Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Mengambil Upah dari Adzan

‘Utsmaan bin Abil-‘Aash radliyallaahu ‘anhu pernah berkata:

إن من آخر ما عهد إلي رسول الله صلى الله عليه وسلم أن اتخذ مؤذنا لا يأخذ على أذانه أجرا

“Sesungguhnya termasuk hal yang terakhir diamanatkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepadaku adalah mengangkat seorang muadzdzin yang tidak mengambil upah dari adzannya tersebut”.

Takhrij Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidziy(1) dalam As-Sunan no. 209, Al-Humaidiy(2) dalam Al-Musnad no. 906, Ibnu Abi Syaibah(3) dalam Al-Mushannaf 1/228, Ibnu Maajah(4) dalam As-Sunan no. 714, Ibnu Hazm(5) dalam Al-Muhallaa 3/145 no. 327, Ath-Thabaraaniy(6) dalam Al-Kabiir 9/47 no. 8376 & no. 8378, dan Abu Nu’aim(7) dalam Al-Hilyah 8/134; dari tiga jalan (Abu Zubaid ‘Abtsar bin Al-Qaasim, Hafsh bin Ghiyaats, Fudlail bin ‘Iyaadl), semuanya dari Asy’ats, dari Al-Hasan, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash.

Sanad hadits ini lemah karena dua ‘illat, yaitu:

1. Asy’ats.

Para ulama berselisih pendapat tentang Asy’ats ini. Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dalam Syarh Sunan At-Tirmidziy 1/409 (Mathba’ah Mushthafa Al-Baabiy Al-Halabiy) dan Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahumallah dalam Irwaaul-Ghaliil 5/316 no. 1492 (Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 1/1399 H) berpendapat bahwa ia adalah Ibnu ‘Abdil-Malik Al-Humraaniy, seorang tsiqah.(8) Mereka berdua menyandarkan pada sanad riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa.

Namun pendapat dan penyandaran ini layak mendapatkan kritik, sebab dalam riwayat yang dibawakan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir (no. 8378) dan Abu Nu’aim (8/134) jelas disebutkan Asy’ats bin Sawwaar, seorang yang dla’iif.(9) Di sisi lain, Ibnu Hazm adalah seorang ulama yang sedikit pengetahuannya di bidang ini dan banyak melakukan kekeliruan dibandingkan Ath-Thabaraaniy dan Abu Nu’aim. Al-Mizziy saat membawakan biografi Asy’ats bin Sawwaar dalam Tahdziibul-Kamaal menyebutkan para perawi yang meriwayatkan darinya yaitu: Abu Zubaid ‘Abtsar bin Al-Qaasim, Hafsh bin Ghiyaats, Fudlail bin ‘Iyaadl – dimana ketiga orang ini meriwayatkan hadits tersebut darinya. Khusus Abu Zubaid, Al-Mizziy menisbatkan periwayatannya pada At-Tirmidziy - dan memang Abu Zubaid meriwayatkan hadits ini dari ‘Asy’ats dalam Sunan At-Tirmidziy.

Ibnu ‘Abdil-Haadiy saat membawakan riwayat At-Tirmidziy berkata: “Al-Asy’ats, ia adalah Ibnu Sawwaar, telah diperbincangkan/dikritik lebih dari seorang ulama/ahli hadits” (lihat Tanqiihut-Tahqiq, 1/86-87 no. 582, tahqiq: Saamiy bin Muhammad bin Jaadillah; Adlwaaus-Salaf, Cet. 1/1428 H).

Dan inilah yang tepat, insya Allah.

2. ‘An’anah Al-Hasan Al-Bashriy, sedangkan ia seorang mudallis.

Akan tetapi, Al-Hasan mempunyai mutaba’ah dari:

1. Sa’iid Al-Jurairiy, dari Abul-‘Alaa’, dari Mutharrif bin ‘Abdillah.

Diriwayatkan oleh Ahmad(10) dalam Al-Musnad 4/21 & 217, Al-Haakim(11) dalam Al-Mustadrak 1/199 & 201, Al-Baihaqiy(12) dalam Al-Kabiir 1/429, An-Nasaa’iy(13) dalam As-Sunan no. 672, Ibnu Khuzaimah(14) dalam Ash-Shahiih no. 423, Ath-Thahaawiy(15) dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/128 no. 6019, Ath-Thabaraaniy(16) dalam Al-Kabiir 9/42-43 no. 8365, Abu Dawud(17) dalam As-Sunan no. 531, dan Al-Baghawiy(18) dalam Syarhus-Sunnah 2/280-281 no. 417; dari dua jalan (Hammad bin Zaid dan Hammaad bin Salamah), dari Sa’iid Al-Jurairiy, dari Abul-‘Alaa’, dari Mutharrif bin ‘Abdillah:

