Memahami Arti Bid’ah Hasanah dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا
ابْنُ عُلَيَّةَ، عَنِ الْجُرَيْرِيِّ، عَنِ الْحَكَمِ بْنِ الْأَعْرَجِ، قَالَ:
سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ عَنْ صَلَاةِ الضُّحَى، وَهُوَ مُسْنِدٌ ظَهْرَهُ إِلَى
حُجْرَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: بِدْعَةٌ،
وَنِعْمَتِ الْبِدْعَةُ ! "
Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah,
dari Al-Jurairiy, dari Al-Hakam bin Al-A’raj, ia berkata: Aku pernah bertanya
kepada Ibnu ‘Umar tentang shalat Dluhaa, yang ketika itu punggungnya bersandar
pada kamar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia menjawab: “Bid’ah, dan
itu adalah sebaik-baik bid’ah” (Al-Mushannaf, 2/405 no. 7859).
Sanad riwayat ini shahih, semua perawinya
tsiqaat. Ibnu ‘Ulayyah termasuk perawi yang mendengar riwayat dari Al-Jurairiy
sebelum ikhtilaath-nya (lihat: Al-Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaaiy (bersama
komentar muhaqqiq-nya), hal. 37-38 no. 16, tahqiq: Raf’at bin Fauziy &
‘Aliy bin ‘Abdil-Baasith; Maktabah Al-Khaanijiy, Kairo).
Telah masyhur bahwasannya Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhumaa adalah salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam yang berpendapat tentang bid’ahnya shalat Dluhaa.
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، قَالَ: ثَنَا حَاجِبُ بْنُ عُمَرَ، عَنِ الْحَكَمِ بْنِ الْأَعْرَجِ،
قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ عَنْ صَلَاةِ الضُّحَى؟ فَقَالَ: " بِدْعَةٌ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Haajib bin ‘Umar, dari Al-Hakam bin
Al-A’raj, ia berkata: Aku pernah bertanya kepafa Ibnu ‘Umar tentang shalat
Dluhaa, ia menjawab: “Bid’ah” (idem, 2/406 no. 7866).
Sanadnya shahih.
Sebagian orang ada yang mengambil riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa di atas sebagai dalil keabsahan bid’ah hasanah dan menganggap Ibnu ‘Umar sebagai sosok penganut paham eksistensi bid’ah hasanah.
Pendalilan mereka
tertolak dalam beberapa segi dengan urutan berpikir sebagai berikut:
1. Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhu membid’ahkan shalat Dluhaa dikarenakan ia tidak mengetahui
mengetahui adanya perintah atau perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam yang mendasarinya.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ،
قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ تَوْبَةَ، عَنْ مُوَرِّقٍ، قَالَ:
" قُلْتُ لِابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَتُصَلِّي الضُّحَى؟،
قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَعُمَرُ؟، قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَأَبُو بَكْرٍ؟، قَالَ: لَا،
قُلْتُ: فَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا إِخَالُهُ "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari Syu’bah, dari Taubah, dari
Muwarriq, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma: “Apakah engkau melakukan shalat Dluhaa?”. Ia menjawab: “Tidak”. Aku
kembali bertanya: “Bagaimana dengan ‘Umar?”. Ia menjawab: “Tidak”. Aku kembali
bertanya: “Abu Bakr?”. Ia menjawab: “Tidak”. Aku kembali bertanya: “Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam?”. Ia menjawab: “Aku kira tidak” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 1175).
Padahal, ada riwayat
shahih bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan dan
memerintahkan shalat Dluhaa.
