Penyesalan Surya Paloh Terhadap Jokowi - Refleksi Imajiner Surya Paloh, Don't Cry for Me Indonesia
Refleksi Imajiner Surya Paloh, Don''t Cry for Me Indonesia
Oleh: Smith Al-Hadar – Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
Beredar digroup-group
WA seiring dengan suhu panas politik pra PilPres 2024. Simak artikel yang beredar
berikut ini.
Tulisan
agak panjang, silakan yang berkenan untuk membaca,
"Penyesalan
Surya Paloh Terhadap Jokowi"
TIDAK ada yang lebih hina daripada dianiaya orang tolol. Dalam kehinaan ini, aku membuka kembali lembar demi lembar perjalanan hidupku di bawah langit hitam dan badai yang menyapu dari utara.
Ternyata hidup tak selalu
mudah. Sering tak terduga. Banyak yang telah berhasil aku capai. Tapi tak
sedikit juga yang gagal. Semuanya aku terima dengan jiwa besar dan rasa syukur.
Aku pernah cukup lama
menikmati puji-pujian, dihormati, dan hamparan rezeki yang melimpah, di saat
banyak orang di kolong langit ini menanggung kehinaan dan terbuang.
Kini, di ujung senjakala
hidupku, yang mungkin akan melumat habis seluruh prestasi dan harga diriku,
harus aku hadapi dengan kepala tegak. Pada akhirnya, mungkin saja aku akan
menemukan diri lebih hina daripada raja yang jatuh dari singgasana.
Tak kusangka teman
seperjuangan yang dulu bukan siapa-siapa, lalu kubantu dia mencapai posisi
puncak negeri besar ini, sekarang berbalik menghantamku. Dengan cara yang kejam
pula untuk alasan yang sulit dimengerti.
Mengapa aku tak bisa
mengusung seorang muda yang cakap untuk menjadi calon pengganti temanku itu
ketika mandatnya segera berakhir? Mengapa calon pemimpin yang kompeten, yang
aku yakini dapat mengurai benang kusut negeri ini, harus disingkirkan dari
cara-cara biadab? Aku kira Orba telah berakhir. Ternyata ia berinkarnasi
menjadi kingkong yang aku turut memeliharanya.
Aku kecewa pada temanku
itu. Tapi lebih kecewa lagi pada diriku sendiri. Mengapa orang seperti ini,
yang gagal memakmurkan rakyat dan merusak negara, aku bantu sepenuh hati
meskipun untuk itu aku menyengsarakan sebagian besar orang?
Aku menyesal. Tapi akan
kuhadapi tragedi ini sekalipun sendirian. Aku terluka, tapi sisa martabatku
pemberian Tuhan akan aku jaga hingga di ujung hayatku. Manusia hanya berharga
kalau dia menghargai harga dirinya. Harta bisa lenyap, gengsi bisa hilang, tapi
harga diri harus terus menyala untuk membuatku terlihat bermartabat sebagai
manusia.
Setidaknya untuk diriku
sendiri. Siapa tahu rakyat juga menghargai sikap yang kuambil sehingga menjadi
satu-satunya legacy-ku untuk rakyat, bangsa, dan negara yang aku cintai ini.
Tak aku pungkiri
karut-marut negeri saat ini tak bisa dilepaskan dari kepicikan, ambisi buruk,
dan syahwat kekuasaan pemimpin yang dulu kudukung habis-habisan. Dan aku
menikmati keuntungan materi dan non-materi dari pemerintahannya.
Media-media yang kumiliki
secara sengaja dan bersemangat menutupi semua kelemahan dan kesalahan yang
dibuat temanku itu. Jelas aku berdosa. Mengapa bukan aku sendiri yang harus
memikul akibatnya, melainkan menyeret juga rakyat ke dalam kehidupan yang
durjana ini?
Orang menuduh — dengan
mengusung temanku yang nirprestasi dan nirintegritas itu — bertolak dari
karakter oportunistikku. Bahwa aku tak peduli pada kemaslahatan rakyat dan
bangsa. Yang aku kejar hanyalah keuntungan pribadi dari pemerintahannya.
Anggapan itu tak
sepenuhnya benar. Aku tidak sedang membela diri. Sumpah, ketika itu aku juga
punya mimpi besar untuk kejayaan negeri ini. Temanku yang tampak lugu, jujur,
bersih, konon pintar pula, dan tak terkait dengan Orba, aku yakin dapat menjadi
variabel penting untuk menyelesaikan sebagian masalah, terutama terkait KKN.