عن عثمان بن أبي العاص قال: قلتُ: يا رسول الله، اجعلني إمام قومي. قال: أَنتَ إمامهم، واقتد بأضعفهم، واتخذ مؤذنا لا يأخذ على أذانه أجرا

Dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash, ia berkata: “Wahai Rasulullah, jadikanlah aku sebagai imam bagi kaumku”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau adalah imam mereka. Sesuaikanlah dengan kondisi orang yang paling lemah di antara mereka (saat engkau berdiri menjadi imam). Dan angkatlah seorang muadzdzin yang tidak mengambil upah dari adzannya tersebut”.

Sanad riwayat ini shahih sesuai persyaratan Muslim.

2. Muusaa bin Thalhah.

Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah dalam Ash-Shahiih 1/420 no. 1557: Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Harb, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ya’laa dan Muhammad: Telah memberitakan kepada kami ‘Ubaid. Dan telah menceritakan kepada kami ‘Ammaar, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid. Dan telah menceritakan kepada kami Hamdaan bin ‘Aliy, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim; mereka semua (‘Ubaid, Muhammad bin ‘Ubaid, dan Abu Nu’aim) berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin ‘Utsmaan, dari Muusaa bin Thalhah, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash, ia berkata: Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لا يَأْخُذُ عَلَى الآذَانِ أَجْرًا

“…Dan angkatlah muadzdzin yang tidak mengambil upah dari adzannya tersebut”.

Sanad riwayat ini juga shahih atas persyaratan Muslim.

Hadits ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash mempunyai syaahid dari Al-Mughiirah bin Syu’bah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 20/434-435 no. 1057: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal: Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Abdirrahiim Al-Barqiy: Telah menceritakan kepada Syabaabah bin Sawwaar: Telah menceritakan kepada kami Al-Mughiirah bin Muslim, dari Al-Waliid bin Muslim, dari Sa’iid Al-Quthai’iy, dari Al-Mughiirah bin Syu’bah, ia berkata: “Aku pernah meminta kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadikanku sebagai imam bagi kaumku. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلِّ صَلاةَ أَضْعَفِ الْقَوْمِ , وَلا تَتَّخِذْ مُؤَذِّنًا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا

“Shalatlah dengan standar shalat orang yang paling lemah, dan jangan engkau mengangkat muadzdzin yang mengambil upah dari adzannya”.

Sanad riwayat ini lemah (dla’if).

‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, seorang imam tsiqah lagi masyhur. Muhammad bin ‘Abdirrahiim Al-Barqiy; ia adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin Sa’yah bin Abi Zur’ah Al-Mishriy, Abu ‘Abdillah Al-Barqiy – seorang yang tsiqah.(19) Syabaabah bin Sawwaar; ia adalah Al-Fazaariy, seorang yang tsiqah termasuk perawi Al-Bukhaariy dan Muslim.(20) Al-Mughiirah bin Muslim; ia adalah Al-Qasmaliy, Abu Salamah As-Sarraaj, seorang yang shaduuq.(21) Al-Waliid bin Muslim, seorang yang tsiqah namun banyak melakukan tadlis(22) dimana di sini ia membawakan dengan ‘an’anah. Sa’iid Al-Quthai’iy; ia adalah Ibnu Thahmaan Al-Quthai’iy – hadits-haditsnya munkar, tidak bisa dijadikan hujjah.(23)

Diriwayatkan pula oleh dan Al-Bukhaariy(24) dalam Al-Kabiir 3/486 tanpa menyebutkan Al-Waliid bin Muslim antara Al-Mughiirah bin Muslim dan Sa’iid Al-Qutha’iy. Sanad riwayat ini juga lemah karena masih berporos pada Sa’iid Al-Qutha’iy.

Namun secara keseluruhan hadits ini adalah shahih.

