Apakah Korupsi Termasuk Sebab Kekafiran?
Dalam tatanan hukum positif, korupsi banyak ragamnya, mulai
dari suap, gratifikasi, penggelapan, pemalsuan, dan yang lainnya.
Korupsi adalah
perilaku negatif yang dicela Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Bahkan, dicela semua peradaban manusia, karena termasuk perbuatan
khianat dan kecurangan yang merugikan masyarakat banyak. Banyak nash yang
mencela dan mengancam perilaku koruptif, di antaranya:
Allah ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ
لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidak mungkin seorang
nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berbuat
ghuluul (khianat) dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia
akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu” (QS. Aali ‘Imraan: 161)
Ibnu Katsiir rahimahullah
mengatakan bahwa ayat di atas merupakan ancama yang keras dan tegas dari Allah
ta’ala terhadap perbuatan ghuluul (khianat/korupsi) (Tafsiir Ibni Katsiir,
2/151).
حَدَّثَنَا
عَبْد اللَّهِ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَالِمٍ الْكُوفِيُّ الْمَفْلُوجُ
وَكَانَ ثِقَةً، حَدَّثَنَا عُبَيْدَةُ بْنُ الْأَسْوَدِ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ
الْوَلِيدِ، عَنْ أَبِي صَادِقٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ نَاجِدٍ، عَنْ عُبَادَةَ
بْنِ الصَّامِتِ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ
الْوَبَرَةَ مِنْ جَنْبِ الْبَعِيرِ مِنَ الْمَغْنَمِ، فَيَقُولُ: " مَا لِي
فِيهِ إِلَّا مِثْلُ مَا لِأَحَدِكُمْ مِنْهُ، إِيَّاكُمْ وَالْغُلُولَ، فَإِنَّ
الْغُلُولَ خِزْيٌ عَلَى صَاحِبِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Saalim Al-Kuufiy Al-Mafluuj, dan ia seorang yang tsiqah: Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidah bin Al-Aswad, dari Al-Qaasim bin Al-Waliid, dari Abu Shaadiq, dari Rabii’ah bin Naajid, dari ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit: Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengambil bulu onta dari perut onta ghaniimah, lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sedikit yang aku ambil dari (harta rampasan perang) ini, tak lain seperti yang diambil oleh salah seorang dari kalian. Jauhilah perbuatan ghuluul (khianat/korupsi), karena perbuatan ghuluul adalah kehinaan bagi pelakunya pada hari kiamat....” (Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Al-Musnad 5/330; dihasankan oleh Al-Arna’uth dkk. dalam Takhriij Musnad Al-Imaam Ahmad 37/455-456 no. 22795).
Dalam lafadh lain:
لَا تَغُلُّوا
فَإِنَّ الْغُلُولَ نَارٌ وَعَارٌ عَلَى أَصْحَابِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Janganlah kalian berbuat ghuluul, karena
perbuatan ghuluul tempatnya di neraka dan merupakan aib bagi pelakunya di dunia
dan akhirat” (Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Al-Musnad
5/316; dihasankan oleh Al-Arna’uth dkk. dalam Takhriij Musnad Al-Imaam Ahmad
37/371-372 no. 22699).
