Hukum Berobat dengan Sesuatu yang Haram
Sakit merupakan tabiat
raga manusia yang diciptakan dalam keadaan lemah. Besi yang keras saja dapat
termakan karat jika tak terawat. Oleh karena itu, bukanlah satu hal yang luar
biasa sebenarnya apabila ada di antara kita terkena cobaan sakit, baik sakit
ringan ataupun berat.
Allah ta’ala berfirman
tentang sakit yang menimpa sebagian hamba-hamba-Nya yang shaalih:
وَلَقَدْ
فَتَنَّا سُلَيْمَانَ وَأَلْقَيْنَا عَلَى كُرْسِيِّهِ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ
“Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman
dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah
karena sakit), kemudian ia bertaubat” (QS. Shaad: 34).
وَأَيُّوبَ إِذْ
نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ *
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ
وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru
Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan
Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang". Maka
Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada
padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan
bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi
peringatan bagi semua yang menyembah Allah” (QS. Al-Anbiyaa’: 83-84).
فَحَمَلَتْهُ
فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا * فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ
النَّخْلَةِ.....
“Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma” (QS. Maryam: 22-23).
Tidak terkecuali Nabi kita shallallaahu
‘alaihi wa sallam:
عن عبيدالله بن
عبدالله؛ قال: دخلت على عائشة فقلت لها: ألا تحدثيني عن مرض رسول الله صلى الله
عليه وسلم؟ قالت: بلى. ثقل النبي صلى الله عليه وسلم. فقال "أصلى
الناس؟" قلنا: لا. وهم ينتظرونك. يا رسول الله! قال "ضعوا لي ماء في
المخضب" ففعلنا. فاغتسل. ثم ذهب لينوء فأغمي عليه
Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah, ia berkata:
Aku pernah masuk ke tempat ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, lalu aku bertanya
kepadanya: “Tidakkah engkau sudi memberitahuku tentang sakit Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam?”. Ia menjawab: “Tentu. Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam sakit berat. Beliau bertanya: ‘Apakah orang-orang telah shalat?’.
Kami menjawab: ‘Belum, mereka menunggumu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda:
‘Ambilkan aku air dalam bejana’. Kami pun mengambilkannya. Beliau mandi, lalu
keluar hendak menuju pintu masjid, kemudian beliau pingsan (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 713 dan Muslim no. 418).
Orang yang sedang sakit,
maka akan hinggap padanya derita dan rasa lemah. Aktifitasnya terhambat, dan
amalnya pun berkurang dibandingkan di kala sehat. Oleh karena itu, Islam
menganjurkan orang yang sakit untuk berobat.
عَنْ أُسَامَةَ
بْنِ شَرِيكٍ، قَالَ: قَالَتْ الْأَعْرَابُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا
نَتَدَاوَى؟ قَالَ: " نَعَمْ يَا عِبَادَ اللَّهِ، تَدَاوَوْا، فَإِنَّ
اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً، أَوْ قَالَ: دَوَاءً،
إِلَّا دَاءً وَاحِدًا، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُوَ؟ قَالَ:
الْهَرَمُ "
Dari Usaamah bin Syariik, ia berkata: Seorang
Arab Baduwi berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kami boleh berobat?”. Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ya, wahai hamba-hamba Allah.
Berobatlah kalian. Sesungguhnya Allah tidaklah meletakkan satu penyakit kecuali
Ia juga akan meletakkan padanya obat, kecuali satu penyakit saja (yang tidak
ada obatnya)”. Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah itu?”. Beliau
menjawab: “Pikun” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2038, Ath-Thayaalisiy no.
1328, Al-Humaidiy no. 845, Ibnu Abi Syaibah 8/2, Ahmad 4/278, Al-Bukhaariy
dalam Al-Abadul-Mufrad no. 291, Abu Daawud no. 3855, Ibnu Maajah no. 3436, Ibnu
Hibbaan no. 6061 & 6064, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 463-467 &
469 & 471 & 474 & 477-480 & 482-484, Al-Haakim 1/121 &
4/198 & 399 & 400, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam
Shahih Sunan At-Tirmidziy, 2/396-397, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1420).
Akan tetapi, tidak semua
jalan berobat diperbolehkan dalam syari’at. Misalnya saja, berobat dengan
mendatangi dukun yang meruqyah dengan ruqyah kesyirikan (mantera).
