Sholat dan Tata Caranya (Lengkap) Sesuai Sunnah
Daftar Isi:
3. Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat
6. Waktu Terlarang untuk Shalat
7. Meninggalkan Shalat karena Ketiduran atau Kelupaan.
10. Shalat Berjama’ah Bagi Wanita
11. Kaifiyyah (Tata Cara) Shalat
Shalat adalah salah satu ibadah
’amaliy terbesar yang harus dilakukan Muslim yang pernah mengikrarkan dua
kalimat syahadat. Ia merupakan tiang agama. Namun sayangnya, banyak diantara
kaum muslimin yang menyia-nyiakannya. Ini adalah musibah bagi dirinya dan juga
kaum muslimin seluruhnya.
Diantara yang telah mengerjakannya (dan kita ucapkan alhamdulillah atas hal ini), masih banyak yang tidak mengerti akan hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat. Bagaimana cara yang benar dalam shalat. Oleh karena itu, di sini saya akan mencoba meringkaskannya tentang bahasan ini.... Semoga Allah ta’ala menjadikannya satu kemanfaatan bagi diri saya (di dunia dan di akhirat), juga bagi kaum muslimin semua.
1. Makna Shalat
Shalat secara bahasa
(etimologis) maknanya adalah doa(1). Adapun secara syari’at (terminologis)
maknanya adalah perkataan dan perbuatan yang dimulai dari takbir
(takbiratul-ihram) dan diakhiri dengan salam, yang dibarengi dengan niat.
2. Dalil Pensyari’atan
Shalat
Allah ta’ala berfirman:
قُل لّعِبَادِيَ
الّذِينَ آمَنُواْ يُقِيمُواْ الصّلاَةَ وَيُنْفِقُواْ مِمّا رَزَقْنَاهُمْ سِرّاً
وَعَلانِيَةً مّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ يَوْمٌ لاّ بَيْعٌ فِيهِ وَلاَ خِلاَلٌ
Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah
beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki
yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum
datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan” (QS.
Ibrahim: 31).
3. Hukum Orang yang
Meninggalkan Shalat
Orang yang meninggalkan
shalat karena mengingkari kewajibannya, maka dia telah kafir dan keluar dari
agama Islam. Kaum muslimin (ulama) telah sepakat mengenai hal itu. Akan tetapi
mereka berselisih pendapat tentang hukum orang meninggalkan shalat karena malas
atau bisikan hawa nafsu (tanpa mengingkari kewajibannya). Sebagian ulama
mengkafirkan, dan sebagian lagi tidak mengkafirkan (kufur ashghar). Yang rajih
(kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan tidak kafir.(2) Akan tetapi
bukan berarti hal ini dijadikan alasan untuk meremehkan kewajiban shalat.
Bahkan orang yang meninggalkan shalat (karena malas dan dorongan hawa nafsu),
maka ia telah berbuat salah satu dosa besar yang paling besar yang hampir
menjerumuskannya pada pintu kekafiran. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ
الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya batas
antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat” (HR.
Muslim no. 82).
4. Jumlah Shalat Fardlu
Jumlah shalat fardlu
dalam sehari semalam adalah lima kali shalat.
عن طلحة بن عبيد
الله يقول: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرَ الرَّأْسِ يُسْمَعُ دَوِيُّ صَوْتِهِ وَلَا يُفْقَهُ
مَا يَقُولُ حَتَّى دَنَا، فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ الْإِسْلَامِ؟ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي
الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ، فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: لَا إِلَّا
أَنْ تَطَوَّعَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
وَصِيَامُ رَمَضَانَ، قَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ؟ قَالَ: لَا إِلَّا أَنْ
تَطَوَّعَ
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah ia berkata:
“Telah datang seorang laki-laki penduduk Nejed kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi
tidak bisa dipahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia
bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
‘Shalat lima waktu dalam sehari semalam’. Ia bertanya lagi: ‘Adakah
saya punya kewajiban shalat lainnya?’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: ‘Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja” (HR. Al-Bukhari
no. 46).
Ia adalah shubuh (2
raka’at), dhuhur (4 raka’at), ‘asar (4 raka’at), maghrib (3 raka’at), dan
‘isya’ (4 raka’at).
5. Waktu-Waktu Shalat
Allah ta’ala berfirman:
أَقِمِ
الصّلاَةَ لِدُلُوكِ الشّمْسِ إِلَىَ غَسَقِ الْلّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنّ
قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوداً
“Dirikanlah shalat dari
sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat)
subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)” (QS. Al-Israa’:
78).
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
وَقْتُ
الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ، وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ، مَا لَمْ
يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ الْعَصْرِ، مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ، وَوَقْتُ
صَلَاةِ الْمَغْرِبِ، مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ
إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الأَوْسَطِ، وَوَقْتُ صَلَاةِ الصُّبْحِ، مِنْ طُلُوعِ
الْفَجْرِ، مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ
“Waktu dhuhur jika
matahari telah tergelincir sampai bayangan seseorang sama tinggi dengan
seseorang itu selama belum masuk waktu ‘ashar. Waktu ‘ashar sampai matahari
berwarna kuning. Waktu shalat maghrib selama sinar matahari belum hilang. Waktu
shalat ‘isya’ sampai tengah malam. Waktu shalat shubuh mulai terbitnya fajar
(shadiq) sampai matahari belum terbit” (HR. Muslim no. 612).