حَدَّثَنِي
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ
بْنُ عَمَّارٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي سِمَاكٌ الْحَنَفِيُّ أَبُو زُمَيْلٍ، قَالَ:
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ، قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ، أَقْبَلَ نَفَرٌ مِنْ
صَحَابَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: فُلَانٌ
شَهِيدٌ، فُلَانٌ شَهِيدٌ، حَتَّى مَرُّوا عَلَى رَجُلٍ، فَقَالُوا: فُلَانٌ
شَهِيدٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " كَلَّا
إِنِّي رَأَيْتُهُ فِي النَّارِ فِي بُرْدَةٍ غَلَّهَا أَوْ عَبَاءَةٍ، ثُمَّ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا ابْنَ الْخَطَّابِ،
اذْهَبْ فَنَادِ فِي النَّاسِ، أَنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، إِلَّا
الْمُؤْمِنُونَ، قَالَ: فَخَرَجْتُ، فَنَادَيْتُ، " أَلَا إِنَّهُ لَا
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ
"
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb:
Telah menceritakan kepada kami Haasyim bin Al-Qaasim: Telah menceritakan kepada
kami ‘Ikrimah bin ‘Ammaar, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Simaak
Al-Hanafiy Abu Zumail, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin
‘Abbaas, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku ‘Umar bin Al-Khaththaab, ia
berkata: Ketika perang Khaibar berlangsung, sekelompok shahabat Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghadap beliau dan berkata: ‘Fulaan mati
syahiid, Fulaan mati syahiid’, hingga ketika mereka melewati seseorang pun
mereka juga berkata: ‘Fulaan mati syahiid, Fulaan mati syahiid’. Maka Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sekali-kali tidak. Sesungguhnya aku
melihatnya di neraka dengan sebab kain burdah atau ‘abaa-ah yang ia ambil
secara khianat (ghuluul)”. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Wahai Ibnul-Khaththaab, pergilah dan serulah kepada orang-orang
bahwasannya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang mukmin”. Maka ‘Umar
berkata: “Aku pun berseru: ‘Ketahuilah, bahwasannya tidak akan masuk surga
kecuali orang-orang mukmin” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 114).
حَدَّثَنِي أبو
رجاء قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ
سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ مَاتَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ:
الْكِبْرِ، وَالْغُلُولِ، وَالدَّيْنِ، دَخَلَ الْجَنَّةَ "
Telah menceritakan kepadaku Abu Rajaa’
Qutaibah bin Sa’iid: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari
Qataadah, dari Saalim bin Abi Ja’d, dari Tsaubaan, ia berkata: Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang meninggal dan ia
berlepas diri dari tiga hal, yaitu: sombong, ghuluul (khianat/korupsi), dan
hutang; maka dijamin masuk surga” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1572;
dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy, 2/197-198).
حَدَّثَنَا
زَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ أَبُو طَالِبٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ عَبْدِ
الْوَارِثِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: " مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا
أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
"
Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Akhzam
Abu Thaalib: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim, dari ‘Abdul-Waarits
bin Sa’iid, dari Husain Al-Mu’allim, dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya,
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Barangsiapa yang
kami pekerjakan dengan satu pekerjaan dan kami upah ia (atas pekerjaan yang ia
lakukan), maka harta apapun yang ia ambil selebih dari itu adalah ghuluul
(korupsi)” (Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2943; dishahihkan oleh Al-Albaaniy
dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/230).
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ،
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ،
عَنْ عَدِيِّ بْنِ عَمِيرَةَ الْكِنْدِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى
عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin
Abi Syaibah: Telah menceritakan kepada kami Wakii’ bin Al-Jarraah: Telah
menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Qais bin Abi Haazim,
dari ‘Adiy bin ‘Amiirah Al-Kindiy, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa di antara kalian yang kami pekerjakan
dengan satu pekerjaan, lalu ia menyembunyikan sebatang jarum atau yang lebih
dari itu, maka itu termasuk ghuluul (korupsi) yang akan dibawanya di hari
kiamat....” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1833).
