Hukum Berpuasa di Hari Syakk
Hari Syakk(1) menurut sebagian
ulama adalah hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya gelap atau
langit diliputi mendung sehingga hilal tidak tampak. Sebagian ulama lain
berpendapat: hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya langit
dalam keadaan cerah atau berawan, kemudian diberitahukan adanya ru’yah hilal
dari orang yang tidak diterima persaksiannya seperti budak, wanita, atau orang
fasik. Sebagian lagi berpendapat ia adalah hari ketigapuluh bulan Sya’baan
dimana ketika malamnya hilal tidak nampak dalam keadaan langit cerah tanpa ada
faktor yang menghalangi tampaknya hilal seperti mendung, gelap, atau yang
lainnya. Yang kesemuanya itu menimbulkan keraguan: apakah hari tersebut masih
bulan Sya’baan ataukah telah masuk bulan Ramadlaan.
Para ulama berbeda
pendapat tentang puasa di hari syakk bersamaan dengan adanya kesepakatan kebolehan
berpuasa di hari itu jika memang bertepatan dengan kebiasaannya melakukan puasa
(sunnah), seperti hari Senin, Kamis, atau kebiasaan puasa Daawud. Beberapa
pendapat tersebut antara lain(2):
Hanafiyyah berpendapat
berpuasa di hari itu makruh apabila diniatkan untuk berpuasa Ramadlaan atau
puasa wajib lainnya. Namun jika diniatkan puasa sunnah/tathawwu’, maka tidak
makruh.
Maalikiyyah berpendapat
makruh dalam satu perkataan – dan haram di perkataan yang lain – jika diniatkan
puasa dalam rangka kehati-hatian (ihtiyaath). Namun jika diniatkan berpuasa
sunnah, qadlaa’, nadzar, atau kaffarah; maka boleh dan tidak makruh.
Syaafi’iyyah berpendapat
haram dan tidak sah, baik puasanya itu diniatkan sebagai puasa Ramadlan (dalam
rangka kehati-hatian) atau puasa sunnah. Namun jika diniatkan puasa qadla’,
nadzar, kaffaarah, ataupun bertepatan dengan kebiasaan puasa sunnahnya; maka
boleh dan tidak makruh.
Hanaabilah dalam pendapat masyhurnya(3) mengatakan wajib dalam rangka kehati-hatian jika hilal di malam tigapuluh tidak nampak padahal langit tidak berawan atau tidak gelap (cerah).
Dalil-dalil yang menjadi
dasar masyru’-nya puasa di hari syakk antara lain:
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ
بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا الْعَلَاءُ بْنُ
الْحَارِثِ عَنْ الْقَاسِمِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ مُعَاوِيَةَ
بْنَ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَبْلَ شَهْرِ رَمَضَانَ
الصِّيَامُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا وَنَحْنُ مُتَقَدِّمُونَ فَمَنْ شَاءَ
فَلْيَتَقَدَّمْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَتَأَخَّرْ
Telah menceritakan kepada
kami Al-‘Abbaas bin Al-Walid Ad-Dimasyqiy(4): Telah menceritakan kepada kami
Marwaan bin Muhammad(5): Telah menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Humaid(6):
Telah menceritakan kepada kami Al-‘Alaa’ bin Al-Haarits(7), dari Al-Qaasim Abu
‘Abdirrahmaan(8), bahwasannya ia mendengar Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan berkata
di atas mimbar: Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda di
atas mimbar sebelum tiba bulan Ramadlaan: "Puasa itu hari seperti ini dan
seperti ini, dan kami mendahulukannya. Barangsiapa berkehendak, ia boleh
mendahulukannya. Dan barangsiapa berkehendak, ia pun boleh mengakhirkannya” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Maajah no. 1647).
Hadits ini lemah (syaadz)
karena matannya bertentangan dengan hadits Abu Hurairah (dan yang lainnya) yang
lebih shahih dari ini. Al-‘Alaa’ bin Al-Haarits meskipun seorang yang tsiqah,
namun hapalannya berubah di akhir umurnya. Ada kekhawatiran kekeliruan ini
berasal darinya. Wallaahu a’lam.
