Menggerak - Gerakan Jari Telunjuk Saat Tasyahud Menurut Madzhab Ibnu Abbas dan Mujahid
‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa
‘Abdurrazzaaq rahimahullah berkata:
عَنِ
الثَّوْرِيِّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ التَّمِيمِيِّ، قَالَ: " سُئِلَ
ابْنُ عَبَّاسٍ، عَنْ تَحْرِيكِ الرَّجُلِ إِصْبَعَهُ فِي الصَّلاةِ، فَقَالَ:
ذَلِكَ الإِخْلاصُ "
Dari Ats-Tsauriy, dari Abu Ishaaq, dari At-Tamiimiy,
ia berkata: Ibnu ‘Abbaas pernah ditanya tentang seseorang yang
menggerak-gerakkan jarinya ketika shalat, lalu ia menjawab: “Itu adalah
keikhlasan” (Al-Mushannaf, no. 3244; sanadnya shahih).
‘Abdurrazzaaq mempunyai mutaabi’ dari:
1. Wakii bin Al-Jarraah rahimahullah.
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ التَّمِيمِيِّ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ، قَالَ: " هُوَ الْإِخْلَاصُ يَعْنِي الدُّعَاءَ بِالْإِصْبَعِ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari
Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari Tamiimiy, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: “Itu
adalah keikhlasan” – yaitu doa dengan jari” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
2/484 no. 8515; sanadnya shahih).
2. ‘Abdullah bin Al-Waliid rahimahullah.
أَخْبَرَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، ثنا أَبُو النَّصْرِ الْعِرَاقِيُّ، ثنا
سُفْيَانُ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
الْوَلِيدِ، عَنْ سُفْيَانَ، فَذَكَرَهُنَّ (ورَوَاهُ الثَّوْرِيُّ فِي
الْجَامِعِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ التَّمِيمِيِّ وَهُوَ أَرْبَدَةُ، عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " هُوَ الإِخْلاصُ ")
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin Ibraahiim: Telah menceritakan kepada kami Abun-Nashr Al-‘Iraaqiy: Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin Muhammad: Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hasan: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Waliid, dari Sufyaan, lalu ia menyebutkannya (yaitu riwayat Ats-Tsauriy dalam Al-Jaami’, dari Abu Ishaaq, dari At-Tamiimiy – ia adalah Arbadah - , dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: “Itu adalah keikhlasan”) (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 2/133 no. 2795; sanadnya dla’iif, karena kemajhulan Abun-Nashr Al-‘Iraaqiy dan Sufyaan bin Muhammad).
Sufyaan mempunyai mutaabi’ dari:
1. Syu’bah rahimahullah.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ
يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا مِنْ بَنِي تَمِيمٍ، قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ
عَبَّاسٍ عَنْ قَوْلِ الرَّجُلِ بِإِصْبَعِهِ هَكَذَا يَعْنِي فِي الصَّلَاةِ،
قَالَ: " ذَاكَ الْإِخْلَاصُ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Ja’far: Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, ia berkata: Aku mendengar Abu
Ishaaq menceritakan bahwasannya ia mendengar seorang laki-laki dari Bani Tamiim
yang berkata: Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas tentang doa seseorang
dengan jarinya begini – yaitu dalam shalat - . Ia berkata: “Itu
merupakan keikhlasan” (Diriwayatkan oleh Ahmad 5/57; sanadnya shahih).
2. Al-A’masy rahimahullah.
أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ
يَعْقُوبَ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ، ثنا ابْنُ فُضَيْلٍ، عَنِ
الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْعَيْزَارِ، قَالَ: سُئِلَ ابْنُ
عَبَّاسٍ عَنِ الرَّجُلِ يَدْعُو يُشِيرُ بِأُصْبُعِهِ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ:
" هُوَ الإِخْلاصُ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin
‘Abdillah Al-Haafidh: Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin
Ya’quub: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdil-Jabbaar: Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari Al-A’masy, dari Abu Ishaaq, dari
Al-‘Aizaar, ia berkara: Ibnu ‘Abbaas pernah ditanya tentang seseorang yang
berdoa dengan berisyarat dengan jarinya, maka ia menjawab: “Itu adalah
keikhlasan” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 2/133 no. 2794; sanadnya dla’iif,
karena ‘an’anah Al-A’masy dan kelemahan Ahmad bin ‘Abdil-Jabbaar Al-‘Uthaaridiy).
