Apakah makmum wajib mengangkat tangan bersama imam yang melakukan qunut Shubuh, sementara ia (makmum) meyakini bahwa qunut tersebut tidak disyari’atkan?
Tanya:
Apakah makmum wajib mengangkat tangan bersama imam yang melakukan qunut Shubuh,
sementara ia (makmum) meyakini bahwa qunut tersebut tidak disyari’atkan?
Jawab:
Permasalahan ini sebenarnya pernah dibahas di blog ini sebelumnya, namun tidak
mengapa jika pada kesempatan kali ini diulang kembali untuk satu faedah.
Qunut Shubuh yang dilakukan secara rutin adalah perbuatan
yang sama sekali tidak disyari’atkan dalam shalat. Bahkan disebut dalam
riwayat, perbuatan tersebut merupakan bid’ah (baca: Hukum
Melazimkan Qunut Shubuh Secara Terus Menerus).
Adapun permasalahan
apakah makmum mengikuti imam mengangkat tangan ketika qunut, maka terjadi
perselisihan di kalangan ulama. Ahmad dalam satu riwayat dinyatakan bahwa
beliau diam tidak mengikuti imam dalam qunut Shubuh.(1) Begitu juga Abul-Husain
Ishaaq bin Rahawaih membawakan riwayat shahabat yang tidak mengikuti imam dalam
Qunut Shubuh (Al-Mubdi’, 2/238). Inilah juga yang menjadi pendapat Abu Haniifah
dan Muhammad bin Al-Hasan (Fathul-Qadiir, 2/367). Akan tetapi Ahmad dalam satu
riwayat, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnul-Qayyim berpendapat lain, yaitu makmum
mengikuti imam mengangkat tangan ketika qunut Shubuh.
Adapun saya di sini,
cenderung mengikuti pendapat pertama, yaitu tidak ikut mengangkat tangan,
karena qunut Shubuh adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Jika ada yang berkata
bahwa makmum wajib mengikuti imam berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam:
إِنَّمَا جُعِلَ
الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا فإذا رَكَعَ
فَارْكَعُوا وإذا رَفَعَ فَارْفَعُوا وإذا قال سمع الله لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وإذا صلى
جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ
“(Seseorang) dijadikan imam hanyalah untuk diikuti, maka jika imam sholat berdiri maka sholatlah kalian (wahai para mekmum-pent) berdiri juga, jika imam ruku’ maka ruku’lah kalian, dan jika imam bangkit maka bangkitlah, dan jika imam berkata “Sami’allahu liman hamidahu” ucapkanlah “Robbanaa wa lakalhamdu”. Jika imam sholat berdiri maka sholatlah berdiri, dan jika imam sholat duduk maka sholatlah kalian seluruhnya dengan duduk” (HR Al-Bukhari no 657).
إنما جُعِلَ
الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فلا تَخْتَلِفُوا عليه فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا
“(Seseorang) dijadikan
imam hanyalah untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya, jika ia
ruku’ maka ruku’lah kalian…” (HR Al-Bukhari no 689).
maka,… mari kita lihat
apa yang dipraktekkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para
shahabatnya. Hadits yang lebih lengkap adalah
sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ
رَضيَ الله عَنهَا قالَتْ: "صَلى رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم في
بَيْتِهِ وَهُوَ شَاك فصَلًى جَالِساً، وَصلَّى وَرَاءهُ قَوم قياماً فَأشَار
إلَيْهِمْ: أنِ اجْلِسُوا، فلَمَا انصرف قَال: إنَّمَا جُعِلَ الإمَام لِيؤتَمَّ
بِهِ، فإذا رَكع فَاركعُوا، وَإِذَا رَفع فَارْفَعُوا، وَإِذَا قال: سمع الله لمن
حَمِدَهُ، فقُولُوا: ربَنّاَ وَلَكَ الحمد، وإِذَا صَلى جَالِساً فصَلوا جُلُوساً
أجْمَعُونَ ".