Al-Qaasim mempunyai
mutaba’ah dari Al-Mughiirah bin Farwah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud
dengan sanad dan lafadh sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْعَلَاءِ الزُّبَيْدِيُّ مِنْ كِتَابِهِ
حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَلَاءِ
عَنْ أَبِي الْأَزْهَرِ الْمُغِيرَةِ بْنِ فَرْوَةَ قَالَ قَامَ مُعَاوِيَةُ فِي
النَّاسِ بِدَيْرِ مِسْحَلٍ الَّذِي عَلَى بَابِ حِمْصَ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا قَدْ رَأَيْنَا الْهِلَالَ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا وَأَنَا مُتَقَدِّمٌ
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَفْعَلَهُ فَلْيَفْعَلْهُ قَالَ فَقَامَ إِلَيْهِ مَالِكُ
بْنُ هُبَيْرَةَ السَّبَئِيُّ فَقَالَ يَا مُعَاوِيَةُ أَشَيْءٌ سَمِعْتَهُ مِنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ شَيْءٌ مِنْ رَأْيِكَ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
صُومُوا الشَّهْرَ وَسِرَّهُ
Telah menceritakan kepada
kami Ibraahiim bin Al-‘Alaa’ Az-Zubaidiy(9) dari kitabnya: Telah menceritakan
kepada kami Al-Waliid bin Muslim(10): Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah
bin Al-‘Alaa’(11), dari Abul-Azhar Al-Mughiirah bin Farwah(12), ia berkata:
Mu'aawiyah pernah berdiri di antara orang-orang di Dair Mis-hal yang berada di
depan pintu Himsh. Ia berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya kami telah melihat
hilaal pada hari ini dan ini, dan aku akan mendahului (berpuasa). Barangsiapa
yang ingin melakukannya, maka hendaklah ia melakukannya”. Al-Mughiirah berkata:
Kemudian Maalik bin Hubairah As Sabaiy berdiri di sampingnya dan berkata:
“Wahai Mu'aawiyah, apakah itu sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam atau sesuatu yang berasal dari pendapatmu?”. Ia berkata: “Aku
mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Berpuasalah pada
bulan tersebut dan sirr-nya(13)” (As-Sunan no. 2329).
Sanad hadits ini pun
lemah karena Al-Mughiirah bin Farwah; ia seorang yang maqbuul, yaitu dalam
mutaba’ah.
عن مكحول: أن عمر بن الخطاب - رضي الله عنه - كان يصوم إذا كانت السماء في تلك
الليلة مغيمة، ويقول: ليس هذا بالتقدُّم، ولكنه التحري.
Dari Mak-huul:
Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu biasa berpuasa (di hari
tigapuluh bulan Sya’baan) apabila langit pada malam itu mendung/berawan. Ia
berkata: “Ini bukanlah mendahului berpuasa (Ramadlan), akan tetapi sebagai
taharriy (berhati-hati memilih yang benar/kuat untuk menghilangkan keraguan)” (Dibawakan
oleh Ibnul-Qayyim dengan sanadnya dalam Zaadul-Ma’aad, 2/42-43).
Sanad riwayat ini lemah,
karena inqithaa’. Mak-huul tidak pernah bertemu dengan ‘Umar (lihat:
Al-Maraasiil oleh Ibnu Abi Haatim, hal. 213 no. 799; Muassasah Ar-Risaalah,
Cet. 2/1418).
عن فاطمة بنت حسين، أن علىَّ بن أبى طالب قال: أصومَ يوماً من شعبان، أحبُّ
إلىَّ من أن أُفْطِرَ يوماً من رمضان.
Dari Faathimah bin Husain:
Bahwasannya ‘Aliy bin Abi Thaalib berkata: “(Seandainya) aku berpuasa sehari di
bulan Sya’baan, maka itu lebih aku senangi daripada aku berbuka sehari di bulan
Ramadlaan” (Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Musnad no. 612; dan
dibawakan oleh Ibnul-Qayyim dengan sanadnya dalam Zaadul-Ma’aad, 2/43).
