Hukum Sutrah Pembatas Sholat dalam Perspektif Al Qur'an dan Sunnah
Para ulama berbeda
pendapat tentang permasalahan ini, yang terbagi menjadi dua kelompok besar.
Jumhur ulama mengatakan sunnah (bukan wajib) – bahkan Ibnu Rusyd (Bidaayatul-Mujtahid,
1/121; Daarul-Hadiits) mengutip adanya ijma’ akan ketidakwajiban ini -,
sedangkan sebagian ulama mengatakan wajib.
Di antara mereka yang
mengatakan sunnah antara lain: Abu Haniifah, As-Syaafi’iy, Ahmad, Ibnu
Qudaamah, An-Nawawiy, Ibnu Rajab, Ibnu ‘Aabidin, Ibnu Baaz, Ibnu ‘Utsaimiin,
Lajnah Daaimah, dan yang lainnya.(1) Berikut sebagian perkataan ulama yang
berpegang pada pendapat ini:
Abu Haniifah rahimahullah berkata:
ولا بأس أن يترك
السترة إذا أمن المرور ولم يواجه الطريق
“Tidak mengapa
meninggalkan sutrah (ketika shalat) apabila aman dari orang lewat dan tidak
menghadap ke jalan” (Al-Fatawaa Al-Hindiyyah, 3/344; Daarul-Fikr).
Ibnu Rusyd rahimahullah berkata:
واتفق العلماء
بأجمعهم على استحباب السترة بين المصلي والقبلة إذا صلى ، مفرداً كان أو إماماً
“Para ulama telah sepakat dengan ijma’ mereka
tentang disukainya sutrah (yang diletakkan) antara orang yang shalat dan kiblat
sewaktu shalat, baik shalat sendiri atau sebagai imam” (Bidaayatul-Mujtahid,
1/121).(2)
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
السترة ليست
شرطاً في الصلاة وإنما هي مستحبة
“Sutrah bukan merupakan syarat dalam shalat. Ia hanyalah disunnahkan saja” (Al-Mughniy, 4/6; Daarul-Fikr).
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
يُستحبُ للمُصلي
أن يكون بين يديه سترة من جداراً أو سارية أو غيرها ويدنو منها بحيث لا يزيدُ
بينهما على ثلاثة أذرع
“Disunnahkan bagi orang yang shalat agar
meletakkan sutrah di depannya, yang berupa tembok, tiang, atau yang lainnya dan
mendekat kepadanya dengan jarak (antara dirinya dengan sutrah) tidak lebih dari
tiga hasta” (Raudlatuth-Thaalibiin, 1/398; Al-Maktabah Al-Islaamiy).
Ibnu Baaz rahimahullah berkata:
الصلاة إلى سترة
سنة مؤكدة وليست واجبة
“Shalat menghadap sutrah adalah sunnah
muakkadah (yang sangat ditekankan), dan bukan kewajiban” (Tuhfatul-Ikhwaan
bi-Ajwibati Tata’allaqa bi-Arkaanil-Islaam, hal. 81).
Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
السترة في
الصلاة سنة مؤكدة إلا للمأموم فإن المأموم لا يُسن له اتخاذ سترة اكتفاءً بسترة
الإمام
“Sutrah dalam shalat hukumnya sunnah
muakkadah, kecuali bagi makmun. Karena makmum tidak disunnahkan memakai sutrah,
dimana mereka telah dicukupkan dengan sutrahnya imam” (Fataawaa
Arkaanil-Islaam, hal. 343 soal no. 267).
Dalil utama yang mereka
pakai adalah:
عن كثير بن كثير
بن المطلب بن أبي وداعة عن بعض أهله عن جده أنه: رأى النبي صلى الله عليه وسلم
يصلي مما يلي باب بني سهم والناس يمرون بين يديه وليس بينهما سترة
Dari Katsiir bin Katsiir bin Al-Muthallib bin
Abi Widaa’ah, dari sebagian keluarganya, dari kakeknya: Bahwasannya ia pernah
melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di tempat setelah pintu Bani
Sahm. Orang-orang lewat di depan beliau, sementara tidak ada sutrah antara
keduanya (Nabi dengan Ka’bah)(Diriwayatkan oleh Ahmad 6/399, Abu Daawud no.
2016, dan yang lainnya).
