Benarkah Dalam Setiap Perbedaan Kita Harus Tegas Mengatakan Itu Pendapat Rojih Itu Pendapat Lemah Maka Tinggalkan Pendapat Lemah
Sebagian orang mengatakan
dengan tegas tatkala dihadapkan dengan suatu permasalahan yang terdapat
perbedaan pendapat, "itu pendapat rojih, itu pendapat lemah, maka tinggalkan
pendapat yang lemah dan ambil pendapat yang rojih" mengambil pendapat yang satu dengan menyalahkan bahkan mengingkari pendapat yang lain.
Benarkah demikian???
Berikut Sikap Ulama ahlu
al-sunnah wa al-jama’ah terhadap perselisihan pendapat para ulama.
Praktek yang telah
diamalkan oleh ahlu al-Sunnah dari dulu sampai sekarang, dalam menyikapi
perbedaan, mereka memiliki dua sikap resmi ketika terjadi khilafiyah di antara
mereka;
Pertama: Dalam permasalahan
yang tidak ada dalil yang tegas dari al-Qur’an, hadits, ijma’, atau qiyas
jali. Atau hadits pendukungnya masih diperselisihkan validitasnya atau
multitafsir yang perlu adanya ijtihad dan penelitian mendalam tentang hukumnya.
Maka sikap mereka adalah
memilih pendapat yang kuat untuk diamalkan, tanpa harus mencela pendapat yang
berseberangan.
Ibnu Taimiyah Rahimahullah
berkata:
إنَّ مِثْلَ هَذِهِ الْمَسَائِلِ الِاجْتِهَادِيَّةِ لَا تُنْكَرُ بِالْيَدِ
وَلَيْسَ لِأَحَدِ أَنْ يُلْزِمَ النَّاسَ بِاتِّبَاعِهِ فِيهَا؛ وَلَكِنْ
يَتَكَلَّمُ فِيهَا بِالْحُجَجِ الْعِلْمِيَّةِ فَمَنْ تَبَيَّنَ لَهُ صِحَّةُ
أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ تَبِعَهُ وَمَنْ قَلَّدَ أَهْلَ الْقَوْلِ الْآخَرِ فَلَا
إنْكَارَ عَلَيْهِ
“Masalah ijtihadiyah
seperti ini tidak boleh diingkari dengan tangan. Dan tidak boleh seorang pun
memaksa untuk mengikuti pendapatnya. Akan
tetapi yang dilakukan adalah sampaikanlah hujjah dengan alasan ilmiah. Jika
telah terang salah satu dari dua pendapat yang diperselisihkan, ikutilah. Namun
untuk pendapat yang lain tidak perlu diingkari (dengan keras).” (Ibnu
Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, 30: 80)
Imam al-Nawawi rahimahullah
berkata:
“Masalah khilaf sudah terjadi di
antara para sahabat, tabi’in dan ulama sesudah mereka –radhiyallahu ‘anhum
ajma’in-. Hal seperti ini tidak perlu diingkari. Demikian mereka juga berkata
bahwa tidak boleh bagi seorang mufti dan tidak pula seorang qodhi menentang
orang yang menyelisihinya selama hal itu tidak menyelisihi dalil yang tegas,
ijma’ (kesepakatan ulama) dan qiyas jali.” (Imam al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, vol. 2,
h. 24.)
Syaikh Musthafa al-Adawi hafizhahullah berkata:
“Ada banyak permasalahan
yang para ulama berlapang dada dalam menyikapi perselisihan di dalamnya, karena
ada beberapa pendapat ulama di sana. Setiap pendapat bersandar pada dalil
yang shahih atau pada kaidah asal yang baku, atau kepada qiyas jali. Maka
dalam permasalahan yang seperti ini, tidak boleh kita menganggap orang yang
berpegang pada pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai
ahli bid’ah, atau menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan
selayaknya kita mentoleransi setiap pendapat selama bersandar pada dalil
shahih, walaupun kita menganggap pendapat yang kita pegang itu lebih tepat.” (Musṯafa al-‘Adawi, Mafatih al-Fiqhi fi al-Din
(Jeddah: Maktabah Majid ‘Asiri, 2008) vol.1, h.100.)
Pernyataan bahwa masalah khilafiyah tidak
perlu diingkari tidaklah tepat. Yang tepat kita katakan:
لا إنكار في مسائل الاجتهاد
“Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah.”
Kedua: Dalam masalah yang sudah ada nash tegas dari al-Qur’an, hadits, dan juga terdapat pendukung dari ijma’.