Penyebutan Al-‘Aizaar dalam sanad di atas
keliru, karena yang benar – wallaahu a’lam – adalah Arbadah At-Tamiimiy
sebagaimana riwayat sebelumnya. Kekeliruan ini kemungkinan besar berasal dari Ahmad bin
‘Abdil-Jabbaar.
Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata:
وَقَدْ
رُوِّينَا، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: تَحْرِيكُ الرَّجُلِ أُصْبُعَهُ
فِي الصَّلاةِ، قَالَ: " ذَاكَ الإِخْلاصُ
"
“Dan telah diriwayatkan kepada kami dari Ibnu
‘Abbaas, bahwasannya ia berkata: “Seseorang menggerak-gerakkan jarinya ketika
shalat, itu merupakan keikhlasan” (Al-Ausath, no. 1535).
Mujaahid bin Jabr Al-Makkiy rahimahullah
‘Abdurrazzaaq rahimahullah berkata:
عَنِ
الثَّوْرِيِّ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الأَسْوَدِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قال: "
تَحْرِيكُ الرَّجُلِ إِصْبَعَهُ فِي الصَّلاةِ مُقْمِعَةٌ لِلشَّيْطَانِ "
Dari Ats-Tsauriy, dari ‘Utsmaan bin Al-Aswad,
dari Mujaahid, ia berkata: “Seseorang yang menggerak-gerakkan jarinya ketika
shalat adalah alat pemukul buat setan” (Al-Mushannaf no. 3245; sanadnya shahih).
Ats-Tsauriy mempunyai mutaabi’ dari Hafsh bin
Ghiyaats rahimahumallah.
حَدَّثَنَا
حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، أَنَّهُ
قَالَ: " الدُّعَاءُ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِإِصْبَعٍ وَاحِدَةٍ، مَقْمَعَةٌ
لِلشَّيْطَانِ "
Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin
Ghiyaats, dari ‘Utsmaan bin Al-Aswad, dari Mujaahid, bahwasannya ia berkata:
“Berdoa dengan cara begini – dan ia berisyarat dengan satu jarinya – adalah
alat pemukul buat setan” (Al-Mushannaf, 2/484).
Dibawakan juga oleh
Al-Baihaqiy rahimahullah, dimana ia berkata:
وَرُوِّينَا
عَنْ مُجَاهِدٍ، أَنَّهُ قَالَ: تَحْرِيكُ الرَّجُلِ أُصْبُعَهُ فِي الْجُلُوسِ
فِي الصَّلاةِ مُقْمِعَةٌ لِلشَّيْطَانِ
“Dan telah diriwayatkan kepada kami dari
Mujaahid, bahwasannya ia berkata: “Seseorang yang menggerak-gerakkan jarinya
ketika duduk dalam shalat merupakan alat pemukul buat setan” (Al-Kubraa, 2/132).
Komentar:
Riwayat Ibnu ‘Abbaas dan Mujaahid ini
menunjukkan bahwa menggerak-gerakkan jari (tahriik) saat tasyahud dalam shalat
telah dilakukan oleh salaf kita. Selain itu, riwayat di atas juga memberikan
faedah bahwa lafadh isyarat (dengan jari) tidaklah bertentangan dengan lafah
tahriik (menggerak-gerakkan), sebab jalan-jalan riwayat di atas saling
menafsirkan. Tahriik merupakan lafadh yang lebih khusus daripada isyarat.