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ أَبِي حَيَّانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو
زُرْعَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ:
قَامَ فِينَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ الْغُلُولَ
فَعَظَّمَهُ وَعَظَّمَ أَمْرَهُ، قَالَ: " لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ شَاةٌ لَهَا ثُغَاءٌ عَلَى رَقَبَتِهِ فَرَسٌ لَهُ
حَمْحَمَةٌ، يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لَا أَمْلِكُ
لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ وَعَلَى رَقَبَتِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ،
يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا
قَدْ أَبْلَغْتُكَ وَعَلَى رَقَبَتِهِ صَامِتٌ، فَيَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ أَوْ عَلَى
رَقَبَتِهِ رِقَاعٌ تَخْفِقُ، فَيَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي،
فَأَقُولُ: لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ،
Telah menceritakan kepada kami Musaddad: Telah
menceritakan kepada kami Yahyaa, dari Abu Hayyaan, ia berkata: Telah
menceritakan kepadaku Abu Zur’ah, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah berdiri di tengah-tengah kami lalu menyebutkan tentang permasalahan
ghuluul (pengkhianatan/korupsi). Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menganggapnya sebagai sesuatu yang besar lagi penting, lalu bersabda: “Sungguh
aku akan menjumpai salah seorang di antara kalian pada hari kiamat yang di
lehernya dipikulkan kambing yang mengembik dan di lehernya dipikulkan kuda yang
meringkik, lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, tolonglah aku’. Aku berkata: ‘Aku tidak
punya wewenang sedikitpun dari Allah untuk menolongmu. Semuanya telah aku
sampaikan kepadamu’. Dan orang yang di lehernya dipikulkan onta yang menderum
berkata: ‘Wahai Rasulullah, tolonglah aku’. Aku pun berkata: ‘Aku tidak punya
wewenang sedikitpun dari Allah untuk menolongmu. Semuanya telah aku sampaikan
kepadamu’. Dan orang yang di lehernya dipikulkan emas dan perak berkata: ‘Wahai
Rasulullah, tolonglah aku’. Aku pun berkata: ‘Aku tidak punya wewenang
sedikitpun dari Allah untuk menolongmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu’.
Dan orang yang di lehernya terdapat lembaran kertas yang melambai-lambai
berkata: ‘Wahai Rasulullah, tolonglah aku’. Aku pun berkata: ‘Aku tidak punya
wewenang sedikitpun dari Allah untuk menolongmu. Semuanya telah aku sampaikan
kepadamu” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3073).
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ
عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، قَالَ: اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا
مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا
قَدِمَ قَالَ: هَذَا لَكُمْ، وَهَذَا أُهْدِيَ لِي، قَالَ: فَهَلَّا جَلَسَ فِي
بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ، فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا، وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ
بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ، ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى
رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ، اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ، اللَّهُمَّ هَلْ
بَلَّغْتُ ثَلَاثًا "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
Muhammad: Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah
bin Az-Zubair, dari Abu Humaid As-Saa’idiy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memperkerjakan seseorang dari suku
Al-Azd yang bernama Ibnul-Utbiyyah untuk menarik zakat. Ketika ia datang (dari
pekerjaannya itu), ia berkata: “Ini adalah harta kalian, dan ini adalah harta
yang dihadiahkan untukku”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seandainya ia duduk saja di rumah ayah atau ibunya, maka lihatlah, apakah ia
akan diberikan hadiah ataukah tidak. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya,
tidaklah seorang pun yang mengambil harta (suap) itu sedikitpun juga, kecuali
ia akan datang pada hari kiamat dengan memikul harta suap itu di lehernya yang
mungkin berupa onta yang menderum, sapi yang melenguh, atau kambing yang
mengembik” Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangannya
hingga kami melihat putih ketiak beliau, yang bersabda: “Ya Allah bukankah aku
telah menyampaikan, Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan" - sebanyak
tiga kali (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2597).
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَفِي هَذَا
الْحَدِيث: بَيَان أَنَّ هَدَايَا الْعُمَّال حَرَام وَغُلُول ؛ لِأَنَّهُ خَانَ
فِي وِلَايَته وَأَمَانَته
“Dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa
hadiah bagi pegawai adalah haram dan (termasuk) ghuluul, karena ia telah
berbuat khianat dalam kekuasaan dan amanah yang diberikan kepadanya” (Syarh
Shahiih Muslim, 6/304).