Sanad riwayat ini lemah
karena kelemahan Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Amru. Juga, ada keterputusan
(inqitha’) antara Faathimah binti Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib dengan
kakeknya ‘Aliy bin Abi Thalib radliyallaahu anhu.
عَنْ نَافِعٍ قَالَ: فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ إِذَا مَضَى مِنْ شَعْبَانَ تِسْعٌ
وَعِشْرُونَ يَبْعَثُ مَنْ يَنْظُرُ فَإِنْ رُئِيَ فَذَاكَ وَإِنْ لَمْ يُرَ
وَلَمْ يَحُلْ دُونَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ وَلَا قَتَرٌ أَصْبَحَ مُفْطِرًا وَإِنْ
حَالَ دُونَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ أَوْ قَتَرٌ أَصْبَحَ صَائِمًا
Dari Naafi’, ia berkata:
"Jika telah berlalu dua puluh sembilan hari di bulan Sya'baan, Abdullah
bin Umar mengutus seseorang untuk melihat hilal. Jika hilal terlihat maka besok
adalah bulan Ramadlaan. Jika tidak terlihat dan tidak ada mendung ataupun
kegelapan yang menyelimuti pandangannya, maka keesokan harinya ia berbuka
(tidak berpuasa). Namun bila terhalang mendung atau kegelapan yang menutupi
pandangannya maka pada keesokan harinya ia berpuasa” (Diriwayatkan oleh Ahmad
2/5; shahih).(14)
عن أبى هُريرة يقول: لأن أتعجَّل فى صَوْمِ رَمَضَانَ بيوم، أحبُّ إلىَّ من أن
أتأخر، لأنى إذا تَعَجَّلْتُ لم يَفُتْنى، وإذا تأخَّرت فاتَنى.
Dari Abu Hurairah, ia
berkata: “Aku mempercepat puasa Ramadlaan sehari, lebih aku senangi daripada
mengakhirkannya. Hal itu dikarenakan, apabila aku mempercepatnya, maka tidaklah
hilang/berlalu bagiku puasa Ramadlaan (walau sehari pun). Namun jika aku
mengakhirkannya, maka hilang/berlalu bagiku (sehari dari puasa Ramadlaan)” (Dibawakan
oleh Ibnul-Qayyim dengan sanadnya dalam Zaadul-Ma’aad, 2/44).
Sanad riwayat ini shahih.
عن عائشة رضى اللَّه عنها، قالت: لأن أَصُوم يَوْماً مِن شَعْبَانَ، أحبُّ
إلىَّ مِن أَنْ أُفْطِرَ يوماً مِنْ رَمَضَانَ.
Dari ‘Aaisyah
radliyallaahu ‘anhaa, ai berkata: “Aku berpuasa sehari di bulan Sya’baan lebih
aku senangi daripada berbuka sehari di bulan Ramadlaan” (Dibawakan oleh
Ibnul-Qayyim dengan sanadnya dalam Zaadul-Ma’aad, 2/44).
Sanad riwayat ini lemah
karena jahalah dari utusan yang mendatangi ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa.
عن فاطمة بنت المنذر قالت: ما غُمَّ هلالُ رمضان إلا كانت أسماءُ متقدِّمةً
بيوم، وتأمُرُ بتقدُّمه.
Dari Faathimah binti
Al-Mundzir, ia berkata: “Tidaklah hilaal bulan Ramdlaan tertutupi (awan),
kecuali Asmaa’ (binti Abi Bakr) mendahului (berpuasa) sehari. Dan ia pun
memerintahkan untuk mendahuluinya” (Dibawakan oleh Ibnul-Qayyim dengan sanadnya
dalam Zaadul-Ma’aad, 2/45).
Sanad riwayat ini shahih.
عن فاطمة، عن أسماء، أنها كانت تصومُ اليوم الذى يُشك فيه من رمضان.
