Hukum Mengusap Kerudung saat Berwudhu Bagi Wanita
Pembahasan ini merupakan cabang pembahasan
dari hukum boleh tidaknya mengusap ‘imaamah. Adapun masalah kerudung,
para ulama berbeda pendapat:
1. Tidak
memperbolehkannya. Ini pendapat jumhur ulama(1), dan salah satu riwayat dari
Ahmad(2).
Para ulama yang memegang
pendapat ini beralasan tidak ada satu pun dalil yang menyatakan kebolehannya.
Beda halnya dengan ‘imaamah yang memang disebutkan kebolehannya dalam dalil.
Akan tetapi alasan ini
perlu ditinjau kembali, sebab dalam hadits disebutkan bahwa Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengusap kedua khuff dan khimaar.
وحَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ، قَالَا:
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ. ح وحَدَّثَنَا إِسْحَاق، أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ
يُونُسَ كِلَاهُمَا، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ، عَنْ بِلَالٍ، " أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ،
وَالْخِمَارِ "
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr
bin Abi Syaibah dan Muhammad bin Al-‘Alaa’, mereka berdua berkata: Telah
menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah (ح).
Dan telah menceritakan kepada kami Ishaaq: telah mengkhabarkan kepada kami
‘Iisaa bin Yuunus; keduanya (Abu Mu’aawiyyah dan ‘Iisaa bin Yuunus) dari
Al-A’masy, dari Al-Hakam, dari ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa, dari Ka’b bin
‘Ujrah, dari Bilaal: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mengusap kedua khuff dan khimaar” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 275 (84)).
Khimaar dalam hadits itu maksudnya ‘imaamah. Jika ‘imaamah dinamakan dengan khimaar, maka khimaar wanita (kerudung) masuk dalam keumuman lafadh dari hadits ini. Tidak ada halangan menamakan khimaar dengan ‘imaamah, hanya saja khimaar itu ‘imaamah khusus bagi wanita.
Ulama yang tidak
memperbolehkan mengusap kerudung juga berdalil dengan riwayat dari ‘Aaisyah
radliyallaahu ‘anhaa:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى، ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ
مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، أنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَهْبٍ، قَالَ:
وَثنا بَحْرٌ، قَالَ: قُرِئَ عَلَى ابْنِ وَهْبٍ، أَخْبَرَكَ ابْنُ لَهِيعَةَ،
وَعَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أُمِّ
عَلْقَمَةَ مَوْلاةِ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ عَائِشَةَ: " أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا تَوَضَّأَتْ تُدْخِلُ يَدَهَا مِنْ
تَحْتِ الرِّدَاءِ تَمْسَحُ بِرَأْسِهَا كُلِّهِ
"
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Ibraahiim bin Muhammad bin Yahyaa: Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas
Muhammad bin Ya’quub: Telah memberitakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin
Wahb, ia berkata: Dan telah menceritakan kepada kami Mahr, ia berkata:
Dibacakan kepada Ibnu Wahb: Telah mengkhabarkan kepadamu Ibnu Lahii’ah dan
‘Amru bin Al-Haarits, dari Bukair bin ‘Abdillah, dari Ummu ‘Alqamah maulaa
‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dari ‘Aaisyah: Bahwasannya
ia jika berwudlu, memasukkan tangannya dari bawah pakaiannya, mengusap seluruh
kepalanya” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 1/61).
Akan tetapi riwayat ini
lemah. Muhammad bin ‘Abdillah bin Wahb, Abul-Bakhtariy Al-Asadiy adalah perawi
majhuul(3). Adapun Ummu ‘Alqamah, Ibnu Hajar mengatakan maqbuul, yaitu jika ada
mutaba’ah – jika tidak, maka dla’iif(4).
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: رَأَيْتُ صَفِيَّةَ
بِنْتَ أَبِي عُبَيْدٍ " تَوَضَّأَتْ فَأَدْخَلَتْ يَدَيْهَا تَحْتَ خِمَارِهَا
فَمَسَحَتْ بِنَاصِيَتِهَا "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari
Maalik bin Anas, dari Naafi’, ia berkata: “Aku pernah melihat Shafiyyah bintu
Abi ‘Ubaid berwudlu, lalu ia memasukkan tangannya di bawah kerudungnya dan
mengusap jambulnya/rambut bagian depannya” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah,
1/30).
Sanadnya shahih.
Pendalilan dengan atsar
ini, menurut pendapat yang membolehkannya, kurang dapat diterima. Sebab, atsar
ini tidak menunjukkan pelarangannya. Mengusap kerudung/khimaar adalah boleh.
Artinya, ia boleh dilakukan, boleh pula ditinggalkan – merupakan pilihan.
