelajaran dari
perintah berkurban dan beribadah haji serta terus berusaha untuk mendekatkan
diri kepada Allah melalui Ibadah Pengorbanan dan Juga untuk mengenang kembali
peristiwa bersejarah yang dilakonkan oleh Nabiyullah Ibrahim ’alaihissalam
bersama isterinya; Hajar dan anaknya Ismail ’alaihissalam.
Kehidupan Nabi Ibrahim
benar-benar sarat dengan keteladanan yang patut diikuti, untuk mendapatkan
kehidupan yang bersih dan penuh dengan makna.
"قَدْ
كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ"
Artinya: “Sungguh telah
ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersamanya”. (QS. Al-Mumtahanah (60): 4)
Jamaah shalat Idul Adha
‘azzakumullah...
Sekurang-kurangnya ada
empat pelajaran yang bisa dipetik dari kisah Sang Guru Teladan Mulia yaitu Nabi
Ibrahim ‘alaihissalam dan keluarganya:
1. Pelajaran Pertama:
Berbaik sangka kepada Allah ta’ala
Dikisahkan pada suatu
hari, Ibrahim ‘alaihissalam terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba beliau
memerintahkan istrinya, Hajar, untuk mempersiapkan perjalanan dengan membawa
bayinya. Perempuan itu segera berkemas untuk melakukan perjalanan panjang.
Padahal saat itu nabi Ismail masih bayi dan belum disapih.
Ibrahim ‘alaihissalam
menyusuri bumi yang penuh dengan pepohonan dan rerumputan, sampai akhirnya tiba
di padang sahara. Beliau terus berjalan hingga mencapai pegunungan, kemudian
masuk ke daerah jazirah Arab. Ibrahim menuju ke sebuah lembah yang tidak
ditumbuhi tanaman, tidak ada buah-buahan, tidak ada pepohonan, tidak ada
makanan dan tidak ada minuman. Kondisi yang menandakan bahwa tempat itu tidak
ada kehidupan di dalamnya.
Di lembah tersebut beliau
turun dari punggung hewan tunggangannya, kemudian menurunkan istri dan anaknya.
Setelah itu tanpa berkata-kata beliau meninggalkan istri dan anaknya di sana.
Mereka berdua hanya dibekali sekantung makanan dan sedikit air yang tidak cukup
untuk dua hari. Setelah melihat kiri dan kanan beliau melangkah meninggalkan
tempat itu.
Tentu saja Hajar
terperangah diperlakukan demikian. Dia membuntuti suaminya dari belakang
sembari bertanya,
"يَا
إِبْرَاهِيْمَ أَيْنَ تَذْهَبُ وَتَتْرُكُنَا بِهذَا الْوَادِي الَّذِى لَيْسَ
بِهِ أَنِيْسٌ وَلاَ شَيْئٌ ؟"
“Ibrahim, hendak pergi ke
manakah engkau? Apakah engkau akan meninggalkan kami tanpa teman di lembah yang
tidak ada sesuatu apapun ini?”.
Ibrahim tidak menjawab
pertanyaan istrinya. Beliau terus saja berjalan. Hajar kembali mengulangi
pertanyaannya, tetapi Ibrahim tetap membisu. Akhirnya Hajar paham bahwa
suaminya pergi bukan karena kemauannya sendiri. Dia mengerti bahwa Allah
memerintahkan suaminya untuk pergi. Maka kemudian dia pun bertanya:
"آللهُ أَمَرَكَ
بِهذَا ؟"
“Apakah Allah yang
memerintahkanmu untuk pergi meninggalkan kami?”
Ibrahim menjawab, “Benar".
Kemudian istri yang
shalihah dan beriman itu berkata,
"إِذًا لَا يُضَيِّعُنَا
اللهُ!"
”Jika demikian pasti
Allah tidak akan menelantarkan kami”.
Allahu Akbar Allahu Akbar
Allahu Akbar Walillahilhamdu.
Jamaah Shalat Idul Adha
rahimani wa rahimakumullah.
Lihatlah, bagaimana nabi
Ibrahim dan Hajar, mampu berprasangka baik kepada Allah jalla wa ‘ala. Mereka
amat yakin bahwa selagi bersama Allah, maka mereka tidak mungkin terlantar,
tidak akan ada yang dapat mencelakainya ataupun melukainya.