Perinciannya adalah
sebagai berikut:
a. Waktu Shubuh, dimulai
dari terbitnya fajar shadiq sampai sebelum matahari terbit.
b. Waktu Dhuhur, dimulai
saat matahari telah tergelincir (bayangan seseorang telah nampak sesaat setelah
matahari tepat di atas kepala) sampai panjang bayangan seseorang sama dengannya
tinggi badannya.
c. Waktu ‘Ashar, dimulai
saat panjang bayangan seseorang sama dengan tinggi badannya sampai matahari
berwarna kuning.
d. Waktu Maghrib, dimulai
sesaat setelah matahari tenggelam sampai dengan sinar lembayung merah di ufuk
barat habis.
e. Waktu ‘Isya’, dimulai
setelah sinar lembayung merah di ufuk barat habis sampai dengan tengah malam
tiba.
6. Waktu Terlarang untuk
Shalat
Dari ‘Amru bin Abasah
radliyallaahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ia pernah berkata kepada Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Beritahukanlah kepadaku sesuatu tentang shalat”.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلِّ صَلَاةَ
الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ، عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، حَتَّى
تَرْتَفِعَ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ،
وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ، ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ
مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّ
أَقْصِرْ، عَنِ الصَّلَاةِ فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ، فَإِذَا
أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى
تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ، عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ،
فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا
الْكُفَّارُ
“Lakukanlah shalat
Shubuh, kemudian berhentilah melakukan shalat lain, hingga terbit matahari,
hingga matahari meninggi. Sesungguhnya matahari itu terbit di antara sepasang
tanduk setan. Waktu itulah orang-orang kafir bersujud kepadanya. Kemudian
shalatlah karena shalat pada saat itu disaksikan oleh para malaikat hingga
bayang-bayang tembok tegak. Kemudian berhentilah melakukan shalat lain, karena
kala itu neraka Jahannam dinyalakan. Apabila matahari sudah tergelincir,
shalatlah hingga datang waktu Ashar. Kemudian berhentilah melakukan shalat
hingga matahari tenggelam. Karena matahari tenggelam di antara sepasang tanduk
setan, dan ketika itulah orang-orang kafir bersujud kepadanya” (HR. Muslim no.
832).
Perincian waktu terlarang
untuk shalat adalah sebagai berikut:
a. Setelah shalat Shubuh
sampai terbit matahari.
b. Ketika terbit matahari
sampai matahari meninggi setinggi satu tombak (dimulainya waktu Dluha).
c. Ketika matahari tepat
di atas kepala (pertengahan siang) sampai tergelincir (zawal – masuk waktu
Dhuhur).
d. Setelah shalat Ashar
sampai terbenam matahari.
e. Ketika matahari mulai
tenggelam sampai betul-betul tenggelam (masuk waktu Maghrib).
Kelima waktu di atas
adalah diharamkan bagi setiap muslim untuk melakukan shalat sunnah mutlak.(3) Akan
tetapi para ulama berbeda pendapat tentang dilakukannya shalat sunnah dengan
sebab-sebab tertentu (contoh: shalat tahiyyatul-masjid, shalat sunnah wudlu,
shalat kusuf (gerhana), dan lain-lain) yang dilakukan pada 5 waktu terlarang
tersebut. Yang lebih rajih (kuat) insya allah adalah diperbolehkan – wallahu
a’lam.(4)
7. Meninggalkan Shalat
karena Ketiduran atau Kelupaan.
Jika seseorang
meninggalkan shalat tidak sengaja karena ketiduran atau kelupaan, hendaknya ia
segera mengerjakannya begitu ia teringat, sebagaimana perintah Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ نَسِيَ
صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ
“Barangsiapa yang tidak
mengerjakan shalat karena lupa, maka hendaknya ia mengerjakan shalat tersebut
ketika ia teringat dengannya. Tidak ada kaffarat lain selain itu” (HR.
Al-Bukhari no. 597 dan Muslim no. 684).
8. Syarat sahnya shalat:
a. Islam
b. Berakal
c. Tamyiz (mampu
membedakan antara baik dan buruk
d. Suci dari hadats besar
dan hadats kecil.
e. Suci badan, pakaian,
dan tempat shalat.
f. Menutup aurat (bagi
wanita seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan).
g. Dikerjakan pada
waktunya.
h. Menghadap kiblat.
i. Niat
9. Rukun-Rukun Shalat:
a. Berdiri jika mampu.
b. Takbiratul-ihram.
c. Membaca Al-Fatihah.
d. Rukuk.
e. I’tidak setelah rukuk.
f. Sujud pada tujuh
anggota tubuh.
g. Bangkit dari sujud.
h. Duduk antara dua
sujud.
i. Thuma’ninah pada
seluruh gerakan.
j. Tertib pada seluruh
pelaksanaan rukun-rukun shalat.
k. Tasyahud akhir.
l. Duduk (pada tasyahud
akhir).
m. Bershalawat pada Nabi
shallallaahu ’alaihi wa sallam.
n. Salam.
10. Shalat Berjama’ah Bagi
Wanita
Para ulama sepakat bahwa
kaum wanita tidak wajib mengerjakan shalat berjama’ah, akan tetapi syari’at
tetap membenarkan mereka shalat berjama’ah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
صَلَاةُ
الْجَمَاعَةِ، أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ، بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjama’ah
duapuluh tujuh derajat lebih utama daripada shalat sendirian” (HR. Al-Bukhari no. 645 dan Muslim no. 650).
Posisi imam seorang wanita yang mengimami
wanita lainnya adalah di tengah-tengah shaff pertama.