Berikut beberapa hadits
yang menjelaskan pemahaman tersebut:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، عَنْ
الْمَسْعُودِيِّ، عَنْ زِيَادِ بْنِ عِلَاقَةَ، قَالَ: صَلَّى بِنَا الْمُغِيرَةُ
بْنُ شُعْبَةَ فَلَمَّا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَامَ وَلَمْ يَجْلِسْ فَسَبَّحَ بِهِ
مَنْ خَلْفَهُ، فَأَشَارَ إِلَيْهِمْ أَنْ قُومُوا، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ
صَلَاتِهِ سَلَّمَ وَسَجَدَ سَجْدَتَيِ السَّهْوِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ: هَكَذَا
صَنَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
‘Abdirrahmaan: Telah mengkhabarkan kepada kami Yaziid bin Haaruun, dari
Al-Mas’uudiy, dari Ziyaad bin ‘Alaaqah, ia berkata: Al-Mughiirah bin Syu’bah
pernah shalat bersama kami. Ketika telah mendapatkan dua raka’at, ia berdiri tanpa
duduk (tasyahud). Orang-orang di belakangnya mengucapkan tasbih (untuk
mengingatkannya). Namun ia berisyarat kepada mereka agar berdiri. Ketika
menyelesaikan shalatnya, ia mengucapkan salam, lalu sujud sahwi dua raka’at,
lalu salam lagi. Ia berkata: ‘Beginilah yang dilakukan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 333; dan ia berkata:
“Hasan shahih”).
Isyarat Al-Mughiirah ini
dipahami sambil menggerak-gerakkan tangannya agar orang-orang bangkit berdiri.
حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ
أَبِي وَائِلٍ، عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: " رَأَيْتُنِي أَنَا وَالنَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَتَمَاشَى، فَأَتَى سُبَاطَةَ قَوْمٍ خَلْفَ حَائِطٍ،
فَقَامَ كَمَا يَقُومُ أَحَدُكُمْ فَبَالَ، فَانْتَبَذْتُ مِنْهُ، فَأَشَارَ
إِلَيَّ فَجِئْتُهُ، فَقُمْتُ عِنْدَ عَقِبِهِ حَتَّى فَرَغَ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin
Abi Syaibah, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Manshuur,
dari Abu Waail, dari Hudzaifah, ia berkata: “Aku berjalan-jalan bersama Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau mendatangi tempat sampah suatu kaum yang ada
di belakang tembok. Beliau berdiri sebagaimana berdirinya salah seorang di antara
kalian, dan kemudian kencing. Lalu aku menjauh dari beliau, namun beliau
berisyarat agar aku mendekat. Aku pun mendekat dan berdiri di belakang beliau
hingga beliau selesai” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 225).
Isyarat Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam kepada Hudzaifah ini dipahami dengan menggerak-gerakkan
tangan beliau agar ia mendekat.
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي حَازِمِ
بْنِ دِينَارٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ، " أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ إِلَى بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ
لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمْ، فَحَانَتِ الصَّلَاةُ فَجَاءَ الْمُؤَذِّنُ إِلَى أَبِي
بَكْرٍ، فَقَالَ: أَتُصَلِّي لِلنَّاسِ فَأُقِيمَ، قَالَ: نَعَمْ، فَصَلَّى أَبُو
بَكْرٍ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ فِي
الصَّلَاةِ فَتَخَلَّصَ حَتَّى وَقَفَ فِي الصَّفِّ، فَصَفَّقَ النَّاسُ، وَكَانَ
أَبُو بَكْرٍ لَا يَلْتَفِتُ فِي صَلَاتِهِ، فَلَمَّا أَكْثَرَ النَّاسُ
التَّصْفِيقَ الْتَفَتَ فَرَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِ امْكُثْ
مَكَانَكَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
Yuusuf, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Abu Haazim bin
Diinaar, dari Sahl bin Sa’d As-Saa’idiy: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pergi menemui Bani ‘Amru bin ‘Auf untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada di antara mereka. Tiba lah waktu shalat. Lalu seorang
muadzdzin menemui Abu Bakr dan berkata: “Apakah engkau akan mengimami shalat
orang-orang sehingga aku bacakan iqamatnya?”. Abu Bakr menjawab: “Ya”. Abu Bakr
shalat. Kemudian datanglah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang waktu
itu orang-orang masih dalam keadaan shalat. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bergabung masuk ke dalam shaff. Orang-orang bertepuk tangan, dan Abu
Bakr tidak menoleh dalam shalatnya. Ketika banyak orang yang bertepuk tangan, maka ia pun
menoleh dan melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam berisyarat kepadanya agar ia tetap ada di tempatnya (sebagai
imam)...” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 684).