عن الفضل بن
عباس قال: أتانا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن في بادية لنا ومعه عباس فصلى
في صحراء ليس بين يديه سترة
Dari Al-Fadhl bin
‘Abbaas, ia berkata: Kami mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dan kami berada di gurun. Beliau bersama ‘Abbaas, maka beliau shalat di gurun
sahara dimana tidak ada di depan beliau sutrah” (Diriwayatkan oleh Ahmad 1/224,
Abu Daawud no. no. 718, dan yang lainnya).
عن عبد الله بن
عباس قال: أقبلت راكبا على حمار أتان، وأنا يؤمئذ قد ناهزت الاحتلام، ورسول الله
صلى الله عليه وسلم يصلي بمنى إلى غير جدار، فمررت بين يدي بعض الصف، وأرسلت
الأتان ترتع، فدخلت في الصف، فلم ينكر ذلك علي.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas, ia berkata: “Aku
datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak
masa baligh, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat di
Mina tanpa tidak menghadap dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf kemudian aku
melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk
kembali di tengah shaf dan tidak ada orang yang menyalahkanku" (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 76, 493, 861, 1857, dan 4412).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
قوله إلى غير
جدار أي إلى غير سترة قاله الشافعي
“Perkataannya ‘tanpa
menghadap tembok’; maksudnya adalah tanpa menghadap sutrah. Hal itu dikatakan
oleh Asy-Syaafi’iy” (Fathul-Baariy, 1/171).
Adapun ulama yang
mengatakan wajib antara lain: Ahmad dalam satu riwayatnya, Ibnu Hazm, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hajar Al-Haitamiy, Asy-Syaukaaniy, Al-Albaniy, Al-Wadi’iy, dan
yang lainnya. Berikut sebagian perkataan ulama yang berpegang pada pendapat ini:
Ibnu Khuzaimah
rahimahullah berkata:
فهذه الأخبار
كلها صحاح قد أمر النبي صلى الله عليه وسلم المصلي أن يستتر في صلاته وزعم عبد
الكريم عن مجاهد عن بن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى إلى غير سترة وهو في
فضاء لأن عرفات لم يكن بها بناء على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم يستتر به
النبي صلى الله عليه وسلم وقد زجر صلى الله عليه وسلم أن يصلي المصلي إلا إلى سترة وفي خبر
صدقة بن يسار سمعت بن عمر يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تصلوا إلا إلى
سترة وقد زجر صلى
الله عليه وسلم أن يصلي المصلي إلا إلى سترة فكيف يفعل ما يزجر عنه صلى الله عليه
وسلم
“Semua khabar ini adalah shahih. Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan orang yang melakukan shalat
agar memakai sutrah dalam shalatnya. Dan telah berkata ‘Abdul-Kariim, dari
Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbaas: ‘Bahwasannya Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah shalat tanpa menghadap sutrah di tanah lapang’(3). Hal ini dikarenakan
‘Arafah tidak mempunyai bangunan di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam yang dengannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat bersutrah.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang yang akan
melakukan shlat kecuali menghadap sutrah. Dalam hadits Shadaqah bin Yasaar (ia
berkata): Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata: Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‘Janganlah kalian shalat kecuali menghadap ke
sutrah’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang yang
akan melakukan shalat kecuali menghadap sutrah; lantas bagaimana bisa beliau
melakukan sesuatu yang beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri larang?” (Shahih
Ibni Khuzaimah, 2/27-28; Al-Maktab Al-Islaamiy).
Ibnu Hajar Al-Haitamiy rahimahullah berkata:
السترة واجبة
عند جماعة من العلماء
“Sutrah adalah wajib menurut sekelompok ulama”
(Al-Fataawaa Al-Fiqhiyyah Al-Kubraa, 2/141; Daarul-Fikr).
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata:
قوله فليُصلِ
إلى سترة فيه أن اتخاذ السترة واجب
“Perkataan beliau ‘maka, hendaklah ia shalat
menghadap sutrah’; padanya terdapat satu petunjuk bahwa mengambil sutrah (saat
shalat) adalah wajib” (Nailul-Authaar, 3/5; Daarul-Hadiits).
Al-Wadi’iy rahimahullah berkata:
أما اتخاذ
السترة فالصحيح الوجوب لقوله صلى الله عليه وسلم إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة
وليدنُ منها
“Adapun permasalahan mengambil sutrah (ketika
shalat), maka yang benar hukumnya adalah wajib berdasaran sabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‘Apabila salah seorang di antara kalian shalat,
maka shalatlah menghadap ke sutrah dan mendekatlah kepadanya” (Dalam
muhaadlarah beliau – As-ilah Al-Ikhwati min Amriikaa).