Maka khilafiyah dalam
masalah ini harus diingkari karena keluar dari koridor mengembalikan
permasalahan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah
berkata:
“Bagaimana mungkin
seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak boleh ada pengingkaran pada
masalah khilafiyyah, padahal ulama dari semua golongan telah sepakat
menyatakan secara tegas bahwa keputusan hakim jika menyelisihi al-Qur`an atau
Sunnah maka keputusan tersebut menjadi batal. Walaupun keputusan tadi telah
sesuai dengan pendapat sebagian ulama. Sedangkan jika dalam suatu
permasalahan tidak ada dalil tegas dari Sunnah atau ijma’ dan memang ada
ruang bagi ulama untuk berijtihad dalam masalah ini, maka orang yang
mengamalkannya tidak boleh diingkari. Baik dia seorang mujtahid
maupun muqallid”. (Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, vol. 3, h. 224.)
Contoh Masalah Khilafiyah
Masalah khilafiyah yang
sudah ada nash tegas di dalamnya yang masuk dalam kategori Kedua di atas yang
jelas menyelisihi dalil dan patut diingkari seperti:
1. Mengingkari
sifat-sifat Allah yang Allah telah memujinya sendiri dan telah ditetapkan pula
oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pengingkaran semacam ini bisa jadi
dalam bentuk takwil yaitu memalingkan dari makna sebenarnya yang tidak sejalan
dengan Al Qur’an dan hadits.
2. Mengingkari
kejadian-kejadian di masa mendatang seperti tanda-tanda kiamat yang telah
dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya mengingkari
munculnya Dajjal dan turunnya Nabi Isa di akhir zaman.
3. Bolehnya memanfaatkan
riba bank padahal riba telah jelas diharamkan.
4. Membolehkan nikah
tanpa wali.
5. Membolehkan alat musik
padahal termasuk kemungkaran sebagai disebutkan dalam dalil Al Qur’an dan
hadits. Bahkan para ulama empat madzhab telah sepakat akan haramnya. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
وَلَمْ يَذْكُرْ أَحَدٌ مِنْ أَتْبَاعِ الْأَئِمَّةِ فِي آلَاتِ اللَّهْوِ
نِزَاعًا
“Tidak ada satu pun dari
empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.”
(Majmu’ Al Fatawa, 11: 576-577)
6. Menyatakan tidak
dianjurkan shalat istisqo’ (minta hujan) padahal telah terdapat dalil dalam
Bukhari dan Muslim, juga yang lainnya yang menunjukkan perbuatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallamm dan para sahabatnya untuk melaksanakan shalat
tersebut.
7. Pendapat yang
menyatakan tidak dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal setelah
melaksanakan puasa Ramadhan.
Masalah yang masih masuk
ranah ijtihad yang boleh kita toleran dalam masalah ini seperti:
1. Perselisihan mengenai
apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah di dunia.
2. Perselisihan apakah si
mayit bisa mendengar pembicaraan orang yang masih hidup ataukah tidak.
3. Batalnya wudhu karena
menyentuh kemaluan, menyentuh wanita atau sebab makan daging unta.
4. Qunut shubuh yang
dibacakan setiap harinya.
5. Qunut witir apakah
dibaca sebelum ruku’ atau sesudahnya.
Syaikh Sholeh Al Munajjid
berkata, “Masalah ini dan semisalnya yang tidak ada nash tegas di dalamnya yang
menjelaskan hukumnya, maka tidak perlu diingkari dengan keras jika ada yang
menyelisihi selama ia mengikuti salah satu ulama terkemuka dan ia yakin itu
benar. Akan tetapi tidak boleh seorang pun mengambil suatu pendapat ulama
seenak hawa nafsunya saja. Karena jika melakukan seperti ini, ia berarti telah
mengumpulkan seluruh kejelekan.
Jika dikatakan tidak
perlu mengingkari dengan keras pada orang yang menyelisihi dalam masalah
ijtihadiyah, bukan berarti masalah tersebut tidak perlu dibahas atau tidak
perlu dijelaskan manakah pendapat yang lebih kuat (rojih). Bahkan ulama dahulu
hingga saat ini telah membahas masalah ijtihadiyah semacam ini. Jika telah
jelas manakah pendapat yang benar, maka hendaklah kita rujuk padanya.” (Fatawa
Al Islam Sual wal Jawab no. 70491)
Kesimpulan:
Jadi dalam khilafiyah
furu' / dzanni sah-sah saja berbeda pendapat dan TIDAK BOLEH menuduh salah
satunya sesat.
Ini pendapat semua ulama
besar Ahlus Sunnah.
Nasehat Bagi Orang Yang
Berilmu Yang Banyak Jadi Panutan
Imam Malik rahimahullahu
ta'ala berkata:
لَيْسَ لِلْفَقِيهِ أَنْ يَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مَذْهَبِهِ
“Tidak boleh bagi seorang
faqih (yang berilmu) mengajak manusia pada madzhabnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 30:
80). Namun ajaklah ummat untuk mengikuti dalil.
Wallahu a'lam bisshowaab…
Posting Komentar untuk "Benarkah Dalam Setiap Perbedaan Kita Harus Tegas Mengatakan Itu Pendapat Rojih Itu Pendapat Lemah Maka Tinggalkan Pendapat Lemah"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.