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata:
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di rumahnya yang
ketika itu beliau sedang sakit. Beberapa orang shahabat shalat di belakang
beliau sambil berdiri. (Mengetahui hal itu), beliau berisyarat kepada mereka:
“Duduklah”. Ketika telah selesai, maka beliau bersabda: “Imam itu dijadikan
hanya untuk diikuti. Apabila ia rukuk, maka rukuklah. Apabila ia mengangkat kepala, maka
angkatlah kepala kalian. Apabila ia mengucapkan: ‘sami’allaahu liman-hamidah’,
maka ucapkanlah: ‘rabbanaa walakal-hamdu’. Apabila ia shalat sambil duduk, maka
duduklah kalian semuanya” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dan Muslim).
Hadits ini beliau ucapkan
saat melihat para shahabat berdiri ketika bermakmum, sementara beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam duduk. Akan
tetapi di hadits lain disebutkan tentang tentang shifat shalat beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelang wafat:
قَالَ
أَجْلِسَانِي إِلَى جَنْبِهِ فَأَجْلَسَاهُ إِلَى جَنْبِ أَبِي بَكْرٍ قَالَ
فَجَعَلَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي وَهُوَ يَأْتَمُّ بِصَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ بِصَلَاةِ أَبِي بَكْرٍ وَالنَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدٌ
Beliau bersabda: “Dudukkanlah aku di
sampingnya (Abu Bakr)”. Maka mereka (‘Abbaas dan ‘Aliy) mendudukkan beliau di
samping Abu Bakr. Ia (Abu Bakr) mengikuti shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, dan orang-orang mengikuti shalat Abu Bakr. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pada waktu itu (mengimami) shalat sambil duduk” (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy dan Muslim).
Dapat kita lihat
bahwasannya keharusan mengikuti imam tidaklah dalam kemutlakannya (dalam
masalah berdiri atau duduknya makmum). Dalam hadits pertama, Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para shahabat duduk karena
dijadikan imam itu hanyalah untuk diikuti, namun dalam hadits kedua, beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam men-taqrir perbuatan para shahabatnya yang
bermakmum sambil berdiri sementara beliau mengimami sambil duduk.
Al-Bukhaariy menukil
perkataan gurunya, Al-Humaidiy, saat mengomentari hadits yang pertama di atas:
قوله: (إذا صلى
جالسا فصلوا جلوسا). هو في مرضه القديم، ثم صلى بعد ذلك النبي صلى الله عليه وسلم
جالسا، والناس خلفه قياما، لم يأمرهم بالقعود،........
“Sabda beliau: ‘apabila imam shalat sambil
duduk, maka shalatlah kalian sambil duduk’; maka itu terjadi saat beliau sakit
di waktu lampau. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat setelah
itu sambil duduk, dimana para shahabat (yang menjadi makmum) menyelisihi beliau
dengan shalat sambil berdiri. Beliau tidak memerintahkan mereka untuk duduk…..”
(Shahih Al-Bukhaariy).
Ada banyak penjelasan para ulama mengenai
permasalahan berdiri atau duduknya makmum dalam mengikuti imam yang duduk.
Oleh karena itu, menjadikan hadits ‘imam itu
dijadikan hanya untuk diikuti’ sebagai dalil untuk mengikuti semua keadaan dan
gerakan imam secara mutlak, termasuk dalam mengangkat tangan saat qunut Shubuh,
menurut saya kurang pas.
Ada dalil lain yang mungkin membantu dalam
permasalahan ini:
عن أبي سعيد
الخدري قال: بينما رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بأصحابه إذ خلع نعليه
فوضعهما عن يساره فلما رأى ذلك القوم ألقوا نعالهم فلما قضى رسول الله صلى الله
عليه وسلم صلاته قال ما حملكم على إلقائكم نعالكم قالوا رأيناك ألقيت نعليك
فألقينا نعالنا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن جبريل صلى الله عليه وسلم
أتاني فأخبرني أن فيهما قذرا وقال إذا جاء أحدكم إلى المسجد فلينظر فإن رأى في
نعليه قذرا أو أذى فليمسحه وليصل فيهما
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata:
“Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat bersama
para shahabatnya, tiba-tiba beliau melepaskan kedua sandalnya dan meletakkan di
sebelah kiri beliau. Ketika para shahabat (makmum) melihat hal tersebut, mereka pun melepaskan
sandal mereka. Setelah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam selesai dari
shalatnya, bersabda: “Apa yang membuat kalian melepas sandal kalian ?”. Mereka
berkata: “Kami melihat engkau melepaskan sandalmu”. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Jibril shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mendatangiku dan memberitahukanku bahwa pada kedua sandalku itu ada najis”.