Banyak contoh dari salaf kita yang shaalih
bagaimana mereka sangat menjaga diri dari perbuatan ghuluul. Sedikit di
antaranya adalah yang terdeskripsi dalam riwayat berikut:
وَحَدَّثَنِي
مَالِك، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبْعَثُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ
إِلَى خَيْبَرَ، فَيَخْرُصُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ يَهُودِ خَيْبَرَ، قَالَ:
فَجَمَعُوا لَهُ حَلْيًا مِنْ حَلْيِ نِسَائِهِمْ، فَقَالُوا لَهُ: هَذَا لَكَ،
وَخَفِّفْ عَنَّا وَتَجَاوَزْ فِي الْقَسْمِ.فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
رَوَاحَةَ: يَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ، وَاللَّهِ إِنَّكُمْ لَمِنْ أَبْغَضِ خَلْقِ
اللَّهِ إِلَيَّ، وَمَا ذَاكَ بِحَامِلِي عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ، فَأَمَّا
مَا عَرَضْتُمْ مِنَ الرَّشْوَةِ، فَإِنَّهَا سُحْتٌ وَإِنَّا لَا نَأْكُلُهَا،
فَقَالُوا: بِهَذَا قَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ.
Telah menceritakan kepadaku Maalik, dari Ibnu
Syihaab, dari Sulaimaan bin Yasaar: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam pernah mengutus ‘Abdullah bin Rawaahah ke Khaibar, lalu ia menaksir
pembagian antara dirinya dan Yahudi Khaibar. Perawi berkata: Lalu mereka
(Yahudi Khaibar) mengumpulkan perhiasan dari perhiasan wanita-wanita mereka
untuknya. Mereka berkata kepadanya: “Ini adalah bagianmu. Berilah keringanan bagi
kami dan lebihkanlah bagian kami”. Maka ‘Abdullah bin Rawaahah berkata: “Wahai
sekalian orang Yahudi, demi Allah, sesungguhnya kalian termasuk makhluk Allah
yang paling aku benci. Namun demikian, hal itu tidak menyebabkan aku berbuat
dhalim kepada kalian. Adapun sesuatu yang kalian berikan kepadaku itu termasuk
risywah (suap/sogokan) dan dosa. Sesungguhnya kami (kaum muslimin) tidak
memakannya”. Mereka berkata: “Dengan ini, tegaklah langit dan bumi” (Diriwayatkan
oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ 3/494-495 no. 1514; sanadnya mursal shahih.
Al-Arna’uth menjelaskan beberapa jalan yang menyambungkannya, dan kemudian
menghasankannya dalam Jaam’ul-Ushuul 4/617 no. 2701. Dishahihkan oleh Al-Hilaaliy dalam Takhrij
Al-Muwaththaa’ 3/494-495).
أَخْبَرَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو الْمَلِيحِ، عَنْ فُرَاتِ
بْنِ سَلْمَانَ، قَالَ: " اشْتَهَى عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ
التُّفَّاحَ، فَبَعَثَ إِلَى بَيْتِهِ، فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا يَشْتَرُونَ لَهُ
بِهِ، فَرَكِبَ، وَرَكِبْنَا مَعَهُ، فَمَرَّ بِدَيْرٍ، فَتَلَقَّاهُ غِلْمَانٌ
لِلدَّيْرَانِيِّينَ، مَعَهُمْ أَطْبَاقٌ فِيهَا تُفَّاحٌ، فَوَقَفَ عَلَى طَبَقٍ
مِنْهَا، فَتَنَاوَلَ تُفَّاحَةً فَشَمَّهَا، ثُمَّ أَعَادَهَا إِلَى الطَّبَقِ،
ثُمَّ قَالَ: ادْخُلُوا دَيْرَكُمْ، لا أَعْلَمُكُمُ بُعِثْتُمْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ
أَصْحَابِي بِشَيْءٍ، قَالَ: فَحَرَّكْتُ بَغْلَتِي، فَلَحِقْتُهُ، فَقُلْتُ: يَا
أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، اشْتَهَيْتَ التُّفَّاحَ فَلَمْ يَجِدُوهُ لَكَ،
فَأُهْدِيَ لَكَ فَرَدَدْتَهُ، قَالَ: لا حَاجَةَ لِي فِيهِ، فَقُلْتُ: أَلَمْ
يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ،
يَقْبَلُونَ الْهَدِيَّةَ؟ قَالَ: إِنَّهَا لأُولَئِكَ هَدِيَّةٌ، وَهِيَ
لِلْعُمَّالِ بَعْدَهُمْ رِشْوَةٌ "
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin
Ja’far, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Maliih, dari Furaat bin