Ulama yang berpendapat
wajib berpegang pada banyak dalil, sedikit di antaranya yang dapat disebutkan:
عن ابن عمر يقول
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تصل إلا إلى سترة ولا تدع أحدا يمر بين يديك
فإن أبى فلتقاتله فإن
معه القرين
Dari Ibnu ‘Umar ia berkata: Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah engkau shalat kecuali
menghadap sutrah (pembatas). Dan jangan engkau biarkan seorangpun lewat di hadapanmu
(ketika engkau shalat). Jika ia enggan, maka perangilah ia, sesungguhnya ia
bersama dengan qarin (syaithan)” (Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 800).
عن أبي سعيد
الخدري قال: قال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم: إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة
وليدن منها
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata: Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila salah seorang di
antara kalian shalat, hendaknya ia shalat dengan menghadap ke sutrah dan
mendekatlah padanya” (Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 698).
عن موسى بن
طلحة، عن أبيه؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "إذا وضع أحدكم بين
يديه مثل مؤخرة الرحل فليصل. ولا يبال من مر وراء ذلك".
Dari Muusaa bin Thalhah, dari ayahnya, ia
berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila
salah seorang di antara kalian meletakkan sesuatu di depannya seukuran pelana
kuda (untuk dijadikan sutrah), hendaknya ia shalat. Dan janganlah ia
pedulikan orang-orang yang yang melintas di belakangnya (sutrah)” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 241).
Hadits-hadits di atas –
dan juga selainnya – berisi perintah. Sesuai dengan kaidah ushul fiqh bahwa
asal dari sebuah perintah menunjukkan akan wajibnya, kecuali ada dalil yang
memalingkannya. Dan dalam hal ini – menurut mereka -, tidak ada dalil shahih
yang memalingkan asal kewajiban tersebut.
Pembahasan
Pembahasan dalam
permasalahan hukum sutrah ini akan berputar pada pembahasan dalil yang dianggap
memalingkan dari asal kewajiban dalam perintah. Atau dengan kata lain, adakah
dalil shahih dan sharih (jelas) dari perkataan atau perbuatan beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang tidak wajibnya sutrah? Pernahkan beliau
shalat tanpa menggunakan sutrah?
Para ulama yang
berpendapat sunnahnya telah membawakan beberapa dalilnya. Sekarang akan kita
bahas secara ringkas apakah pendalilan tersebut berterima ataukah tidak.
1. Hadits Al-Muthallib bin Abi Widaa’ah
radliyallaahu 'anhu.
حدثنا أحمد بن
حنبل، ثنا سفيان بن عيينة، قال: حدثني كثير بن كثير بن المطلب بن أبي وداعة عن بعض
أهله، عن جده أنه رأى النبي صلى اللّه عليه وسلم يصلي مما يلي باب بني سهمٍ والناس
يمرون بين يديه، وليس بينهما سترة
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin
Hanbal: Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah, ia berkata: Telah
menceritakan kepadaku Katsiir bin Katsiir bin Al-Muthallib bin Abi Widaa’ah,
dari sebagian keluarganya, dari kakeknya: Bahwasannya ia pernah melihat Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di tempat setelah pintu Bani Sahm.
Orang-orang lewat di depan beliau, sementara tidak ada sutrah antara keduanya (Diriwayatkan
oleh Ahmad 6/399 dan Abu Daawud no. 2016).
Diriwayatkan juga oleh Al-Humaidiy no. 588,
Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah 2/702, Abu Ya’laa no. 7173, serta Ath-Thahawiy
dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/461 dan Syarh Musykilil-Aatsaar 7/23 no. 2607;
semuanya dari jalan Sufyaan bin ‘Uyainah, dari Katsiir bin Katsiir, dan
selanjutnya seperti hadits di atas.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibbaan dalam
Al-Mawaarid 2/119 no. 414 dari jalan Zuhair bin Muhammad Al-‘Anbariy, dari
Katsii bin Katsiir, dan selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad ini lemah karena
mubham-nya perantara antara Katsiir bin Katsiir dengan kakeknya.
