Kapan Makmum Mendapati Rakaatnya Imam
Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang
mendapati imam yang sedang rukuk, kemudian ia masuk bergabung bersamanya dalam
rukuk tersebut; apakah ia terhitung mendapat satu raka’at ataukah tidak. Ada dua pendapat.
Pendapat pertama adalah terhitung baginya satu raka’at apabila ia mendapati
rukuknya imam. Ini adalah perkataan jumhur ulama dulu dan sekarang. Adapun
pendapat yang lain mengatakan tidak terhitung satu raka’at. Yang raajih dalam
hal ini adalah pendapat jumhur (pendapat pertama). Pendapat ini dilandasi oleh beberapa dalil, di
antaranya:
حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالَ: حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ الْأَعْلَمِ وَهُوَ
زِيَادٌ، عَنْ الْحَسَنِ، عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، أَنَّهُ انْتَهَى إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ رَاكِعٌ، فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ
إِلَى الصَّفِّ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: " زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ
"
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin
Ismaa’iil, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammaam, dari Al-A’lam,
yaitu Ziyaad, dari Al-Hasan, dari Abu Bakrah: Bahwasannya ia datang kepada Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang waktu itu beliau dalam keadaan rukuk. Maka
Abu Bakrah rukuk sebelum sampai pada shaff. Disebutkanlah hal itu kepada Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Semoga Allah menambahkan
semangatmu, akan tetapi jangan engkau ulangi” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 783).
Para ulama berselisih pendapat tentang makna sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‘Semoga Allah menambah semangatmu, namun jangan engkau ulangi’.
Sebagian di antara mereka ada yang mengatakan
bahwa sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah berkaitan
dengan keterlambatannya mendatangi shalat berjama’ah.
Sebagian di antara mereka ada yang mengatakan
berkaitan dengan perbuatan Abu Bakrah radliyallaahu ‘anhu yang melakukan rukuk
di luar shaff. Ini seperti makna hadits:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ،
قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، قَالَ: حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ
الْمُعْتَمِرِ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ:
خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ
بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَقَالَ: " مَنْ صَلَّى صَلَاتَنَا وَنَسَكَ نُسْكَنَا
فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَتِلْكَ شَاةُ
لَحْمٍ، فَقَامَ أَبُو بُرْدَةَ بْنُ نِيَارٍ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَاللَّهِ لَقَدْ نَسَكْتُ قَبْلَ أَنْ أَخْرُجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَعَرَفْتُ
أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ فَتَعَجَّلْتُ وَأَكَلْتُ وَأَطْعَمْتُ
أَهْلِي وَجِيرَانِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
تِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ، قَالَ: فَإِنَّ عِنْدِي عَنَاقَ جَذَعَةٍ هِيَ خَيْرٌ مِنْ
شَاتَيْ لَحْمٍ فَهَلْ تَجْزِي عَنِّي، قَالَ: نَعَمْ، وَلَنْ تَجْزِيَ عَنْ
أَحَدٍ بَعْدَكَ "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Abul-Ahwash, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Manshuur bin Al-Mu’tamir, dari Asy-Sya’biy, dari
Al-Barraa’ bin ‘Aazib, ia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah berkhutbah kepada kami pada hari An-Nahr (‘Iedul-Adlhaa) setelah shalat.
Beliau bersabda: “Barangsiapa yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih
hewan qurban seperti kami, maka telah benar qurbannya. Dan barangsiapa yang
menyembelih sebelum shalat maka itu adalah daging sembelihan biasa (bukan
kurban)”. Abu Burdah berdiri dan berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh aku telah
menyembelih sebelum aku keluar melaksanakan shalat. Dan aku mengetahui bahwa
hari ini adalah hari makan dan minum, lalu aku segerakan penyembelihannya,
kemudian aku memakannya dan aku berikan pula kepada keluarga dan para
tetanggaku”. Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Itu
hanyalah kambing yang dinikmati dagingnya saja (bukan kambing kurban)”. Abu
Burdah berkata: “Namun aku masih memiliki anak kambing jadza’ah yang lebih baik
dari dua kambing yang telah aku sembelih itu. Apakah diperbolehkan bagiku
menyembelihnya ?”. Beliau menjawab: “Ya. Akan tetapi tidak boleh untuk
seorangpun setelah kamu” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 983).
