Tanda - Tanda Baligh Anak Laki - laki dan Perempuan
Tanda-tanda baligh untuk
laki-laki antara lain:
1. Ihtilam, yaitu keluarnya mani
baik karena mimpi atau karena lainnya.
Dalilnya antara lain adalah:
a) Firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ
صَلاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ
صَلاةِ الْعِشَاءِ ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلا عَلَيْهِمْ
جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ * وَإِذَا بَلَغَ
الأطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِهِمْ
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah
budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum
mencapai "hulm" (ihtilaam) di antara kamu, meminta izin kepada kamu
tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu
menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya. (Itulah) tiga 'aurat bagi
kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga
waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada
sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai
"hulm" (ihtilaam/usia baligh), maka hendaklah mereka meminta izin,
seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin" (QS. An-Nuur: 59).
Segi pendalilan dari ayat
ini adalah bahwa hulm (ihtilam) dijadikan batas kewajiban bagi seorang anak
untuk meminta ijin di semua waktu ketika ia hendak memasuki kamar orang tuanya.
Ini adalah asal hukum dalam minta ijin (yaitu minta ijin sebelum masuk).
Berbeda halnya ketika ia belum mencapai hulm, maka ia hanya dibebankan meminta
ijin di tiga waktu saja, dan tidak mengapa baginya jika ia masuk (tanpa ijin)
di selain tiga waktu tersebut.
b) Dari Abu Sa’id
Al-Khudriy radliyallaahu ’anhu: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa
sallam pernah bersabda:
غسل يوم الجمعة
على كل محتلم، وسواك، ويمس من الطيب ما قدر عليه
"Mandi pada hari Jum’at (sebelum
menunaikan shalat Jum’at) adalah kewajiban bagi setiap orang yang telah
ihtilam; demikian pula bersiwak dan memakai wewangian semampunya" (HR. Al-Bukhari
no. 880 dan Muslim no. 846-7).
Ihtilaam dijadikan batas
taklif dalam syari’at. Begitu pula dengan hadits-hadits di bawah:
c) Dari Ali (bin Abi
Thaalib) ’alaihis-salaam, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda:
رفع القلم عن
ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل
"Diangkat pena
(tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang, yaitu: orang yang tidur hingga
bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal" (HR. Abu Dawud no. 4403 dan At-Tirmidzi no. 1423;
shahih).
d) Dari Mu’adz radliyallaahu ’anhu:
أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم بعثه إلى اليمن وأمره أن يأخذ من كل حالم دينارا
"Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
’alaihi wa sallam mengutusnya ke Yaman dan memerintahnya untuk mengambil dari
setiap orang yang telah ihtilam satu dinar" (HR. An-Nasa’i no. 2450,
Al-Baihaqi dalam Al-Kubra no. 19155, dan Ahmad no. 21532; shahih).
Para ulama telah sepakat bahwa ihtilam
merupakan tanda kedewasaan bagi anak laki-laki dan perempuan. Al-Haafidh Ibnu
Hajar rahimahullah berkata:
وقد أجمع
العلماء على أن الاحتلام في الرجال والنساء يلزم به العبادات والحدود وسائر
الأحكام
“Para ulama telah sepakat/ijma’ bahwasannya
ihtilaam pada laki-laki dan perempuan mewajibkan dengannya (untuk
diberlakukannya) ibadah, huduud, dan seluruh perkara hukum" (Fathul-Baariy,
5/277).
2. Tumbuhnya Rambut Kemaluan.
Para ulama berbeda
pendapat mengenai hal ini.
Madzhab Hanafiyyah
berpendapat bahwa tumbuhnya rambut kemaluan bukan merupakan tanda baligh secara
mutlak (lihat Raddul-Muhtaar 5/97, Al-Bahrur-Raaiq 3/96, dan Syarh
Fathil-Qadiir 9/276).