Sufyaan bin ‘Uyainah
telah diselisihi oleh Ibnu Juraij dimana ia meriwayatkan dari Katsiir bin Katsiir,
dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’, sebagaimana diriwayatkan oleh: Ahmad
6/399, Ibnu Maajah no. 2958, An-Nasaa’iy 2/67 & 5/235, Ath-Thahawiy dalam
Syarh Musykil-Aatsaar 7/23 no. 2608, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 20/289-290
no. 683.
Diriwayatkan juga oleh
‘Abdurrazzaaq no. 2387, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaadul-Matsaaniy no. 814,
Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 7/25 no. 2609 dan Syarh
Ma’aanil-Aatsaar 1/461, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 20/288 no. 680 &
20/289 no. 682 & 20/290-291 no. 685 & 687, Ibnu Hibbaan no. 2364, dan
Ibnu Qaani’ 3/101; semuanya dari jalan Katsiir bin Katsiir, dari ayahnya, dari
kakeknya secara marfuu’.
Selain itu, Ibnu Juraij
juga meriwayatkan dari Katsiir bin Katsiir, dari ayahnya, dari beberapa pembesar
(Bani) Al-Muthallib, dari Al-Muthallib sebagaimana diriwayatkan oleh
Ath-Thabaraaniy 20/290 no. 684; akan tetapi ini tidak mahfudh sebagaimana
dikatakan Al-Baihaqiy 2/273.
Sufyan bin ‘Uyainah
pernah meng-cross check kebenaran riwayat Katsiir bin Katsiir dari ayahnya ini,
kepada Katsiir bin Katsiir secara langsung.
قال سفيان وكان
ابن جريج أنبأ عنه قال حدثنا كثير عن أبيه فسألته فقال ليس من أبي سمعته ولكن من
بعض أهلي عن جدي: أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى مما يلي باب بني سهم ليس بينه
وبين الطواف سترة
Telah berkata Sufyaan:
“Ibnu Juraij telah memberitakan darinya: Telah menceritakan kepada kami
Katsiir, dari ayahnya. Maka aku pun bertanya kepada Katsiir, dan ia berkata:
‘Bukan dari ayahku aku mendengar riwayat itu, akan tetapi dari sebagian
keluargaku, dari kakekku: Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah shalat di tempat setelah pintu Bani Sahm. Tidak ada sutrah antara beliau
dengan orang-orang yang thawaf” (Diriwayatkan oleh Ahmad 6/399, Ath-Thahawiy
dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 7/23-24, dan Al-Baihaqiy 2/273).
Ringkasnya, riwayat
Al-Muthallib bin Abi Widaa’ah ini tidak shahih (dla’iif).
2. Al-Fadhl bin
Al-‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
حدثنا عبد الملك
بن شعيب بن الليث قال حدثني أبي عن جدي عن يحيى بن أيوب عن محمد بن عمر بن علي عن
عباس بن عبيد الله بن عباس عن الفضل بن عباس قال: أتانا رسول الله صلى الله عليه
وسلم ونحن في بادية لنا ومعه عباس فصلى في صحراء ليس بين يديه سترة وحمارة لنا
وكلبة تعبثان بين يديه فما بالى ذلك
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Malik
bin Syu’aib bin Al-Laits, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari
kakekku, dari Yahyaa bin Ayyuub, dari Muhammad bin ‘Umar bin ‘Aliy, dari
‘Abbaas bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbaas, dari Al-Fadhl bin ‘Abbaas, ia berkata:
Kami mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kami berada di
gurun. Beliau bersama ‘Abbaas, maka beliau shalat di sahara dimana tidak ada di
depan beliau sutrah. Sementara itu seekor keledai dan seekor anjing berman-main
di depan beliau, dan beliau pun tidak menghiraukannya” (Diriwayatkan Abu Daawud
no. 718).
‘Abdul-Malik bin Syu’aib
bin Al-Laits bin Sa’d Al-Fahmiy Al-Mishriy, Abu ‘Abdillah; seorang yang tsiqah
(w. 248 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya (At-Taqriib, hal. 623 no. 4213).
Syu’aib bin Al-Laits bin
Sa’d bin ‘Abdirrahmaan Al-Fahmiy Al-Mishriy, Abu ‘Abdil-Malik; seorang yang
tsiqah, pandai, lagi faqiih (135-199 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya (idem,
hal. 438 no. 2821).