Fiqh Hadits

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum memberi dan menerima upah dari adzan (dan iqamat). Ada yang melarang, ada pula yang membolehkan. Berikut penjelasan mengenai perbedaan pendapat dimaksud:

Ibnul-‘Arabiy berkata: “Dan mayoritas ulama kami (Malikiyyah) berpendapat bolehnya upah/imbalan dari adzan, sedangkan Asy-Syaafi’iy dan Abu Haniifah memakruhkannya” (‘Aaridlatul-Ahwadziy, 2/12-13; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah).

Al-Khaththaabiy berkata: “Mengambil upah bagi seorang muadzdzin dari adzan yang ia lakukan adalah makruh menurut madzhab jumhur ulama. Adapun Malik bin Anas berkata: ‘Tidak mengapa dengannya dan diberi keringanan padanya’. Al-Auza’iy berkata: ‘Upah adalah dimakruhkan, namun tidak mengapa jika dengan al-ju’l (hadiah – tanpa ada perjanjian sebelumnya)’. Ashhaabur-ra’yi memakruhkannya, sedangkan Ishaaq bin Rahawaih melarangnya. Al-Hasan berkata: ‘Aku khawatir shalat yang dilakukannya menjadi tidak ikhlash karena Allah (namun karena mengharapkan upah)’. Asy-Syaafi’iy memakruhkannya dan berkata: ‘Imam tidak boleh mengupah muadzdzin kecuali dari 1/25 saham fa’i Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Karena bagian harta itu disediakan/dipergunakan untuk kemaslahatan agama. Tidak boleh mengupahnya selain bersumber dari harta tersebut” (Sunan Abi Dawud ma’a Ma’aalimis-Sunan, 1/258; Daar Ibni Hazm, Cet. 1/1418).

Sedangkan madzhab Hanabilah, Abul-Khaththaab berkata: “Tidak diperbolehkan mengambil upah dari adzan. Apabila tidak didapatkan orang yang sukarela mengumandangkannya, imam dapat mengupah dari harta baitul-maal bagi siapa saja yang mengumandangkannya/mengerjakannya” (Al-Hidaayah ‘alaa Madzhab Al-Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal hal. 75, tahqiq: Dr. ‘Abdul-Lathiif Hamiim; Ghiraas, Cet. 1/1425).

Pada asalnya, hadits yang disebutkan di muka menunjukkan tentang larangannya. Namun ada hadits lain yang menunjukkan kebolehannya, yaitu:

حدثنا محمد بن بشار ومحمد بن يحيى قالا ثنا أبو عاصم أنبأنا بن جريج أخبرني عبد العزيز بن عبد الملك بن أبي محذورة عن عبد الله بن محيريز وكان يتيما في حجر أبي محذورة بن معير حين جهزه إلى الشام فقلت لأبي محذورة أي عم إني خارج إلى الشام وإني أسأل عن تأذينك فأخبرني أن أبا محذورة قال: خرجت في نفر فكنا ببعض الطريق فأذن مؤذن رسول الله صلى الله عليه وسلم بالصلاة عند رسول الله صلى الله عليه وسلم فسمعنا صوت المؤذن ونحن عنه متنكبون فصرخنا نحكيه نهزأ به فسمع رسول الله صلى الله عليه وسلم فأرسل إلينا قوما فأقعدونا بين يديه فقال أيكم الذي سمعت صوته قد ارتفع فأشار إلى القوم كلهم وصدقوا فأرسل كلهم وحبسني وقال لي قم فأذن فقمت ولا شيء أكره إلى من رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا مما يأمرني به فقمت بين يدي رسول الله صلى الله عليه وسلم فألقى علي رسول الله التأذين هو بنفسه فقال قل الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر أشهد أن لا إله إلا الله أشهد أن لا إله إلا الله أشهد أن محمدا رسول الله اشهد أن محمدا رسول الله ثم قال لي ارفع من صوتك أشهد أن لا إله إلا الله أشهد أن لا إله إلا الله أشهد أن محمدا رسول الله أشهد أن محمدا رسول الله حي على الصلاة حي على الصلاة حي على الفلاح حي على الفلاح الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله ثم دعاني حين قضيت التأذين فأعطاني صرة فيها شيء من فضة .......

