Jabat Tangan Laki-Laki dan Perempuan dalam Islam
Al-Imaam Ahmad rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا
عَفَّانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا هِشَامٌ،
وحَبِيبٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ، أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ عَلَى النِّسَاءِ فِيمَا أَخَذَ
أَنْ لَا يَنُحْنَ، فَقَالَتْ امْرَأَةٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ امْرَأَةً
أَسْعَدَتْنِي، أَفَلَا أُسْعِدُهَا؟ فَقَبَضَتْ يَدَهَا، وَقَبَضَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ، فَلَمْ يُبَايِعْهَا
Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan, ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, ia berkata: Telah
mengkhabarkan kepada kami Hisyaam dan Habiib, dari Muhammad bin Siiriin, dari
Ummu ‘Athiyyah: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengambil
janji para wanita agar mereka tidak meratap (niyahah). Seorang wanita(1)
berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang wanita yang telah
membahagiakanku. Apakah aku mesti membahagiakannya juga(2)?”. Lalu wanita
tersebut menggenggam tangannya sendiri, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam juga menggenggam tangannya sendiri, tanpa membaiat wanita tersebut (Diriwayatkan
oleh Ahmad, 6/408; shahih).
Sekelompok orang menafsirkan kalimat
faqabadlat yadahaa wa qabadla Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yadahu
falam yubaayi’haa sebagai berikut:
Kalimat, ‘qabadhat
yadahâ’ (menarik kembali tangannya), mengandung makna menarik kembali tangannya
setelah sebelumnya hendak melakukan baiat tersebut. ‘Menarik kembali
tangannya’, mengandung pengertian bahwa, wanita tersebut sebelumnya benar-benar
hendak melakukan baiat kepada Rasulullah saw. dengan cara berjabat tangan. Dari
sini, bisa dipahami jika kalimat, ‘kemudian salah seorang wanita di antara kami
menarik kembali tangannya’, mengandung pengertian bahwa, selain wanita
tersebut, tidak menarik kembali tangan mereka. Ini berarti, para wanita selain
wanita tersebut juga membaiat Rasulullah saw. dengan cara berjabat tangan
(mushâfahah).(3)
Intinya, dalil di atas – menurut mereka – menunjukkan diperbolehkannya jabat tangan antara laki-laki dan wanita ajnabiyyah (non-mahram). Pendalilan mereka ini keliru dari beberapa sisi, di antaranya:
1. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan sendiri bahwa beliau tidak
berjabat tangan dengan wanita ketika bai’at, sebagaimana dikatakan oleh Umaimah
bintu Ruqaiqah, ‘Aaisyah, dan Ummu Salamah Al-Anshaariyyah radliyallaahu
‘anhunn dalam beberapa riwayat di bawah.
a. Hadits Umaimah bintu
Ruqaiqah radliyallaahu ‘anhaa:
أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، قَالَ:
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ، عَنْ أُمَيْمَةَ بِنْتِ
رُقَيْقَةَ، أَنَّهَا قَالَتْ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ مِنَ الْأَنْصَارِ نُبَايِعُهُ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، نُبَايِعُكَ عَلَى أَنْ لَا نُشْرِكَ بِاللَّهِ شَيْئًا، وَلَا نَسْرِقَ،
وَلَا نَزْنِيَ، وَلَا نَأْتِيَ بِبُهْتَانٍ نَفْتَرِيهِ بَيْنَ أَيْدِينَا
وَأَرْجُلِنَا، وَلَا نَعْصِيكَ فِي مَعْرُوفٍ.قَالَ: " فِيمَا
اسْتَطَعْتُنَّ، وَأَطَقْتُنَّ "، قَالَتْ: قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَرْحَمُ بِنَا، هَلُمَّ نُبَايِعْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنِّي لَا أُصَافِحُ
النِّسَاءَ، إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ
وَاحِدَةٍ، أَوْ مِثْلُ قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ
"
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin
Basyaar, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan (bin Mahdiy),
ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Sufyaan (Ats-Tsauriy), dari Muhammad
bin Al-Munkadir, dari Umaimah bintu Ruqaiqah, ia berkata: Aku mendatangi Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam rombongan wanita-wanita Anshaar untuk
berbaiat kepada beliau. Kami berkata: “Wahai Rasulullah, kami berbaiat kepadamu
untuk tidak mensyirikkan Allah dengan sesuatupun, tidak mencuri, tidak berzina,
tidak berdusta dengan sesuatu yang kami lakukan antara tangan dan kaki kami,
serta tidak mendurhakaimu dalam perkara yang ma’ruuf”. Beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam: “Pada perkara yang kalian mampu lakukan”. Kami berkata: “Allah dan
Rasul-Nya lebih menyayangi kami. Marilah kami berbaiat kepadamu wahai
Rasulullah”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya
aku tidak berjabat tangan dengan wanita. Perkataanku kepada seratus orang
wanita sama (dalam baiat) seperti perkataanku kepada seorang wanita” (Diriwayatkan
oleh An-Nasaa’iy no. 4181; shahih).