Madzhab Hanabilah dan
satu riwayat dari Abu Yusuf dari madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa tumbuhnya
rambut kemaluan merupakan tanda baligh secara mutlak (lihat Al-Muharrar 1/347,
Al-Furuu’ 4/312, Al-Inshaaf 5/320, Al-Mubdi’ 4/332, Syarhul-Muntahaa 4/560, dan
Raddul-Muhtaar 5/97).
Madzhab Malikiyyah
terpecah menjadi dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa tumbuhnya
rambut kemaluan merupakan tanda baligh secara mutlak, dan inilah pendapat yang
masyhur dalam madzhab (lihat Asy-Syarhul-Kabiir 3/293 – tercetak bersama
Haasyiyyah Ad-Daasuqiy). Pendapat kedua mengatakan bahwa ia merupakan tanda
baligh yang menyangkut hak-hak anak Adam dalam beberapa hukum seperti qadzaf
(menuduh wanita baik-baik telah berbuat zina), potong tangan, dan pembunuhan.
Adapun yang menyangkut hak-hak kepada Allah ta’ala, maka ia bukan sebagai tanda
baligh (lihat Mawaahibul-Jaliil 5/59 dengan catatan pinggirnya: At-Taaj
wal-Ikliil 5/59).
Madzhab Syafi’iyyah
berpendapat bahwa tumbuhnya rambut kemaluan merupakan tanda baligh untuk orang
kafir. Adapun bagi muslimin, maka mereka berbeda pendapat. Satu pendapat
mengatakan bahwa ia merupakan tanda baligh sebagaimana orang kafir, dan
pendapat lain – dan ini yang shahih dalam madzhab – mengatakan bahwa ia bukan
tanda baligh (lihat Mughnil-Muhtaaj 2/167, Raudlatuth-Thaalibiin 4/178,
Al-Muhadzdzab 1/337-338, dan Al-Wajiiz 1/176).
Pendapat yang rajih dari
keempat madzhab tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa tumbuhnya rambut
kemaluan merupakan tanda baligh secara mutlak bagi muslim atau kafir, baik
menyangkut hak Allah atau hak anak Adam. Adapun dalil yang dijadikan hujjah
antara lain adalah:
a) Dari ’Athiyyah, ia
berkata:
عرضنا على النبي
صلى الله عليه وسلم يوم قريظة فكان من أنبت قتل ومن لم ينبت خلي سبيله فكنت ممن لم
ينبت فخلي سبيلي
“Kami dihadapkan kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pada hari Quraidhah (peristiwa pengkhianatan Bani Quraidhah),
di situ orang yang sudah tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sedang orang yang
belum tumbuh dibiarkan. Aku adalah orang yang belum tumbuh maka aku dibiarkan"
(HR. At-Tirmidzi no. 1584, An-Nasa’i no.
3429, dan yang lainnya; shahih).
b) Dari Samurah bin Jundub bahwasannya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اقتلوا شيوخ
المشركين واستبقوا شرخهم
"Bunuhlah orang-orang tua dari kalangan
kaum musyrikiin dan biarkanlah syark". (Abu Dawud no. 2670 dan At-Tirmidzi
no. 1583; dla’if). Syarkh adalah anak-anak yang belum tumbuh bulu kemaluannya.
Pembedaan antara orang kafir dan orang muslim
adalah pembedaan yang sangat lemah. Telah shahih dari beliau shallallaahu
’alaihi wa sallam larangan membunuh anak-anak orang kafir yang bersamaan beliau
memerintahkan untuk membunuh orang-orang yang telah tumbuh rambut kemaluannya –
sehingga dapat dipahami bahwa tumbuhnya rambut kemaluan merupakan tanda baligh
bagi mereka. Hukum baligh ini bersifat umum lagi mutlak. Oleh karena itu jika
seorang imam menangkap dan menghukum seorang pelaku bughat dari kalangan
muslimin, maka ia pun hanya boleh membunuh mereka yang telah baligh, tidak pada
anak-anak. Dan tanda baligh ini dapat diketahui salah satunya dengan tumbuhnya rambut
kemaluan pada mereka.