Maksudnya, hanya boleh
bagi Abu Burdah pada saat itu saja, namun tidak boleh bagi orang lain
setelahnya, karena jadza’ah tidak mencukupi dipakai sebagai hewan kurban. Atau
dikaitkan dengan bahasan, bahwasannya perbuatan Abu Bakrah yang rukuk di luar
shalat itu hanya sah pada waktu itu saja, namun tidak di waktu yang lain.
Ulama lain mengatakan
perkataan beliau tersebut terkait dengan ketergesa-gesaannya saat mendatangi
shalat berjama’ah. Makna ini ditunjukkan oleh hadits Abu Bakrah dalam lafadh
yang lain:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا بَشَّارٌ الْخَيَّاطُ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ
الْعَزِيزِ بْنَ أَبِي بَكْرَةَ يُحَدِّثُ، أَنَّ أَبَا بَكْرَةَ جَاءَ،
وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاكِعٌ، فَسَمِعَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَوْتَ نَعْلِ أَبِي بَكْرَةَ وَهُوَ يَحْضُرُ
يُرِيدُ أَنْ يُدْرِكَ الرَّكْعَةَ، فَلَمَّا انْصَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ السَّاعِي؟ " قَالَ أَبُو بَكْرَةَ:
أَنَا، قَالَ: " زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdush-Shamad:
Telah menceritakan kepada kami Basysyaar Al-Khayyaath, ia berkata: Aku
mendengar ‘Abdul-‘Aziiz bin Abi Bakrah menceritakan hadits: Bahwasannya Abu
Bakrah mendatangi (shalat) dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang
rukuk. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar suara sandal Abu
Bakrah ketika ia hendak mendapatkan raka’at shalat. Ketika Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau bersabda: “Siapa yang berlarian tadi
?.” Abu Bakrah menjawab: “Aku”. Beliau bersabda: “Semoga Allah menambahkan
semangatmu, akan tetapi jangan engkau ulangi” (Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/42).
Sanad hadits ini dla’iif, karena Basyaar
Al-Khayyaath, perawi yang dla’iif. Akan tetapi ia dikuatkan oleh riwayat:
حَدَّثَنَا
بَكَّارُ بْنُ قُتَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو عُمَرَ الضَّرِيرُ، أَخْبَرَنَا
حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، أَنَّ زِيَادَ الأَعْلَمَ، أَخْبَرَهُمْ، عَنِ الْحَسَنِ،
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ: جِئْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَاكِعًا، وَقَدْ حَفَزَنِي النَّفَسُ، فَرَكَعْتُ دُونَ الصَّفِّ،
ثُمَّ مَشَيْتُ إِلَى الصَّفِّ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الصَّلاةَ، قَالَ: " أَيُّكُمُ الَّذِي رَكَعَ دُونَ الصَّفِّ؟
" قَالَ أَبُو بَكْرَةَ: قُلْتُ: أَنَا. قَالَ: " زَادَكَ اللَّهُ
حِرْصًا، وَلا تَعُدْ ".
وَحَدَّثَنَا
الْحُسَيْنُ بْنُ الْحَكَمِ الْحِبَرِيُّ، حَدَّثَنَا عَفَّانُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا
حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، ثُمَّ ذَكَرَ بِإِسْنَادِهِ مِثْلَهُ.
Telah menceritakan kepada kami Bakkaar bin
Qutaibah: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Umar Adl-Dlariir: Telah
memberitakan kepada kami Hammaad bin Salamah, bahwasannya Ziyaad Al-A’lam telah
mengkhabari mereka, dari Al-Hasan, dari Abu bakrah, ia berkata: “Aku datang
dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada waktu sedang rukuk. Dengan napas
terengah-engah, aku pun rukuk di luar shaff dan kemudian berjalan menuju shaff.
Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau
bersabda: “Siapakah di antara kalian yang melakukan rukuk di luar shaff ?”. Abu
Bakrah berkata: “Aku”. Beliau bersabda: “Semoga Allah menambah semangatmu,
namun jangan engkau ulangi”.
Dan telah menceritakan
kepada kami Al-Husain bin Al-Hakam Al-Jabbariy, ia berkata: Telah menceritakan
kepada kami ‘Affaan bin Muslim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami
Hammaad bin Salamah, kemudian ia menyebutkan dengan sanadnya riwayat semisalnya
(Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 14/203-204 no.