Dalam riwayat lain disebutkan:
قَالَتْ:
قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَرْحَمُ بِنَا مِنْ أَنْفُسِنَا، بَايِعْنَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: " اذْهَبْنَ، فَقَدْ بَايَعْتُكُنَّ، إِنَّمَا
قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ، كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ "، قَالَتْ:
وَلَمْ يُصَافِحْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَّا
امْرَأَةً
Umaimah berkata: Kami
berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih menyayangi kami dari diri kami sendiri.
Baiatlah kami wahai Rasulullah !”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Pergilah, sesungguhnya aku telah membaiat kalian. Sesungguhnya
perkataanku kepada seratus orang wanita seperti perkataanku kepada seorang
wanita”. Umaimah berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
berjabat tangan dengan (seorang) wanita (pun) di antara kami” (Diriwayatkan
oleh Ahmad, 6/357; sanadnya hasan karena faktor Muhammad bin Ishaaq. Adapun perawi lain tsiqaat.).
b. Hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa:
حَدَّثَنَا
مَحْمُودٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ
الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَايِعُ النِّسَاءَ
بِالْكَلَامِ بِهَذِهِ الْآيَةِ: لا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا "،
قَالَتْ: وَمَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَدَ امْرَأَةٍ إِلَّا امْرَأَةً يَمْلِكُهَا
"
Telah menceritakan kepada kami Mahmuud: Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq: Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar,
dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata:
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaiat para wanita dengan perkataan,
yaitu firman Allah ta’ala: ‘mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan
Allah’ (QS. Al-Mumtahanah: 12). Tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita, kecuali wanita yang dimilikinya” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 7214).
Dalam riwayat lain, ‘Aaisyah radliyallaahu
‘anhaa berkata:
وَكَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَقْرَرْنَ بِذَلِكَ مِنْ
قَوْلِهِنَّ، قَالَ لَهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" انْطَلِقْنَ فَقَدْ بَايَعْتُكُنَّ "، وَلَا وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ
يَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ
غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلَامِ
“Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
apabila mereka menyatakan hal tersebut dalam perkataan mereka(4), maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka: ‘Pergilah,
sungguh aku telah membaiat kalian’. Dan demi Allah, tidaklah tangan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan seorang wanita pun, karena
beliau membaiat mereka dengan perkataan....” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1866).