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar dan Muhammad bin Yahyaa, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim: Telah memberitakan kepada kami Ibnu Juraij: Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdil-Malik bin Abi Mahdzuurah, dari ‘Abdullah bin Muhairiiz - ia seorang anak yatim dalam pengasuhan Abu Mahdzuurah saat melepaskannya ke Syaam - ia berkata: Aku berkata kepada Abu Mahdzuurah: “Wahai paman, aku akan berangkat ke Syaam dan ingin bertanya tentang kisah adzanmu”. Maka ia mengkhabarkan kepadaku dan berkata: “Aku pernah keluar (dengan beberapa orang) dalam satu perjalanan. Saat kami berada di salah satu jalan, maka muadzdzin Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan untuk shalat di sisi beliau. Kami pun mendengarnya suara muadzdzin tersebut sementara kami berpaling menjauh darinya. Kami mengejek dan mengolok-oloknya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar olok-olok kami, lalu beliau mengutus orang kepada kami, kemudian mendudukkan kami di hadapan beliau. Beliau bersabda: “Siapa di antara kalian yang aku dengar suaranya paling kencang ?”. Maka orang-orang menunjuk ke arahku dan mereka benar. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membebaskan rekan-rekanku, namun tetap menahanku, lalu bersabda kepadaku: “Berdiri dan beradzanlah !”. Aku pun berdiri, dan aku sama sekali tidak membenci Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan perintah beliau tersebut atas diriku. Aku berdiri di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mengajariku langsung lafadh adzan. Beliau berkata: “Katakanlah: Allahu akbar 4x, asyhadu allaa ilaaha illallaah 2x, asyhadu anna muhammadar-rasuulullaah 2x”. Beliau melanjutkan: “Keraskan suaramu. asyhadu allaa ilaaha illallaah 2x, asyhadu anna muhammadar-rasuulullaah 2x, hayya ‘alash-shalaah 2x, hayya ‘alal-falaah 2x, allahu akbar 2x, laa ilaaha illallaah”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggilku setelah aku selesai mengumandangkan adzan, lalu memberiku kantong yang berisi perak….” (Sunan Ibni Maajah, no. 708).

Sanad hadits ini hasan (namun shahih dengan keseluruhan jalannya(25)).

Muhammad bin Basyaar; ia adalah Ibnu ‘Utsmaan Al-‘Abdiy Al-Bashriy, seorang perawi tsiqah yang dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim.(26)

Muhammad bin Yahyaa; ia adalah Ibnu ‘Abdillah bin Khaalid bin Faaris Adz-Dzuhliy, seorang perawi tsiqah yang dipakai Al-Bukhaariy.(27)

Abu ‘Aashim adalah Adl-Dlahhaak bin Makhlad bin Adl-Dlahhaak bin Muslim Asy-Syaibaniy, seorang tsiqah yang dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim.(28)

Ibnu Juraij; ia adalah ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Umawiy, seorang perawi tsiqah yang dipakai Al-Bukhariy dan Muslim, namun banyak men-tadlis dan meng-irsal-kan hadits.(29) Tapi di sini ia membawakan dengan lafadh tahdits sehingga tidak memudlaratkan riwayatnya.

‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdil-Malik bin Abi Mahdzuurah; tidak ada yang mentsiqahkannya kecuali Ibnu Hibbaan dimana ia telah menyebutkannya dalam ats-tsiqaat.(30) Ibnu Hajar menghukuminya dengan maqbuul.(31) Namun jama’ah perawi meriwayatkan darinya, sehingga riwayatnya adalah hasan.

‘Abdullah bin Muhairiiz; ia adalah Ibnu Janaadah bin Wahb Al-Qurasyiy, seorang tsiqah yang dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim.(32)

Hadits ini dan hadits sebelumnya harus dikompromikan. Tidak tepat bila dikatakan diperbolehkan secara mutlak mengambil upah dari adzan hanya berhujjah dengan hadits Abu Mahdzuurah, karena itu akan menafikkan larangan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat pada hadits di awal. Hadits Abu Mahdzurah di atas ada beberapa kemungkinan, dan kemungkinan yang paling nampak – wallaahu a’lam – adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam lakukan dalam rangka menjinakkan hati di awal keislaman Abu Mahdzuurah (untuk menguatkannya).

