Ngobrol Setelah Sholat Fardhu Sebelum Sholat Sunnah Ba'diyah
Tanya:
Apakah makna ‘berbicara’ dalam larangan untuk menyambung shalat fardlu dengan
shalat sunnah rawatib kecuali setelah berbicara atau pindah tempat? Apakah itu termasuk
dzikir, ataukah memang harus berbicara dengan orang lain (ngobrol)?.
Jawab: Al-Imaam Muslim
rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ،
قَالَ: أَخْبَرَنِي عُمَرُ بْنُ عَطَاءِ بْنِ أَبِي الْخُوَارِ، أَنَّ نَافِعَ
بْنَ جُبَيْرٍ أَرْسَلَهُ إِلَى السَّائِبِ ابْنِ أُخْتِ نَمِرٍ، يَسْأَلُهُ عَنْ
شَيْءٍ رَآهُ مِنْهُ مُعَاوِيَةُ فِي الصَّلَاةِ، فَقَالَ " نَعَمْ،
صَلَّيْتُ مَعَهُ الْجُمُعَةَ فِي الْمَقْصُورَةِ، فَلَمَّا سَلَّمَ الْإِمَامُ
قُمْتُ فِي مَقَامِي فَصَلَّيْتُ "، فَلَمَّا دَخَلَ أَرْسَلَ إِلَيَّ،
فَقَالَ: " لَا تَعُدْ لِمَا فَعَلْتَ، إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ فَلَا
تَصِلْهَا بِصَلَاةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ
بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
"
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin
Abi Syaibah: Telah menceritakan kepada kami Ghundar, dari Ibnu Juraij, ia
berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Umar bin ‘Athaa’ bin Abi Khuwaar:
Bahwasannya Naafi’ bin Jubair pernah mengutusnya kepada As-Saaib, anak saudara
perempuan Namir, untuk menanyakan kepadanya sesuatu dimana Mu’aawiyyah
melihatnya ketika shalat. Lalu ia (As-Saaib) berkata: “Benar, aku pernah shalat
Jum’at bersamanya (Mu’aawiyyah) di Maqshuurah (satu ruangan di dalam masjid). Ketika imam telah selesai
salam, aku lantas berdiri di tempatku untuk shalat. Ketika ia masuk, ia
mengutus seseorang kepadaku, dan berkata: “Jangan engkau ulangi apa yang
barusan kamu lakukan. Apabila engkau shalat Jum’at, jangan engkau menyambungnya
(dengan shalat sunnah) hingga engkau berbicara atau keluar. Karena Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami hal tersebut, yaitu agar
tidak menyambung shalat dengan shalat lainnya hingga kami berbicara atau
keluar” (As-Shahiih, no. 883).
Hadits ini terdapat
larangan untuk menyambung shalat fardlu dengan shalat sunnah, kecuali
memisahkannya dengan berbicara atau keluar (pindah tempat). An-Nawawiy rahimahullah berkata:
فيه دليل لما
قاله أصحابنا أن النافلة الراتبة وغيرها يستحب أن يتحول لها عن موضع الفريضة إلى
موضع آخر وأفضله التحول إلى بيته، وإلا فموضع آخر من المسجد أو غيره ليكثره مواضع
سجوده، ولتنفصل صورة النافلة عن صورة الفريضة. وقوله: "حتى نتكلم" دليل
على أن الفصل بينهما يحصل بالكلام أيضاً ولكن بالانتقال أفضل لما ذكرناه والله
أعلم
“Padanya terdapat dalil tentang apa yang dikatakan shahabat-shahabat kami (yaitu fuqahaa’ Syaafi’iyyah) bahwasannya shalat sunnah rawatib dan yang lainnya disunnahkan agar dialihkan pelaksanaannya dari tempat shalat fardlu ke tempat yang lainnya. Berpindah yang paling utama adalah di rumahnya. Dan jika tidak, maka cukup di tempat lain dari masjid atau yang lainnya untuk memperbanyak tempat sujudnya, dan untuk membedakan antara shalat sunnah dengan shalat fardlu. Dan perkataan Mu’aawiyyah: ‘hingga kami berbicara’, merupakan dalil bahwasannya pemisahan antara keduanya (shalat sunnah dengan shalat fardlu) dapat dilakukan dengan berbicara. Akan tetapi berpindah tempat lebih utama dilakukan sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, wallaahu a’lam” (Syarh Shahih Muslim, 6/170-171).