عَنْ رِيطَةَ
الْحَنَفِيَّةِ أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْهُنَّ، وَقَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِي صَلاةٍ
مَكْتُوبَةٍ
Dari Riithah Al-Hanafiyyah: “Bahwasannya
‘Aisyah pernah mengimami mereka dan ia berdiri di tengah mereka (barisan
pertama) dalam shalat fardlu” (Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam
Al-Mushannaf no. 5086, Ad-Daruquthni 1/404, dan Baihaqi 3/131; shahih
bi-syawahidihi).
Rumah adalah Tempat Shalat yang Paling Baik
Bagi Wanita
عَنِ ابْنِ
عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا
تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia
berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah
kalian melarang wanita-wanita kalian pergi ke masjid, akan tetapi rumah-rumah
mereka lebih baik bagi mereka” (HR. Abu Dawud no. 567, Ibnu Khuzaimah no. 1683,
Al-Hakim no. 755 dan yang lainnya; shahih lighairihi).
Seorang wanita boleh
mengimami sesama wanita atau anak kecil yang belum baligh. Wanita tidak boleh
menjadi imam bagi laki-laki.
11. Kaifiyyah (Tata Cara)
Shalat
a. Niat
Tidak disyari’atkan
mengucapkan/melafadhkan niat, sebab hal itu tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, para shahabat, dan para ulama
setelahnya (termasuk imam empat).(5)
b. Menghadap Sutrah
(Pembatas dalam Shalat).
Sutrah adalah sesuatu
yang digunakan sebagai pembatas shalat yang diletakkan di depan orang shalat.
Hukum menghadap sutrah
ini adalah wajib bagi shalat munfarid (sendirian) dan bagi imam.(6) Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لا تُصَلِّ إِلا
إِلَى سُتْرَةٍ، وَلا تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى
فَلْتُقَاتِلْهُ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ
“Janganlah engkau shalat kecuali menghadap
sutrah (pembatas). Dan jangan engkau biarkan seorangpun lewat di hadapanmu (ketika engkau
shalat). Jika ia enggan, maka perangilah ia, sesungguhnya ia bersama dengan
qarin (syaithan)” (HR. Ibnu Khuzaimah
no. 800; shahih).
وَقَالَ ابن
مَسعود: أَربَع منَ الخلَفَاء: أن يصلي الرّجل إلى غير سترة … أو يسمع المنادي ثم
لا يجيبه
Dan Ibnu Mas’ud berkata: “Empat hal dari
kemunkaran yaitu: Seseorang melakukan shalat tidak menghadap sutrah... atau
mendengar panggilan (adzan) lalu tidak menjawabnya” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/61 dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 2/285; shahih).
Tinggi sutrah minimal
seukuran bagian belakang pelana kuda atau kira-kira dua pertiga sampai satu
hasta, berdasarkan hadits:
إِذَا قَامَ
أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ، إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ
آخِرَةِ الرَّحْلِ
“Jika salah seorang di
antara kalian berdiri untuk melaksanakan shalat, sesungguhnya dirinya terbatasi
jika di depannya terdapat seukuran bagian pelana kendaraan tunggangan/kuda” (HR.
Muslim no. 510).
Adapun jarak antara
tempat berdiri shalat dengan sutrah adalah sepanjang tiga hasta, berdasarkan
hadits:
... ثُمَّ
صَلَّى وَجَعَلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِدَارِ نَحْوًا مِنْ ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ
“...Kemudian beliau
shalat dimana jarak antara beliau dan dinding (sebagai sutrah – Abul-Jauzaa’
(Pent.)) adalah sekitar tiga hasta” (HR. An-Nasa’i
no. 749 dan Ahmad 2/138; shahih).
c. Berdiri jika mampu
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلِّ قَائِمًا،
فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah sambil
berdiri. Bila tidak sanggup, maka shalatlah sambil duduk. Bila tidak sanggup
juga, shalatlah sambil berbaring” (HR. Al-Bukhari
no. 1117, Abu Dawud no. 939, dan At-Tirmidzi no. 369).
Seluruh ulama sepakat
(ijma’) bahwa orang yang sehat lagi mampu wajib melakukan shalat fardlu sambil
berdiri, baik sendiri maupun menjadi imam.
Bila ia sedang naik
pesawat, kapal, atau kendaraan lain yang tidak mungkin baginya untuk turun (ke
tanah/darat) sewaktu-waktu, maka ia tetap wajib shalat sambil berdiri jika
mampu. Namun jika tidak mampu, maka boleh baginya shalat sambil duduk.
Boleh mengerjakan shalat
sunnah sambil duduk tanpa alasan apapun, akan tetapi ia hanya mendapatkan
pahala setengah dari orang yang berdiri. ‘Imran bin Hushain pernah bertanya
kepada Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wasallam tentang orang yang shalat sambil
duduk. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menjawab:
إِنْ صَلَّى
قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ
الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ
“Barangsiapa yang shalat
dengan berdiri, maka hal itu lebih baik. Orang yang mengerjakan shalat sambil
duduk mendapatkan setengah pahala orang yang mengerjakannya sambil berdiri.
Orang yang mengerjakan shalat sambil berbaring mendapatkan setengah pahala
orang yang mengerjakannya sambil duduk” (HR. Bukhari no. 1115).