c. Hadits Ummu Salamah Asmaa’ bintu Yaziid
Al-Anshaariyyah radliyallaahu ‘anhaa:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ الشَّيْبَانِيُّ، قَال: سَمِعْتُ شَهْرَ بْنَ حَوْشَبٍ، قَالَ:
حَدَّثَتْنَا أُمُّ سَلَمَةَ الْأَنْصَارِيَّةُ، قَالَتْ: قَالَتِ امْرَأَةٌ مِنَ
النِّسْوَةِ: مَا هَذَا الْمَعْرُوفُ الَّذِي لَا يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَعْصِيَكَ
فِيهِ؟ قَالَ: " لَا تَنُحْنَ "، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ
بَنِي فُلَانٍ قَدْ أَسْعَدُونِي عَلَى عَمِّي، وَلَا بُدَّ لِي مِنْ
قَضَائِهِنَّ، فَأَبَى عَلَيَّ، فَأَتَيْتُهُ مِرَارًا، فَأَذِنَ لِي فِي
قَضَائِهِنَّ، فَلَمْ أَنُحْ بَعْدَ قَضَائِهِنَّ وَلَا عَلَى غَيْرِهِ حَتَّى
السَّاعَةَ، وَلَمْ يَبْقَ مِنَ النِّسْوَةِ امْرَأَةٌ إِلَّا وَقَدْ نَاحَتْ
غَيْرِي.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid:
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim: Telah menceritakan kepada kami
Yaziid bin ‘Abdillah Asy-Syaibaaniy, ia berkata: Aku mendengar Syahr bin
Hausyab berkata: Telah menceritakan kepada kami Ummu Salamah Al-Anshaariyyah,
ia berkata: Telah berkata seseorang wanita di antara wanita-wanita tersebut:
“Apakah yang dimaksud dengan perkara ma’ruuf yang kami tidak boleh
mendurhakaimu padanya?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian meratap (niyahah)”. Aku(5) berkata: “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Bani Fulaan telah membahagiakanku atas apa yang ia perbuat
terhadap pamanku(6), dan aku hendak membalasnya”. Beliau tidak mengabulkan
permintaanku. Lalu aku datangi beliau beberapa kali, dan akhirnya beliau pun
mengabulkanku untuk membalas kebaikannya. Maka, aku tidak meratap lagi setelah
membalas kebaikan mereka, tidak pula meratap kepada selain pamanku hingga saat
ini. Dan tidaklah tersisa di antara para wanita waktu itu masih melakukan
ratapan, kecuali aku” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3307).
Dalam riwayat lain, Ummu
Salamah radliyallaahu ‘anhaa berkata:
بَايَعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ، فَقَالَ: "
فِيمَا اسْتَطَعْتُنَّ وَأَطَقْتُنَّ "، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ !
بَايِعْنَا، فَقَالَ: " إِنِّي لا أُصَافِحُكُنَّ، إِنَّمَا آخُذُ
عَلَيْكُنَّ مَا أَخَذَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
"
“Aku berbaiat kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dalam rombongan para wanita. Beliau bersabda: ‘Pada perkara
yang kalian mampu lakukan’. Kami berkata: ‘Wahai Rasulullah, baiatlah kami !’. Lalu beliau menjawab:
‘Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kalian. Sesungguhnya aku hanya
mengambil baiat kalian pada perkara yang Allah ‘azza wa jalla ambil” (Diriwayatkan
oleh Al-Humaidiy no. 372).
Riwayat ini dihasankan
oleh Ibnu Hajar dalam Al-Mathaalibul-‘Aaliyyah no. 2109. Syahr bin Hausyab
adalah perawi yang diperselisihkan para ulama karena faktor hapalannya. Akan
tetapi, ia mempunyai mutaba’ah dari Al-Muhaajir bin Diinar Al-Anshaariy,
sebagaimana riwayat:
نا أَبُو
نُعَيْمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ
مُهَاجِرٍ، وَمُحَمَّدِ بْنِ مُهَاجِرٍ، عَنْ أَبِيهِمَا، قَالَتْ أَسْمَاءُ،:
جِئْتُ لأُبَايِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ،
فَقَالَ: " إِنِّي لا أُصَافِحُ النِّسَاءَ
"
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Nu’aim, ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy, dari ‘Amru bin
Muhaajir dan Muhammad bin Muhaajir, dari ayah mereka: Telah berkata Asmaa’: Aku
pernah mendatangi untuk berbaiat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dalam serombongan wanita. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita” (Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Khaitsamah no. 2714; sanadnya hasan).