Bila kita lihat banyaknya
manusia yang frustasi dalam kehidupan ini atau banyaknya manusia sengsara,
ternyata bukan karena sedikitnya nikmat yang Allah berikan kepada mereka. Akan
tetapi karena sedikitnya husnudzon (berbaik sangka) kepada kebaikan Allah.
Padahal nikmat yang Allah berikan jauh lebih banyak dari siksa-Nya. Oleh karena
itu kita harus berbaik sangka kepada Allah; karena Allah menjelaskan dalam
sebuah hadits qudsi, bahwa Dia sesuai prasangka hamba-Nya.
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: يَقُولُ اللهُ تَعَالَى: "أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي،
وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي
نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ،
وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ
إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي
أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً"
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata,
bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, Allah berfirman, “Aku
tergantung pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya jika ia
mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam jiwanya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku.
Dan jika ia mengingat-Ku di keramaian orang, niscaya Aku akan mengingat-Nya di
hadapan sekumpulan makhluk yang lebih mulia dari mereka. Andaikan ia mendekat
kepada-ku setapak, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat
kepada-ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Dan jika ia
mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan menghampirinya dengan berlari”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Manusia wajib berbaik
sangka kepada Allah apa pun keadaannya. Karena Allah akan menyikapi hamba-Nya
sesuai prasangka tersebut. Jika hamba itu berprasangka baik, maka Allah akan
memberikan keputusan yang baik untuknya. Namun bila hamba itu berburuk sangka,
maka berarti ia telah menghendaki keputusan yang buruk dari Allah untuknya.
Allah tidak akan menyia-nyiakan harapan hamba-Nya yang senantiasa berbaik
sangka kepada-Nya.
Seorang hamba yang bijak
adalah yang senantiasa berbaik sangka kepada Allah dalam setiap keadaan. Jika
ia diberi kenikmatan, ia merasa bahwa hal ini adalah karunia dari Allah. Ia
tidak besar kepala dengan kenikmatan duniawi tersebut. Sebaliknya bila ia
didera dengan penderitaan atau kekurangan, maka ia merasa bahwa Allah sedang
mengujinya agar dapat meraih tempat yang mulia. Ia tidak berburuk sangka dengan
menganggap Allah tidak adil atau Allah telah menghinakannya.
Kita harus belajar dari
Hajar. Seorang wanita yang baru mempunyai anak bayi, kemudian ditinggalkan
suaminya di padang pasir yang gersang. Tetapi dia yakin jika ini adalah
perintah Allah, maka Allah tidak akan menterlantarkannya. Allah pasti akan
membantunya. Kisah ini bukan hanya untuk Hajar saja, dan kisah ini juga bukan
untuk zaman itu saja. Namun kisah ini akan terus berulang pada setiap zaman dan
masa. Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang
senantiasa berbaik sangka kepada-Nya dalam segala kondisi.
Yakinlah bahwa
orang-orang yang tekun beribadah kepada Allah, berakidah benar, menegakkan
shalat, berpuasa, menunaikan zakat dan menjalankan perintah agama lainnya,
pasti mereka tidak akan pernah diterlantarkan oleh Allah ta’ala…
Allahu Akbar Allahu Akbar
Allahu Akbar Walillahilhamdu.
2. Kemudian Pelajaran
yang kedua: Bersemangat dalam mencari rezeki yang halal
Setelah Ibrahim
‘alaihissalam meninggalkan istri dan anaknya, untuk kembali meneruskan
perjuangan berdakwah di jalan Allah. Hajar menyusui Ismail, sementara dia
sendiri mulai merasa kehausan. Panas terik matahari saat itu amat menyengat,
hingga terasa begitu mengeringkan kerongkongan. Setelah
dua hari, air yang dibawa habis, air susunya pun kering. Hajar dan Ismail mulai
kehausan. Pada waktu yang bersamaan, makanan pun habis. Kegelisahan dan kekhawatiran
menghantui Hajar.
Ismail mulai menangis
karena kehausan. Sang ibu pun meninggalkannya sendirian untuk mencari air.
Dengan berlari–lari kecil dia sampai di kaki bukit Shafa. Kemudian mendaki
bukit itu. Diletakkannya kedua telapak tangan di kening untuk melindungi pandangan
matanya dari terik sinar matahari. Dia menengok kesana kemari, mencari sumur,
manusia, kafilah atau berita. Namun tidak ada sesuatu pun yang tertangkap
pandangan matanya. Maka dia bergegas turun dari bukit Shafa dan berlari–lari
kecil sampai di bukit Marwa. Dia naik ke atas bukit itu, barangkali dari sana
dia melihat seseorang. Tetapi tidak membuahkan hasil.