حَدَّثَنَا
آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ، قَالَ: سَمِعْتُ
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي لَيْلَى، يَقُولُ: " مَا حَدَّثَنَا أَحَدٌ،
أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى
غَيْرُ أُمِّ هَانِئٍ، فَإِنَّهَا قَالَتْ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ بَيْتَهَا يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ فَاغْتَسَلَ وَصَلَّى
ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ، فَلَمْ أَرَ صَلَاةً قَطُّ أَخَفَّ مِنْهَا غَيْرَ أَنَّهُ
يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ "
Telah menceritakan kepada kami Aadam: Telah
menceritakan kepada kami Syu’bah: Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin
Murrah, ia berkata: Aku mendengar ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa berkata: “Tidak
ada seorang pun yang menceritakan kepadaku bahwa ia melihat Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dluhaa kecuali Ummu Haani’. Sesungguhnya ia
pernah berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk
ke rumahnya pada hari Fathu makkah, lalu beliau mandi dan melakukan shalat
delapan raka’at. Aku tidak pernah melihat shalat yang lebih ringan daripada
itu, namun beliau tetap menyempurnakan rukuk dan sujudnya” (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 1176).
حَدَّثَنَا
شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ
يَعْنِي الرِّشْكَ، حَدَّثَتْنِي مُعَاذَةُ، أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا، " كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي صَلَاةَ الضُّحَى ؟ قَالَتْ: أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، وَيَزِيدُ
مَا شَاءَ "
Telah menceritakan kepada kami Syaibaan bin
Farruukh: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waarits: Telah menceritakan
kepada kami Yaziid bin Ar-Risyk: Telah menceritakan kepadaku Mu’aadzah,
bahwasannya ia pernah bertanya kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa: “Berapa
raka’at Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat
Dluhaa?”. ‘Aaisyah menjawab: “Empat raka’at, dan beliau menambah sebanyak yang
Allah kehendaki” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 719).
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، أَخبرنا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، سَمِعَ
عَاصِمَ بْنَ ضَمْرَةَ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى "
Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin
Daawud: Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaaq, ia mendengar ‘Aashim
bin Dlamrah meriwayatkan dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu: Bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat Dluhaa” (Diriwayatkan
oleh Ahmad, 1/89; Al-Arna’uth berkata: “sanadnya qawiy (kuat)”).
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ، حَدَّثَنَا مَهْدِيٌّ
وَهُوَ ابْنُ مَيْمُونٍ، حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ، عَنْ
يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ، عَنْ أَبِي الأَسْوَدِ
الدُّؤَلِيِّ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ قَالَ: " يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ،
فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ
صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ،
وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ
يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
Muhammad bin Asmaa’ Adl-Dluba’iy: Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin
Maimuun: Telah menceritakan kepada kami Waashil maulaa Abi ‘Uyainah, dari
Yahyaa bin ‘Uqail, dari Yahyaa bin Ya’mar, dari Abul-Aswad Ad-Dualiy, dari Abu
Dzarr, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Pada setiap pagi, setiap
sendi tubuh Bani Adam harus bersedekah. Setiap tasbih bisa menjadi sedekah. Setiap tahmid bisa
menjadi sedekah. Setiap tahlil bisa menjadi sedekah. Setiap takbir bisa menjadi
sedekah. Setiap amar ma’ruf nahi munkar juga bisa menjadi sedekah. Semua itu
dapat digantikan dengan raka’at yang dilakukan pada waktu Dluha” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 720).
Orang yang mengetahui
menjadi hujjah bagi orang yang tidak mengetahui.
2. Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhumaa tidaklah menafikkan shalat Dluhaa secara mutlak. Shalat tersebut masyru’ dilakukan jika baru
datang dari bepergian.
حَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الصَّوَّافُ، نَا سَالِمُ بْنُ نُوحٍ الْعَطَّارُ،
أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يُصَلِّي الضُّحَى إِلا أَنْ
يَقْدَمَ مِنْ غَيْبَةٍ "
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin
Ibraahiim Ash-Shawwaaf: Telah menceritakan kepada kami Saalim bin Nuuh
Al-‘Aththaar: Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidullah, dari Naafi’, dari
Ibnu ‘Umar: Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan
shalat Dluhaa kecuali jika baru datang dari bepergian” (Diriwayatkan oleh Ibnu
Khuzaimah 2/230-231 no. 1229; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam ta’liq Shahih
Ibni Khuzaimah).