Hadits Umaimah, ‘Aaisyah, dan Ummu Salamah ini
sama dengan hadits Ummu ‘Athiyyah yang menceritakan rombongan wanita Anshaar
yang berbaiat kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; dan mereka
adalah para saksi dalam peristiwa pembaiatan itu. Atau dengan kata lain:
Mereka menceritakan satu peristiwa yang sama. Oleh karena itu, menggunakan
mafhum dalam hadits Ummu ‘Athiyyah pada awal artikel sebagai dalil para wanita
berjabat tangan dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam baiat tidaklah
diterima. Hal itu dikarenakan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
mengatakan tidak berjabat tangan dengan wanita(7). Beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam hanya membaiat dengan perkataan saja.
Para wanita Anshaar
radliyallaahu ‘anhunn - dalam riwayat di atas - meminta Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam agar membaiat dan menjabat tangan mereka, sebagaimana
lazimnya baiat kepada laki-laki. Namun beliau shallallaahu menolaknya dan
menyuruh mereka pergi, karena baiat telah dilakukan dengan perkataan beliau
(tanpa jabat tangan). Dan Umaimah radliyallaahu ‘anhaa pun menegaskan di akhir
peristiwa bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang tidak menjabat
tangan seorang wanita pun di antara mereka.
2. Arti qabdlat yadahaa
bukanlah wanita itu menarik tangannya, tapi menggenggam tangannya sendiri(8).
Yaitu maknanya, wanita tersebut menahan dan menunda baiatnya kepada beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Hal ini terlihat jelas
pada hadits Ummu Salamah Al-Anshaariyyah, karena ia lah wanita yang dimaksudkan
oleh Ummu ‘Athiyyah radliyallaahu ‘anhaa. Ia (Ummu Salamah) menunda baiat pada
waktu itu, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun tidak membai’atnya
karena tidak menyetujui permintaan Ummu Salamah.
Perhatikan pula riwayat berikut:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ،
حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ مُحَمَّدٍ، عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا، قَالَتْ: " أَخَذَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عِنْدَ الْبَيْعَةِ أَنْ لَا نَنُوحَ فَمَا وَفَتْ مِنَّا امْرَأَةٌ
غَيْرَ خَمْسِ نِسْوَةٍ أُمِّ سُلَيْمٍ وَأُمِّ الْعَلَاءِ وَابْنَةِ أَبِي
سَبْرَةَ امْرَأَةِ مُعَاذٍ وَامْرَأَتَيْنِ أَوْ ابْنَةِ أَبِي سَبْرَةَ
وَامْرَأَةِ مُعَاذٍ وَامْرَأَةٍ أُخْرَى
"
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
‘Abdil-Wahhaab: Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid: Telah
menceritakan kepada kami Ayyuub, dari Muhammad, dari Ummu ‘Athiyyah
radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata: “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mengambil perjanjian kepada kami saat baiat agar kami tidak meratap. Dan
tidaklah ada yang dapat memenuhinya waktu itu kecuali lima orang: Ummu Sulaim,
Ummul-‘Alaa’, anak wanita Abu Sabrah istri dari Mu’aadz, dua orang wanita atau
anak wanita Abu Sabrah dan istri Mu’aadz, serta satu wanita yang lain” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 1306).
Jadi, .... kronologis
riwayat-riwayat yang disebutkan di atas adalah nyambung alias saling
berhubungan.
Ummu Salamah
Al-Anshaariyyah radliyallaahu ‘anhaa termasuk wanita yang tidak bisa memenuhi
baiat untuk tidak meratap pada kali pertama, namun kemudian akhirnya ia
berbaiat kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam di waktu yang lain. Yang
lebih penting dari itu, Ummu Salamah yang menjadi objek pembicaraan Ummu
‘Athiyyah telah berkesaksian bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tidak membaiat para wanita melalui jabat tangan.