Al-Laits bin Sa’d bin
‘Abdirrahmaan Al-Fahmiy Al-Mishriy, Abul-Haarits; seorang yang tsiqah, tsabat,
faqiih, lagi imam (92/93/94-175/176/177 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya (idem, hal. 817 no. 5720).
Yahyaa bin Ayyuub
Al-Ghaafiqiy, Abul-‘Abbaas Al-Mishriy; seorang yang shaduuq, namun kadang
keliru (w. 168 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslm dalam Shahih-nya (idem, hal.
1049 no. 7561).
Muhammad bin ‘Umar bin
‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy; seorang yang shaduuq (w.
setelah tahun 130 H) (idem, hal. 881 no. 6210).
‘Abbaas bin ‘Ubaidillah
seorang yang maqbuul (yaitu dalam mutaba’ah). Ibnu Hazm telah men-ta’lil hadits
‘Abbaas bin ‘Ubaidillah ini, karena ia tidak pernah bertemu dengan pamannya,
Al-Fadhl bin ‘Abbaas. Apa yang dikatakan Ibnu Hazm ini disepakati Ibnu Hajar (Tahdziibut-Tahdziib,
5/123).
Diriwayatkan juga oleh
Ath-Thahawiy 1/460, Ath-Thabaraaniy 18/no. 756, Al-Baihaqiy 2/278, dan
Al-Baghawiy no. 549; semuanya dari jalan Yahyaa bin Ayyuub, selanjutnya seperti
hadits di atas.
Penghukuman riwayat ini
adalah lemah (dla’if).
Dikatakan, hadits di atas
mempunyai syaahid:
حدثنا أبو
معاوية حدثنا الحجاج عن الحكم عن يحيى بن الجزار عن ابن عباس أن رسول الله صلى
الله عليه وسلم صلى في فضاء ليس بين يديه شيء.
Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah:
Telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaaj, dari Al-Hakam, dari Yahyaa bin
Al-Jazzaar, dari Ibnu ‘Abbaas: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pernah shalat di tanah lapang, tidak ada sesuatu pun di depan beliau
(yang menjadi sutrah) (Diriwayatkan oleh Ahmad 1/224).
Abu Mu’aawiyyah, ia adalah Muhammad bin
Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir Al-Kuufiy; seorang
yang tsiqah (113-194/195 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (At-Taqriib,
hal. 840 no. 5878).
Al-Hajjaaj, ia adalah Ibnu Arthaah bin Tsaur
bin Hubairah An-Nakha’iy; seorang yang hasan haditsnya lagi mudallis. Dipakai
Muslim dalam Shahih-nya. Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam kitab Man Tukullima
fiihi Wahuwa Muwatstsaqun au Shaalihul-Hadiits hal. 159-160 no. 78. Al-Albaaniy
menerima riwayatnya selain periwayatannya yang mudallas sebagaimana nampak pada
Irwaaul-Ghaliil 7/330. Basyaar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth menyimpulkan dirinya
seorang yang shaduuq, hasan haditsnya, namun mudallis (Tahriirut-Taqriib,
1/250-251 no. 1119).
Al-Hakam, ia adalah Ibnu ‘Utaibah Al-Kindiy,
Abu Muhammad; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih (50-113/114/115 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (At-Taqriib, hal. 263 no. 1461).
Ibnu Hajar memasukkannya dalam tingkatan kedua perawi mudallis, pada kitabnya
Thabaqaatul-Mudallisiin no. 43.
Yahyaa bin Al-Jazzaar Al-‘Uraniy; seorang yang
tsiqah. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya (Tahriirut-Taqriib, 4/80 no. 7519).
Diriwayatkan juga oleh
Ibnu Abi Syaibah 1/278, Abu Ya’laa no. 2601, dan Al-Baihaqiy dari jalan Abu
Mu’aawiyyah, selanjutanya seperti hadits di atas.
Riwayat ini juga lemah,
karena Hajjaaj bin Al-Arthaah yang mudallis. Di sini ia membawakan dengan
‘an’anah. Selain itu, riwayat ini juga munqathi’ (terputus), karena Yahyaa bin
Al-Jazzaar Al-‘Uraniy tidak pernah mendengar dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhu (lihat: Musnad Al-Imam Ahmad 1/291).