Sebaliknya, jika dikatakan bahwa mengambil upah dari adzan adalah haram secara mutlak (tanpa perincian), maka tidak mungkin beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan sesuatu yang haram hanya karena alasan menundukkan hati (ta’liiful-qalb). Perbuatan menundukkan hati itu adalah jenis perbuatan yang diperbolehkan dengan adanya tujuan (kemaslahatan).

Apabila tidak ada orang yang sukarela mengumandangkan adzan, maka boleh hukumnya mengupah orang yang ditugasi secara khusus untuk itu dengan diambilkan dari harta baitul-maal. Penegakan adzan dan iqamat merupakan salah satu kemaslahatan agama. Dari sisi muadzdzinnya, ia pun boleh menerimanya jika dengan penugasan tersebut ia tidak bisa atau terhambat dalam usaha mencari nafkah,(33) dan sebenarnya ia tidak bertujuan semata-mata mencari imbalan melalui adzan. Ini sesuai dengan kaidah yang ditetapkan sebagian ulama:

“Barangsiapa yang gerakannya terkekang karena menjalankan kepentingan orang lain, maka nafkahnya ditanggung oleh orang yang berkepentingan”.

Jika muadzdzin tersebut termasuk orang yang berkelapangan dalam rizki lalu ada orang yang memberinya upah – padahal ia tidak mengharapkannya – , hendaknya ia menolaknya dan makruh untuk menerimanya.

Namun jika muadzdzin itu menyengaja semata-mata dan berorientasi mencari kehidupan dunia melalui adzan, maka inilah yang dilarang, sama sekali tidak ada pahala padanya (bahkan dosa). Allah ta’ala berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ * أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (QS. Huud: 15).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan” (Diriwayatkan oleh jama’ah ahli hadits).(34)

Imam atau yang semisalnya(35) jika mengetahui orang yang seperti itu, maka tidak diperbolehkan untuk menugaskan (sebagai muadzdzin) dan memberikan upah kepadanya.

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.(36)

Semoga ada manfaatnya.

Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo

Footnote:

(1) Telah menceritakan kepada kami Hannaad, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Zubaid ‘Abtsar bin Al-Qaasim, dari Asy’ats, dari Al-Hasan, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash: “….(al-hadits)…”.

(2) Telah menceritakan kepada kami Al-Fudlail bin ‘Iyaadl, dari Asy’ats, dari Al-Hasan, dari ‘Utsman bin Abil-‘Aash, ia berkata: “…..(al-hadits)…”.

(3) Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Asy’ats, dari Al-Hasan, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash, ia berkata: “…..(al-hadits)….”.

(4) Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Asy’ats, dari Al-Hasan, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash, ia berkata: “…..(al-hadits)…”.

(5) Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Al-Jasuur: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Abi Dulaim: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wadldlaah: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah: Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Asy’ats – ia adalah Ibnu ‘Abdil-Malik Al-Humraaniy – , dari Al-Hasan, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash: “…..(al-hadits)….”.

(6) No. 8376: Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdil-‘Aziiz: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Ashbahaaniy. Dan telah menceritakan kepada kami ‘Ubaid bin Ghanaam: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah; mereka berdua (Ibnu Ashbahaaniy dan Ibnu Abi Syaibah) berkata: Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Asy’ats, dari Al-Hasan, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash, ia berkata: “….(al-hadits)…”.

No. 8378: Telah menceritakan kepada kami Basyiir bin Muusaa: Telah menceritakan kepada kami Al-Humaidiy. Dan telah menceritakan kepada kami Zakariyyaa bin Yahyaa As-Saajiy: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Zanbuur; mereka berdua (Al-Humaidiy dan Ibnu Zanbuur) berkata: Telah menceritakan kepada kami Fudlail bin ‘Iyaadl, dari Asy’ats bin Sawwaar, dari Al-Hasan, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash, ia berkata: “…..(al-hadits)….”.

(7) Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Al-Hasan: Telah menceritakan kepada kami Asad bin Muusaa: Telah menceritakan kepada kami Al-Humaidiy. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin ‘Aliy: Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Maulaa Bani Haasyim: Telah menceritakan kepada kami Sa’d bin Zanbuur: Telah menceritakan kepada kami Fudlail bin ‘Iyaadl, dari Asy’ats bin Sawwaar, dari Al-Hasan, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash, ia berkata: “…..(al-hadits)….”.