Hajar turun dari bukit
Marwa untuk menengok bayinya. Dia mendapati Ismail terus menangis. Tampaknya
sang bayi benar-benar kehausan. Melihat anaknya seperti itu, dengan bingung dia
kembali ke bukit Shafa dan mendaki ke atasnya. Kemudian ke bukit Marwa dan naik
ke atasnya. Hajar bolak–balik antara dua bukit, Shafa dan Marwa, sebanyak tujuh
kali.
Allahu Akbar Allahu Akbar
Allahu Akbar Walillahilhamdu.
Hadirin dan hadirat yang
kami hormati.
Ada sebuah pelajaran
penting yang jarang dikupas dari kejadian ini.
Yaitu kesungguhan Hajar
dalam mencari air. Ia kerahkan segala tenaganya bolak balik dari Shafa dan
Marwa. Dia terus berusaha. Walaupun akhirnya air itu ternyata ada di dekat
anaknya sendiri. Ini memberikan pelajaran kepada kita untuk bersungguh-sungguh
dalam menjemput rezeki, dengan mengerahkan segenap kemampuan yang kita miliki.
Karena sejatinya kita diperintahkan bukan cuma melihat hasil, tapi juga
memaksimalkan usaha dan tenaga.
Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam amat menghargai orang-orang yang bekerja keras. Beliau bersabda,
"لَأَنْ
يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا
فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ"
“Seorang yang mencari
seikat kayu bakar dan mengusungnya di atas pundak, lebih mulia dibanding orang
yang meminta-minta kepada orang lain, entah ia diberi atau tidak”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu)
Beliau juga menerangkan:
"مَا
أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ،
وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ
يَدِهِ"
“Tidak ada makanan yang
lebih baik daripada apa yang dimakan seseorang dari hasil jerih payahnya
sendiri. Dan Nabi Dawud ‘alaihissalam itu makan dari hasil jerih payahnya
sendiri.” (HR. Bukhari dari al-Miqdam radhiyallahu’anhu)
Namun, walaupun kita
dituntut untuk berusaha dan bekerja secara maksimal, bukan berarti bahwa kita
diperbolehkan untuk berbuat sebebas-bebasnya. Sehingga tidak lagi memperhatikan
batasan halal dan haram. Berhati-hatilah terhadap barang haram yang masuk ke
tubuh kita. Karena tubuh yang tumbuh dari harta yang haram, tidak ada tempat
kembali untuknya melainkan neraka. Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
"لاَ
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ أَبَدًا، النَّارُ أَوْلَى بِه".
“Tidak akan masuk surga
selamanya, daging yang tumbuh dari harta yang haram. Nerakalah yang pantas
untuk menjadi tempat tinggalnya”. (HR. Tirmidzy dari Ka’ab bin ‘Ujrah
radhiyallahu ’anhu dan dinilai sahih oleh adz-Dzahaby dan al-Albany)
Makanan haram bukan hanya
daging babi, namun daging sapi pun bisa berubah menjadi haram, apabila dibeli
dengan uang yang haram seperti hasil korupsi, mencuri, hasil judi dan lain
sebagainya. Minuman haram tidak hanya whisky, namun wedang kopi pun bisa
menjadi haram, apabila dibeli dengan uang hasil kolusi. Maka waspadalah!
Hadirin yang dirahmati
Allah azza wa jalla…
3. Kemudian Pelajaran
ketiga: Menggapai Kedekatan Dengan Allah Melalui Pengorbanan
Ketika Ismail bertambah
besar, hati Ibrahim ‘alaihissalam tertambat kuat kepada putranya. Tidak
mengherankan karena Ismail hadir di kala usia Nabi Ibrahim semakin senja.
Itulah sebabnya beliau sangat mencintainya. Namun Allah berkehendak untuk
menguji Nabi-Nya dengan ujian yang amat berat.
"فَلَمَّا
بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي
أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ. قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ.
سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ"
Artinya: “Tatkala anak itu telah dewasa,
(Ibrahim) berkata: “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka apa pendapatmu tentang mimpiku itu?!”. Ia menjawab: “Wahai
ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insyaAllah engkau
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS. Ash Shâffât (37): 102)
Renungkanlah bentuk ujian yang telah Allah
berikan kepada beliau. Bagaimana kira-kira perasaan Ibrahim ‘alaihissalam pada
saat itu? Pergulatan seperti apa yang berkecamuk di dalam batinnya?