5575; shahih).
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah melarang tergesa-gesa ketika mendatangi shalat
berjama’ah.
حَدَّثَنَا
آدَمُ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، قَالَ حدثنا الزُّهْرِيُّ، عَنْ
سَعِيدٍ، وأبي سلمة عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وحَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، قَالَ:
أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ
فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمُ السَّكِينَةُ، فَمَا
أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
"
Telah menceritakan kepada kami Aadam, ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b, ia berkata: telah
menceritakan kepada kami Az-Zuhriy, dari Sa’iid dan Abu Salamah, dari Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan
telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan, ia berkata: Telah mengkhabarkan
kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepadaku
Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan: Bahwasannya Abu Hurairah berkata: Aku mendengar
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila shalat telah
didirikan, janganlah kalian mendatanginya sambil berlari. Datangilah dengan
berjalan. Hendaklah kalian tenang. Apa yang kalian dapatkan (raka’atnya), maka
shalatlah, dan apa yang kalian tertinggal (raka’atnya), maka sempurnakanlah” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 908).
Seandainya Abu Bakrah tidak terhitung
mendapatkan satu raka’at dalam rukuknya tersebut, niscaya beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam akan memerintahkannya untuk mengulang atau menyempurnakan apa
yang terlewat.
Di antara tiga makna ini,
yang raajih adalah pendapat ketiga. Makna ini dikuatkan oleh riwayat ‘Abdullah
bin Az-Zubair radliyallaahu ‘anhumaa sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ، ثَنَا حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، نَا ابْنُ وَهْبٍ،
أَخْبَرَنِي ابْنُ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ الزُّبَيْرِ
عَلَى الْمِنْبَرِ، يَقُولُ: " إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ،
وَالنَّاسُ رُكُوعٌ فَلْيَرْكَعْ حِينَ يَدْخُلُ، ثُمَّ يَدِبُّ رَاكِعًا حَتَّى
يَدْخُلَ فِي الصَّفِّ، فَإِنَّ ذَلِكَ السُّنَّةُ ". قَالَ عَطَاءٌ: وَقَدْ
رَأَيْتُهُ يَصْنَعُ ذَلِكَ، قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: وَقَدْ رَأَيْتُ عَطَاءً
يَصْنَعُ ذَلِكَ.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Nashr: Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahyaa: Telah mengkhabarkan
kepada kami Ibnu Wahb: Telah mengkhabarkan kepadaku Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’:
Bahwasannya ia mendengar Ibnuz-Zubair berkata di atas mimbar: “Apabila salah
seorang di antara kalian memasuki masjid dan orang-orang sedang rukuk,
hendaklah ia rukuk ketika masuk. Kemudian berjalan perlahan dalam keadaan rukuk hingga
masuk ke dalam shaff. Karena hal itu adalah sunnah”. ‘Athaa’ berkata: “Sungguh
aku pernah melihatnya (Ibnuz-Zubair) melakukan hal itu”. Ibnu Juraij berkata:
“Dan sungguh aku pernah melihat ‘Athaa’ melakukan hal itu” (Diriwayatkan oleh
Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 7016; shahih).
Hadits di atas mauquf,
namun dihukumi marfu’ dengan perkataan Ibnuz-Zubair: ‘karena hal itu adalah
sunnah’ (فَإِنَّ
ذَلِكَ السُّنَّةُ).
Pendapat ini telah
diamalkan oleh beberapa orang shahabat besar, di antaranya:
1. Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالَ: ثنا مُسَدَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنِي بِشْرُ بْنُ
الْمُفَضَّلِ، عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ الأَقْمَرِ، قَالَ:
سَمِعْتُ أَبَا الأَحْوَصِ، يُحَدِّثُ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: " مَنْ
أَدْرَكَ الرُّكُوعَ فَقَدْ أَدْرَكَ
"
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Muhammad, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Musaddad, ia berkata:
Telah menceritakan kepadaku Bisyr bin Al-Mufadldlal, dari Khaalid Al-Hadzdzaa’,
dari ‘Aliy bin Al-Aqmar, ia berkata: Aku mendengar Abul-Ahwash menceritakan
dari Ibnu Mas’uud, ia berkata: “Barangsiapa yang mendapati rukuk (imam) sungguh
ia mendapati (raka’at tersebut)” (Diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam
Al-Ausath no. 2023).