2. Membolehkannya. Ini
merupakan pendapat masyhur madzhab Hanaabilah(5), dan yang dikuatkan oleh Ibnu
Hazm(6).
Para ulama yang
berpendapat kebolehannya berpendapat dengan qiyas jaliy terhadap ‘imaamah.
Tidak ada perbedaan antara keduanya. Dalilnya telah disebutkan di atas.
Selain itu, para ulama
yang memegang pendapat ini juga berdalil dengan riwayat:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ سِمَاكٍ، عَنِ الْحَسَنِ،
عَنْ أُمِّهِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، إِنَّهَا " كَانَتْ تَمْسَحُ عَلَى
الْخِمَارِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
Numair, dari Sufyaan, dari Simaak bin Harb, dari Al-Hasan, dari ibunya, dari
Ummu Salamah: Bahwasannya ia mengusap kerudungnya (ketika berwudlu) (Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah 1/29, dan darinya Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 498).
Riwayat ini hasan. Simaak bin Harb adalah
seorang yang shaduuq, namun berubah hapalannya di akhir usianya. Akan tetapi
Sufyaan mendengar hadits dari Simaak sebelum berubah hapalannya sebagaimana
dikatakan oleh Ya’quub (Al-Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaaiy hal. 49 no. 20 beserta
catatan kakinya oleh pentahqiq).
3. Seandainya khawatir
karena sebab dingin atau yang semisalnya, maka boleh. Pendapat ini dikemukakan
oleh Ibnu Taimiyyah(7).
Tarjih:
Melihat dalil dan alasan
yang disampaikan oleh masing-masing pihak, maka yang raajih – wallaahu a’lam –
adalah pendapat kedua yang menyatakan kebolehannya.
Ini saja yang dapat
dituliskan secara ringkas. Semoga ada manfaatnya.
Oleh: Abul jauzaa' dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Untuk madzhab
Hanafiyyah, lihat Ahkaamul-Qur’aan oleh Al-Jashshaash (1/495), Al-Mabsuuth
(1/101), dan Badaai’ush-Shanaai’ (1/5).
Untuk madzhab Maalikiyyah,
dalam Al-Mudawwanah (1/124), Maalik berkata tentang wanita yang mengusap
kerudungnya: “Ia harus mengulang shalat dan wudlunya”. Al-Baajiy dalam
Al-Muntaqaa (1/75) berkata: “Maalik pernah ditanya tentang mengusap ‘imaamah
dan kerudung, maka ia menjawab: ‘Tidak boleh bagi seorang laki-laki dan wanita
mengusap ‘imaamah dan kerudung. Hendaklah mereka mengusap kepala mereka”.
Untuk madzhab
Syaafi’iyyah, lihat Haasyiyah Al-Jamal (1/128) dan Al-Majmu’ (1/439).
(2) Al-Furuu’ (1/164).
(3) Biografinya ada dalam
Taariikh Dimasyq oleh Ibnu ‘Asaakir, 54/56.
(4) Ibnu Hibbaan
memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-‘Ijliy berkata: “Tsiqah”. Keduanya dikenal
sebagai ulama yang tasaahul dalam memberikan tautsiq kepada perawi majhuul,
sebagaimana dikatakan oleh Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy. Hanya dua orang perawi
yang meriwayatkan darinya, yaitu ‘Alqamah bin Abi ‘Alqamah dan Bukair bin
‘Abdillah.
Akan tetapi, Basyaar
‘Awwaad dan Al-Arna’uth menyanggah penghukuman ini, karena Al-Bukhaariy telah
membawakan riwayatnya secara mu’allaq dalam Shahih-nya dengan shighah jazm,
sehingga di sini statusnya shaduuq hasanul-hadiits. Wallaahu a’lam
(5) Lihat: Masaail Ibni
Haani’ (1/19). Shahabat-shahabat Ahmad merajihkan kebolehannya jika kerudung
melingkar di bawah lehernya; lihat: Al-Furuu’ (1/164), Kasysyaaful-Qinaa’
(1/112, 113), Syarh Ghaayatil-Muntahaa (1/124), dan Ar-Raudlatul-Murbi’
(1/283).
(6) Al-Muhallaa (1/303).
(7) Ibnu Taimiyyah berkata: “Seandainya seorang wanita khawatir karena dingin atau yang semisalnya, maka boleh ia mengusap kerudungnya. Karena Ummu Salamah pernah mengusap kerudungnya. Dan hendaknya ketika ia mengusap kerudungnya, ia juga mengusap sebagian rambutnya. Apabila hal itu dilakukan tanpa adanya kebutuhan/hajat, para ulama berselisih pendapat tentangnya” (Al-Majmuu’, 21/218).
Posting Komentar untuk "Hukum Mengusap Kerudung saat Berwudhu Bagi Wanita"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.