Namun jika ia melakukan
shalat sambil duduk atau berbaring karena udzur (sakit atau yang lainnya), maka
ia tetap mendapatkan pahala sebagaimana orang berdiri (tidak kurang). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِذَا مَرِضَ
الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Barangsiapa yang jatuh sakit atau melakukan
perjalanan jauh, maka dicatatkan pahala baginya pahala seperti yang biasa ia
dilakukannya ketika bermukim atau sehat” (HR. Al-Bukhari no. 2996).
d. Takbiratul-Ihram dan Mengangkat Tangan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مِفْتَاحُ
الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Kunci shalat itu adalah suci, pengharamannya(7)
adalah takbir (yaitu takbiratul-ihram), dan penghalalannya(8) adalah salam” (HR.
Abu Dawud no. 61, Asy-Syafi’i dalam Al-Umm 1/87, At-Tirmidzi no. 3 dan
lain-lain; hasan).
إِنَّهُ لا
تَتِمُّ صَلاةٌ لأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّى يَتَوَضَّأَ فَيَضَعَ الْوُضُوءَ
مَوَاضِعَهُ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ
“Sesungguhnya tidaklah sempurna shalat salah
seorang di antara manusia sehingga ia berwudlu dan meletakkan wudlu tersebut
pada tempatnya (yaitu pada anggota badan yang wajib terkena air wudlu),
kemudian ia mengucapkan (takbir): Allaahu Akbar” (HR. Thabarani dalam Al-Kabiir
no. 4526; shahih).
Kadangkala Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan takbir.
أَنّ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَتَحَ التَّكْبِيرَ فِي الصَّلَاةِ، فَرَفَعَ
يَدَيْهِ حِينَ يُكَبِّرُ
حَتَّى يَجْعَلَهُمَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ
Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma berkata: “Aku melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memulai
shalat dengan takbir. Maka beliau mengangkat kedua tangannya ketika (bersamaan) takbir setinggi
kedua pundaknya” (HR. Al-Bukhari no. 738).
Kadangkala beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengangkat tangan sebelum takbir.
أَنَّ ابْنَ
عُمَرَ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا قَامَ لِلصَّلَاةِ، رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى تَكُونَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ،
ثُمَّ كَبَّرَ
Bahwasannya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma
berkata: “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila berdiri
untuk shalat, maka beliau mengangkat kedua tangannya setinggi kedua pundaknya,
kemudian beliau bertakbir” (HR. Muslim no. 390).
Kadangkala beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan setelah takbir.
عَنْ أَبِي
قِلَابَةَ، أَنَّهُ رَأَى مَالِكَ بْنَ الْحُوَيْرِثِ: إِذَا صَلَّى، كَبَّرَ،
ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ، رَفَعَ يَدَيْهِ، وَإِذَا
رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ، رَفَعَ يَدَيْهِ ، وَحَدَّثَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْعَلُ هَكَذَا
Dari Abu Qilabah: “Bahwasannya ia melihat
Malik bin Al-Huwairits apabila ia melakukan shalat, maka ia bertakbir kemudian
mengangkat kedua tangannya. Dan apabila ia hendak rukuk, maka ia mengangkat kedua
tangannya. Apabila ia mengangkat kepalanya dari rukuk (i’tidal), maka ia
mengangkat kedua tangannya. Ia mengatakan bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam melakukan demikian (dalam shalat)” (HR. Al-Bukhari no. 737
dan Muslim no. 391).
Beliau shallalaahu
‘alaihi wasallam mengangkat tangan sejajar kedua pundaknya (berdasarkan hadits
di atas). Kadangkala, beliau mengangkat kedua
tangannya sejajar dengan kedua telinganya.
عَنْ مَالِكِ
بْنِ الْحُوَيْرِثِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
إِذَا كَبَّرَ، رَفَعَ يَدَيْهِ، حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا أُذُنَيْهِ
Dari Malik bin Al-Huwairits: “Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila bertakbir, beliau mengangkat
kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua telinganya” (HR. Muslim no. 391).
e. Meletakkan Tangan
Kanan di Atas Tangan Kiri di Dada
عَنْ سَهْلِ
بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُونَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ الْيَدَ
الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِي الصَّلَاةِ
Dari Sahl bin Sa’id radliyallaahu ‘anhu ia
berkata: “Adalah para shahabat diperintahkan (oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam) agar meletakkan tangan kanannya di atas hasta kirinya dalam shalat” (HR.
Al-Bukhari no. 740).
Dari Wa’il bin Hujr
radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى
عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ
“Aku pernah shalat bersama Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau meletakkan tangan kanannya atas tangan
kirinya di dadanya” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 479).
Adapun meletakkan kedua tangan di bawah dada
atau perut, maka hal ini tidak benar (menyelisihi sunnah).(9)
f. Melihat Tempat Sujud
dan Khusyu’
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَلَّى رَفَعَ بَصَرَهُ إِلَى السَّمَاءِ،
فَنَزَلَتْ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ فَطَأْطَأَ رَأْسَهُ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu:
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam pernah shalat
dengan mengangkat pandangannya ke langit. Maka turunlah ayat: “(yaitu)
orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya” {QS. Al-Mukminun: 2. Maka beliau kemudian
menundukkan kepalanya” (HR. Al-Hakim no. 3483; shahih sesuai syarat Muslim).
Dilarang menoleh ketika
shalat, sebagaimana penjelasan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika
beliau ditanya tentang hukum menoleh ketika shalat:
هُوَ اخْتِلَاسٌ
يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلَاةِ الْعَبْدِ
“Itulah ikhtilaas (mencuri-curi), yang
dicuri-curi syaithan dari shalat seorang hamba” (HR. Al-Bukhari no. 751).