Isyarat Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas dipahami dengan menggerak-gerakkan
tangannya (agar Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu ada di tempatnya).
Jika demikian, sama
halnya dengan hadits tahriik yang diriwayatkan oleh Waail bin Hujr dari jalan
Zaaidah bin Qudaamah rahimahullah:
أَخْبَرَنَا
سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ، قَالَ: أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ
زَائِدَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي،
أَنَّ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ،: قُلْتُ: لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي؟ فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ فَوَصَفَ، قَالَ:
ثُمَّ قَعَدَ وَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى
فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى، وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ عَلَى
فَخِذِهِ الْيُمْنَى، ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ
حَلْقَةً، ثُمَّ رَفَعَ أُصْبُعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا "
Telah mengkhabarkan kepada kami kami Suwaid
bin Nashr, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami ‘Abdullah bin
Al-Mubaarak, dari Zaaidah bin Qudaamah, ia berkata: Telah menceritakan kepada
kami ‘Aashim bin Kulaib, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku ayahku:
Bahwasannya Waail bin Hujr berkata: Sungguh aku akan melihat shalat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana beliau shalat?. Aku pun melihat
beliau – lalu ia (Waail) menyifatkannya -: “Kemudian beliau duduk dengan
membentangkan kaki kirinya, meletakkan telapak tangan kiri di atas paha dan
lutut sebelah kiri. Lalu meletakkan siku kanannya di atas paha kanan, kemudian
menggenggam dua jarinya dan membuat lingkaran, kemudian mengangkat jarinya, dan
aku melihat beliau menggerak-gerakkannya dan berdoa dengannya” (Diriwayatkan
oleh An-Nasaa’iy no. 1268 secara ringkas dengan sanad shahih).
Diriwayatkan dari beberapa jalan yang semuanya
berasal dari Zaaidah bin Qudaamah rahimahullah.
Sebagian ulama mengatakan bahwa tambahan
lafadh: ‘menggerak-gerakkannya dan berdoa dengannya’ adalah tambahan yang
syaadz, karena menyelisihi banyak perawi, dimana mereka semua tidak menyebutkan
tambahan tersebut(1). Secara ringkas ta’lil tersebut dijawab sebagai berikut:
1. Tambahan itu dibawakan oleh Zaaidah bin
Qudaamah Ats-Tsaqafiy, Abush-Shalt Al-Kuufiy (زائدة بن
قدامة الثقفي ، أبو الصلت الكوفي); seorang yang tsiqah, tsabat,
shaahibus-sunnah. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 160 H atau
setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 333 no. 1993).
Tautsiq ini termasuk jenis
tautsiq dalam martabat yang tinggi dalam jarh wa ta’dil. Abu Haatim dan
Al-‘Ijliy berkata: “Tsiqah, shaahibus-sunnah”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya
dalam Ats-Tsiqaat dan berkata: “Termasuk di antara huffaadh yang mutqin”. Abu
Zur’ah, An-Nasaa’iy, Ibnu Ma’iin, Al-Fasawiy, dan Ya’quub bin Syaibah berkata:
“Tsiqah”. Abu ‘Abdillah Al-Haakim berkata: ‘Tsiqah ma’muun”. Ahmad bin Hanbal
berkata: “Termasuk di antara orang-orang yang tsabt dalam hadits”.