3. Bersamaan dengan itu,
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa juga pernah mengerjakannya.
ثَنَا لَيْثٌ،
عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، كَانَ يُسْأَلُ عَنْ صَلاةِ
الضُّحَى فَلا يَنْهَى وَلا يَأْمُرُ بِهَا، وَيَقُولُ: " إِنَّمَا أَصْنَعُ
كَمَا رَأَيْتُ أَصْحَابِي يَصْنَعُونَ، وَلَكِنْ لا تُصَلُّوا عِنْدَ طُلُوعِ
الشَّمْسِ وَلا عِنْدَ غُرُوبِهَا "
Telah menceritakan kepada kami Laits, dari
Naafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ia pernah ditanya tentang shalat
Dluhaa, maka ia tidak melarangnya dan tidak pula memerintahkannya. Ia berkata: “Aku hanyalah
melakukannya sebagaimana aku lihat para shahabatku melakukannya. Akan tetapi
janganlah kalian mengerjakannya ketika matahari terbit dan tenggelamnya" (Diriwayatkan
oleh Abu Jahm Al-Baghdaadiy dalam Juz-nya no. 17; sanadnya shahih).
Jelasnya lagi dalam riwayat:
حَدَّثَنَا
يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ هُوَ الدَّوْرَقِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ،
أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
كَانَ لَا يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى إِلَّا فِي يَوْمَيْنِ يَوْمَ يَقْدَمُ
بِمَكَّةَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَقْدَمُهَا ضُحًى فَيَطُوفُ بِالْبَيْتِ ثُمَّ
يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَلْفَ الْمَقَامِ، وَيَوْمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ
فَإِنَّهُ كَانَ يَأْتِيهِ كُلَّ سَبْتٍ، فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَرِهَ أَنْ
يَخْرُجَ مِنْهُ حَتَّى يُصَلِّيَ فِيهِ، قَالَ: وَكَانَ يُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَزُورُهُ رَاكِبًا وَمَاشِيًا،
قَالَ: وَكَانَ يَقُولُ: إِنَّمَا أَصْنَعُ كَمَا رَأَيْتُ أَصْحَابِي
يَصْنَعُونَ، وَلَا أَمْنَعُ أَحَدًا أَنْ يُصَلِّيَ فِي أَيِّ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ
لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ، غَيْرَ أَنْ لَا تَتَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ وَلَا
غُرُوبَهَا
Telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin
Ibraahiim Ad-Dauraqiy: Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah: Telah
mengkhabarkan kepada kami Ayyuub, dari Naafi’: Bahwasannya Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa tidak pernah mengerjakan shalat Dhuha kecuali pada dua kali, yaitu
hari ketika dia mengunjungi Makkah saat dia memasuki kota Makkah di waktu Dhuha
lalu dia melakukan thawaf di Ka’bah kemudian shalat dua raka'at di belakang
maqaam (Ibraahiim). Dan yang lain adalah saat ia mengunjungi masjid Qubaa',
yang ia mendatanginya pada hari Sabtu. Bila ia telah memasukinya, maka ia
enggan untuk keluar darinya hingga ia shalat terlebih dahulu di dalamnya.
Berkata Nafi': "Dan Ibnu'Umar radliallaahu 'anhumaa menceritakan bahwa
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah mengunjungi (masjid Qubaa')
baik dengan berkendaraan ataupun berjalan kaki". Berkata Nafi': Dan Ibnu
'Umar radliallaahu 'anhumaa berkata: "Sesungguhnya aku mengerjakan yang
demikian seperti aku melihat para sahabatku melakukannya, namun aku tidak
melarang seseorangpun untuk mengerjakan shalat pada waktu kapanpun yang ia suka
baik di waktu malam maupun siang hari, asalkan tidak bersamaan waktunya saat
terbitnya matahari atau saat tenggelam" (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 1192).