Ternyata aku salah besar.
Tapi semua sudah terlambat. Korupsi, kolusi, dan nepotisme justru merajalela
selama 9 tahun periode pemerintahannya. Untuk semua itu, dan syahwat
kekuasaannya, ia lebih durjana daripada penguasa Orba. Wallahi, aku terkejut.
Tapi aku membiarkannya karena kerajaan bisnisku aman dan lancar. Meskipun
terkadang aku terbangun dari tidur ketika wajahnya yang aneh muncul dalam
tidurku.
Sekarang aku heran
sendiri, mengapa sikap resistensiku kepada kezaliman yang aku jaga sejak dulu
berubah? Padahal, dulu, ketika Soeharto sedang kuat-kuatnya, aku mendirikan
koran “Prioritas” yang kritis pada pemerintah. Pada saat bersamaan, bisnisku
berkembang. Namaku melejit di panggung nasional. Bravo, Surya Paloh!
Dus, sejak awal aku
meyakini bisnis tetapi bisa tumbuh tanpa perlu menjilat pada kekuasaan. Sekali
lagi pasti orang mengira aku oportunistik. Aku membangun “Prioritas” yang
kritis pada rezim tak lebih daripada siasat bisnisku doang.
Toh, pada waktu itu,
media yang kritis terhadap rezim pasti laku keras. Dan memang dalam waktu
singkat, oplah “Prioritas” terjual hingga 100 ribu eksemplar. Yang dilupakan
orang adalah resiko yang mungkin aku pikul jauh lebih besar ketimbang
keuntungan yang akan aku peroleh.
Aku adalah kader Golkar
dan sedang membangun bisnisku sendiri. Karier politikku pun sedang menanjak.
Aku menyadari sepenuhnya bahwa rezim dengan mudah dapat menggulung karier
politik dan bisnisku kapan saja ia kehendaki. Terbukti, tak sampai dua tahun
“Prioritas” dibreidel. Aku menyesal, tapi menyadari tak semua yang kita
inginkan di dunia ini dapat terpenuhi.
Tak lama, aku mendirikan
koran “Media Indonesia” yang sangat vokal pada Menteri Penerangan Harmoko, yang
ketika itu menjadi common enemy bagi pers nasional. Dengan mempertimbangkan
resiko besar yang mungkin kuhadapi, mestinya menggugurkan imajinasi orang bahwa
tak ada hal lain yang kukejar kecuali keuntungan materi.
Dan ketika kader partaiku
baru-baru ini digelandang sebagai koruptor ada orang yang mengaitkannya dengan
aku dan kader-kader partaiku. Aku tantang: silakan periksa kami seluruhnya.
Tapi jangan juga membatasi hanya pada aku, partaiku, dan orang-orang aku.
Periksa semua orang terkait dari ujung kanan sampai ujung kiri, dari ujung
barat hingga ujung timur. Biar semua jelas dan tak ada dusta di antara kita.
Kendati aku
berkepentingan memelihara kerajaan bisnisku, sungguh aku berkomitmen memajukan
bangsa ini melalui mediaku. Media berfungsi sebagai instrumen untuk menjaga
kewarasan publik, mengawasi pemerintah, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan.
Kalau aku hanya mengejar
keuntungan pribadi, mestinya bukan bisnis media yang aku geluti, yang beresiko
secara politik maupun kelangsungan bisnisku.
Cap oportunistik pada
diriku muncul ketika — menurut musuh rezim — partai dan mediaku menopang secara
tidak kritis terhadap rezim saat ini. Aku menganggap hal itu wajar karena,
sebagai pendukung rezim, tidak logis kalau aku mengambil sikap berbeda secara
diametral dengan pemerintah.
Biar begitu, mediaku
kadang menolak secara arif kebijakan rezim yang aku pandang berdampak luas pada
kemaslahatan bangsa secara keseluruhan. Kendati terkejut atas aniaya rezim atas
bisnisku saat ini — mungkin juga dilanjutkan dgn aniaya atas partai dan bakal
capres yang kudukung — aku tak menyesal. Tidak
bakal!
Malah, semakin kuat tekatku melawan rezim
jorok, picik, dan khianat terhadap cita-cita bangsa. Karena aku yang
bertanggung jawab terhadap kehadiran rezim durhaka ini, aku tak meminta rakyat
untuk membantuku melawannya. Boleh jadi aku kalah. Tapi aku ingin kalah secara
terhormat.
Ingat, wahai penguasa!