Ad-Daaruquthniy berkata: “Termasuk di antara para imam yang tsabt”. Hammad bin
Usaamah berkata: “Ia adalah orang yang yang paling jujur dan paling baik”. Ibnu
Sa’d berkata: “Tsiqah ma’muun, shaahibus-sunnah”. Adz-Dzuhliy berkata: “Tsiqah
lagi haafidh’.
Termasuk syarat
diterimanya ziyaadah adalah sifat tsiqah dan dlabth yang dimiliki oleh perawi.
Persyaratan ini dimiliki oleh Zaaidah.
2. Ziyaadah (tahriik) ini
tidaklah bertentang dan menafikkan riwayat jumhur yang menyebutkan dengan
lafadh isyarat. Dan ini telah lewat pembahasannya di atas. Ibnu Shalah telah
menjelaskan pembagian jenis-jenis ziyaadats-tsiqaat ini dalam kitab
‘Ulumul-Hadiits(2) hal. 77-78.
3. Jika dikatakan bahwa
ziyaadah ini syaadz karena men-taqyiid kemutlakan lafadh isyarat; maka pendapat
yang raajih, sifat ziyaadah seperti ini diterima. Ini adalah madzhab beberapa ulama
mutaqaddimiin. Berikut contohnya:
وحَدَّثَنَا
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ هِشَامِ
بْنِ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: " طَهُورُ إِنَاءِ
أَحَدِكُمْ، إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ، أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ،
أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ "
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb:
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Hisyaam bin
Hassaan, dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Sucinya bejana salah
seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali
dan awalnya dengan tanah” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 279).
Muhammad bin Siiriin menyelisihi ashhaab Abu
Hurairah dengan menyebutkan tambahan lafadh ‘dan awalnya dengan tanah’. Abu
Daawud berkata:
وَأَمَّا أَبُو
صَالِحٍ، وَأَبُو رَزِينٍ، وَالْأَعْرَجُ، وَثَابِتٌ الْأَحْنَفُ، وَهَمَّامُ بْنُ
مُنَبِّهٍ، وَأَبُو السُّدِّيِّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، رَوَوْهُ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، وَلَمْ يَذْكُرُوا التُّرَابَ
“Adapun Abu Shaalih, Abu Raziin, Al-A’raj,
Tsaabit Al-Ahnaf, Hammaam bin Munabbih, dan Abus-Suddiy ‘Abdurrahmaan
meriwayatkan dari Abu Hurairah tanpa menyebutkan: ‘(mencucinya dengan) tanah’ (As-Sunan
no. 73).
Tambahan yang dibawakan Ibnu Siiriin ini juga
dishahihkan Ad-Daaruquthniy dalam Sunan-nya. Tambahan ini mengkonsekuensikan
pentaqyidan lafadh mutlak mencuci sebanyak tujuh kali – yaitu awalnya dengan
tanah.
Contoh lain:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم " فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
Yuusuf: Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhumaa: Bahwasannya Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa salam
telah mewajibkan zakat fithr di bulan Ramadlaan kepada setiap orang baik yang
merdeka, budak, laki-laki, ataupun perempuan dari kalangan kaum muslimin (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 1504).