(8) Asy’ats bin ‘Abdil-Malik Al-Humraaniy, Abu Haani’ Al-Bashriy. Yahyaa bin Sa’iid berkata: “Asy’ats bin ‘Abdil-Malik, ia di sisiku adalah tsiqah ma’muun”. Al-Bukhaariy berkata: “Yahyaa bin Sa’iid dan Bisyr bin Al-Mufadldlal menetapkan (yaitu berhujjah dengan) Al-Asy’ats Al-Humraaniy”. Yahyaa bin Ma’iin berkata: “Tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata: “Tsiqah”. Abu Zur’ah berkata: “Shaalih”. Abu Haatim berkata: “Tidak mengapa dengannya. Ia lebih tsiqah dari Asy’ats Al-Huddaaniy, dan lebih tsabt (teguh) dari Asy’ats bin Sawwaar”. Ad-Daaruquthniy berkata: “Tsiqah”. Adz-Dzahabiy berkata: “Tsiqah”. Ibnu Hajar berkata: “Tsiqah faqiih”.

(Selengkapnya lihat: Tahdziibul-Kamaal lil-Mizziy 3/277-286 no. 531, Al-Jarh wat-Ta’dil lidz-Dzahabiy hal. 73 no. 291, Miizaanul-I’tidaal lidz-Dzahabiy 1/266 no. 1001, dan Taqriibut-Tahdziib li-Ibni Hajar hal. 150 no. 535).

(9) Asy’ats bin Sawwaar Al-Kindiy An-Najjaar Al-Kuufiy Al-Afraq. Yahyaa bin Ma’iin berkata: “Dla’iif” (namun diriwayat lain ia menstiqahkannya). Abu Zur’ah berkata: “Layyin”. An-Nasaa’iy dan Ad-Daaruquthniy berkata: “Dla’iif”. Ibnul-Mutsannaa berkata: “Tidaklah aku mendengar Yahyaa dan ‘Abdurrahmaan meriwayatkan hadits dari Asy’ats bin Sawwaar sedikitpun juga”. Al-‘Ijliy berkata: “Orang Kuffah yang dla’iif, namun ditulis haditsnya”. Ibnu Hajar berkata: “Dla’iif”.

(Selengkapnya lihat: Tahdziibul-Kamaal lil-Mizziy 3/264-270 no. 524, Ma’rifatuts-Tsiqaat lil-‘Ijliy 1/233 no. 109, Miizaanul-I’tidaal lidz-Dzahabiy 1/263-265 no. 996, dan Taqriibut-Tahdziib li-Ibni Hajar hal. 149 no. 528).

(10) 4/21 no. 16271: Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid Al-Jurairiy, dari Abul-‘Allaa’, dari Mutharrif, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash secara marfu’.

4/21 no. 16272: Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid: Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid Al-Jurairiy, dari Abul-‘Alaa’, dari Mutharrif, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash secara marfu’.

4/217 no. 17906: Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Muusaa: Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Sa’iid Al-Jurairiy, dari Abul-‘Alaa’, dari Mutharrif bin ‘Abdillah, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash secara marfu’.

(11) 1/99: Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Salmaan Al-Faqiih di Baghdaad secara qira’at terhadap ‘Abdul-Malik bin Muhammad, dan aku mendengarnya: Telah menceritakan kepada kami Sahl bin Hammaad dan Abu Rabii’ah, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Sa’iid Al-Jurairiy. Dan telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaaq Ash-Shaghghaaniy: Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan: Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah: Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Iyaas Al-Jurairiy, dari Abul-‘Alaa’, dari Mutharrif bin ‘Abdillah, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash secara marfu’.

1/201: Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Shaalih dan Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaaq Ash-Shaghghaaniy: Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan: Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Al-Jurairiy, dari Abul-‘Alaa’, dari Mutharrif bin ‘Abdillah, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash secara marfu’.

(12) Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh: Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaaq Ash-Shaghghaaniy: Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan: Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah: Telah mengkhabarkan kepadaku Al-Jurairiy, dari Abul-‘Alaa’, dari Mutharrif, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash secara marfu’.

(13) Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Sulaimaan, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Sa’iid Al-Jurairiy, dari Abul-‘Alaa’, dari Mutharrif, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash secara marfu’.