Dari sini terdapat sedikit kejelasan bahwa
‘sebaik-baik bid’ah’ yang dimaksudkan oleh Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa
adalah terkait shalat sunnah mutlak yang dilakukan oleh seorang muslim pada
waktu malam dan siang, dan kemudian orang-orang banyak melakukannya pada waktu
Dluhaa. Di satu sisi Ibnu ‘Umar mengetahui bahwa shalat sunnah mutlak siang dan
malam itu adalah masyru’, namun di sisi lain ia tidak mengetahui adanya dalil
pendawaman shalat Dluhaa secara khusus di luar waktu ketika tiba dari
bepergian.
Dengan kata lain, perkataan sebaik-baik bid’ah
yang diucapkan Ibnu ‘Umar tadi terkait dengan shalat sunnah mutlak yang banyak
dikerjakan kaum muslimin pada waktu Dluhaa, bukan pada shalat Dluhaa-nya itu
sendiri.
Oleh karena itu, bid’ah dalam perkataan
‘sebaik-baik bid’ah’ dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah bid’ah
secara bahasa (lughawiy). Bukan bid’ah secara istilah. Telah masyhur perkataan
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tentang penafikan eksistensi bid’ah hasanah
sebagaimana riwayat:
أَخْبَرَنَا
أَبُو طَاهِرٍ الْفَقِيهُ، وَأَبُو سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَمْرٍو، قَالا: ثنا أَبُو
الْعَبَّاسِ الأَصَمُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْمُنَادِي، ثنا
شَبَابَةُ، ثنا هِشَامُ بْنُ الْغَازِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ:
" كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thaahir
Al-Faqiih dan Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru, mereka berdua berkata: Telah
menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Al-Asham: Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin ‘Ubaid Al-Munaadiy: Telah menceritakan kepada kami Syabaabah:
Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Al-Ghaar, dari Naafi, dari Ibnu
‘Umar, ia berkata: “Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang
memandangnya sebagai satu kebaikan (bid'ah hasanah)" (Diriwayatkan
oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya hasan).
Dan inilah praktek Ibnu
‘Umar dalam penafikan bid’ah hasanah:
حَدَّثَنَا
حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا
حَضْرَمِيٌّ مَوْلَى آلِ الْجَارُودِ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ رَجُلًا عَطَسَ إِلَى
جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ
اللَّهِ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَأَنَا أَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ
عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَلَيْسَ هَكَذَا عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا، أَنْ نَقُولَ: " الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى
كُلِّ حَالٍ "
Telah menceritakan kepada kami Humaid bin
Mas’adah: Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Ar-Rabii’: Telah
menceritakan kepada kami Hadlramiy maulaa aali Al-Jaarud, dari Naafi’:
Bahwasannya ada seorang laki-laki yang bersin di samping Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata: “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa
Rasuulillaah (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasulullah)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata:
“Dan aku mengatakan: alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi
tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami untuk mengucapkan (ketika bersin):
‘Alhamdulillah ‘alaa kulli haal’ (Alhamdulillah dalam segala kondisi)” (Diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi no. 2738).
Seluruh perawinya
tsiqaat, kecuali Hadlramiy, seorang yang maqbuul. Ia mempunyai mutaba’ah dari
Sulaimaan bin Muusaa sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam
Asy-Syaamiyyiin 1/186 no. 323. Oleh karena itu riwayat ini adalah hasan.
Kembali ke awal
pembicaraan. Tidak ada petunjuk yang shahih dan sharih dari Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhumaa tentang pelegalan eksistensi bid’ah hasanah. Seandainya
ada yang tetap keukeuh menganggap Ibnu ‘Umar mendukung bid’ah hasanah, maka
hakekatnya ia hanya mengambil satu riwayat dan membutakan diri terhadap
riwayat-riwayat lainnya, serta enggan melakukan pengkompromian untuk
menghasilkan satu pemahaman komprehensif madzhab Ibnu ‘Umar dalam masalah
bid’ah.
Wallaahu a’lam.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Posting Komentar untuk "Memahami Arti Bid’ah Hasanah dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.