Dengan rangkaian
riwayat-riwayat di atas, maka jelaslah kekeliruan sebagian orang yang berdalil
dengan hadits Ummu ‘Athiyyah untuk membolehkan berjabat tangan dengan lawan
jenis yang bukan mahram.
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Dalam riwayat ini
(yaitu riwayat Muhammad bin Siiriin dari Ummu ‘Athiyyah), ia (Ummu ‘Athiyyah)
menyandarkan pada orang lain dengan berkata: “Seorang wanita berkata”. Namun
dalam sebagian riwayat dari jalan Hafshah bin Siiriin dari Ummu ‘Athiyyah, ia
(Ummu ‘Athiyyah) menisbatkan pada dirinya sendiri.
Yang raajih – wallaahu
a’lam – Ummu ‘Athiyyah sedang menceritakan wanita lain (bukan dirinya), karena
dalam sebagian riwayat Hafshah bintu Siiriin berkesesuaian dengan riwayat
Muhammad bin Siiriin. Wanita tersebut adalah Ummu Salamah Al-Anshaariyyah
sebagaimana keterangan riwayat selanjutnya.
(2) Maksudnya, wanita
tersebut dulunya pernah meratap untuk keluarga Ummu ‘Athiyyah semasa
Jaahiliyyah, lalu ia ingin membalas untuk meratap untuknya.
(3) Lihat: Sistem
Pergaulan Islam oleh Taqiyyuddiin An-Nabhaaniy rahimahullah hal. 83 (sumber:
http://www.hizbut-tahrir.or.id/container/uploads/2007/12/sistem-pergaulan-dalam-islam-51-118.pdf
"link diambil sebelum diblokir oleh pemerintah").
(4) Yaitu yang terdapat dalam ayat:
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لا يُشْرِكْنَ
بِاللَّهِ شَيْئًا وَلا يَسْرِقْنَ وَلا يَزْنِينَ
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka
tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak
akan berzina” (QS. Al-Mumtahanah: 12).
(5) Perkataan Ummu Salamah Al-Anshaariyyah ini
merupakan hal yang disebutkan oleh Ummu ‘Athiyyah dalam hadits sebelumnya.
(6) Dalam riwayat lain: ‘anak pamanku’.
(7) Ada yang mengomentari
tentang riwayat ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa di atas dengan perkataan:
Pernyataan tersebut
merupakan pendapat ‘Aisyah RA sebatas apa yang diketahuinya.
(lihat: Sistem Pergaulan
Islam, hal. 113).
Penulis (Abul Jauzaa'
Dony Arif Wibowo) berkata: Bagaimana dikatakan itu hanyalah pendapat ‘Aaisyah,
sedangkan ‘Aaisyah dalam riwayat tersebut menyandarkan pada perkataan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?. Apalagi riwayat ‘Aaisyah ini
mempunyai persaksian dari Umaimah dan Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhunn.
(8) Ada yang berkata:
Sebab kata ‘genggam
tangan’ dalam hadits tersebut tidak memiliki arti selain ‘berjabat tangan’. Dan
tidak bisa dipahami/diterima dari segi bahasa kalau diartikan ‘penerimaan yang
terlambat’.
Statement ini keliru. Bagaimana bisa dipahami
perkataan: (فَقَبَضَتْ يَدَهَا) harus bermakna jabat
tangan?. Arti kalimat ini bagi yang paham bahasa Arab pun mudah, yaitu wanita
tadi menggenggam tangannya sendiri, karena dlamir haa adalah kembali pada
dirinya. Kalau dikatakan maknanya adalah berjabat tangan, tentu lafadhnya
adalah: ‘faqabadlat yadahu’ (lalu wanita tersebut menggenggam tangannya –
merujuk ke Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).
Posting Komentar untuk "Jabat Tangan Laki-Laki dan Perempuan dalam Islam"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.