Shalat Sunnah Setelah Ashar, Terlarang atau Ada Syariatnya?
Sebagian ikhwah mungkin telah mendengar
ataupun membaca pembahasan tentang hukum shalat sunnah ba’diyyah ‘Ashar. Bisa dikatakan,
kebanyakan di antara kita menghukumi shalat sunnah tersebut adalah terlarang.
Oleh karena itu, di sini saya tertarik untuk menuliskan pembahasan ringkas yang
telah dihimpun oleh sebagian ulama mengenai permasalahan di maksud. Sebagai
informasi awal, di akhir tulisan ini saya membawakan kesimpulan yang sedikit
berbeda dengan mayoritas ikhwah. Tidak lupa, mohon koreksi atau tegur sapanya
jikalau apa yang ditulis disini terdapat hal-hal yang perlu didiskusikan. Wal-ilmu ‘indallah……………
Hadits Pertama
عن أبي هريرة
قال نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلاتَيْنِ بَعْدَ
اْلفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ اْلعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ
الشَّمْسُ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia
berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang dua macam shalat:
Shalat ba’da Shubuh hingga terbit matahari dan shalat ba’da ‘Ashar hingga terbenamnya
matahari” (HR. Al-Bukhari nomor 563 dan Muslim nomor 825).
عن عمرو بن عبسة
السلمي: ..... فَإِذَا أَقْبَلَ اْلفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلاةَ مَشْهُوْدَة
مَحْضُوْرَة حَتَّى تُصَلِّيَ اْلعَصْرَ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاةِ حَتَّى
تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَإِنَّهَا تَغرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانِ وَحِيْنَئِذ
يَسْجُدُ لَهَا اْلكُفَّارُ
Dari ‘Amr bin ‘Abasah radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “…..Jika bayangan telah condong (waktu zawal), maka kerjakanlah shalat, karena shalat pada waktu itu disaksikan dan dihadiri (oleh para malaikat). Hingga engkau mengerjakan shalat ‘Ashar. Setelah itu, janganlah engkau shalat hingga matahari terbenam. Karena matahari terbenam di antara dua tanduk syaithan. Pada saat itu, orang-orang kafir sujud padanya” (HR. Muslim nomor 832).
Hadits Kedua
عن أم سلمة صلى
النبي صلى الله عليه وسلم بعد العصر ركعتين وقال شغلني ناس من عبد القيس عن
الركعتين بعد الظهر
Dari Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa ia
berkata: “Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah shalat dua raka’at setelah
‘Ashar, lalu beliau bersabda: Orang-orang dari suku ‘Abdul-Qais telah
menyibukkanku dari shalat dua raka’at setelah Dhuhur” (HR. Al-Bukhari secara
mu’allaq juz 1 halaman 150 tartib Maktabah Sahab – disambung sanadnya dalam
Al-Mushannaf dan Al-Musnad, akan tetapi dla’if sebagaimana dijelaskan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar Shahih Al-Bukhari juz 1 halaman 197).
عن أم سلمة قالت
شُغِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَكْعَتَيْنِ
قَبْلَ اْلعَصْرِ فَصَلاهُمَا بَعْدَ اْلعَصْرِ
Dari Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa ia
berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallham dibuat sibuk atas satu
urusan sehingga tidak sempat mengerjakan shalat dua raka’at sebelum ‘Asar. Maka beliau
mengerjakannya setelah ‘Ashar” (HR. An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa’ nomor 580;
hasan shahih).
Hadits Ketiga
عن عائشة قالت
وَالَّذِيْ ذَهَبَ بِهِ مَا تَرَكَهُمَا حَتَّى لَقِيَ اللهَ وَمَا لَقِيَ اللهَ
تَعَالَى حَتَّى ثَقُلَ عَنِ الصَّلاةِ وَكَانَ يُصَلِّيَ كَثِيْرًا مِنْ صَلاتِهِ
قَاعِدًا تَعْنِيْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ اْلعَصْرِ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْهِمَا وَلا يُصَلِّيْهِمَا فِيْ اْلمَسْجِدِ
مُخَافَةَ أَنْ يُثَقِّلَ عَلَى أُمَّتِهِ وَكَانَ يُحِّبُ مَا يُخَفِّفُ عَنْهُمْ
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata:
“Demi Allah, beliau tidak pernah meninggalkan shalat dua raka’at sehingga
beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bertemu dengan Allah, dan beliau tidak
bertemu dengan Allah ta’ala hingga beliau merasa berat melakukan shalat. Dan
beliau sering melakukan shalatnya dengan duduk, yaitu shalat (sunnah) dua
raka’at setelah ‘Ashar dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa mengerjakan
shalat (sunnah) dua raka’at setelah ‘Ashar itu tidak di dalam masjid karena
takut akan memberatkan umatnya dan beliau senang terhadap sesuatu yang membuat
ringan bagi umatnya” (HR. Al-Bukhari nomor 565).