Akan tetapi diperbolehkan untuk melirik (tanpa
menoleh) jika ada keperluan.
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَلْحَظُ
فِي الصَّلَاةِ يَمِينًا وَشِمَالًا وَلَا يَلْوِي عُنُقَهُ خَلْفَ ظَهْرِهِ
Dari Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma:
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melirik ke kanan
dan ke kiri dalam shalat, namun beliau tidak menolehkan leher beliau ke
belakang” (HR. At-Tirmidzi no. 587 dan Ibnu Khuzaimah no. 485 dengan sanad
shahih).
g. Membaca Iftitah/Istiftah
Hukumnya adalah sunnah menurut jumhur ulama
(dan ini adalah pendapat yang rajih/kuat). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّهُ لَا
تَتِمُّ صَلَاةٌ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّى يَتَوَضَّأَ فَيَضَعَ الْوُضُوءَ
يَعْنِي مَوَاضِعَهُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَحْمَدُ اللَّهَ جَلَّ وَعَزَّ وَيُثْنِي
عَلَيْهِ وَيَقْرَأُ
بِمَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya shalat seseorang tidaklah
sempurna kecuali bila dia wudlu pada anggota tubuh yang terkena air wudlu,
kemudian mengucapkan takbir, memuji Allah jalla wa ‘azza dan mengagungkannya,
serta membaca Al-Qur’an yang mudah baginya” (HR. Abu Dawud no. 857; shahih).
Kalimat وَيَحْمَدُ
اللهَ جَلَّ وَعَزَّ “memuji Allah jalla wa ‘azza” dijelaskan
oleh para ulama mempunyai makna membaca doa iftitah.
Macam-macam doa iftitah/istiftah antara lain:
vاَللَّهُمَّ
بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ اَللَّهُمَ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ
اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ
اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ وَالْبَرَدِ
Alloohumma baa’id bainii wa bainaa
khothooyaaya kamaa baa’atta bainal-masyriqi wal-maghrib. Alloohumma naqqinii
min khothooyaaya kamaa yunaqqots-tsaubul-abyadlu minad-danas.
Alloohummagh-silnii min khothooyaaya bits-tsalji wal-maa-i wal-barad.
“Ya Allah, jauhkanlah
diriku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau telah menjauhkan jarak antara timur
dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari segala dosa-dosaku seperti baju
putih yang dibersihkan dari noda. Ya Allah, cucilah diriku dari segala
dosa-dosaku dengan salju, air, dan embun” (HR. Al-Bukhari
no. 744 dan Muslim no. 598).
{سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ
غَيْرُكَ
Subhaanakalloohumma wabihamdika
watabaarokas-muka wata’aalaa jadduka walaa ilaaha ghoiruka.
"Aku menyucikan-Mu
dan memuji-Mu ya Allah. Sungguh berkah nama-Mu dan sungguh tinggi kekayaan-Mu.
Dan tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau” (HR. Abu Dawud no. 776, At-Tirmidzi no. 243, dan
yang lainnya; shahih).
Dan yang lain-lain sebagaimana yang tercantum
dalam hadits-hadits shahih.
h. Membaca Isti’adzah
Para ulama sepakat bahwa hukum membaca
isti’adzah di permulaan shalat (maksudnya: sebelum membaca Al-Fatihah) adalah
wajib. Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang kewajiban membacanya di tiap
raka’at.
Allah ta’ala berfirman:
فَإِذَا
قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللّهِ مِنَ الشّيْطَانِ الرّجِيمِ
“Apabila kamu hendak membaca Al-Qur’an, maka
mintalah perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terkutuk” (QS. An-Nahl:
98).
Isti’adzah dalam shalat dapat dilakukan dengan
membaca salah satu lafadh sebagai berikut:
vأَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
A’uudzu billaahi minasy-syaithoonir-rojiim
“Aku berlindung kepada Allah dari gangguan
syaithan yang terkutuk” (QS. An-Nahl: 98).
vأَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
A’uudzu billaahi minasy-syaithoonir-rojiim min
hamzihi wa nafkhihi wa naftsihi
“Aku berlindung kepada
Allah dari gangguan syaithan yang terkutuk, yaitu dari bisikan, tiupan, dan
hembusannya” (HR. Ahmad 6/156 no.
25266; hasan).
vأَعُوْذُ
بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ
وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
A’uudzu billaahis-samii’il-‘aliimi
minasy-syaithoonir-rajiim min hamzihi wa nafkhihi wa naftsihi
“Aku berlindung kepada
Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari gangguan syaithan yang
terkutuk, yaitu dari bisikan, tiupan, dan hembusannya” (HR. Abu Dawud no. 775; shahih).
i. Membaca Surat Al-Fatihah
Wajib membaca Al-Fatihah (dan ini menjadi
bagian dari rukun shalat). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا صَلَاةَ
لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat
seseorang yang tidak membaca surat Al-Fatihah” (HR. Al-Bukhari no. 756 dan
Muslim no. 394).
Jika ada orang yang
tidak/belum hafal surat Al-Fatihah, maka dia boleh membaca:
سُبْحَانَ
اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ،
وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ
Subhaanalloohi wal-hamdulillaahi walaa ilaaha
illalloohu walloohu akbar. Walaa haula walaa quwwata illaa billaahil-‘aliyyil-‘adhiim
“Maha suci Allah, segala puji bagi Allah,
tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Allah Maha Besar dan
tidak ada daya dan kekuatan kecuali karena pertolongan Allah Yang Maha Tinggi
lagi Maha Agung” (HR. Abu Dawud no. 832; hasan).