Sanad riwayat di atas adalah shahih, semua
perawinya tsiqaat.
Musaddad mempunyai
mutaba’ah dari ‘Amru bin ‘Aliy:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ الْبُرِّيِّ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ
عَلِيٍّ، قَالَ: سَمِعْتُ بِشْرَ بْنَ الْمُفَضَّلِ، يَقُولُ: سَمِعْتُ خَالِدا
الْحَذَّاءَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عَلِيَّ بْنَ الأَقْمَرِ، يَقُولُ: " مَنْ
لَمْ يُدْرِكِ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ فَلا يَعْتَدَّ بِالسُّجُودِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Burriy: Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Aliy,
ia berkata: Aku mendengar Bisyr bin Al-Mufadldlal berkata: Aku mendengar
Khaalid Al-Hadzdzaa’ berkata: Aku mendengar ‘Aliy bin Al-Aqmar berkata:
“Barangsiapa yang tidak mendapati rukuk dan sujud, tidak dihitung raka’at itu
dengan sujud” (Diriwayatkan oleh Ramahurmuziy dalam Al-Muhaddits Al-Faashil no.
502).
Sanadnya hasan. Semua perawinya tsiqah,
kecuali Muhammad bin Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Burriy(1), Al-Haakim menshahihkan
sanad hadits yang ia bawakan dalam Al-Mustadrak dan sejumlah perawi tsiqah
meriwayatkan darinya; sehingga kedudukannya adalah shaduuq hasanul-hadits.
Wallaahu a’lam.(2)
Bisyr bin Al-Mufadldlal mempunyai mutaba’ah dari
‘Aliy bin ‘Aashim:
أَخْبَرَنَا
أَبُو زَكَرِيَّا بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمُزَكِّي، أنبأ أَحْمَدُ بْنُ سَلْمَانَ
الْفَقِيهُ، أنبأ الْحَسَنُ بْنُ مُكْرَمٍ، ثنا عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ، ثنا خَالِدٌ
الْحَذَّاءُ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ الأَقْمَرِ، عَنْ أَبِي الأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ مَسْعُودٍ، قَالَ: " مَنْ لَمْ يُدْرِكِ الإِمَامَ
رَاكِعًا، لَمْ يُدْرِكْ تِلْكَ الرَّكْعَةَ
"
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Zakariyyaa
bin Abi Ishaaq Al-Muzakkiy: Telah memberitakan Ahmad bin Salmaan Al-Faqiih:
Telah memberitakan Al-Hasan bin Al-Mukram: Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy
bin ‘Aashim: Telah menceritakan kepada kami Khaalid Al-Hadzdzaa’, dari ‘Aliy
bin Al-Aqmar, dari Abul-Ahwash, dari ‘Abdullah, yaitu Ibni Mas’uud, ia berkata:
“Barangsiapa yang tidak mendapati imam dalam keadaan rukuk, ia tidak
mendapatkan raka’at tersebut” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 2/90).
Sanadnya lemah, karena
‘Aliy bin ‘Aashim seorang perawi yang lemah.
Ada pula riwayat fi’liy
dari Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu:
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: نا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ
وَهْبٍ، قَالَ: " خَرَجْتُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ مِنْ دَارِهِ إِلَى
الْمَسْجِدِ فَلَمَّا تَوَسَّطْنَا الْمَسْجِدَ رَكَعَ الْإِمَامُ فَكَبَّرَ
عَبْدُ اللَّهِ ثُمَّ رَكَعَ وَرَكَعْتُ مَعَهُ ثُمَّ مَشَيْنَا رَاكِعَيْنِ
حَتَّى انْتَهَيْنَا إِلَى الصَّفِّ حَتَّى رَفَعَ الْقَوْمُ رُءُوسَهُمْ، قَالَ:
فَلَمَّا قَضَى الْإِمَامُ الصَّلَاةَ قُمْتُ أَنَا وَأَنَا أَرَى أَنِّي لَمْ
أُدْرِكْ فَأَخَذَ بِيَدِي عَبْدُ اللَّهِ فَأَجْلَسَنِي وَقَالَ: إِنَّكَ قَدْ
أَدْرَكْت "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia
berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Ahwash, dari Manshuur, dari Zaid
bin Wahb, ia berkata: “Aku keluar bersama ‘Abdullah (bin Mas’uud) dari rumahnya
menuju masjid. Ketika kami berada di tengah masjid, imam rukuk. Maka, ‘Abdullah bertakbir
lalu rukuk. Dan akupun ikut rukuk bersamanya. Kemudian kami berjalan dalam
keadaan rukuk hingga kami sampai masuk dalam shaff ketika orang-orang telah
mengangkat kepala mereka. Ketika imam selesai dari shalatnya, aku pun berdiri
karena aku berpendapat aku tidak mendapatkan raka’at (saat rukuk tadi). Lalu
‘Abdullah memegang tanganku dan mendudukkanku. Ia berkata: “Sesungguhnya engkau
telah mendapatkan raka’at” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/255 no. 2637).