Beliau melanjutkan: “Apabila salah seorang diantara kalian mendatangi masjid,
hendaklah ia melihat/memeriksa. Apabila ia melihat kedua sandalnya itu ada
najis atau kotoran, maka bersihkanlah lalu shalatlah dengan keduanya” (Diriwayatkan
oleh Abu Dawud no. 650; shahih).
Dalam hadits ini beliau
menanyakan perbuatan para shahabat yang ikut melepas sandal saat melihat beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam melepas sandal. Konteks sabda beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah pengingkaran. Artinya, para
shahabat seharusnya tidak perlu ikut melepaskan sandal mereka pada waktu itu,
karena itu bukan merupakan bagian dari gerakan shalat yang wajib diikuti.
Pun dalam masalah ini.
Jika kita sepakat bahwa qunut Shubuh bukan merupakan perkara yang masyru’, maka
itu artinya qunut Shubuh bukan merupakan perbuatan yang disyari’atkan ada dalam
shalat. Lain halnya jika ada yang berpendapat perbuatan itu masyru’, maka ini
bukan konteks pembicaraan di sini.
Jika ada yang berdalil
dengan riwayat Ibnu Mas’uud yang tetap shalat di belakang ‘Utsmaan bin ‘Affaan
radliyallaahu ‘anhumaa, walaupun di awal beliau mengingkarinya, maka yang patut
menjadi pertanyaan di sini: Apakah perbuatan ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu
‘anhu itu merupakan perbuatan yang menyelisihi sunnah, atau memang ada alasan
lain (yang dapat dibenarkan)? Apakah shalat tamaam ketika safar memang tidak
disyari’atkan(2) ? Ada beberapa jawaban yang dikemukakan para ulama.
Salah satunya Abu Dawud
menyebutkan alasan ‘Utsmaan menyempurnakan shalat empat raka’at:
أن عثمان بن
عفان أتم الصلاة بمنى من أجل الأعراب لأنهم كثروا عامئذ فصلى بالناس أربعا ليعلمهم
أن الصلاة أربع
“Bahwasannya ‘Utsmaan bin ‘Affaan
menyempurnakan shalat di Minaa karena orang-orang Arab Baduwi banyak yang ikut
serta pada tahun itu. Maka ia shalat empat raka’at untuk memberitahukan kepada
mereka bahwa shalat itu empat raka’at” (As-Sunan no. 1964; Al-Albaaniy berkata:
“hasan”).
Alasan yang lain, ‘Utsmaan (sebagaimana juga
diriwayatkan secara shahih dari ‘Aaisyah) memandang bahwa shalat di waktu safar
itu boleh dikerjakan secara qashar ataupun tamam (sempurna) (sebagaimana
dijelaskan oleh An-Nawawiy dalam Syarh Shahih Muslim, 5/195).
Dan seterusnya.
Intinya, apa yang dilakukan ‘Utsmaan tersebut
tidaklah menyelisihi syari’at, sehingga ada kemungkinan pengingkaran Ibnu
Mas’uud radliyallaahu ‘anhumaa tersebut karena ‘Utsmaan melakukan hal yang
kurang utama.(3)
Kesimpulannya, makmum
tidak mengikuti imam mengangkat tangan ketika qunut Shubuh.
Lihat fatwa Asy-Syaikh
Muhammad ‘Aliy Firkuuz hafidhahullah: http://ferkous.com/home/?q=fatwa-501.
Wallaahu ta’ala a’lam.(4)
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Lihat: http://www.islamweb.net/ver2/Fatwa/ShowFatwa.php?lang=A&Id=136939&Option=FatwaId.
(2) Lihat: Hukum
Qashar Sholat Saat Safar atau Melakukan Perjalanan
(3) Karena Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam selalu mengqashar shalat yang empat raka’at
ketika safar.
(4) Adapun Asy-Syaikh Ibnu Baaz dan Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimiin rahimahumallah membolehkan ikut mengangkat tangan bersama imam.
Posting Komentar untuk "Apakah makmum wajib mengangkat tangan bersama imam yang melakukan qunut Shubuh, sementara ia (makmum) meyakini bahwa qunut tersebut tidak disyari’atkan?"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.