Al-Hakam bin ‘Utaibah
Al-Kindiy dalam periwayatan dari Yahyaa bin Al-Jazzaar, mempunyai mutaba’ah
dari ‘Amru bin Murrah sebagai berikut:
أخبرنا شعبة عن
عمرو بن مرة قال سمعت يحيى بن الجزار عن بن عباس قال جئت أنا وغلام من بني هاشم
على حمار فمررنا بين يدي النبي صلى الله عليه وسلم فنزلنا وتركنا الحمار يأكل من
بقل الأرض أو قال من نبات الأرض فدخلنا معه في الصلاة قال رجل لشعبة كان بين يديه
عنزة قال لا
Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah, dari
‘Amru bin Murrah, ia berkata: Aku mendengar Yahyaa bin Al-Jazzaar, dari Ibnu
‘Abbaas, ia berkata: “Aku dan seorang anak dari Bani Haasyim datang dengan
mengendarai keledai. Lalu kami lewat di depan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Kami pun turun dan membiarkan keledai kami memakan tumbuh-tumbuhan yang
hidup di bumi. Lalu kami masuk ikut shalat bersama beliau”. Seorang laki-laki
bertanya kepada Syu’bah: “Apakah di depan beliau ada ‘anazah (sebagai sutrah)?”.
Ia menjawab: “Tidak” (Diriwayatkan oleh ‘Aliy bin Al-Ja’d dalam Musnad-nya no.
92, dan darinya Abu Ya’laa no. 2423).
Syu’bah bin Al-Hajjaaj bin Al-Ward Al-‘Atakiy
Al-Azdiy Abul-Busthaam Al-Waasithiy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, haafidh,
lagi mutqin (w. 160 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (At-Taqriib,
hal. 436 no. 2805).
‘Amru bin Murrah bin ‘Abdillah bin Thaariq bin
Al-Haarits Al-Muradiy, Abu ‘Abdillah/’Abdirrahman Al-Kuufiy Al-A’maa; seorang
yang tsiqah lagi ‘aabid (w. 116/118 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (idem,
hal. 745 no. 5147).
Al-Albaaniy menghukumi
tambahan dialog antara laki-laki di atas dengan Syu’bah adalah syaadz, karena
ini termasuk penyendirian ‘Aliy bin Ja’d (Silsilah Adl-Dla’iifah, 12/680).
Menurut kami,
ketidakabsahan tambahan tersebut bukan karena faktor ‘Aliy bin Al-Ja’d (bin
‘Ubaid Al-Jauhariy Al-Baghdaadiy), karena ia seorang yang tsiqah lagi tsabat,
dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya (At-Taqriib, hal. 691 no. 4732).
Ketidakabsahan tambahan tersebut tidak lain karena riwayat ini lemah
(munqathi’) sebagaimana riwayat sebelumnya.
Riwayat Yahyaa bin
Al-Jazzaar dari Ibnu ‘Abbaas yang tersambung adalah melalui perantaraan Shuhaib
Al-Mishriy, seorang yang shaduuq (Tahriirut-Taqriib, 2/144 no. 2956),
sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 716-717, Ibnu Khuzaimah no. 836
& 882, Ibnu Ja’d no. 163, dan Abu Ya’laa no. 2749; semuanya dari Al-Hakam,
dari Yahyaa bin Al-Jazzaar, dari Shuhaib, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata:
جئت أنا وغلام
من بني عبد المطلب على حمار، ورسول اللّه صلى الله عليه وسلم يصلي فنزل ونزلت،
وتركنا الحمار أمام الصف فما بالاه، وجاءت جاريتان من بني عبد المطلب فدخلتا بين
الصف فما بالى ذلك.
“Aku dan seorang anak dari Bani
‘Abdil-Muthallib datang dengan mengendarai keledai, sedangkan pada waktu itu
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat. Lalu anak itu turun, dan
aku pun juga turun (dari keledai). Kami meninggalkan keledai di depan shaff,
dan beliau tidak menghiraukannya. Lalu, datanglah dua orang budak perempuan
dari Bani ‘Abdil-Muthallib yang masuk di antara shaf, dan beliau pun tidak
menghiraukannya” (selesai – lafadh dari Abu Daawud).
Sanadnya hasan. Riwayat
ini tidak ada tambahan keterangan ketidakadaan ‘anazah atau sutrah di depan
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Riwayat ini menunjukkan
bahwa tambahan lafadh ‘tidak ada sesuatu pun di depan beliau (yang menjadi
sutrah)’ dalam jalur Yahyaa bin Al-Jazzaar adalah tidaklah mahfudh.