عَنْ عَوْفِ
بْنِ مَالِكٍ، قَال: كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: " يَا
رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟، فَقَالَ: اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ
لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا
"
Dari ‘Auf bin Maalik, ia berkata: Dahulu kami
melakukan ruqyah di jalan Jaahiliyyah. Lalu kami berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu
tentang hal itu?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tunjukkan
kepadaku riqyah kalian. Tidak mengapa meruqyah selama tidak mengandung
kesyirikan” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 2200, Abu Daawud no. 3886, Al-Haakim,
4/209, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 2744, dan yang lainnya).
Begitu pula berobat
dengan sesuatu yang diharamkan. Pernah satu ketika Thaariq bin Suwaid Al-Ju’fiy
bertanya tentang khamr yang hendak ia pergunakan sebagai obat. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
إِنَّهُ لَيْسَ
بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ
“Sesungguhnya khamr itu bukanlah obat, akan
tetapi justru penyakit” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1984, ‘Abdurrazzaaq no.
17100, Ibnu Abi Syaibah 8/22, Ahmad 4/311 & 317 & 5/292 & 6/399,
Abu Daawud no. 3873, At-Tirmidziy no. 2046, Ad-Daarimiy no. 2101, Ibnu Hibbaan
no. 1389-1390 & 6065, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 8212, dan
Al-Baihaqiy 10/4).
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata:
نَهَى رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah melarang berobat dengan sesuatu yang kotor/haram” (Diriwayatkan oleh Abu
Daawud no. 3870, Ibnu Maajah no. 3459, At-Tirmidziy no. 2045, Ibnu Abi Syaibah
8/5, Ahmad 2/305 & 446 & 478, Al-Haakim 4/410, Abu Nu’aim dalam
Al-Hilyah 8/375, dan Al-Baihaqiy 10/5; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam
Shahih Sunan Abi Daawud, 2/465, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1419 H).
‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu
berkata:
إِنَّ اللَّهَ
لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حُرِّمَ عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan obat
bagi kalian pada sesuatu yang diharamkan kepada kalian” (Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Syaibah 8/23 & 130, ‘Abdurrazzaaq no. 17097 & 17102, Ahmad dalam
Al-Asyrabah no. 130 & 133, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/108,
dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah 4/174,
Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. Thn. 1415 H).
Kaum muslimin hendaknya
bertaqwa kepada Allah ta’ala dalam permasalahan ini. Janganlah sampai aduhan
dan erangan membuatnya mengambil dzat yang diharamkan, sementara obat-obat yang
halal berserakan di sekitarnya. Seandainya ikhtiyar syar’iy kita belum
mewujudkan satu kesembuhan, yakinkan pada diri kita bahwa hal itu semata-mata
dikarenakan Allah ta’ala belum menakdirkan kita bertemu obat yang sesuai,
padahal sebenarnya ia telah ada.
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ: "
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يُنْزِلْ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً،
عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ
"
Dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata:
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah
‘azza wa jalla tidaklah menurunkan satu penyakit kecuali Ia menurunkan juga
obatnya, yang diketahui oleh orang yang mengetahui dan tidak diketahui oleh
orang yang memang tidak mengetahuinya” (Diriwayatkan oleh Ahmad 1/377 & 413
& 443 & 453, Al-Humaidiy no. 90, Abu Ya’laa no. 5183, Asy-Syaasyiy no.
752, Al-Haakim 4/192 & 393, Al-Baihaqiy 9/342, Ath-Thabaraaniy dalam
Al-Ausath no. 7036 dan dalam Al-Kabiir no. 10331, dan yang lainnya; dishahihkan
oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah, 1/813-814 no. 451, Maktabah Al-Ma’aarif,
Cet. Thn. 1415).
Sebagian ulama memasukkan hadits di atas dalam
bahasan iman, sebagaimana Ibnu Mandah memasukkan hadits itu dalam Al-Iiimaan
(dari jalan lain, yaitu hadits Abu Hudzaifah).
Ilustrasi yang mudah
adalah: Dua orang menderita penyakit sama – misalnya batuk –, diberikan obat
yang sama, namun kesembuhan keduanya berbeda. Yang satu mungkin sembuh lebih
cepat dari yang lain, atau bahkan yang lain itu tidak sembuh sama sekali.