Sanad ini shahih, semua
perawinya tsiqah.
Abul-Ahwash mempunyai mutaba’ah dari:
(1) Abu ‘Awaanah; sebagaimana diriwayatkan
oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir (9/312 no. 9355): Telah menceritakan
kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdil-‘Aziiz: Telah menceritakan kepada kami Hajjaaj bin
Al-Minhaal: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Manshuur, dan
selanjutnya seperti riwayat di atas. Riwayat ini shahih. ‘Aliy bin
‘Abdil-‘Aziizz seorang yang tsiqah lagi haafidh (Irsyaadul-Qaadliy, hal.
435-436 no. 685). Hajjaaj bin Al-Minhaal, seorang perawi tsiqah yang dipakai
oleh Syaikhaan. Begitu juga dengan Abu ‘Awaanah.(3)
(2) Sufyaan Ats-Tsauriy; sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 2024: Telah menceritakan
kepada kami ‘Aliy bin Al-Hasan, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah, dari Sufyaan, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Manshuur, dan
seterusnya sebagaimana riwayat di atas. Sanad riwayat ini shahih. ‘Aliy bin
Al-Hasan, ia adalah Ibnu Syaqiiq bin Diinaar Al-‘Abdiy; seorang yang tsiqah
lagi tsabat. ‘Abdullah, ia adalah Ibnul-Mubaarak, seorang yang tidak perlu
dipertanyakan lagi. Begitu juga Ats-Tsauriy.
Riwayat fi’liy Ibnu Mas’uud radliyallaahu
‘anhu ini masih banyak, yang seandainya disebutkan akan lebih menguatkan
riwayat di atas. Sementara, riwayat di atas pun sudah shahih secara meyakinkan.
2. Riwayat ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa
عَنِ ابْنِ
جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي نَافِعٌ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " إِذَا
أَدْرَكَتَ الإِمَامَ رَاكِعًا فَرَكَعْتَ قَبْلَ أَنْ يَرْفَعَ فَقَدْ
أَدْرَكْتَ، وَإِنْ رَفَعَ قَبْلَ أَنْ تَرْكَعَ فَقَدْ فَاتَتْكَ "
Dari Ibnu Juraij, ia berkata: Telah
mengkhabarkan kepadaku Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: “Apabila engkau
mendapati imam sedang rukuk, lalu engkau ikut rukuk sebelum ia (imam)
mengangkat kepalanya (i’tidal), sungguh engkau telah mendapati raka’at
tersebut. Namun jika ia telah mengangkat kepalanya sebelum engkau rukuk, maka
engkau terlewat dari raka’at itu” (Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 2/279 no.
3361, dan melalui jalannya Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 2022; shahih).
Ibnu Juraij dalam riwayat ini telah
menjelaskan tashriih penyimakan haditsnya dari Naafi’ sehingga hilanglah
keraguan akan tadlis-nya.