Hadits Keempat
عن أبي سلمة
أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ عَنِ السَّجدَتَيْنِ اللَّتَيْنِ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْهِمَا بَعْدَ اْلعَصْرِ فَقَالَتْ كَانَ
يُصَلِّيْهِمَا قَبْلَ اْلعَصْرِ ثُمَّ إِنَّهُ شَغَلَ عَنْهُمَا أَوْ نَسِيَهُمَا
فَصَلاهُمَا بَعْدَ اْلعَصْرِ ثُمَّ أَثْبَتَهُمَا وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلاةً
أَثبَتَهَا قال يحيى بن أَيوب قال إسماعيل تعني داوم عليها
Dari Abu Salamah bahwasannya ia bertanya
kepada ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa tentang dua sujud (maksudnya: dua raka’at)
yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ba’da Ashar. Maka
‘Aisyah menjawab: “Beliau biasa shalat dua raka’at sebelum ‘Ashar, namun
kemudian beliau dibuat sibuk atau beliau lupa mengerjakannya. Maka beliau
shallallaahu ‘alaihi wasallam mengerjakannya (yaitu menggantinya) ba’da ‘Asar
dan menetapkannya. Dan adalah beliau apabila biasa mengerjakan suatu shalat maka beliau
menetapkannya”. Telah berkata Yahya bin Ayyub (perawi hadits): Telah berkata
Isma’il: “Yaitu mendawamkannya (= selalu mengerjakannya)”.
Dalam riwayat lain:
عن عائشة قالت
مَا تَرَكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ
اْلعَصْرِ عِنْدِيْ قَطّ
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata:
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan dua raka’at
ba’da ‘Ashar di sisiku”.
Dalam riwayat lain:
عن عائشة قالت
صَلاتَانِ مَا تَرَكَهمَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ
بَيْتِيْ قَطّ سِرًا وَلا عَلانِيَةً رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ اْلفَجْرِ
وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ اْلعَصْرِ
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata:
“Dua shalat yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam di rumahku dalam keadaan apapun yaitu: Dua raka’at sebelum
Fajar/Shubuh dan dua raka’at setelah ‘Ashar” (HR. Al-Bukhari nomor 566-567 dan
Muslim nomor 835).
Hadits Kelima
عن عائشة قالت
مَا كَانَ النّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِيْنِيْ فِيْ يَوْم
بَعْدَ اْلعَصْرِ إِلا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata:
“Tidaklah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasalam mendatangiku di suatu hari setelah
‘Ashar melainkan beliau mengerjakan shalat dua raka’at” (HR. Al-Bukhari nomor
568).
Hadits Keenam
عن علي قال قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يُصَلِّى بَعْدَ اْلعَصْرِ إِلا أَنْ تَكُوْنَ
الشَمْسُ بَيْضَاءَ مُرْتَفِعَة
Dari ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu
ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam: “Janganlah
seseorang shalat setelah ‘Ashar kecuali bila matahari masih putih dan tinggi’ (HR.
Ibnu Khuzaimah nomor 1284 – lihat pula yang semakna di nomor 1285; Abu Dawud
nomor 1274; An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa nomor 573, dan lain-lain; shahih).
Dari beberapa hadits di
atas memberikan pemahaman sebagai berikut:
a. Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam pernah melarang melaksanakan shalat sunnah ba’da ‘Ashar
(shalat sunnah rawatib) dengan larangan yang bersifat muthlaq.
b. Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam pernah mengerjakan shalat sunnah ba’da ‘Asar sebagai ganti
shalat sunnah dua raka’at ba’da Dhuhur atau dua raka’at qabla (sebelum) ‘Ashar
karena kesibukan beliau dalam melayani sebagian shahabatnya.
c. Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam kemudian membiasakan shalat sunnah setelah ‘Ashar di rumah
sebagaimana persaksian ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa. Hal ini beliau lakukan
sampai akhir hidupnya (Lihat makna yang terambil dalam penyebutan hadits ketiga
– HR. Al-Bukhari nomor 565. Cermati pula kejelasan hadits keempat dan kelima).
d. Pembolehan shalat
sunnah setelah ‘Ashar ini diberikan dengan taqyid jika matahari masih
tinggi/panas dan bercahaya putih (belum meredup) sebagaimana dikhabarkan oleh
‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu. Adapun jika matahari telah redup
cahayanya, maka kita tidak boleh mengerjakan shalat sunnah ba’da Asar
sebagaimana keumuman larangan dalam hadits nomor 1 (pertama).