Begitu juga dengan
pendapat Malikiyyah yang membedakan antara hal Allah dan hak anak Adam. Jika
dikatakan bahwa syari’at telah melarang membunuh anak-anak dalam peperangan,
maka ini merupakan ketentuan yang datang dari Allah yang harus dipenuhi oleh
manusia (kaum muslimin). Tidak bisa dikatakan bahwa menjalankan perintah
tersebut adalah sebagai pemenuhan hak anak Adam, bukan pemenuhan hak Allah.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
وفي هذا بيان أن
الإنبات علم على البلوغ وعلى أنه علم في حق أولاد المسلمين والكفار وعلى أنه يجوز
النظر الى عورة الأجنبي للحاجة من معرفة البلوغ وغيره
"Dan dalam hal ini terdapat penjelasan
bahwa tumbuhnya rambut kemaluan adalah tanda balighnya seseorang, bagi
anak-anak kaum muslimin dan orang-orang kafir; dan juga menunjukkan bolehnya
melihat aurat orang lain bila diperlukan untuk mengetahui baligh dan tidaknya
seseorang serta untuk yang lainnya (lihat Tuhfatul-Maulud bi Ahkaamil-Maulud
oleh Ibnul-Qayyim hal. 210).
3. Mencapai Usia
Tertentu.
Para ulama berbeda
pendapat mengenai hal ini. Di antara pendapat-pendapat tersebut antara lain:
a) Madzhab Syafi’iyyah (Mughni-Muhtaaj
2/165, Raudlatuth-Thaalibiin 4/178, dan Al-Muhadzdzab 1/337-338), Hanabilah (Al-Muharrar
1/347, Al-Furuu’ 4/312, Al-Inshaaf 5/320, Al-Mubdi’ 4/332, dan Syarhul-Muntahaa
4/560); pendapat yang dipilih Ibnu Wahb dari madzhab Malikiyyah (As-halul-Madaarik
2/159 dan Mawaahibul-Jaliil 5/59), Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan dari
Hanafiyyah, serta satu riwayat dari Abu Hanifah (Al-Bahrur-Raaiq 3/96 dan Syarh
Fathil-Qadiir 9/276) – yaitu lima belas tahun untuk laki-laki dan perempuan.
b) Delapan belas tahun
untuk laki-laki dan tujuh belas tahun untuk perempuan (Al-Bahrur-Raaiq 3/96 dan
Syarh Fathil-Qadiir 9/276).
c) Madzhab Malikiyyah,
ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan delapan belas tahun untuk laki-laki
dan perempuan (Ashalul-Madaarik 3/159), sembilan belas tahun, tujuh belas
tahun, dan enam belas tahun (Mawaahibul-Jaliil 5/59 dan Haasyiyyah Ad-Dasuuqiy
3/293).
d) Ibnu Hazm berpendapat
sembilan belas tahun (Al-Muhalla, permasalahan no. 119).
Dalil yang dianggap
paling shahih dan sharih oleh ulama yang memberikan batasan usia yang dibawakan
dalam permasalahan ini adalah hadits yang dibawakan oleh pendapat pertama (lima
belas tahun) dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma, ia berkata:
عرضني رسول الله
صلى الله عليه وسلم يوم أحد في القتال. وأنا ابن أربع عشرة سنة. فلم يجزني. وعرضني
يوم الخندق، وأنا ابن خمس عشرة سنة. فأجازني.
قال نافع: فقدمت
على عمر بن عبدالعزيز، وهو يومئذ خليفة. فحدثته هذا الحديث. فقال: إن هذا لحد بين
الصغير والكبير. فكتب إلى عماله أن يفرضوا لمن كان ابن خمس عشرة سنة. ومن كان دون
ذلك فاجعلوه في العيال.
"Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa
sallam menunjukku untuk ikut serta dalam perang Uhud, yang ketika itu usiaku
empat belas tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku. Dan kemudian beliau
menunjukku kembali dalam perang Khandaq, yang ketika itu usiaku telah mencapai
lima belas tahun. Beliau pun memperbolehkanku".