Namun keringanan ini
hanya berlaku bagi orang yang benar-benar tidak mampu menghafalnya setelah
berusaha sekuat tenaga untuk menghafalnya.
Dalam shalat jama’ah
jahriyyah (yang dikeraskan suaranya, seperti shalat shubuh, maghrib, dan
‘isya’), maka bacaan basmalah adalah sirr (tidak dikeraskan – tapi tetap
dibaca) berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ، وَعُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا كَانُوا يَفْتَتِحُونَ الصَّلَاةَ بِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam, Abu Bakar, dan ‘Umar membuka (bacaan) shalatnya dengan membaca
Alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin”. (HR. Al-Bukhari no. 743).
j. Mengucapkan Amiin Setelah Membaca Al-Fatihah
عَنْ وَائِلِ
بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
قَرَأَ:ف وَلا الضَّالِّينَق، قَالَ: آمِينَ وَرَفَعَ بِهَا صَوْتَهُ
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia
berkata: “Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bila selesai membaca
Waladl-dlooolliin; maka beliau berkata: Aamiin, dan beliau mengeraskan suaranya”
(HR. Abu Dawud no. 932; shahih).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِذَا أَمَّنَ
الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ
الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Jika imam mengucapkan
aamiin, maka ikutilah dengan mengucapkan aamiin juga. Sesungguhnya, barangsiapa
yang ucapan amin-nya bersamaan dengan aamiin yang diucapkan oleh malaikat; maka
akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al-Bukhari
no. 780 dan Muslim no. 410).
Sebagian ulama mengatakan bahwa membaca aamiin
setelah Al-Fatihah adalah wajib. Adapun tambahan rabbighfirlii sebelum membaca
aamiin (sebagaimana dilakukan oleh sebagian kaum muslimin), maka itu adalah
perbuatan yang sama sekali tidak dilandasi dalil (shahih). Sudah sepatutnya
perbuatan tersebut untuk ditinggalkan.
k. Membaca Surat /Ayat
yang Dihafal dari Al-Qur’an
Hukumnya adalah sunnah.
عَنْ عَطَاء،
أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: فِي كُلِّ
صَلَاةٍ يُقْرَأُ فَمَا أَسْمَعَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَسْمَعْنَاكُمْ
وَمَا أَخْفَى عَنَّا أَخْفَيْنَا عَنْكُمْ، وَإِنْ لَمْ تَزِدْ عَلَى أُمِّ
الْقُرْآنِ أَجْزَأَتْ، وَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ
Dari ‘Athaa’, bahwasannya ia pernah mendengar
Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata: "Al-Qur’an dibaca pada setiap
shalat. Bacaan yang dikeraskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam,
kami pun mengeraskannya ketika kami menjadi imam. Dan bacaan yang tidak
dikeraskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka kami pun tidak
mengeraskannya. Jika kamu tidak menambah bacaan selain Ummul-Qur’an (Al-Fatihah),
maka itu sudah cukup. Jika kamu menambah bacaan surat selain Ummul-Qur’an, maka
itu lebih baik" (HR. Al-Bukhari
no. 772).
عن جبير بن مطعم
قال سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي
الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ
Dari Jubair bin Muth’im ia berkata: “Aku
pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca surat
Ath-Thuur dalam shalat maghrib” (HR. Al-Bukhari no. 765 dan Muslim no. 463).
Sebagian ulama
menjelaskan bahwa sebaiknya bacaan pada raka’at pertama lebih panjang daripada
raka’at kedua.
Disunnahkan pula membaca
surat lain setelah Al-Fatihah pada raka’at ketiga dan/atau keempat berdasarkan
hadits:
عَنْ أَبِي
سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
يَقْرَأُ فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ، فِي كُلِّ
رَكْعَةٍ، قَدْرَ ثَلَاثِينَ آيَةً، وَفِي الأُخْرَيَيْنِ، قَدْرَ خَمْسَ عَشْرَةَ
آيَةً
Dari Abi Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu:
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca surat (setelah
Al-Fatihah) dalam dua raka’at pertama shalat Dhuhur untuk setiap raka’atnya
sekitar tigapuluh ayat. Sedangkan dalam dua raka’at terakhir beliau membaca
sekitar lima belas ayat” (HR. Muslim no. 452).
Bila shalat sendirian,
maka ia boleh memperpanjang bacaan ayat sesukanya. Namun jika ia menjadi imam,
maka hendaknya ia memperhatikan kondisi makmum. Jika makmum adalah dari
kalangan yang kuat, semangat ke-Islamannya tinggi, dan biasa dibacakan
ayat-ayat yang panjang; maka tidak apa-apa jika ia memperpanjang bacaan
suratnya. Namun jika makmumnya adalah orang yang lemah, para wanita, anak-anak,
dan orang-orang yang mempunyai keperluan; hendaknya ia memperpendek bacaan
suratnya.
عَنْ أَنَس بْن
مَالِكٍ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِنِّي
لَأَدْخُلُ فِي الصَّلَاةِ وَأَنَا أُرِيدُ إِطَالَتَهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ
الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلَاتِي مِمَّا أَعْلَمُ مِنْ شِدَّةِ وَجْدِ
أُمِّهِ مِنْ بُكَائِهِ
Dari Anas bin Malik, bahwasannya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Sungguh aku akan memulai
shalat (berjama’ah) dan aku ingin memperpanjangnya. Namun tiba-tiba aku
mendengar suara tangisan seorang bayi. Maka aku memperingan (memperpendek) shalatku, karena aku
mengetahui betapa cintanya (gelisahnya) ibunya terhadap tangis (anak)-nya itu” (HR.