(14) Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thaahir: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr: Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Basyaar: Telah mengkhabarkan kepada kami Hisyaam bin Al-Waliid: Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad, dari Al-Jurairiy, dari Abul-‘Alaa’, dari Mutharrif bin ‘Abdillah, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash secara marfu’.

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thaahir: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu bakr: Telah menkhabarkan kepada kami Bundaar: Telah mengkhabarkan kepada kami Abun-Nu’maan: Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad: Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Jurairiy, dari Yaziid Abul-‘Alaa’, dari Mutharrif bin ‘Abdillah, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash secara marfu’.

(15) Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Syu’aib, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Hassaan, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Abu Mas’uud Sa’iid bin Iyaas Al-Jurairiy, dari Abul-‘Alaa’ Yaziid bin ‘Abdillah bin Asy-Syukhair, dari saudaranya Mutharrif bin Syukhair, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash secara marfu’.

(16) Telah menceritakan kepada kami Abu Muslim Al-Kasysyiy: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Umar Adl-Dlariir dan Sulaimaan bin Harb. Dan telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdil-‘Aziiz: Telah menceritakan kepada kami Hajjaaj bin Al-Minhaal; mereka (Abu ‘Umar Adl-Dlariir, Sulaimaan bin Harb, dan Hajjaaj bin Al-Minhaal) berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Sa’iid Al-Jurairiy, dari Abul-‘Alaa’, dari Mutharrif, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash secara marfu’.

(17) Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil: Telah menceritakan kepada kami Hammaad: Telah mengkhabarkan kepada kami kami Sa’iid Al-Jurairiy, dari Abul-‘Alaa’, dari Mutharrif bin ‘Abdillah, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash secara marfu’.

(18) Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz: Telah memberitakan kepada kami Al-Qaasim bin Ja’far: Telah memberitakan kepada kami Abu ‘Aliy Al-Lu’lu’iy: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Daawud: Telah mengkhabarkan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil: Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad: Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid Al-Jurairiy, dari Abul-‘Alaa’, dari Mutharrif bin ‘Abdillah, dari ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash secara marfu’.

(19) Lihat: Tahdziibul-Kamaal 25/503-504 no. 5358 dan Taqriibut-Tahdziib hal. 863 no. 6070.

(20) Lihat: Tahdziibut-Kamaal 12/343-349 no. 2684 dan Taqriibut-Tahdziib hal. 429 no. 2748.

(21) Lihat: Tahdziibul-Kamaal 28/395-397 no. 6142 dan Taqriibut-Tahdziib hal. 966 no. 6898.

(22) Lihat: Tahdziibul-Kamaal 31/86-99 no. 6737, Taqriibut-Tahdziib hal. 1041 no. 7506, dan Ta’riifu Ahlit-Taqdiis hal. 134 no. 127.

(23) Lihat: Miizaanul-I’tidaal 2/146 no. 3218 dan Liisaanul-Miizaan 4/60 no. 3440.

(24) Telah berkata Muhammad Abu Yahyaa, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Syabaabah, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Al-Mughiirah bin Muslim, dari Sa’iid bin Thahmaan Al-Quthai’iy, dari Al-Mughiirah bin Syu’bah secara marfu’.

(25) Lihat takhrij Syau’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij Musnad Ahmad, 24/99.

(26) Lihat: Taqriibut-Tahdziib, hal. 828 no. 5791.

(27) Lihat: Taqriibut-Tahdziib, hal. 907 no. 6427.

(28) Lihat: Taqriibut-Tahdziib, hal. 459 no. 2994.

(29) Lihat: Taqriibut-Tahdziib, hal. 624 no. 4221.

(30) Lihat: Tahdziibut-Tahdziib 6/347 no. 668.

(31) Lihat: Taqriibut-Tahdziib hal. 614 no. 4137. Namun Basyar ‘Awwaad mengkoreksinya sebagai perawi mastuur dalam At-Tahriir 2/369 no. 4109.

(32) Lihat: Taqriibut-Tahdziib, hal. 544 no. 3629.

(33) Biasanya, muadzdzin ini merangkap sebagai marbot masjid.