Dari Faathimah, dari
Asmaa’ (binti Abu Bakr): Bahwasannya ia biasa berpuasa di hari syakk dari bulan
Ramdlaan” (Dibawakan oleh Ibnul-Qayyim dengan sanadnya dalam Zaadul-Ma’aad,
2/45).
Sanad riwayat ini shahih.
Dan yang lainnya.
Dalil-dalil yang menjadi
dasar tidak masyru’-nya berpuasa di hari syakk antara lain:
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا
يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ
يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ
Telah menceritakan kepada
kami Muslim bin Ibraahiim: Telah menceritakan kepada kami Hisyaam: Telah
menceritakan kepada kami Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Abu Salamah, dari Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului Ramadlan dengan
berpuasa sehari atau dua hari, kecuali seseorang yang biasa berpuasa, maka
tidaklah mengapa ia berpuasa di hari itu” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
1914).
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّازُ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ
عَبْدِ الْحَمِيدِ الضَّبِّيُّ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ الْمُعْتَمِرِ عَنْ رِبْعِيِّ
بْنِ حِرَاشٍ عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ أَوْ
تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ أَوْ تُكْمِلُوا
الْعِدَّةَ
Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Ash-Shabbaah Al-Bazzaaz(15): Telah menceritakan kepada kami
Jariir bin ‘Abdil-Hamiid(16), dari Manshuur bin Al-Mu’tamir(17), dari Rib’iy
bin Hiraasy(18), dari Hudzaifah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah kalian mendahului bulan hingga
melihat Hilal, atau kalian menyempurnakan bilangan, kemudian berpuasalah hingga
kalian melihat Hilal atau menyempurnakan bilangan” (Diriwayatkan oleh Abu
Daawud no. 2326).
Sanad hadits ini shahih.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو
خَالِدٍ الْأَحْمَرُ عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ صِلَةَ
قَالَ كُنَّا عِنْدَ عَمَّارٍ فِي الْيَوْمِ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَأَتَى
بِشَاةٍ فَتَنَحَّى بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ عَمَّارٌ مَنْ صَامَ هَذَا الْيَوْمَ
فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair(19): Telah menceritakan kepada kami Abu
Khaalid Al-Ahmar(20), dari ‘Amru bin Qais(21), dari Abu Ishaaq(22), dari
Shillah(23), ia berkata: Kami pernah berada bersama 'Ammar di pada hari yang
diragukan, kemudian ia membawa daging kambing. Lalu sebagian orang menyingkir.
Kemudian 'Ammar berkata: “Barangsiapa yang berpuasa pada hari ini, sungguh ia
telah durhaka kepada Abul-Qaasim shallallaahu 'alaihi wa sallam” (Diriwayatkan
oleh Abu Daawud no. 2336).
Sanad hadits ini lemah
karena Abu Ishaaq As-Sabi’iy. Ia seorang mudallis yang membawakan riwayat
dengan ‘an’anah. Akan tetapi ia mempunyai mutaba’ah dari Rib’iy sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (3/73): ‘Abdul-‘Aziiz bin
‘Abdish-Shamad Al-‘Ammiy, dari Manshur, dari Rib’iy: Bahwasannya ‘Ammaar bin
Yaasir….dst. Sanad hadits ini shahih.
عن حفص وعلي بن مسهر، عن الشيباني، عن الشعبي قال: قال الضحاك بن قيس: لو صمت
السنة كلها، ما صمتُ اليوم الذي يشك فيه من رمضان.
Dari Hafsh dan ‘Aliy bin
Mushir(24), dari Asy-Syaibaaniy(25), dari Asy-Sya’biy(26), ia berkata: Telah
berkata Adl-Dlahhaak bin Qais(27): “Seandainya saja aku berpuasa setahun penuh,
niscaya aku tidak akan berpuasa di hari yang diragukan padanya dari bulan
Ramadlaan” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/71).
Sanad riwayat ini shahih.
عن وكيع، عن سفيان، عن عبد العزيز بن حكيم قال: سمعت ابن عمر يقول: لو صمت
السنة كلها لأفطرتُ اليوم الذي يشك فيه.