Sebagaimana diketahui, bahwa Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhumaa adalah salah seorang shahabat yang paling semangat dalam
ittiba’ kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
3. Riwayat Zaid bin Tsaabit radliyallaahu
‘anhu
وَأَخْبَرَنَا
أَبُو عَلِيٍّ الرُّوذْبَارِيُّ، أنبأ إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدٍ الصَّفَّارُ،
ثنا أَحْمَدُ بْنُ الْوَلِيدِ الْفَحَّامُ، ثنا شَاذَانُ، ثنا سُفْيَانُ بْنُ
سَعِيدٍ، عَنْ مَعْمَرٍ الأَوْزَاعِيِّ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ
بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ، قَالَ " دَخَلَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ الْمَسْجِدَ
وَالإِمَامُ رَاكِعٌ فَرَكَعَ دُونَ الصَّفِّ حَتَّى اسْتَوَى فِي الصَّفِّ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Aliy
Ar-Ruudzbaariy: Telah memberitakan kepada kami Ismaa’iil bin Muhammad
Ash-Shaffaar: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Al-Waliid Al-Fahhaam:
Telah menceritakan kepada kami Syaadzaan: Telah menceritakan kepada kami
Sufyaan bin Sa’iid, dari Ma’mar Al-Auzaa’iy, dari Az-Zuhriy, dari Abu Umaamah
bin Sahl bin Hunaif, ia berkata: Zaid bin Tsaabit masuk ke dalam masjid
sementara imam dalam keadaan rukuk. Maka ia pun rukuk di luar shaff (berjalan)
hingga berada di dalam shaff” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 3/106; shahih).
Abu Abu ‘Aliy Ar-Ruudzbaariy namanya adalah
Al-Husain bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Aliy bin Haatim, Abu ‘Aliy
Ar-Ruudzbaariy Ath-Thuusiy Al-Faqiih. Al-Baihaqiy menshahihkan sanad hadits yang dibawakannya
dalam Al-Kubraa (4/54).
Ma’mar mempunyai
mutaba’ah dari Yuunus bin Yaziid dan Ibnu Abi Dzi’b sebagaimana diriwayatkan
oleh ‘Abdullah bin Wahb dalam Al-Muwaththa’-nya (no. 415), serta ‘Abdurrazzaaq
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath (no. 1999).
Catatan:
Adapun hadits Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar
(1/396 no. 2309) adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي دَاوُدَ، حَدَّثَنَا الْمُقَدَّمِيُّ، حَدَّثَنِي عُمَرُ
بْنُ عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا ابْنُ عَجْلانَ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" إِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الصَّلاةَ، فَلا يَرْكَعْ دُونَ الصَّفِّ حَتَّى
يَأْخُذَ مَكَانَهُ مِنَ الصَّفِّ ".
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin
Abi Daawud: Telah menceritakan kepada kami Al-Muqaddamiy: Telah menceritakan
kepadaku ‘Umar bin ‘Aliy: Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ajlaan, dari
Al-A’raj, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila salah seorang di antara
kalian mendatangi shalat, janganlah rukuk di luar shaff hingga ia menempati
tempatnya yang ada di shaff”.
Dhahir sanad hadits ini
shahih, akan tetapi ia ma’lul. ‘Umar bin ‘Aliy, bersamaan dengan ketsiqahannya,
namun ia disifati dengan banyak melakukan tadliis. Ibnu Hajar menempatkannya
pada tingkatan keempat. Tadliis yang dilakukannya adalah taqdliis sukuut, yang
termasuk jenis tadliis yang jelek.
Ibnu Sa’d berkata: “Ia
seorang yang tsiqah, namun ia melakukan tadliis yang amat sangat (syadiid). Ia
berkata: ‘aku mendengar (sami’tu)’ dan ‘telah menceritakan kepada kami
(haddatsanaa)’, kemudian ia diam, kemudian berkata lagi: ‘Hisyaam bin ‘Urwah,
Al-A’masy’, sehingga disangka ia telah mendengar darinya, padahal tidak seperti
itu” (Ath-Thabaqaat, 7/291).
Abu Haatim berkata:
“Tempatnya kejujuran. Seandainya bukan karena tadlis-nya, niscaya kami akan
hukumi, jika ia datang membawakan tambahan. Akan tetapi kami khawatir hal itu
ia ambil dari perawi yang tidak tsiqah” (Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/125 dan
Al-‘Ilal oleh Ibnu Abi Haatim 1/166).
Kenyataannya, riwayat
'Umar bin ‘Aliy dari Muhammad bin ‘Ajlaan telah menyelisiihi Abu Khaalid
Al-Ahmar (tsiqah) sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/256-257 no.
2648); dan Yahyaa bin Sa’iid (tsiqah) sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah (1/257 no. 2651) yang membawakan dari Abu Hurairah secara mauquf.