Salmaan, ia berkata: “’Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz pernah menginginkan buah apel. Maka ia mengutus
seseorang ke rumahnya, namun utusan itu tidak mendapatkan uang untuk membelikan
apel untuknya. Ia pun menaiki tunggangannya, dan kami pun menaiki tunggangan
kami bersamanya. Kemudian ia melewati sebuah biara. Ada dua orang penghuni
biara menemuinya dengan membawa beberapa nampan yang berisi apel. Lalu ia
berhenti di salah satu nampan dan mengambil apel lalu menciumnya. Kemudian ia
mengembalikan apel itu ke nampan, seraya berkata: “Masuklah kalian ke biara
kalian. Aku tidak mengenal kalian. Kalian telah mengutus seseorang kepada salah
seorang shahabatku dengan membawa sesuatu”. Perawi berkata: Lalu akupun
menggerakkan keledaiku berjalan mendekatinya. Aku berkata: “Wahai
Amiirul-Mukminiin, engkau tadi menginginkan apel, namun mereka tidak
mendapatkan sesuatu (untuk membelinya) buatmu. Kemudian dihadiahkan apel
untukmu, namun engkau menolaknya”. Ia berkata: “Aku tidak membutuhkannya”. Aku
berkata: “Bukankah dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr,
dan ‘Umar menerima hadiah?”. Ia menjawab: “Hal itu bagi mereka adalah hadiah,
dan bagi para pemimpin setelahnya adalah suap” (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d,
5/188; sanadnya shahih).
Semua orang ‘gregetan’
dengan korupsi dan koruptor. Sayangnya, ada beberapa oknum yang
berlebih-lebihan menyikapinya hingga menghukumi kafir bagi pelaku korupsi.
Benar jika dikatakan bahwa korupsi itu termasuk dosa besar sebagaimana nash-nya
telah disebutkan di atas. Namun menjadi tidak benar jika korupsi termasuk
perbuatan kufur akbar yang menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.
Pengkafiran adalah hukum
syar’i dan merupakan hak murni milik Allah ta’ala, tidak dimiliki oleh individu
atau kelompok tertentu. Konsekuensinya, seseorang tidaklah dikafirkan kecuali
yang memang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata:
وهذا بخلاف ما
كان يقوله بعض الناس كأبي إسحاق الإسفراييني ومن اتبعه يقولون لا نكفر إلا من يكفر
فإن الكفر ليس حقا لهم بل هو حق لله وليس للإنسان أن يكذب على من يكذب عليه ولا
يفعل الفاحشة بأهل من فعل الفاحشة بأهله بل ولو استكرهه رجل على اللواطة لم يكن له
أن يستكرهه على ذلك ولو قتله بتجريع خمر أو تلوط به لم يجز قتله بمثل ذلك لأن هذا
حرام لحق الله تعالى ولو سب النصارى نبينا لم يكن لنا أن نسبح المسيح والرافضة إذا
كفروا أبا بكر وعمر فليس لنا أن نكفر عليا
“Hal ini bertentangan dengan pekataan sebagian
orang seperti Abu Ishaq Al-Isfirayiiniy serta orang yang mengikuti pendapatnya,
mereka mengatakan: Kami tidak mengkafirkan kecuali orang-orang mengkafirkan
(kami). (Perkataan ini salah), karena takfir itu bukanlah hak mereka tapi hak
Allah. Seseorang tidak boleh berdusta kepada orang yang pernah berdusta atas
namanya. Tidak boleh pula ia berbuat keji (zina) dengan istri seseorang yang
pernah menzinahi istrinya. Bahkan kalau ada orang yang memaksanya untuk
melakukan liwath (homo sex), tidak boleh baginya untuk membalas dengan
memaksanya untuk melakukan perbuatan yang sama, karena hal ini merupakan
pelanggaran terhadap hak Allah. Seandainya orang Nashrani mencela Nabi kita,
kita tidak boleh mencela Al-Masih (‘Isa ‘alaihis-salaam). Demikian pula
seandainya orang-orang Rafidlah mengkafirkan Abu Bakar dan ‘Umar, tidak boleh
bagi kita untuk mengkafirkan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum ajma’iin” (Minhajus-Sunnah,
5/244).
