Sikap Hikmah Dalam Berdakwah
Ini merupakan asas dalam
berdakwah. Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ادْعُ إِلَىٰ
سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ
ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada
jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. (An-Nahl/16:125)
🔖 Ibnu Katsîr berkata dalam tafsirnya:
“Dalam ayat ini Allah
Azza wa Jalla memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad صلّى
الله عليه وسلّم agar menyeru manusia
kepada agama Allah Azza wa Jalla dengan cara hikmah.”
✏ Contoh sikap hikmah di dalam berdakwah, yaitu:
➡1. Mengiringi ’aqîdah
yang benar dengan akhlâq yang mulia.
➡2. Berwajah ceria,
menebarkan salam dan menunaikan hak-hak kaum muslimin walaupun mereka memiliki
penyimpangan selama metode hajr (boikot) belum layak untuk diterapkan.
➡3. Memperhatikan Waktu
Dan Kondisi Dalam Berdakwah
➡4. Berdakwah secara
bertahap, dari yang paling penting lalu melangkah ke hal-hal penting lainnya.
➡5. Mengutip perkataan
ulama ahlus sunnah yang dikenal dan dihormati masyarakat, dan menghindari
penyebutan nama-nama ulama ahlus sunnah yang masyarakat fhobi dengannya.
Jika masyarakat yang kita
hadapi adalah orang-orang yangg fhobi dengan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu
Qoyyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,, Syaikh Ibnu Baz, atau syaikh
Albani.Maka kita bisa membawakan nama-nama ulama yang memiliki kedudukan dihati
mereka seperti: imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Syafi'i, Imam Nawawi atau
nama-nama lain yang tidak asing di telinga mereka.
Ataupun jika terpaksa
kita membawakan keterangan yang bersumber dari perkataan ulama yang mereka
phobi dg nama2 ulama tsb maka kita bisa mengganti dengan nama lain (sebutan) yg
kurang terkenal seperti: Syaikhul Islam, Syaikh Muhammad at-Tamimi, atau cukup
menyebutkan kitab-kitab mereka.
➡6. Berdakwah dan beramar
ma’ruf serta nahi munkar secara lemah lembut.
➡7. Melarang sesuatu
kemungkaran hendaklah mengarahkan juga pada hal yang manfaat lainnya, bukan
sekedar melarang.
➡8. Mengingkari
kemungkaran hanya boleh dengan hujjah (dalil) yang jelas.
➡9. Tidak boleh
mengingkari kemungkaran dengan hal yang lebih mungkar.
➡10. Memperhatikan
generasi muda dan anak kecil tanpa mengesampingkan orang-orang yang telah
lanjut usia.
➡11. Menerapkan skala
prioritas dalam mengingkari kemungkaran.
➡12. Melandasi bantahan
terhadap ahli bid’ah dengan ilmu dan dalil bukannya dengan cercaan dan makian.
➡13. Tidak harus
menyebutkan nama tokoh atau kelompok yang menyimpang ketika mentahdzîr.
➡1.4 Mengikuti kebiasaan
masyarakat setempat selama tidak melanggar syariat, seperti tidak tampil beda
di dalam berpakaian, memakai celana atau sarung tepat di atas mata kaki, tidak
harus di tengah betis, memakai jilbab selain warna hitam, boleh mengimami
sholat di dalam mihrab, membaca basmalah secara jelas ketika menjadi imam.
➡15. Menarik simpati orang
yang ditokohkan atau memiliki kedudukan di tengah masyarakat.
➡16. Tidak Memandang
Rendah Orang Yang Didakwahi.
➡17. Menyebarkan Sunnah
Tanpa Menimbulkan Konflik (pertengkaran dan kekerasan)
➡18. Dakwah mesti dengan
cara yang tepat dengan memperhatikan kondisi masyarakat.
Mengenal masyarakat
sebelum mendakwahi mereka adalah merupakan suatu hal yang amat urgen bagi
seorang da'i; agar dia bisa memilih metode, kata-kata, sikap dan lain
sebagainya yang sesuai dengan masyarakat tersebut.
Jika kita telah mengenal
bahwa masyarakat yang kita hadapi adalah orang-orang yang phobi dengan kata
bid'ah; maka merupakan hikmah dalam berdakwah, kita menghindari pemakaian kata
ini -untuk sementara waktu hingga mereka paham istilah-istilah syar'i tersebut-
dan kita menggunakan kata-kata lain yang 'mewakilinya'.
Misalnya: "Amalan
ini tidak ada tuntunannya dari nabi kita Shallallahu’alaihiwasallam", atau
"Nabi Shallallahu’alaihiwasallam tidak mengajarkan amalan ini" atau
"Amalan ini tidak ada haditsnya" atau kalimat-kalimat lain yang lebih
terasa 'enak' di telinga mereka, sehingga mereka lebih mudah menerima dakwah
yang kita sampaikan, dan tidak keburu lari sebelum kita mengajarkan hal-hal
yang lebih fundamental kepada mereka.
📖
Allah ta’ala berfirman,
)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ
تَقُولُواْ رَاعِنَا وَقُولُواْ انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ْوَلِلكَافِرِينَ عَذَابٌ
أَلِيمٌ(
Artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad), “Raa’ina”, tetapi
katakanlah “unzhurna” dan “dengarlah”. Dan bagi orang kafir siksaan yang
pedih”. QS. Al-Baqarah: 104.
“Raa’ina” dan “Uzhurna”
adalah dua kata yang bermakna sama yaitu: “Perhatikanlah kami”. Hanya saja kata
“Raa’ina” juga mengandung makna lain yang buruk yaitu kebodohan yang amat sangat
(ru’uunah). Kata “raa’ina” ini biasa dipakai oleh orang Yahudi untuk memanggil
Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam dan tujuan mereka adalah untuk menghina
beliau Shallallahu’alaihiwasallam. Maka kaum muslimin dilarang oleh Allah
ta’ala untuk menyerupai orang Yahudi dalam pemakaian kata ini, dan
diperintahkan untuk memakai kata lain yang memiliki makna sama yaitu
“unzhurna”, apalagi kata ini tidak mengandung makna yang buruk. Ini menunjukkan
pentingnya pemilihan kata-kata yang tepat dalam berbicara.
➡19. Dakwah pada dalil
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, jangan sampai dakwah tanpa dalil, tanpa mengikuti
tuntunan.
➡20. Bersabar dan tidak
terburu-buru berharap bisa segera memetik buah dari dakwah.
📝 Penyusun Akhukum Fillah
Abu Syamil Humaidy
Posting Komentar untuk "Sikap Hikmah Dalam Berdakwah"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.