Riwayat mauquf ini jelas
lebih kuat daripada marfuu’.(4)
Muhammad bin ‘Ajlaan,
dikritik sebagian ulama atas periwayatannya dari Abu Hurairah. Oleh karenannya,
Ibnu Hajar berkata: “Shaduuq, namun ia bercampur hapalannya dalam hadits-hadits
Abu Hurairah”.
Dalam jalur yang lain,
Al-Bukhaariy membawakan riwayat mauquf ini dengan lafadh:
حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ بْنُ يَعِيشَ، قَالَ: حَدَّثَنَا يُونُسُ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ
إِسْحَاقَ، قَالَ: قَالَ: أَخْبَرَنِي الأَعْرَجُ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: " لا يُجْزِئُكَ إِلا أَنْ تُدْرِكَ
الإِمَامَ قَائِمًا قَبْلَ أَنْ يَرْكَعَ
"
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaid bin
Ya’iisy, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yuunus, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Ishaaq, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepadaku
Al-A’raj, ia berkata: Aku mendengar Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata:
“Tidak mencukupi bagimu kecuali jika engkau mendapati imam sedang berdiri
sebelum ia rukuk” (Al-Qiraa’atu Khalfal-Imaam no. 140; hasan).
Intinya, ini adalah ijtihad Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu, bukan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam.
Ini saja yang dapat
dituliskan. Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan.
Wallaahu a’lam.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Lihat: Rijaalul-Haakim, 2/195 no. 1309.
(2) Oleh karena itu
perkataan:
pada sanad itu disebutkan
Alin bin Ashim berkata, “telah bercerita kepada kami Khalid bin Khadzdza (ia
menerima), dari Alin bin Al-Aqmar, dari Abdul Ahwash” sanad ini munqathi
(terputus), karena Khalid bin al-Hadzdza tercatat mempunyai 40 orang guru,
namun tidak ada satupun yang bernama Ali bin Aqmar (lihat Tahdzibul kamal,
VIII:178-179). Demikian pula dengan halnya Ali bin Aqmar tercatat mempunyai 17
orang murid, namun tidak ada satupun yang bernama Khalid bin Khadzdza (lihat
Tahdzibul kamal, XX:324).
adalah perkataan yang
kurang memberikan faedah. Pertama, yang menjadi hujjah adalah riwayat. Oleh
karena itu, apabila ada telah shahih dalam riwayat didapatkan bahwa salah satu
syaikh dari Khaalid Al-Hadzdzaa’ adalah ‘Aliy Al-Aqmar, maka ia merupakan satu
tambahan keterangan bagi kitab biografi, semisal Tahdziibut-Tahdziib. Apalagi,
antara Khaalid dan ‘Aliy adalah semasa (mu’asharah), sehingga riwayat keduanya
dihukumi bersambung. Kedua, dalam riwayat Ramahurmuziy telah dijelaskan
bagaimana Khaalid mendapatkan riwayat dari ‘Aliy melalui perantaraan samaa’.
Intinya, klaim
pendla’ifan atas riwayat Ibnu Mas’uud di atas tidaklah berterima.
(3) Ada ta’lil yang
menurut saya ‘aneh’ atas riwayat ini, yaitu perkataan:
Dari Ali Bin Abdul Aziz,
dari Hajjaj bin Minhal, dari Abu Awanah, dari manshur. Sanad inipun diragukan
ke mutahsilannya, karena Abu Awanah tidak menyebutkan secara pasti bentuk
penerimaan hadits itu dari Manshur, ia hanya menyebut ‘An (dari). Menurut para ahli
Hadits periwayatan Abu Awanah dapat ditetapkan mutashil (bersambung) bia ia
meriwayatkan dari catatannya, namun jika melalui hapalannya, maka hadits itu
tidak selamat dari kesalahan. (Tahdzibul kamal, XXX:447)
Ini adalah wahm yang
sangat fatal. Perhatikan yang saya garis bawah. Dalam Tahdziibul-Kamaal,
sependek yang saya baca, tidak ada kalimat itu kecuali dari beliau yang
mempunyai kalimat di atas. Berikut perkataan sebagian ulama yang memberikan
kritikannya terhadap Abu ‘Awaanah (dari kitab Tahdziibut-Tahdziib):
Ahmad berkata:
إذا حدث أبو
عوانة من كتابه فهو أثبت، و إذا حدث من غير كتابه ربما وهم
“Apabila Abu ‘Awaanah menceritakan hadits dari
kitabnya, maka ia tsabt akan riwayat itu (shahih). Namun bila ia
meriwayatkan selain dari kitabnya, kadangkala ia keliru”.