Ini menunjukkan bahwa
kesembuhan hanyalah datang dari Allah ta’ala semata, bukan dari obat, karena ia
hanyalah wasilah.
Betapa banyak obat herbal
atau kimia yang dipromosikan mampu mengobati penyakit pada satu orang, namun
tidak pada orang yang lain padahal penyakit keduanya sama? Seandainya Allah
ta’ala telah menghendaki kita sembuh pada satu obat, sembuhlah kita.
عَنْ جَابِرٍ،
عن رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَال: " لِكُلِّ
دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ "
Dari Jaabir, dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Setiap penyakit itu pasti ada obatnya.
Seandainya obat itu sudah mengenai penyakit, niscaya akan sembuh dengan ijin
Allah ta’ala” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 2204, Ahmad 3/335, Abu Ya’laa no.
2036, Ibnu Hibbaan no. 6063, Ibnu Mandah dalam At-Tauhiid no. 110, Al-Haakim
4/401, Al-Baihaqiy 9/343, dan yang lainnya).
Tidak perlu mencari-cari
dan mencoba-coba barang haram sebagai obat. Inilah madzhab jumhur ulama.
Sebagian ulama lain membolehkan berobat dengan yang haram (khamr) karena alasan
darurat dengan mengqiyaskan masalah kebolehan makan darah dan daging babi dalam
situasi yang sama (darurat). Jumhur menyanggah bahwa pengqiyasan itu tidak
tepat, sebab makan daging babi atau yang semisalnya menyebabkan terangkatnya
kondisi darurat (rasa lapar), sedangkan berobat dengan yang haram belum pasti
(menyembuhkan penyakitnya).
Seandainya berobat
(kuratif) dengan barang yang haram dalam kondisi yang (benar-benar) sakit saja
menjadi larangan (menurut pendapat yang raajih), lantas bagaimana halnya
tindakan yang hanya bersifat pencegahan (preventif) yang dilakukan pada orang
yang sehat? Seperti misalnya: tindakan vaksinasi. Qiyas aulanya, tentu lebih
pantas untuk diharamkan dibanding jenis yang pertama. Sungguh musykil rasanya,
ada seorang muslim sehat dan berakal, kemudian ia ber-effort untuk mendapatkan
vaksin yang ia ketahui berasal dari barang haram atau minimal diragukan
kehalalannya, padahal ia mengetahui sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam larangan berobat dengan barang yang haram.
Seandainya kita menerima
kebolehan alasan darurat, apakah dalam keadaan tersebut ia termasuk orang yang
berada dalam kondisi darurat? Debatable,…. tergantung dari sisi pandang dan
alasan masing-masing.(1) Para ulama pun memang berselisih pendapat.
Anyway, hendaknya kita
tetap hati-hati dalam permasalahan ini.
Semoga yang sedikit ini
ada manfaatnya…
Wallaahu a’lam.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Ada sementara orang yang membolehkan dari
sisi bahwa dzat yang diharamkan (misal: enzim dari babi) telah lebur dan tidak
lagi berwujud dalam vaksin tersebut. Alasan
ini – menurut saya – sungguh sangat sulit untuk diterima.
عَنْ أَنَسٍ
" أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الْخَمْرِ
تُتَّخَذُ خَلًّا، فَقَالَ: لَا "
Dari ‘Anas: Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang khamr yang dijadikan cuka, maka beliau
menjawab: “Tidak boleh” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1983, Abu ‘Awaanah no.
7977, Ahmad 3/119 & 180 & 260, Abu Daawud no. 3675, At-Tirmidziy no.
1294, Abu Ya’laa no. 4045 & 4051, Ath-Thahawiy dalam Syarh
Musykilil-Aatsaar no. 3335-3339, Al-Baihaqiy 6/36, Al-Qaasim bin Sallaam dalam
Al-Amwaal no. 282, dan yang lainnya).
Wujud khamr di sini sama
sekali sudah berubah menjadi cuka. Sebagaimana dipahami, khamr yang mengandung
etanol berbeda secara kimiawi dengan cuka (baca: http://muslim-osaka.tk/2011/03/18/tentang-alkohol "link diambil saat masih aktif"). Namun beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap melarang seseorang sengaja
memanfaatkan khamr menjadi cuka.
Posting Komentar untuk "Hukum Berobat dengan Sesuatu yang Haram"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.