Ojo dumeh. Jangan mentang-mentang. Sejarah banyak mencatat tumbangnya pemimpin
besar dan pemimpin kuat karena pemimpin yang berusaha memperkuat dirinya dengan
cara-cara bedebah justru akan berbalik menghantam dirinya sendiri dari dalam
maupun dari luar. Tak perlu membaca sejarah negara lain untuk bercermin diri.
Tengoklah sejarah kita sendiri.
Siapa sangka great man
Soekarno dan strong man Soeharto terhempas dari Istana secara tak terduga dan
meninggal dalam kesunyian yang getir. Pemimpin kita yang sekarang bukan oang
besar ataupun oang kuat. Dia juga bukan orang yang cerdas. Banyak orang dengan
berbagai kepentingan menjemput dia dari kampung halamannya untuk menjadi proksi
bagi kepentingan mereka. Aku ikut-ikutan karena termakan propaganda bahwa dia
walikota terbaik dunia, pembuat mobil Esemka. Pasti orang ini luar biasa!
Sebenarnya aku cukup
heran pemimpin dengan kapasitas sangat terbatas ini bertahan hingga dua
periode. Tapi aku sadari bahwa kekuasaannya awet karena pencitraan manipulatif
yang menipu rakyat, menipu kita semua. Aku ingin mengungkap siapa dia
sebenarnya. Tapi dia telah bertransformasi menjadi penguasa yang berbahaya bagi
negara,bagi diriku sendiri. Ia menciptakan kerusakan yang hampir menyeluruh. Ia
memanjakan oligarki, melayani kepentingan Cina, membangun politik dinasti,
menimbun utang yang harus dibayar rakyat, memarakkan korupsi, meninggalkan
legacy IKN dan proyek infrastruktur lain yang mangkrak. Astaghafirullahul azim!
Aku belum pernah merasa bersalah seperti ini.
Untuk semua ini, ditambah
kebijakan-kebijakan yang melanggar banyak aturan bernegara, semestinya rezim
ini telah kehilangan legitimasi. Namun, karena kebodohan, ketakutan, dan
dikendalikan kekuatan lain, bukannya memperbaiki kesalahan di ujung
pemerintahannya, ia justru bertindak ngawur, ceroboh, dan mengekspos
keluarganya ke hadapan bahaya.
Ia tak mau belajar pada
nasib keluarga Soekarno yang harus hidup terkucil dan dibatasi akses politik
dan ekonomi mereka dalam waktu lama. Ia juga lupa pada nasib keluarga Soeharto
yang dimaki dan dikucilkan masyarakat. Putera bungsu Soeharto bahkan harus mendekan
dalam penjara.
Aku menyesal harus
mengungkap hal-hal buruk tentang pemerintahan yang kelahirannya turut aku
bidani. Silakan Anda tak percaya, tapi sesungguhnya dengan mengusung tokoh muda
cemerlang untuk menjadi presiden berikut, aku berikhtiar untuk menebus dosaku
kepada rakyat.
Tak kuduga begitu bengis
reaksinya. Ia terus berupaya menghancurkan seluruh napas hidupku. Tak apa. Aku
dididik orang tuaku, kebudayaanku, dan agamaku, untuk senantiasa melawan
kemungkaran. Mendiamkannya berarti aku lebih zalim daripada penzalim itu
sendiri. Mungkin banyak orang menertawaiku karena dipecundangi orang yang bukan
dari kelasku. Aku terima kalau ditertawai rakyat yang dulu pernah
memperingatkan aku tentang watak asli temanku ini. Ketika itu aku malah balik menertawai
mereka. Aku menyesal, tapi tak usah memaafkan aku.
Memang pahit di puncak
kesuksesanku sebagai politisi dan pengusaha aku dipecundangi lelaki dungu, tak
tahu balas budi, dan tak tahu hukum-hukum kehidupan. Tapi akan kuhadapi semua
ini dengan dada yang membusung.
Percuma kau menindas
Surya Paloh! Aku berdiri di sini, telanjang dalam ruang terang, tanpa
siapa-siapa. Aneh kalau kau yang
powerful berani menghadapi orang seperti ini, orang yang terzalimi dan yang kau
khianati.
Biarlah aku kalah. Dan
dilupakan. Kalaupun ada yang peduli pada diriku, aku ingin Surya Paloh dikenang
sebagai orang yang kalah dalam perjuangan. Itu
saja!
Tangsel, 21 Mei 2024
Posting Komentar untuk "Penyesalan Surya Paloh Terhadap Jokowi - Refleksi Imajiner Surya Paloh, Don't Cry for Me Indonesia"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.