Al-Bukhari no. 709 dan Muslim no. 470).
l. Rukuk
Ø Setelah membaca ayat Al-Qur’an, hendaknya ia
berhenti sejenak sebelum memulai gerakan untuk rukuk, sebagaimana riwayat
Samurah bin Jundub radliyallaahu ‘anhu.(10) Lama berhenti ini sekitar satu
nafas.
Ø Mengangkat kedua tangan
ketika hendak rukuk.
عن وائل بن حجر
........ فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَهُمَا مِثْلَ ذَلِكَ
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia
berkata: “...Ketika beliau hendak rukuk, maka beliau melakukan hal yang serupa
(yaitu mengangkat kedua tangannya)” (HR. Abu Dawud no. 726; shahih).
Ø Meletakkan kedua tangannya di lututnya
dengan menguatkan pegangan dan merenggangkan jari-jemarinya. Posisi tangan agak
dijauhkan dan sedikit dibengkokkan di kedua siku.
عن وائل بن حجر
....... فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَهُمَا مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ وَضَعَ
يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia
berkata: “...Ketika beliau hendak rukuk, maka beliau melakukan hal yang serupa
(yaitu mengangkat kedua tangannya), kemudian meletakkan kedua tangannya pada
lututnya” (idem).
فقال أبو حميد
الساعدي....... وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ
Berkata Abu Humaid As-Sa’idy radliyallaahu
‘anhu: “... Dan apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam rukuk, maka
beliau menguatkan kedua tangannya pada kedua lututnya” (HR. Al-Bukhari no. 828).
عن أبي حميد:
.... ثُمَّ رَكَعَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ كَأَنَّهُ قَابِضٌ
عَلَيْهِمَا وَوَتَّرَ يَدَيْهِ فَتَجَافَى عَنْ جَنْبَيْهِ
Abu Humaid radliyallaahu
‘anhu berkata: “... Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam rukuk dan
beliau meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya, seakan-akan beliau
memegang erat kedua lututnya tersebut. Beliau membengkokkan dan menjauhkan
kedua tangannya di samping badannya” (HR. Abu
Dawud no. 734, At-Tirmidzi no. 260 dan Ibnu Khuzaimah no. 589; shahih).
عن وائل بن حجر
أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَكَعَ فَرَّجَ
بَيْنَ أَصَابِعِهِ
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu:
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila rukuk, maka beliau
merenggangkan jari-jemarinya” (HR. Al-Hakim 1/224; shahih).
Ø Ketika rukuk, posisi
punggung dan kepala adalah lurus dan rata.
عَنْ وَابِصَة
بْن مَعْبَدٍ، يَقُولُ: " رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي، فَكَانَ إِذَا رَكَعَ سَوَّى ظَهْرَهُ حَتَّى لَوْ صُبَّ
عَلَيْهِ الْمَاءُ لَاسْتَقَرَّ
Dari Waabishah bin Ma’bad, ia berkata: Aku
pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat. Apabila beliau
rukuk, maka beliau meluruskan punggungnya. Bahkan seandainya disiramkan air di
atas punggung tersebut, maka pasti tidak akan tumpah ke bawah” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Maajah no. 872; dshahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Al-Jami’
Ash-Shaghir no. 4732).
عَنْ أَبِي
حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ، قال: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا رَكَعَ اعْتَدَلَ فَلَمْ يَنْصِبْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُقْنِعْهُ وَوَضَعَ
يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ
Dari Abu Humaid As-Saa’idiy, ia berkata: Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila rukuk, maka beliau meluruskan
punggungnya, tidak menundukkan kepalanya dan tidak pula mengangkat/
menegakkannya” (Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1039; shahih).
Ø Bacaan dalam rukuk (bisa
dipilih dan dibaca yang mudah):
i. سُبْحَانَ رَبِّيَّ الْعَظِيْمِ
Subhaana Rabbiyal-‘Adhiim (tiga kali)
“Maha Suci Tuhanku Yang
Maha Agung” (HR. Abu Dawud no.
871, Ibnu Majah no. 890, dan lain-lain; shahih).
ii. سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ
اَللَّهُمَ اغْفِرْ لِيْ
Subhaanakalloohumma wabihamdika
alloohummagh-firlii
“Aku menyucikanmu ya Allah, Tuhan kami, dan
aku memujimu. Ya Allah, ampunilah aku” (HR. Al-Bukhari
no. 794 dan Muslim no. 484).
iii. سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ
وَالرُّوْحِ
Subbuuhun qudduusun robbul-malaaikati war-ruuh
“Engkau Maha Suci, Maha
Qudus, Tuhan para malaikat dan ruh" (HR. Muslim no. 487 dan Abu Dawud no.
872).
Masing-masing doa/bacaan
dalam rukuk di atas dapat diulang lebih dari tiga kali berdasar keumuman hadits:
عَنْ الْبَرَاءِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ رُكُوعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَسُجُودُهُ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ وَبَيْنَ
السَّجْدَتَيْنِ قَرِيبًا مِنَ السَّوَاءِ
Dari Al-Barra’ radliyallaahu ‘anhu ia berkata:
"Adalah rukuk dan sujudnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, serta
bangkitnya beliau dari rukuk (i’tidal) dan duduknya diantara dua sujud; hampir
sama lamanya" (HR. Al-Bukhari no. 801 dan Muslim no. 471).