Maalik bin Anas meriwayatkan tambahan ‘dari
kalangan kaum muslimin’ dimana ia menyelisihi ashhaab Naafi’ yang lain.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَرَوَى
مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم نَحْوَ حَدِيثِ أَيُّوبَ، وَزَادَ فِيهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، وَرَوَاهُ
غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ نَافِعٍ، وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ،
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي هَذَا، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: إِذَا كَانَ
لِلرَّجُلِ عَبِيدٌ غَيْرُ مُسْلِمِينَ لَمْ يُؤَدِّ عَنْهُمْ صَدَقَةَ الْفِطْرِ،
وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ، وقَالَ بَعْضُهُمْ: يُؤَدِّي
عَنْهُمْ وَإِنْ كَانُوا غَيْرَ مُسْلِمِينَ، وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَابْنِ
الْمُبَارَكِ، وَإِسْحَاق
“Dan telah diriwayatkan oleh Maalik, dari
Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam semisal
hadits Ayyuub, dan ditambahan padanya lafadh: ‘minal-muslimiin (dari kalangan
kaum muslimin)’. Dan telah diriwayatkan lebih dari seorang dari Naafi’ tanpa menyebutkan padanya
lafadh: minal-muslimiin. Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian
di antara mereka berkata: Jika seseorang memiliki budak-budak non muslim
(kafir), maka tidak wajib baginya membayar zakat fithri. Ini adalah pendapat
Maalik, Asy-Syaafi'iy, dan Ahmad. Dan sebagian yang lain berkata: Wajib bagi
seseorang membayar zakat fithri budak-budak mereka walaupun mereka dari
kalangan non muslim. Ini adalah pendapat Ats Tsauriy, Ibnul-Mubaarak, dan
Ishaaq” (As-Sunan no. 676).
Perkataan At-Tirmidziy
rahimahullah tersebut di atas memberikan satu faedah bahwa ziyaadah lafadh
‘minal-muslimiin’ itu memberikan taqyiid atas kemutlakan perintah membayar
zakat sehingga menghasilkan kesimpulan hukum tersendiri sebagaimana dijelaskan
para ulama kita.
Ringkas kata, amalan
tahriik ketika tasyahud dalam shalat adalah shahih ternukil dari salaf, dan
juga dari sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ini saja yang dapat
dituliskan, semoga ada manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
NB:
Pembahasan tentang ziyaadatuts-tsiqaat tidaklah sesederhana yang terkemas dalam
pembahasan ini. Ada perbedaan pendapat di sana, baik dari kalangan mutaqaddimiin maupun
muta’akhkhiriin, muhadditsiin maupun fuqahaa’. Di antara referensi yang dapat
dibaca dalam permasalahan ini antara lain:
1. Al-Bisyaarah fii
Syudzuudzi Tahriikil-Ushbu’ fit-Tasyahhud wa Tsubuutil-Isyaarah karya
Abul-Mundzir Ahmad bin Sa’iid Al-Yamaaniy (taqdiim: Muqbil bin Hadiy
Al-Wadii’iy).
2. Raf’ul-Malaam ‘an Man
Harraka Ashba’ahu minat-Tahiyyaati ilas-Salaam, wa Ma’ahu Ar-Radd ‘alaa
Risaalah: Al-Bisyaarah karya Abu Asmaa’ Al-Mishriy (taqdiim: Masyhur Hasan
Salmaan & ‘Aliy Al-Halabiy).
3. Al-Aqwaalur-Raajihaat
fil-Hadiits Asy-Syaadz wa Ziyaadatits-Tsiqaat karya Abu Hurairah Asy-Syaamiy
Al-Atsariy (taqdiim: Majdiy bin Muhammad ‘Arafaat Al-Mishriy).
4. Ziyaadatuts-Tsiqaat wa
Mauqiful-Muhadditsiin wal-Fuqahaa’ minhaa oleh Nuurullah Syaukat (desertasi S3
Univ. Ummul-Qurra’).
Berikut beberapa
penjelasan ulama dalam hal tahriik:
Footnote:
(1) Bisa dibaca dalam
kitab Al-Bisyaarah fii Syudzuudzi Tahriikil-Ushbu’ fit-Tasyahhud wa
Tsubuutil-Isyaarah karya Abul-Mundzir Ahmad bin Sa’iid Al-Yamaaniy.
(2) Melalui perantaraan
kitab Ziyaadatuts-Tsiqaat wa Mauqiful-Muhadditsiin wal-Fuqahaa’ minhaa oleh
Nuurullah Syaukat, 1/103-104.
Posting Komentar untuk "Menggerak - Gerakan Jari Telunjuk Saat Tasyahud Menurut Madzhab Ibnu Abbas dan Mujahid"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.