Dari Wakii’(28), dari
Sufyaan(29), dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Hakiim(30), ia berkata: Aku mendengar Ibnu
‘Umar berkata: “Seandainya aku berpuasa setahun penuh, aku tetap akan berbuka
pada hari yang diragukan padanya” (idem).
Sanad riwayat ini hasan.
عن ابن فضيل، عن بيان، عن عامر قال: ما من يوم أبغض إليَّ أن أصومه من اليوم
الذي يشك فيه من رمضان.
Dari Ibnu Fudlail(31),
dari Bayaan(32), dari ‘Aamir, ia berkata: “Tidak ada hari yang lebih aku benci
untuk berpuasa padanya dibandingkan hari yang diperselisihkan padanya dari
bulan Ramadlaan” (idem, 3/72).
Sanad riwayat ini shahih.
Dan yang lainnya.
Tarjih
Tarjih terhadap
dalil-dalil yang dipaparkan di atas nampak bahwa pendapat yang menyatakan tidak
masyru’-nya puasa di hari syakk lebih kuat/raajih. Dhaahir-nya, hukum yang
terambil menunjukkan keharamannya walau dilakukan dalam rangka kehati-hatian
(ihtiyaath), kecuali jika bertepatan dengan hari yang seseorang biasa berpuasa
padanya.
Setelah menyebutkan
hadits ‘Ammaar bin Yaasir radliyallaahu ‘anhu, At-Tirmidziy rahimahullah
berkata:
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ
التَّابِعِينَ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَمَالِكُ بْنُ أَنَسٍ
وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ
كَرِهُوا أَنْ يَصُومَ الرَّجُلُ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ وَرَأَى
أَكْثَرُهُمْ إِنْ صَامَهُ فَكَانَ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ أَنْ يَقْضِيَ يَوْمًا
مَكَانَهُ
“Hadits ini diamalkan
oleh kebanyakan ulama dari kalangan shahabat Nabi shalallaahu 'alaihi wa sallam
dan orang-orang sepeninggal mereka dari kalangan tabi'in. Ini juga merupakan
pendapat Sufyaan Ats-Tsauriy, Maalik bin Anas, ‘Abdullah bin Al-Mubaarak,
Asy-Syaafi'iy, Ahmad, dan Ishaaq. Mereka membenci orang yang berpuasa di hari
syakk. Jika ternyata hari itu adalah awal Ramadlan, maka dia wajib meng-qadla'
satu hari sebagai gantinya” (Jaami’ At-Tirmidziy, 2/65-66).
Ibnu Hajar rahimahullah
berkata:
قوله: "فقد عصى أبا القاسم صلى الله عليه وسلم" استدل به على تحريم
صوم يوم الشك لأن الصحابي لا يقول ذلك من قبل رأيه فيكون من قبيل المرفوع. قال ابن
عبد البر: هو مسند عندهم لا يختلفون في ذلك.
“Sabda beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‘sungguh ia telah durhaka kepada Abul-Qaasim
shallallaahu 'alaihi wa sallam’ dijadikan dalil haramnya berpuasa di hari
syakk, karena shahabat tidaklah mengatakan hal itu berdasarkan pendapatnya.
Oleh karena itu, riwayat itu termasuk riwayat yang dihukumi marfuu’. Ibnu
‘Abdil-Barr berkata: ‘Riwayat itu tergolong musnad menurut mereka tanpa ada
perselisihan” (Fathul-Baariy, 4/120).
قوله: "لا يتقدم رمضان بصوم يوم أو يومين" أي لا يتقدم رمضان بصوم
يوم يعد منه بقصد الاحتياط له
“Sabda beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‘janganlah kalian mendahului Ramadlaan dengan
berpuasa sehari atau dua hari’ ; yaitu jangan kalian mendahului Ramadlaan
dengan berpuasa yang bertujuan untuk berhati-hati terhadapnya (Ramadlaan)” (idem,
4/128).