Dikuatkan lagi, Shuhaib
ini mempunyai mutaba’ah dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah sebagaimana diriwayatkan
oleh Ahmad 1/219, Ibnu Abi Syaibah 1/278 & 280, Muslim no. 504, Abu Daawud
no. 715, Ibnu Maajah no. 947, An-Nasaa’iy 2/64, Abu Ya’laa no. 2382, Ibnu
Khuzaimah no. 832, dan yang lainnya; semuanya dari Sufyaan bin ‘Uyainah, dari
Az-Zuhriy, dari ‘Ubaidullah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata:
كان النبي صلى
الله عليه وسلم يصلي بعرفة. فجئت أنا والفضل على أتان. فمررنا على بعض الصف.
فنزلنا عنها وتركناها. ثم دخلنا في الصف
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di
‘Arafah(4). Lalu aku datang bersama Al-Fadhl dengan mengendarai keledai betina. Kami
lewat di sebagian shaff. Lalu kami turun dan meninggalkan keledai itu, yang
kemudian kami masuk ke dalam shaff” (selesai – lafadh Ibnu Maajah).
Sufyaan bin ‘Uyainah bin
Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh,
faqiih, imaam, dan hujjah (107-198 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 395 no. 2464).
Az-Zuhriy, ia adalah
Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab Al-Qurasyiy
Az-Zuhriy; seorang yang faqiih, haafidh, lagi mutqiin (50/51/56-123/124/125 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (idem, hal. 896 no. 6336).
‘Ubaidullah bin ‘Abdillah
bin ‘Utbah bin Mas’uud Al-Hudzaliy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang
tsiqah, faqiih, lagi tsabat (w. 94/97 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahihnya (idem, hal. 640 no. 4338).
Riwayat ini shahih.
(catatan kecil: Ibnu
‘Uyainah dalam riwayat ini mempunyai mutaba’ah dari Maalik sebagaimana akan
dibahas pada hadits no. 3 di bawah).
Ringkas kata, hadits yang
dianggap sebagai syaahid tidaklah bisa dipergunakan sebagai syahiid (silakan
lihat pada hadits no. 3 di bawah). Maka, hadits kedua ini pun masih tetap
dengan kelemahannya.
Berbeda halnya dengan
Al-Arna’uth yang menghukumi hadits kedua ini hasan li-ghairihi dengan adanya
syaahid yang disebutkan di atas. Wallaahu
a’lam.
3. Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa
حدثنا إسماعيل
بن أبي أويس قال: حدثني مالك، عن ابن شهاب، عن عبيد الله بن عبد الله بن عتبة، عن
عبد الله بن عباس قال: أقبلت راكبا على حمار أتان، وأنا يؤمئذ قد ناهزت الاحتلام،
ورسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بمنى إلى غير جدار، فمررت بين يدي بعض الصف،
وأرسلت الأتان ترتع، فدخلت في الصف، فلم ينكر ذلك علي.
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin
Abi Aus, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Maalik, dari Ibnu Syihaab,
dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas, ia
berkata: “Aku datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir
menginjak masa baligh, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang
shalat di Mina tanpa tidak menghadap dinding. Maka aku lewat di depan
sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan
sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada orang yang
menyalahkanku” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 76).
Hadits ini juga tidak
sharih (jelas) bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan
sutrah. Dinding/tembok adalah salah satu jenis dari sutrah. Penafikkan sebagian
tidaklah mengkonsekuensikan penafikan semuanya sebagaimana dimaklumi dalam
ushul.
Ilustrasinya: Dony adalah
salah satu anak dari tiga orang anak yang dimiliki oleh Pak Noto. Jika
dikatakan: Dony tidak ada di rumah, maka apakah itu berkonsekuensi anak-anak
Pak Noto yang lain juga tidak ada di rumah?.
Mina/’Arafah pada waktu
itu memang belum mempunyai bangunan. Oleh karenanya, Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam membawa ‘anazah (tombak kecil) yang ditancapkan di depannya yang
beliau pergunakan sebagai sutrah.
Perhatikan hadits berikut:
حدثنا يزيد بن
أبي حكيم حدثنا الحكم يعني ابن أبان قال: سمعت عكرمة يقول: قال ابن عباس قال: ركزت
العنزة بيت يدي النبي صلى الله عليه وسلم بعرفات فصلى اليها والحمار يمر من وراء
العنزة.
Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Abi
Hakiim: Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam – yaitu Ibnu Abaan -, ia
berkata: Aku mendengar ‘Ikrimah berkata: Telah berkata Ibnu ‘Abbaas:
"Al-‘Anazah (tombak kecil) ditancapkan di depan Nabi shallallaahu 'alaihi
wa sallam di ‘Arafah. Beliau shalat dengan menghadap ke arahnya sementara keledai melintas di
belakang tongkat tersebut" (Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/243).
Yaziid bin Abi Hakiim
Al-Kinaaniy, Abu ‘Abdillah Al-‘Adniy; seorang yang shaduuq (w. setelah 220 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya (At-Taqriib, hal. 1073 no. 7753).
Al-Hakam bin Abaan
Al-‘Adniy, Abu ‘Iisaa; seorang yang shaduuq lagi ‘aabid, namun mempunyai
beberapa keraguan (w. 154 H pada usia 84 tahun) (idem, hal. 261 no. 1447).
‘Ikrimah Al-Qurasyiy
Al-Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w.
107 H dalam usia 80 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (idem,
hal. 687-688 no. 4707).
Sanad riwayat ini hasan.
Dengan demikian, dapat
kita ketahui bahwa nash-nash yang diangap sebagai pemalingan wajibnya sutrah
kepada sunnah/penganjuran (saja) adalah lemah. Pendek kata, yang rajih, hukum
memakai sutrah ketika shalat adalah wajib.
Apakah pendalilan dan
perkataan ulama tentang permasalahan ini hanya yang tercantum di atas? Tentu
saja tidak. Masih banyak yang lain. Apa yang saya tuliskan – mungkin - hanya
pengulangan atau penambahan dari artikel-artikel yang telah ada.
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Adapun Maalik bin
Anas rahimahullah mempunyai pendapat tersendiri:
ومن كان في سفر
فلا بأس أن يصلِّي إلى غير سترة وأما في الحضر فلا يصلي إلا إلى سترة
“Barangsiapa dalam
keadaan safar, maka tidak mengapa ia shalat tanpa menggunakan sutrah. Adapun
jika ia dalam keadaan hadir (tidak safar), maka tidak boleh ia shalat kecuali
menghadap ke sutrah” (Al-Mudawwanah, 1/289).
(2) Penukilan adanya
ijma’ ini nampaknya disepakati oleh Dr. Wahbah Az-Zuhailiy. Ia berkata:
هي سنة مشروعة،
لقوله صلى الله عليه وسلم: « إذا صل أحدكم فليصل إلى سترة، ولْيَدْن منها، ولا يدع
أحداً يمر بين يديه، فإن جاء أحد يمر، فليقاتله، فإنه شيطان »
وليست واجبة
باتفاق الفقهاء؛ لأن الأمر باتخاذها للندب، إذ لا يلزم من عدمها بطلان الصلاة
وليست شرطاً في الصلاة، ولعدم التزام السلف اتخاذها، ولو كان واجباً لالتزموه.........
“Ia (sutrah) merupakan sunnah yang
disyari’atkan berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‘Apabila
salah seorang di antara kalian shalat, maka shalatlah menghadap sutrah, dan
mendekatlah padanya. Dan jangan ia biarkan seorang pun untuk melintas di depannya. Apabila ada
seseorang yang melintas, maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah
syaithan’.
Sutrah itu bukan sesutau
yang wajib menurut kesepakatan para fuqahaa’, karena perintah untuk menghadap
sutrah itu adalah anjuran saja. Orang yang tidak menghadap shalat, maka
batallah shalatnya; padahal sutrah bukan merupakan syarat dalam shalat. Salaf
tidak selalu menggunakan sutrah. Seandainya hal itu wajib, niscaya mereka akan
selalu menggunakannya…..” (Al-Fiqhul-Islaamiy, 1/752; Daarul-Fikr).
Namun, apa yang diklaim
sebagai ijma’ oleh Ibnu Rusyd ataupun Az-Zuhailiy ini tidak lah benar.
(3) Hadits ini lemah;
lihat Tamaamul-Minnah oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy hal. 305.
(4) Sebagaian riwayat menyebutkan: ‘Mina’.
Posting Komentar untuk "Hukum Sutrah Pembatas Sholat dalam Perspektif Al Qur'an dan Sunnah"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.