Jika dikatakan bahwa
shalat ba’da ‘Ashar yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam di
rumah ‘Aisyah harus dibawa pada makna hadits Ummu Salamah, yaitu sebagai ganti
karena kesibukan beliau sehingga tidak sempat mengerjakan shalat sunnah dua
raka’at ba’da (setelah) Dhuhur/qabla (sebelum) ‘Ashar; maka ini tidaklah tepat.
Dhahir hadits di atas (hadits ketiga, keempat, dan kelima) bertentangan dengan
itu dimana ia menetapkan bahwa shalat sunnah ba’da ‘Ashar yang dilakukan Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah shalat yang di-dawam-kan (dilakukan secara
terus-menerus). Bukan sesekali saja. Jika alasan tersebut diterima, tentu
bukanlah hal yang terjadi secara terus-menerus. Sebuah kebiasaan yang dilakukan
oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menunjukkan Sunnah-nya perbuatan
tersebut.
Sebagian ulama mengatakan
bahwa perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam men-dawamkan shalat sunnah
ba’da ‘Ashar adalah kekhususan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam saja.(1)
Pendapat ini tidak bisa diterima. Pada asalnya, seluruh perkataan dan perbuatan
beliau merupakan syari’at yang berlaku bagi seluruh umatnya, kecuali ada
qarinah (keterangan) yang menyebutkan bahwa hal itu merupakan kekhususan beliau
saja. Dan dalam hal ini tidak ada. Selain telah tetap/shahih adanya perbuatan
beberapa shahabat yang melakukan hal tersebut, maka hadits menggabungkan
nash-nash yang (kelihatan) bertentangan di sini adalah sangat memungkinkan.
Yaitu, kebolehan tersebut dibatasi waktu jika matahari masih panas/berwarna
putih (sebagaimana nomor 6).
Adapun atsar yang
ternukil dari ‘Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu dimana beliau memukul
orang yang mengerjakan shalat sunnah ba’da ‘Ashar(2) tidak otomatis membatalkan
sunnah ini. Sangat mungkin dalam hal ini beliau (‘Umar) lakukan karena beliau
belum mengetahui perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam. Telah
dimaklumi bahwa orang yang mengetahui merupakan hujjah bagi orang yang tidak
mengetahui. Pengetahuan ‘Aisyah - juga ’Ali bin Abi Thalib dan Abu Sa’id
Al-Khudriy dalam atsar yang lain - radliyallaahu ‘anhum tentang masyru’-nya
shalat sunnah ba’da ‘Ashar merupakan hujjah bagi ‘Umar dan orang yang semisal
dengan beliau.
Dalam riwayat yang
disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaly(3) disebutkan alasan ‘Umar bin Khaththab
radliyallaahu ‘anhu memukul shahabat Tamim Ad-Daari yang melakukan shalat dua
raka’at ba’da ‘Ashar adalah ijtihad beliau akan sadduz-dzari’ah akan kemunculan
satu kaum setelah generasi shahabat yang menganggap sunnah untuk menyambung
shalat ba’da ‘Ashar sampai terbenamnya matahari (yang ini merupakan waktu yang
dilarang oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasalam). Alasan yang sama juga
ternukil dari pelarangan Ibnu ‘Abbas.(4) Dengan adanya hadits Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam nomor 6 di atas, alasan ‘Umar bin Khaththab dan
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ’anhum tersebut tidak lagi menjadi sebuah alasan yang
kuat sebab beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri telah menegaskan
kebolehan ini sepanjang matahari masih tinggi dan putih (belum kuning
kemerah-merahan). Dan hal ini dikuatkan oleh hadits:
عن عقبة بن عامر
الجهني يقول ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّي
فِيهِنَّ, وَأَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ اَلشَّمْسُ
بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ, وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ اَلظَّهِيرَةِ حَتَّى
تَزُولَ اَلشَّمْسُ, وَحِينَ تَتَضَيَّفُ اَلشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani ia berkata:
“Ada tiga waktu dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang kami
untuk melakukan shalat dan menguburkan jenazah: Ketika matahari terbit persis
hingga meninggi, ketika matahari tepat di atas kepala hingga tergelincir, dan
ketika matahari hampir tenggelam” (HR. Muslim nomor 831 – lafadh ini diambil
dari Bulughul-Maraam hadits nomor 176 – ada sedikit perbedaan lafadh di sini
dengan lafadh yang ada dalam Shahih Muslim).
Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir
di atas menegaskan penjelasan larangan shalat ba’da ‘Ashar, yaitu ketika
matahari hampir tenggelam (sinarnya sudah tampak kemerahan). Tidak keseluruhan
waktu secara mutlak setelah penunaian shalat ‘Ashar.
Pernyataan ‘Aisyah
radliyallaahu ‘anhaa pengetahuannya shalat sunnah ba’da ‘Ashar
عن المقدام بن شريح
عن أبيه قال سألت عائشة عن الصلاة بعد العصر فقالت صل إنما نهى رسول الله صلى الله
عليه وسلم عن الصلاة إذا طلعت الشمس
Dari Al-Miqdaam bin Syuraih dari ayahnya ia
berkata: Aku bertanya kepada ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa tentang shalat sunnah
ba’da ‘Ashar. Maka ia menjawab: “Shalatlah. Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam hanya melarang shalat ketika matahari terbit” (HR. Ibnu Hibban
nomor 1568. Lihat Ta’liqaatul-Hisaan ‘alaa Shahih Ibni Hibban nomor 1566;
shahih).
Perkataan ‘Aisyah bahwa larangan shalat sunnah
hanya pada waktu matahari terbit bukanlah pembatasan yang bersifat mutlak.
Sebab ia sendiri telah membawakan riwayat adanya pelarangan selain waktu
tersebut seperti hadits:
عن عائشة أنها
قالت لم يدع رسول الله صلى الله عليه وسلم الركعتين بعد العصر قال فقالت عائشة قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تتحروا طلوع الشمس ولا غروبها فتصلوا عند ذلك
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata:
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan shalat
sunnah dua raka’at setelah ‘Ashar”. ‘Aisyah berkata: Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam: “Janganlah kalian mencari-cari waktu terbit dan
terbenamnya matahari lalu mengerjakan shalat pada waktu tersebut” (HR. Muslim
nomor 833).
Walhasil, shalat sunnah dua raka’at setelah
‘Ashar adalah masyru’ apabila matahari masih tinggi dimana hal ini sesuai
dengan nash-nash shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan
inilah pendapat sebagian shahabat seperti: ‘Ali bin Abi Thalib, Az-Zubair,
Tamim Ad-Daari, Abu Ayyub, Abu Musa, Zaid bin Khalid Al-Juhhani, Ibnu Zubair,
An-Nu’man bin Basyiir, dan Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhum. Dari kalangan
ulama tabi’in: Al-Aswad, Masruq, Syuraih. Amru bin Maimun, Abdurrahman bin
Al-Aswab, ‘Ubaidah, Al-Ahnaf bin Qais, dan Thawus. Ibnu ‘Abdil-Barr
menghikayatkan diantara tabi’in yang berpendapat demikian adalah ‘Atha’, Ibnu
Juraij, dan ‘Amr bin Dinar rahimahumullah.(5) Tidak ada hal yang perlu
dipertentangkan dengan hadits-hadits shahih yang lain. Wallaahu a’lam.
Catatan:
1. Silakan ikhwah sekalian juga membaca
penjelasan berfaedah dari Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah
1/387-391 no. 200, 1/624-625 no. 314, 6/1010-1014 no. 2929, dan 7/527-528 no. 3174.
2. Pendapat di atas
adalah pendapat yang berbeda dengan jumhur ’ulama.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Fathul-Baariy oleh
Ibnu Hajar, 2/77 – Shahih Fiqhis-Sunnah oleh Abu Malik Kamaal Saalim, 2/379,
(2) Periksa Shahih Muslim
nomor 836. Juga Musnad Al-Imam Ahmad 5/115, Al-Mu’jamul-Kabiir 5/228 nomor
5166-5167 dengan sanad hasan.
(3) Fathul-Bariy, 5/53.
(4) Idem, 5/54.
(5) Fathul-Baari oleh
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy, 5/48.
Posting Komentar untuk "Shalat Sunnah Setelah Ashar, Terlarang atau Ada Syariatnya?"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.