Pengkafiran itu
dijatuhkan berdasarkan nash Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’; bukan dengan
perasaan, emosi, atau sentimen kelompok. Jika demikian, apakah ada nash yang
menyatakan korupsi termasuk kufur akbar? Jawabnya: Tidak ada. Apakah ada nash
yang menyatakan koruptor termasuk orang kafir lagi murtad, keluar dari agama
Islam? Jawabnya: Tidak.
Mari kita perhatikan nash berikut:
حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ، حَدَّثَنَا
وَاصِلٌ الْأَحْدَبُ، عَنِ الْمَعْرُورِ بْنِ سُوَيْدٍ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" أَتَانِي آتٍ مِنْ رَبِّي فَأَخْبَرَنِي أَوْ قَالَ بَشَّرَنِي أَنَّهُ
مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ،
قُلْتُ: وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ، قَالَ: وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ "
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin
ismaa’iil: Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin maimuun: Telah
menceritakan kepada kami Waashil Al-Ahdats, dari Al-Ma’ruur bin Suwaid, dari
Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Telah datang kepadaku malaikat utusan Rabbku,
lalu ia mengkhabarkan kepadaku – atau: ia memberikan berita gembira untukku –
bahwasannya barangsiapa yang meninggal dari kalangan umatku yang tidak menyekutukan
Allah dengan sesuatupun niscaya akan masuk surga”. Aku (Abu Dzarr) berkata:
“Meskipun ia pernah berzina dan mencuri?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: “Ya, walau ia pernah berzina dan mencuri?” (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 1236).
Mencuri dan korupsi itu
pada hakekatnya sama, yaitu mengambil harta yang bukan haknya. Seandainya
perbuatan itu termasuk kufur akbar, niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam akan menafikkan surga pada pelaku perbuatan tersebut.
أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ
سَعِيدٍ، قال: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ
الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ، عَنْ أَبِي
عَمْرَةَ، عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ، قال: مَاتَ رَجُلٌ بِخَيْبَرَ، فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " صَلُّوا عَلَى
صَاحِبِكُمْ إِنَّهُ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ "، فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ
فَوَجَدْنَا فِيهِ خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ مَا يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidullah
bin Sa’iid, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid, dari
Yahyaa bin Sa’iid Al-Andhaariy, dari Muhammad bin Yahyaa bin Habbaan, dari Abu
‘Amrah, dari Zaid bin Khaalid, ia berkata: “Seseorang meninggal di Khaibar.
Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalatilah shahabat
kalian ini. Sesungguhnya ia telah berbuat ghuluul di jalan Allah”. Maka kami
pun memeriksa perbekalan yang ia bawa dan kami dapati padanya batu mulia dari
perhiasan orang-orang Yahudi yang tidak mencapai dua dirham (Diriwayatkan oleh
An-Nasaa’iy no. 1959; dilemahkan oleh Al-Albaaniy dalam Dla’iif Sunan
An-Nasaa’iy hal. 66-67, namun dihasankan oleh Al-Arna’uth dalam takhriij Sunan
Abi Daawud 4/344).