Saat itu Ibrahim berpikir tentang putranya.
Apa yang harus beliau katakan, saat beliau hendak membaringkannya di atas tanah
untuk disembelih?
Ibrahim mengambil jalan
yang paling baik, yaitu berkata dengan jujur dan lemah lembut kepada putranya.
Ketimbang menyembelihnya secara paksa.
Lihatlah kepasrahan dan
pengorbanan Ismail beserta ayahnya Ibrahim. Mereka berlomba-lomba untuk
mendapatkan cinta Allah dan kasih sayang-Nya. Walaupun dengan mengorbankan anak
tersayang.
Allahu Akbar Allahu Akbar
Allahu Akbar Walillahilhamdu.
Kaum muslimin dan
muslimat yang dimuliakan Allah subhanahu wa ta'ala.
Sadarkah kita, bahwa saat
ini kita sedang diajari oleh seorang anak dan ayahnya, tentang makna
pengorbanan kepada Allah, dalam segala hal di kehidupan ini?
Kata kurban dalam bahasa
Arab berarti mendekatkan diri. Dalam fiqih Islam dikenal dengan istilah
udh-hiyah. Sebagian ulama mengistilahkannya an-nahr sebagaimana yang dimaksud
dalam Al Quran Surah Al-Kautsar (108) ayat ke 2:
"فَصَلِّ
لِرَبِّكَ وَانْحَرْ"
Artinya: “Dirikanlah
shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah"
Akan tetapi, pengertian
kurban bukan sekadar menyembelih binatang kurban, lalu menyedekahkan dagingnya
kepada fakir miskin. Akan tetapi, secara umum, makna korban meliputi aspek yang
lebih luas.
Dalam konteks sejarah, di
mana umat Islam menghadapi berbagai cobaan, makna pengorbanan amat luas dan
mendalam. Sejarah para nabi, misalnya Nabi Muhammad shallallahu’alaihiwasallam
dan para sahabat yang berjuang menegakkan Islam di muka bumi ini memerlukan
pengorbanan. Sikap Nabi dan para sahabat itu ternyata harus dibayar dengan
pengorbanan yang teramat berat yang diderita oleh Umat Islam saat itu. Mereka
disiksa, ditindas, dan sederet tindakan keji lainnya dari kaum kafir Quraisy.
Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam pernah dilempari dengan batu oleh penduduk Thaif.
Abu Lahab dan Abu Jahal memperlakukan beliau dengan kasar dan kejam. Para
sahabat seperti Bilal ditindih dengan batu besar yang panas di tengah sengatan
terik matahari siang. Yasir dibantai dan seorang ibu yang bernama Sumayyah,
ditusuk kemaluannya dengan sebatang tombak.
Tak hanya itu, umat Islam
di Mekah juga diboikot untuk tidak mengadakan transaksi dagang. Akibatnya,
betapa lapar dan menderitanya keluarga Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
saat itu. Hingga beliau sekeluarga terpaksa memakan kulit kayu, daun-daun
kering bahkan kulit-kulit sepatu bekas.
Begitulah potret
pengorbanan untuk membela agama. Lantas apakah yang sudah kita korbankan untuk
membela akidah dan sunnah Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam?
Allahu Akbar Allahu Akbar
Allahu Akbar Walillahilhamdu.
Jamaah Shalat Idul Adha
rahimakumullah.
4. kemudian Pelajaran
yang keempat: Urgensi Mendidik Keluarga
Nabi Ismail ‘alaihissalam
tidak akan menjadi anak yang penyabar, jika tidak mendapat taufik dari Allah
ta’ala kemudian pendidikan dari ibunya. Dan Hajar tidak akan menjadi seorang
yang penyabar bila tidak diberi petunjuk oleh Allah lalu dididik oleh
nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam. Sedang nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak akan
dapat sabar jika tidak ditempa oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui
wahyu-Nya.