Naafi’ berkata: "Aku datang kepada ’Umar
bin ’Abdil-’Aziz yang ketika itu menjabat sebagai khalifah, lalu aku beri tahu
tentang hadits tersebut. Kemudia ia berkata: ’Sungguh ini adalah batasan antara
kecil dan besar’. Maka ’Umar menugaskan kepada para pegawainya untuk mewajibkan
bertempur kepada orang yang telah berusia lima belas tahun, sedangkan usia di
bawahnya mereka tugasi untuk mengurus keluarga orang-orang yang ikut berperang"
(HR. Al-Bukhari no. 2664, Muslim no. 1868,
Ibnu Hibban no. 4727-4728, dan yang lainnya).
Namun, hadits ini pun tidak menunjukkan secara
sharih bahwa usia lima belas tahun adalah batas usia baligh. Hadits ini masih
mengandung kemungkinan bahwa pelarangan Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam
bukan karena faktor baligh, namun karena masih kecilnya Ibnu ’Umar sehingga
tidak dipandang mempunyai kemampuan/kecakapan untuk berperang. Ini terlihat dari
ijtihad ’Umar bin ’Abdil-’Aziz yang hanya menandakan usia tersebut sebagai
batas besar dan kecil untuk ikut berperang. Bukan baligh dan tidak
baligh.
Pendapat yang rajih dalam
permasalahan ini adalah tidak ada batasan usia tertentu untuk baligh. Dan inilah
pendapat yang dikutkan Ibnul-Qayyim rahimahullah, dimana beliau berkata:
وليس لوقت
الاحتلام سن معتاد بل من الصبيان من يحتلم لاثنتي عشرة سنة ومنهم من يأتي عليه خمس
عشرة وست عشرة سنة وأكثر من ذلك ولا يحتلم
"Untuk waktu ihtilaam tidak ada batas
usianya, bahkan anak-anak yang berusia dua belas tahun bisa ihtilaam. Ada juga yang sampai lima
belas tahun, enam belas tahun, dan seterusnya namun belum ihtilaam" (Tuhfatul-Maudud
hal. 208).
Kemudian beliau melanjutkan:
وقال داود
وأصحابه لا حد له بالسن إنما هو الاحتلام وهذا قول قوي
"Dawud (Adh-Dhahiriy) dan
shahabat-shahabatnya berkata: ’Tidak ada batasan tertentu untuk usia baligh. Batas yang benar hanyalah
ihtilam’. Ini adalah pendapat yang kuat" (idem, hal. 209).
Tanda-tanda baligh untuk
perempuan antara lain:
Adapun tanda balighnya
anak perempuan bisa sama seperti laki-laki, namun ditambah dengan keempatnya,
yaitu haidl, berkembangnya alat-alat untuk berketurunan, serta
membesarnya buah dada. Para ulama telah ijma’ bahwasannya haidl merupakan
tanda baligh bagi seorang wanita. Al-Haafidh
berkata:
وقد أجمع
العلماء على أن الحيض بلوغ في حق النساء
“Para ulama telah sepakat
/ ijma’ bahwasannya haidl merupakan tanda baligh bagi wanita" (Fathul-Baariy,
5/277).
Kesimpulan:
Batas usia baligh bagi
anak laki-laki dan perempuan adalah ihtilam. Khusus, bagi anak perempuan, atau
ia telah mengalami haidl. Namun apabila ia sulit mengetahui apakah orang
tersebut telah ihtilam (atau bagi anak perempuan ia terlambat haidl - atau
bahkan tidak mengalami haidl sama sekali), maka tanda balighnya diambil dari
tumbuhnya rambut kemaluan.
Bila anak sudah mengalami
salah satu tanda di atas, maka ia telah baligh yang dengan itu ia telah sampai
pada usia taklif. Wajib baginya mengerjakan ibadah dan seluruh amalan wajib.
Adapun sebelum itu, maka perintah hanyalah sebagai pembiasaan dan menjadikannya
suka. Wallaahu a’lam.
Oleh: Abul jauzaa' Dony Arif Wibowo
Posting Komentar untuk "Tanda - Tanda Baligh Anak Laki - laki dan Perempuan"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.