Para ulama berhujjah dengan hadits di atas
bahwa seorang imam disyari’atkan untuk tidak menshalatkan jenazah orang muslim
yang fasiq dan menyuruh orang lain untuk menshalatkannya sebagai peringatan
untuk menjauhi perbuatan yang dilakukan orang tersebut. Al-Imaam Ahmad
rahimahullah berkata:
ما نعلم أن
النبي صلى الله عليه وسلم ترك الصلاة على أحد إلا على الغال وقاتل نفسه
“Kami tidak mengetahui bahwa Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam meninggalkan untuk menyalati seseorang kecuali orang yang
berbuat ghuluul dan bunuh diri” (Al-Kabaair, hal. 56).
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata:
ولا نكفر أحدا
من أهل القبلة بذنب ما لم يستحله، ولا نقول: لا يض مع الإيمان ذنب لمن عمله
“Dan kami tidak
mengkafirkan seorang pun dari ahli kiblat dengan sebab perbuatan dosa selama ia
tidak menghalalkannya. Dan kami pun tidak mengatakan: perbuatan dosa tidak
membahayakan keimanan pelakunya” (Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah, hal. 21).
وأهل الكبائر من
أمة محمد صلى الله عليه وسلم في النار لا يخلدون ، إذا ماتوا وهم موحدون ، وإن لم
يكونوا تائبين ، بعد أن لقوا الله عارفين. وهم في مشيئته وحكمه ، إن شاء غفر لهم
وعفا عنهم بفضله ، كما ذكر عز وجل في كتابه: ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء ( النساء:
48 و 116 ) وإن شاء عذبهم في النار بعدله ، ثم يخرجهم منها برحمته وشفاعة الشافعين
من أهل طاعته ، ثم يبعثهم إلى جنته. وذلك بأن الله تعالى تولى أهل معرفته ، ولم
يجعلهم في الدارين كأهل نكرته
“Dan
para pelaku dosa besar dari umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada
di neraka namun tidak kekal di dalamnya apabila mereka meninggal dalam keadaan
mentauhidkan Allah - meski belum sempat bertaubat – pasca mereka menghadap
Allah dan mengakui dosa-dosa yang mereka perbuat. Mereka berada dalam kehendak
dan hukum Allah. Apabila berkehendak, Allah akan mengampuni mereka dan
memaafkannya dengan karunia-Nya, sebagaimana disebutkan Allah ‘azza wa jalla
dalam Kitab-Nya: ‘Dan Dia mengampuni apa (dosa) selain (syirik) itu bagi siapa
saja yang Ia kehendaki” (QS. An-Nisaa’: 48 & 116). Dan apabila berkehendak, Allah
akan mengadzabnya di neraka dengan keadilan-Nya, kemudian mengeluarkan mereka
darinya dengan rahmat-Nya dan syafa’at orang-orang yang dapat memberi syafa’at
dari kalangan orang-orang mukmin. Kemudian Allah masukkan mereka ke surga-Nya.
Hal itu dikarenakan Allah ta’ala adalah Penolong bagi hamba-Nya yang muslim,
dan Allah tidak menjadikan mereka di dunia dan di akhirat hidup sengsara seperti
orang-orang yang ingkar (kepada-Nya)” (idem, hal. 22-23).
Ash-Shaabuuniy rahimahullah berkata:
ويعتقد أهل
السنة أن المؤمن وإن أذنب ذنوباً كثيراً، صغائر وكبائر، فإنه لا يكفر بها، وإن خرج
عن الدنيا غير تائب منها، ومات على التوحيد، والإخلاص فأمره إلى الله
“Ahlus-Sunnah berkeyakinan bahwa seorang
mukmin meski ia banyak berbuat dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil, maka ia
tidaklah dikafirkan dengannya. Seandainya ia meninggal dunia belum bertaubat
dari dosa tersebut, dan ia meninggal di atas tauhid, maka perkaranya di akhirat
diserahkan kepada Allah (apakah ia akan mengadzabnya ataukah akan
mengampuninya)” (‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 276).