Perkataan ‘kadang keliru’
itu bukanlah menunjukkan hadits Abu ‘’Awaanah jika diriwayatkan dari jurusan
hapalannya dla’iif secara mutlak. Bukan begitu. Namun kekeliruannya – menurut
Ahmad – adalah sedikit.
Abu Zur’ah berkata:
ثقة إذا حدث من
كتابه
“Tsiqah apabila
menceritakan riwayat dari kitabnya”.
Sama dengan di atas,
perkataan tersebut tidak mempunyai konsekuensi jika ia meriwayatkan bukan dari
kitabnya, maka dla’iif. Karena perkataan di atas dapat mengandung makna bahwa
hadits Abu ‘Awaanah dari jurusan hapalannya di bawah derajat shahih, yaitu
hasan.
Abu Haatim berkata:
كتبه صحيحة، و
إذا حدث من حفظه غلط كثيرا، و هو صدوق، ثقة، و هو أحب إلى من أبى الأحوص، و من
جرير بن عبد الحميد، و هو أحفظ من حماد بن سلمة.
“Kitabnya shahih. Namun jika ia meriwayatkan
dari hapalannya, banyak kelirunya. Ia seorang yang shaduuq lagi tsiqah. Ia
lebih aku cintai daripada Abul-Ahwash dan Jariir bin ‘Abdil-Hamiid. Dan ia
lebih hapal daripada Hammaad bin Salamah”.
Yang perlu dicatat di sini, ketika Abu Haatim
mensifati ia banyak keliru jika meriwayatkan dari hapalannya, Abu ‘Awaanah
tetap dipredikati seorang yang shaduuq lagi tsiqah. Ia kedudukannya lebih
tinggi daripada Abul-Ahwash, Jariir, dan Hammaad bin Salamah.
Abu Haatim berkata
tentang Abul-Ahwash (Sallaam bin Sulaim): “Shaduuq, ia di bawah Zaaidah dan
Zuhair dalam akurasi (itqan)”.
Sekarang tentang Jariir
bin ‘Abdil-Hamiid. ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim pernah bertanya kepada ayahnya
tentang Abul-Ahwash dan Jariir tentang hadits Hushain. Ia menjawab: “Jariir
paling cerdas di antara dua orang tersebut, dan Jariir lebih aku sukai”. Aku (‘Abdurrahmaan)
berkata: “Haditsnya dijadikan hujjah ?”. Ia menjawab: “Ya, Jariir tsiqah, ia
lebih aku sukai dalam hadits Hisyaam bin ‘Urwah daripada Yuunus bin Bukair”.
Tentang Hammaad bin
Salamah, Abu Haatim berkata: “Hammaad bin Salamah dalam hadits Tsaabit dan
‘Aliy bin Zaid lebih aku cintai daripada Hammaam. Ia adalah orang yang paling
dlabth dan yang paling mengetahui tentang hadits keduanya…”.
Dengan adanya keterangan
itu, apakah Abu ‘Awaanah di sisi Abu Haatim seorang yang dla’iif dari sisi
hapalannya ? Tentu saja tidak jika ia bisa menimbang dengan ‘adil.
Adapun ta’dil ulama yang
diberikan ulama kepadanya, janganlah dipertanyakan lagi. Bahkan ia disamakan
dengan Syu’bah. Bahkan ‘Affaan bin Muslim menganggap Abu ‘Awaanah dalam seluruh
keadaannnya, haditsnya lebih shahih daripada Syu’bah. Oleh karenannya Ibnu
Hajar menghukuminya dengan: “Tsiqah lagi tsabat”.
Juga, Muslim berhujjah
dengan riwayat Abu ‘Awaanah dari Manshuur bin Al-Mu’tamir dalam Shahih-nya.
Intinya, ta’lil pemilik
kalimat merah di atas tidaklah valid.
(4) Lihat pembahasan dalam Silsilah
Adl-Dla’iifah, no. 977.
Posting Komentar untuk "Kapan Makmum Mendapati Rakaatnya Imam"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.