(34) Al-Bukhaariy no. 1 & 54 & 2529 & 3898 & 5070 & 6689 & 6953, Muslim no. 1907, Ibnul-Mubaarak dalam Az-Zuhd no. 188, Ath-Thayaalisiy no. 37, Al-Humaidiy no. 28, Ahmad 1/25 & 43, Abu Dawud no. 2201, Ibnu Maajah no. 4227, At-Tirmidziy no. 1647, Al-Bazzaar no. 257, An-Nasaa’iy 1/58 & 6/158 & 7/13 dan dalam Al-Kubraa no. 78 & 4736 & 5630, Ibnul-Jaaruud no. 64, Ibnu Khuzaimah no. 142 & 143 & 455, Ath-Thahaawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 3/96 dan dalam Syarh Musykilil-Aatsaar no. 5107-5114, Ibnu Hibbaan no. 388-399, Ad-Daaruquthniy 1/49-50 dan dalam Al-‘Ilal 2/194, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8/42, Al-Qadlaa’iy dalam Musnad Asy-Syihaab no. 1 & 2 & 1171 & 1172, Al-Baihaqiy 1/41 & 1/298 & 2/14 & 4/112 & 4/235 & 5/39 & 6/331 & 7/341, Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 2/244 & 6/153, Al-Baghawiy no. 1 & 206, serta Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq 5/265 & 44/119-120 & 46/83 & 57/290 – (dari takhrij Dr. Maahir Yaasiin Al-Fahl terhadap kitab Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam hadits no. 1).

(35) Atau pengurus DKM.

(36) Ada beberapa riwayat yang disebutkan oleh sebagian ulama tentang dilarangnya menerima upah dari adzan, namun kualitasnya dla’if (lemah), diantaranya:

حدثنا أحمد بن أبي عمران قال: ثنا عبيد الله بن محمد بن حفص بن عمر التيمي، قال: أخبرنا حماد بن سلمة عن يحيى البكاء: أن رجلا قال لابن عمر: إني أحبك في الله. فقال له ابن عمر: لكني أبغضك في الله، لأنك تبغي في أذانك أجرا

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abi ‘Imraan, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Muhammad bin Hafsh bin ‘Umar At-Taimiy, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Yahyaa bin Bakkaa’: Bahwasannya ada seorang laki-laki berkata kepada Ibnu ‘Umar: “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah”. Lalu Ibnu ‘Umar menjawab: “Namun aku membencimu karena Allah, karena engkau menginginkan upah dari adzanmu” (Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/128 no. 6020. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah 1/228 dan ‘Abdurrazzaaq no. 1825; dla’if karena berporos pada Yahyaa bin Bakkaa’ – di-dla’if-kan oleh jumhur ahli hadits).

حدثنا ابن المبارك، عن جُويبر، عن الضحاك: أنه كره أن يأخذ المؤذنُ على أذانه جُعْلًا ويقول: إنْ أُعْطيَ بغير مسألة فلا بأس

Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak, dari Juwaibir, dari Adl-Dlahhaak: Bahwasannya ia membenci seorang muadzdzin mengambil upah/imbalan dari adzannya, dan ia berkata: “Jika ia diberi tanpa memintanya, maka tidak mengapa” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/228; dla’if dikarenakan Juwaibir).

 

Ikuti terus sosial media Tim Kabel Dakwah:

Youtube: Kabel Dakwah

Twitter: Kabel Dakwah Official

Facebook: Kabel Dakwah Official

Instagram: Kabel Dakwah

Website: Kabeldakwah.com

Kami Juga melayani:

1. Jasa Pembuatan Website Wordpress / Blogger

2. Iklan Publikasi di Website Kabeldakwah.com

3. Instal Ulang Windows

4. Penjualan Theme Blogger

5. Instal Ulang Software Aplikasi

6. Pembuatan Jersey

7. Pemesanan Snack (Khusus Area Cilacap Kota)

8. Pemesanan Aplikasi Raport

9. Indexing Website

10. Privat Mengaji (Online), Dan Lain-Lain.

Hubungi Kami Di Sini

Dukung Kabeldakwah.com dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

SARAN / MASUKAN, Konfirmasi SPONSOR & DONASI hubungi: 089673617156

Kirim Sponsor dan Donasi Anda ke Rek Berikut:

BSI 7055429997 a.n. Nurul Azizah

 

KabeL DakwaH
KabeL DakwaH Owner Gudang Software Ryzen Store

Posting Komentar untuk "Hukum Mengambil Upah dari Adzan"