Adapun perbuatan sebagian
shahabat yang berpuasa di hari syakk, maka ada kemungkinan mereka belum
mengetahui dalil-dalil yang menyatakan larangan berpuasa di hari syakk. Apapun
itu, sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap lebih didahulukan daripada
yang lainnya sebagai bentuk pengamalan dari firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya” (QS. An-Nisaa’: 59).
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya” (QS. An-Nisaa’: 65).
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
Sampai di sini kalimat
yang dapat dituliskan. Semoga – dengan keterbatasan yang ada – artikel ini ada
manfaatnya.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Beberapa ulama
membedakan antara bahasan puasa di hari syakk dengan bahasan mendahului sehari
atau dua hari berpuasa sebelum Ramadlaan, walau pendalilan yang dipakai dalam
bahasan keduanya ada yang sama.
(2) Diringkas dari
Tahqiiqur-Rujhaani bi-Shaumi Yaumisy-Syakk fii Ramadlaan oleh Mar’iy bin Yuunus
Al-Maqdisiy (w. 1033 H), hal. 14-18, Daarush-Shahaabah, Cet. 1/1412; dan
Fiqhul-Islaamiy wa Adillatuh oleh Wahbah Az-Zuhailiy, 2/579-582, Daarul-Fikr,
Cet. 2/1405 H.
(3) Lihat: Al-Hidaayah
‘alaa Madzhab Al-Imaam Abi ‘Abdillah oleh Abul-Khaththaab, hal. 153-154, tahqiq
& takhrij & ta’liq: Maahir bin Yaasiin Al-Fakhl; Penerbit Ghiraasy,
Cet. 1/1425, Kuwait.
(4) Al-‘Abbaas bin
Al-Waliid bin Maziid Abu Fadhl Al-Bairuutiy; seorang yang tsiqah (170-269/271
H) (Taqriibut-Tahdziib hal. 489 no. 3209 dan Tahrirut-Taqriib 2/18-189 no. 3192).
(5) Marwaan bin Muhammad
bin Hassaan Al-Asadiy Ath-Thaathaariy; seorang yang tsiqah (147/149-210 H).
Dipakai Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib hal. 932 no. 6617).
(6) Al-Haitsam bin Humaid
Al-Ghassaaniy Abu Ahmad Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah (idem hal. 1030 no.
7412 dan Tahriirut-Taqriib 4/51 no. 7362).
(7) Al-‘Alaa’ bin
Al-Haarits bin ‘Abdil-Waarits Al-Hadlramiy; seorang yang tsiqah namun berubah
hapalannya di akhir umurnya (w. 136 H dalam usia 70 tahun). Dipakai Muslim
dalam Shahih-nya (idem hal. 759 no. 5265 dan Tahriirut-Taqriib 3/127 no. 5230).
(8) Al-Qaasim bin
‘Abdirrahmaan Asy-Syaamiy Abu ‘Abdirrahmaan Ad-Dimasyqiy; seorang yang shaduuq
(w. 112 H) (idem hal. 792 no. 5505).
(9) Ibraahiim bin
Al-‘Alaa’ bin Adl-Dlahhaak binMuhaajir bin ‘Abdirrahmaan Az-Zubaidiy; seorang
yang lurus haditsnya (152-235 H) (idem, hal. 113 no. 228).
(10) Al-Waliid bin Muslim
Al-Qurasyiy Abul-‘Abbaas Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah namun bnyak
melakukan tadlis (109-194/195 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya (idem, hal. 1041 no. 7506).
(11) ‘Abdullah bin
Al-‘Alaa’ bin Zabr Ar-Rib’iy Abu ‘Abdirrahmaan Asy-Syaamiy Ad-Dimasyqiy;
seorang yang tsiqah (75-164 H). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya (idem,
hal. 533 no. 3545).
(12) Al-Mughiirah bin
Farwah Ats-Tsaqafiy Abul-Azhar Asy-Syaamiy Ad-Dimasyqiy; seorang yang maqbuul (idem,
hal. 966 no. 6896).