An-Nawawiy rahimahullah
setelah menjelaskan hadits ‘barangsiapa berdusta atas namanya dengan sengaja, maka
persiapkanlah tempat duduknya di neraka’, berkata:
ثُمَّ مَعْنَى
الْحَدِيث: أَنَّ هَذَا جَزَاؤُهُ وَقَدْ يُجَازَى بِهِ ، وَقَدْ يَعْفُو اللَّهُ
الْكَرِيمُ عَنْهُ وَلَا يَقْطَعُ عَلَيْهِ بِدُخُولِ النَّار ، وَهَكَذَا سَبِيل
كُلّ مَا جَاءَ مِنْ الْوَعِيد بِالنَّارِ لِأَصْحَابِ الْكَبَائِر غَيْر الْكُفْر
، فَكُلّهَا يُقَال فِيهَا هَذَا جَزَاؤُهُ وَقَدْ يُجَازَى وَقَدْ يُعْفَى عَنْهُ
، ثُمَّ إِنْ جُوزِيَ وَأُدْخِلَ النَّارَ فَلَا يَخْلُدُ فِيهَا ؛ بَلْ لَا بُدَّ
مِنْ خُرُوجه مِنْهَا بِفَضْلِ اللَّه تَعَالَى وَرَحْمَتِهِ وَلَا يَخْلُدُ فِي
النَّار أَحَدٌ مَاتَ عَلَى التَّوْحِيد. وَهَذِهِ قَاعِدَة مُتَّفَق عَلَيْهَا
عِنْد أَهْل السُّنَّة
“Makna hadits tersebut:
Hal ini merupakan balasan bagi orang itu. Bisa jadi ia memang dibalas (siksaan)
dengannya, dan boleh jadi Allah Yang Maha Pemurah akan memaafkannya. Tidak
boleh dipastikan baginya akan masuk neraka. Demikianlah pemahaman yang benar
tentang ancaman neraka bagi para pelaku dosa besar yang bukan termasuk katagori
kekufuran. Semuanya itu hendaknya dikatakan dalam permasalahan tersebut (pelaku
dosa besar): itulah balasannya (ancaman neraka) yang bisa jadi ia akan
benar-benar dibalas dan bisa jadi ia dimaafkan. Kemudian jika ia dibalas dan
dimasukkan ke dalam neraka, maka ia tidak kekal di dalamnya. Akan tetapi, ia
pasti akan keluar darinya dengan karunia Allah ta’ala dan rahmat-Nya. Tidak ada
yang kekal di dalam neraka orang yang meninggal di atas ketauhidan. Ini adalah
kaedah yang disepakati menurut Ahlus-Sunnah” (Syarh Shahiih Muslim, 1/4).
Di akhir tulisan ini,
akan saya tutup dengan hadits:
وحَدَّثَنَا
يَحْيَي بْنُ يَحْيَي التَّمِيمِيُّ، وَيَحْيَي بْنُ أَيُّوبَ، وَقُتَيْبَةُ بْنُ
سَعِيدٍ، وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ جَمِيعًا، عَنْ إِسْمَاعِيل بْنِ جَعْفَرٍ، قَالَ
يَحْيَي بْنُ يَحْيَي: أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيل بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ
لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ،
وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ "
Dan telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Yahyaa At-Tamiimiy, Yahyaa bin Ayyuub, Qutaibah bin Sa’iid, dan ‘Aliy bin Hujr,
semuanya dari Ismaa’iil bin Ja’far - Telah berkata Yahyaa bin Yahyaa: Telah
mengkhabarkan kepada kami Ismaa’iil bin Ja’far - , dari ‘Abdullah bin Diinaar,
bahwasannya ia mendengar Ibnu ‘Umar berkata: Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya:
‘Wahai kafir !’, maka sesungguhnya kalimat itu kembali kepada salah satu dari
keduanya. Seandainya saudaranya itu seperti yang dikatakannya, (maka kekafiran
itu ada padanya), namun jika tidak demikian, maka perkataan itu kembali pada
pengucapnya” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 60).
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Posting Komentar untuk "Apakah Korupsi Termasuk Sebab Kekafiran?"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.