Sebagian ulama mengatakan bahwa dhahir
larangan tersebut adalah tahriim (pengharaman), sebagaimana dikatakan oleh
Al-Qusyairiy rahimahullah:
ووصل السنة
بالفرض من غير فصل بينهما منهيٌّ عنه كما في حديث مسلم: فإن رسول الله ـ صلى الله
عليه وسلم ـ أمرنا بذلك أن لا نوصل صلاة بصلاة حتى نتكلم أو نخرج ، وظاهر النهي
التحريم
“Dan menyambung shalat sunnah dengan shalat
fardlu tanpa ada pemisah antara keduanya adalah terlarang sebagaimana terdapat
dalam hadits Muslim: ‘Karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
kami hal tersebut, agar kami tidak menyambung satu shalat dengan shalat lainnya
hingga kami berbicara atau keluar’. Dhahir larangan tersebut adalah tahriim
(pengharaman)” (As-Sunan wal-Mubtada’aat, hal. 70).
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبةُ، عَنِ الْأَزْرَقِ بنِ قَيْسٍ، عَنْ
عَبدِ اللَّهِ بنِ رَباحٍ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَاب النَّبيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى
الْعَصْرَ، فَقَامَ رَجُلٌ يُصَلِّي فَرَآهُ عُمَرُ، فَقَالَ لَهُ: اجْلِسْ،
فَإِنَّمَا هَلَكَ أَهْلُ الْكِتَاب أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِصَلَاتِهِمْ فَصْلٌ،
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَحْسَنَ ابنُ
الْخَطَّاب "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Ja’far: Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al-Azraq bin Qais, dari
‘Abdullah bin Rabbaah, dari seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: Bahwasannya ketika Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam selesai shalat ‘Ashar, berdirilah seorang laki-laki untuk
melanjutkan shalatnya. Lalu ‘Umar melihat orang tersebut dan berkata kepadanya:
“Duduklah ! Ahlul-Kitab telah binasa hanyalah dikarenakan mereka tidak membuat
pemisah untuk shalat-shalat mereka”. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Sungguh baik apa yang dikatakan Ibnul-Khaththaab” (Al-Musnad,
5/368; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah, 6/105-106 no. 2549).
Asy-Syaikh Al-Albaaniy
rahimahullah mengomentari hadits di atas dengan perkataannya:
و الحديث نص
صريح في تحريم المبادرة إلى صلاة السنة بعد الفريضة دون تكلم أو خروج
“Dan hadits tersebut merupakan nash yang jelas
tentang pengharaman untuk langsung melanjutkan shalat sunnah setelah shalat
fardlu tanpa berbicara atau keluar” (Silsilah Ash-Shahiihah, 6/105).
Adapun tentang makna
‘berbicara’, maka ia bisa berarti berbincang dengan orang lain (sebagaimana
dhahir hadits), bisa juga berarti dzikir. Dalilnya
adalah:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، وَسَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ، نحوه، قَالَ قُتَيْبَةُ:
حَدَّثَنَا رِفَاعَةُ بْنُ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رِفَاعَةَ بْنِ
رَافِعٍ، عَنْ عَمِّ أَبِيهِ مُعَاذِ بْنِ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ، عَنْ أَبِيهِ،
قَالَ: " صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَطَسَ رِفَاعَةُ لَمْ يَقُلْ قُتَيْبَةُ رِفَاعَةُ،
فَقُلْتُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ، فَقَالَ: مَنِ الْمُتَكَلِّمُ
فِي الصَّلَاةِ ؟
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin
Sa’iid dan Sa’iid bin ‘Abdil-Jabbaar semisalnya. Berkata Qutaibah: Telah
menceritakan kepada kami Rifaa’ah bin Yahyaa bin ‘Abdillah bin Rifaa’ah bin
Raafi’, dari paman ayahnya, Mu’aadz bin Rifaa’ah bin Raafi’, dari ayahnya, ia
berkata: “Aku pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Lalu Rifaa’ah bersin. – Qutaibah (perawi) tidak menyebutkan Rifaa’ah -
. Aku berkata: “Alhamdulillaahi hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiih,
mubaarakan ‘alaih kamaa yuhibbu Rabbunaa wa yardlaa”. Ketika Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau berpaling dan bertanya:
“Siapakah orang yang berbicara dalam shalat?” (Diriwayatkan oleh Abu Daawud no.
773; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud, 1/221).
حَدَّثَنَا
أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ، أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ،
وَتَقَارَبَا فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ، قَالَا: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل بْنُ
إِبْرَاهِيمَ، عَنْ حَجَّاجٍ الصَّوَّافِ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ
هِلَالِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ
بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ، قَالَ: بَيْنَا أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ، فَقُلْتُ:
يَرْحَمُكَ اللَّهُ، فَرَمَانِي الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ، فَقُلْتُ: وَا ثُكْلَ
أُمِّيَاهْ، مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَيَّ؟ فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ
بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ، فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي،
لَكِنِّي سَكَتُّ، فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي، مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ، وَلَا
بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ، فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي
وَلَا شَتَمَنِي، قَالَ: " إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ، لَا يَصْلُحُ فِيهَا
شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ
وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far
Muhammad bin Ash-Shabbaah (حِ), dan Abu Bakr bin
Abi Syaibah – dan keduanya berdekatan dalam lafadh haditsnya - , mereka berdua
berkata: Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Hajjaaj
Ash-Shawwaaf, dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Hilaal bin Abi Maimuunah, dari
‘Athaa’ bin Yasaar, dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, ia berkata: Saat
aku shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba ada
seseorang bersin. Aku kemudian berkata: ‘Yarhamukallaah’ (semoga Allah merahmatimu). Maka
orang-orang saling memandangku. Aku pun berkata: ‘Kenapa kalian memandangku
demikian?’. Mereka menepuk-nepuk paha dan aku lihat mereka mengisyaratkan agar
aku diam. Akhirnya aku pun diam. Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam menyelesaikan shalatnya, demi ayah dan ibuku sebagai tebusannya, aku belum
pernah melihat seorang pendidik yang lebih baik dari beliau sebelumnya. Beliau
tidak menghardikku, tidak memukulku, dan tidak pula mencemoohku. Beliau (hanya)
bersabda: ‘Sesungguhnya shalat ini tidak boleh sedikitpun dicampuri dengan
pembicaraan manusia. Ia hanyalah berisi tasbih, takbir, dan bacaan Al-Qur’an” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 537).
Sisi pendalilannya:
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebut dzikir di luar bacaan shalat
sebagai pembicaraan/perkataan manusia.
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah
berkata:
فإذا فصل بينها
بكلام، أو خروج، أو تكلم باستغفار، أو بشيء من ذكرٍ انفصلت
“Apabila ia memisahkannya dengan pembicaraan,
atau keluar, atau mengucapkan istighfaar, atau sesuatu dari dzikir (yang
disyari’atkan), berarti itu telah terpisahkan” (Dari kajian Buluughul-Maraam
hadits no. 485, sebagaimana ditulis oleh Dr. Sa’iid bin ‘Aliy bin Wahf
Al-Qahthaaniy dalam kitab Shalaatut-Tathawwu’).
Membaca dzikir itulah yang biasa dilakukan
oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya sebagaimana telah
maklum, sebelum mereka beranjak atau melakukan shalat sunnah.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Posting Komentar untuk "Ngobrol Setelah Sholat Fardhu Sebelum Sholat Sunnah Ba'diyah"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.