(13) Para ulama berbeda
pendapat tentang makna ‘sirruhu’ ini. Sebagian ulama berpendapat maknanya
adalah ‘awal bulan’. Yang lain berpendapat ‘akhir bulan’ – dan inilah yang kuat
sebagaimana dijelaskan oleh Al-Khaththaabiy (lihat: Sunan Abi Daawud ma’a
Ma’aalimis-Sunan 2/518-519; Daar Ibni Hazm, Cet. 1/1418).
(14) Silakan cermati
riwayat Ibnu ‘Umar lain di bawah yang menyatakan kebenciannya berpuasa di hari
syakk.
(15) Muhammad bin
Ash-Shabbaah Al-Bazzaaz Ad-Duulaabiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (150-227
H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal.
855 no. 6004).
(16) Jariir bin
‘Abdil-Hamiid bin Qurth Adl-Dlabbiy; seorang yang tsiqah shahiihul-kitaab
(107/110-188 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (idem, hal.
196 no. 924).
(17) Manshuur bin
Al-Mu’tamir bin ‘Abdillah bin Rabii’ah Abu ‘Attaab Al-Kuufiy; seorang yang
tsiqah lagi tsabat (w. 132 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
(idem, hal. 973 no. 6956).
(18) Rib’iy bin Hiraasy
bin Jahsy bin ‘Amru bin ‘Abdillah Al-Ghaththafaaniy Abu Maryam Al-Kuufiy;
seorang yang tsiqah lagi ‘aabid (w. 100/101/104 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya (idem, hal. 318 no. 1889).
(19) Muhammad bin
‘Abdillah bin Numair Al-Hamdaaniy Al-Khaarifiy Abu ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy;
seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faadlil (w. 234 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya (idem, hal. 866 no. 6093).
(20) Sulaimaan bin
Hayyaan Al-Azdiy Abu Khaalid Al-Ahmar (114-189/190 H); seorang yang
diperselisihkan statusnya.
Ishaq bin Rahaawaih
berkata: Aku bertanya kepada Wakii’ tentang Abu Khaalid, lalu ia berkata: “Dan
Abu Khaalid, apakah ia termasuk orang yang masih ditanyakan?”. Yahyaa bin
Ma’iin berkata: “Shaduuq, namun bukan sebagai hujjah”. Di lain riwayat ia
berkata: “Tsiqah”. Di lain riwayat ia berkata: “Tidak mengapa dengannya”. ‘Aliy
bin Al-Madiniy berkata: “Tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata: “Tidak mengapa
dengannya”. Abu Hisyaam Ar-Rifaa’iy berkata: “Telah menceritakan kepada kami
Abu Khaalid Al-Ahmar, at-tsiqatul-amiin (sangat terpercaya)”. Abu Haatim
berkata: “Shaduuq”. Abu Bakr Al-Khathiib berkata: “Sufyaan mencela Abu Khaalid
dengan sebab keluarnya bersama Ibraahiim bin ‘Abdillah bin Hasan. Adapun dalam
masalah hadits, maka ia tidak mencelanya”. Ibnu ‘Adiy berkata: “Ia mempunyai
hadits-hadits yang shaalihah (baik). Hanya saja, hapalannya yang jelek
menyebabkan ia sering keliru. Ia pada asalnya adalah sebagaimana yang dikatakan
Ibnu Ma’iin: ‘shaduuq, namun nukan sebagai hujjah” (Tahdziibul-Kamaal,
11/394-398 no. 2504). Ibnu Sa’d berkata: “Seorang yang tsiqah, banyak
haditsnya”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-‘Ijliy berkata:
“Tsiqah, shaahibus-sunnah”. Al-Bazzaar berkata: “Bukan seorang yang haafidh. Ia
meriwayatkan hadits-hadits dari Al-A’masy dan lainnya yang tidak mempunyai
mutaba’ah” (Tahdziibut-Tahdziib, 4/182 no. 313). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya. Ibnu Hajar berkata: “Shaduuq, sering keliru
(yukhthi’)” (At-Taqriib, hal. 406 no. 2562). Adz-Dzahabiy berkata: “Tsiqah
masyhuur” (Man Tukullima fiih Wahuwa Muwatstsaq Au Shaalihul-Hadiits, hal.