Keberhasilan Nabi Ibrahim
‘alaihissalam di dalam mendidik anaknya, bukanlah pekerjaan ringan, yang bisa
didapatkan dalam waktu yang singkat. Hal itu merupakan pekerjaan berat yang
membutuhkan waktu panjang. Nabi Ibrahim secara terus menerus memberikan contoh
peragaan ketaatan seorang hamba kepada Rabbnya dalam segala hal. Peragaan
inilah yang selalu ditangkap dan dihayati oleh putranya Ismail, sehingga
terpatri dalam jiwanya.
Sekarang mari kita tanya
diri kita. Sudahkah kita memberi keteladanan yang baik kepada putra putri kita?
Sudahkah kita mendoakan mereka dalam sujud kita agar menjadi anak-anak yang
salih dan salihah? Sudahkah kita menyelamatkan mereka dari lingkungan yang
rusak?
Memang untuk mendapatkan
generasi ideal, memerlukan perhatian dan pengorbanan yang sangat besar. Bahkan
harus diiringi dengan kesabaran dan keikhlasan yang tinggi. Makanya sangat
aneh, jika kita merindukan lahirnya generasi pejuang, sementara perhatian dan
pengorbanan yang diberikan untuk itu masih sangat kurang. Atau mungkin
pengorbanan dan perhatian sudah cukup besar, tapi belum proporsional. Perhatian
dan pengorbanan yang diberikan lebih banyak kepada hal-hal yang bersifat
materi, bukan pada spirit dan rohaninya.
Anak-anak kita perlu
mendapatkan perhatian yang serius dari kita para orang tua, guru dan
pemerintah. Jangan sampai hanya aspek intelektualnya yang diperhatikan, tetapi
mental dan spritualnya memprihatinkan. Jangan kita bangga dengan pendidikan
yang hanya memacu kecerdasan otak, tapi semakin hari akhlaknya semakin rusak
dan perilakunya semakin jauh dari agama.
Kita sangat mendambakan
generasi yang bertauhid dan berkarakter. Berakhlak mulia dan tekun beribadah.
Juga anak yang patuh dan hormat kepada orang tua. Kita mengharapkan generasi
yang selalu siap pakai. Siap menghadapi benturan dan tantangan hidup. Memiliki
etos kerja yang tinggi, bekerja dengan penuh dedikasi, memiliki banyak
inisiatif serta siap berkorban. Sebagaimana contoh yang telah diperagakan oleh
sosok Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan juga keluarganya, Hajar dan Ismail
‘alaihissalam.
Semoga Allah subhanahu wa
ta’ala berkenan untuk merealisasikan cita-cita mulia tersebut. Dan
mudah-mudahan kita semua dapat menggapai kedekatan kita kepada Allah melalui
Ibadah Pengorbanan. Untuk itu marilah kita berdo'a kepada Allah subhanahu wa
ta'ala:
الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ، الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ.
اللهم صل على سيدنا
محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد، اللهم
بارك على سيدنا محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد
مجيد.
اللّهُمَّ اغْفِرْ
لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، اللّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا
وَارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّوْنَا صِغَارًا.
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ
أَئِمَّتَنَا، وَوُلاَةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَوَفِّقْهُمْ جَمِيْعًا
لِتَحْكِيْمِ شَرِيْعَتِكَ، وَالْعَمَلِ بِكِتَابِكَ، وَالالْتِزَامِ بِسُنَّةِ
نَبِيِّكَ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللهم بِعزَّتِكَ
أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالُمسْلمِينَ، وأذِلَّ الشِّركَ والمشركين.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا
مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ
إِمَامًا
رَبَّنَا ظَلَمْنَا
أَنْفُسَنَا وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّا مِنَ
الْخَاسِرِيْنَ.
اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ
مِنَّا دُعَائَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا
اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ.
رَبَّنَا آتِنَا فِي
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
سُبْحَانَ رَبِّكَ
رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ
للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
والسلام
عليكم ورحمة الله وبركاتُهُ…
Pesantren “Tunas Ilmu”
Kedungwuluh Purbalingga, 9 Dzulhijjah 1435 /4 Oktober 2014
Khutbah yang disampaikan
oleh: Ust. Abdullah Zaen, Lc, MA
(Alun-alun Banyumas, Ahad, 10 Dzulhijjah 1435 H /5 Oktober 2014 M)
Disadur dan dipublikasikan
oleh: Tim Kabeldakwah.com 2023 / 1444 H
Posting Komentar untuk "Pelajaran Dari Kisah Sang Guru Teladan Nabi Ibrahim 'Alaihissalam dan Keluarganya - Khutbah Idhul Adha"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.