239-240 no. 144).
Kesimpulan: Ia seorang
yang tsiqah, namun mempunyai beberapa keraguan (auhaam).
(21) ‘Amru bin Qais
Al-Malaaiy Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi mutqin (w. 146 H).
Dipakai Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 743 no. 5135).
(22) Ia adalah ‘Amru bin
‘Abdillah bin ‘Ubaid Al-Hamdaaniy Abu Ishaaq As-Sabii’iy; seorang yang tsiqah
namun masyhuur dengan tadlis (w. 126 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya (Tahriirut-Taqriib, 3/99 no. 5065).
(23) Shillah bin Zufar
Al-‘Absiy; seorang yang tsiqah lagi jaliil (w. 70 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 455 no. 2968).
(24) ‘Aliy bin Mus-hir
Al-Qurasyiy Abul-Hasan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah (w. 189 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (idem, hal. 705 no. 4834).
(25) Ia adalah Sulaimaan
bin Abi Sulaimaan Abu Ishaaq Asy-Syaibaaniy; seorang tsiqah (w. 129/138/139/141
H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (idem, hal. 408 no. 2583).
(26) Ia adalah ‘Aamir bin
Syaraahiil Abu ‘Amru Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, masyhuur, faqiih, lagi
mempunyai keutamaan (w. 103/104/105/106/107/110 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 475-476 no. 3109).
(27) Adl-Dlahaak bin Qais
bin Khaalid Al-Akbar bin Wahb Al-Qurasyiy, salah seorang shahabat Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
(28) Wakii’ bin
Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah
tsabat, lagi ‘aabid (127/128/129-196/197 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya (idem, hal. 1037 no. 7464).
(29) Sufyaan bin Sa’iid
bin Masruuq Ats-Tsauriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faqih (97-161 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (idem, hal. 394 no. 2458).
(30) ‘Abdul-‘Aziiz bin
Hakiim Al-Hadlramiy Al-Kuufiy. Ibnu Ma’iin dan Abu Daawud berkata: “Tsiqah”.
Abu Haatim berkata: “Tidak kuat”. Ibnu Jariir meninggalkannya (tidak
meriwayatkan darinya) (lihat: Mishbaahul-Ariid, 2/268 no. 16098).
Kesimpulannya, haditsnya tidaklah turun dari derajat hasan.
(31) Ia adalah Muhammad
bin Fudlail bin Ghazwaan bin Jariir Adl-Dlabbiy Abu ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy;
seorang yang shaduuq (w. 194/195 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya (idem, hal. 889 no. 6267).
(32) Bayaan bin Bisyr
Al-Ahmasiy Al-Bajaliy Abu Bisyr Al-Kuufiy Al-Mu’allim; seorang yang tsiqah lagi
tsabat. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (idem, hal. 180 no.
797).
Ikuti terus sosial media
Tim Kabel Dakwah:
Youtube: Kabel Dakwah
Twitter: Kabel Dakwah Official
Facebook: Kabel Dakwah Official
Instagram: Kabel Dakwah
Website: Kabeldakwah.com
Kami Juga melayani:
1. Jasa Pembuatan Website
Wordpress / Blogger
2. Iklan Publikasi di Website
Kabeldakwah.com
3. Instal Ulang Windows
4. Penjualan Theme Blogger
5. Instal Ulang Software
Aplikasi
6. Pembuatan Jersey
7. Pemesanan Snack
(Khusus Area Cilacap Kota)
8. Pemesanan Aplikasi
Raport
9. Indexing Website
10. Privat Mengaji
(Online), Dan Lain-Lain.
Hubungi Kami Di Sini
Dukung Kabeldakwah.com dengan menjadi SPONSOR dan
DONATUR.
SARAN / MASUKAN, Konfirmasi SPONSOR & DONASI hubungi:
089673617156
Kirim Sponsor dan Donasi Anda ke Rek Berikut:
BSI 7055429997 a.n. Nurul Azizah
Posting Komentar untuk "Hukum Berpuasa di Hari Syakk"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.