Ø Wajib thuma’ninah dalam rukuk. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
.... ثُمَّ
ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا
"Kemudian rukuklah sampai engkau merasa
thuma’ninah dalam rukuk itu" (HR. Al-Bukhari no. 757 dan Muslim no. 397).
m. Bangkit dan Berdiri dari Rukuk (I’tidal).
Mengucapkan: سَمِعَ
اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ “Sami’alloohu
liman hamidah” ketika mengangkat badan dari rukuk, dan رَبَنَا لَكَ الْحَمْدُ “Robbanaa
lakal-hamdu” ketika telah berdiri. Hal itu berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ، يَقُولُ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ
حِينَ يَرْكَعُ، ثُمَّ يَقُولُ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ حِينَ يَرْفَعُ
صُلْبَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ، ثُمَّ يَقُولُ وَهُوَ قَائِمٌ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ "
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu:
"Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila berdiri shalat
beliau mengucapkan takbir ketika dalam keadaan berdiri, kemudian beliau
bertakbir ketika hendak rukuk. Beliau mengucapkan: Sami’alloohu liman hamidah
(Mudah-mudahan Allah mendengarkan/memperhatikan orang-orang yang memuji-Nya)
ketika beliau mengangkat/ menegakkan tulang pungungnya. Kemudian beliau
mengucapkan setelah berdiri: Robbanaa lakal-hamdu (Tuhan kami, Engkaulah yang
pantas mendapat pujian)" (HR. Al-Bukhari no. 789).
Ucapan “Robbanaa
lakal-hamdu” bisa juga diucapkan dengan lafadh:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ “Robbanaa walakal-hamdu”
"Ya Allah, dan Engkaulah yang pantas mendapatkan pujian" (HR.
Al-Bukhari no. 689).
اَللَّهُمَّ
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ
Alloohumma robbanaa
lakal-hamdu.
"Ya Allah, Engkaulah
yang pantas mendapatkan pujian" (HR. Muslim no. 404).
اَللَّهُمَّ
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
Alloohumma robbanaa
walakal-hamdu.
"Ya Allah, dan
Engkaulah yang pantas mendapatkan pujian" (HR. Al-Bukhari no. 795).
Dalam shalat berjama’ah,
maka ketika imam mengucapkan “Sami’alloohu liman hamidah”, maka makmum
mengikutinya dengan ucapan “Robbanaa lakal-hamdu” (atau yang lain sebagaimana
di atas).
Setelah ucapan «Robbanaa
lakal-hamdu» (atau yang semisal di atas), maka disunnahkan untuk menambah
dengan ucapan:
مِلْءَ
السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ اْلأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
Mil-as samaawaati wa
mil-al ardli wa mil-a maa syi’ta min syain ba’du
"Sepenuh langit dan
sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki sesudah itu" (HR.
Muslim no. 476).
Posisi tangan ketika
berdiri i’tidal adalah bersedekap di dada menurut pendapat yang paling kuat. Hal
itu berdasarkan keumuman hadits:
كَانَ النَّاسُ
يُؤْمَرُونَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ الْيَدَ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى
فِي الصَّلَاةِ
“Adalah para shahabat diperintahkan (oleh Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam) agar meletakkan tangan kanannya di atas hasta
kirinya dalam shalat” (HR. Al-Bukhari no. 740 dari Sahl bin Sa’d radliyallaahu
‘anhu).
Wajib thuma’ninah ketika
i’tidal dan disunnahkan memperpanjangnya, berdasarkan hadits:
عَنْ ثَابِتٍ،
قَالَ: كَانَ أَنَسٌ يَنْعَتُ لَنَا صَلَاةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَكَانَ يُصَلِّي وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ قَامَ حَتَّى نَقُولَ قَدْ
نَسِيَ
Dari Tsabit ia berkata: “Anas pernah
memberikan contoh shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Anas
melakukan shalat. Setelah bangun dari rukuk, Anas berdiri lama hingga kami menyangka ia lupa
untuk sujud” (HR. Al-Bukhari no.
800 dan Muslim no. 472).
n. Sujud
Ø Bertakbir ketika turun
untuk sujud, berdasarkan hadits:
..... ثُمَّ
يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَسْجُدُ
“….Kemudian beliau bertakbir ketika mengangkat
kepalanya (i’tidal), dan kemudian beliau pun bertakbir ketika hendak sujud” (HR.
Al-Bukhari no.
789).
Ø Terkadang beliau
mengangkat tangan ketika hendak sujud, berdasarkan hadits:
عَنْ مَالِكِ
بْنِ الْحُوَيْرِثِ، أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
رَفَعَ يَدَيْهِ فِي صَلَاتِهِ وَإِذَا رَكَعَ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ
الرُّكُوعِ وَإِذَا
سَجَدَ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُودِ
Dari Malik bin Al-Huwairits: Bahwasannya ia
melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya dalam
shalatnya ketika hendak rukuk, ketika mengangkat kepalanya dari rukuk
(i'tidal), ketika hendak sujud, dan ketika mengangkat kepala dari sujud...” (HR. An-Nasa’i no. 1085;
shahih).
Ø Mendahulukan tangan
daripada lutut ketika turun dari sujud. Hal
ini berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ
وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ
رُكْبَتَيْهِ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu: Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila salah seorang
diantara kalian hendak sujud, maka janganlah ia menyungkur seperti
menyungkurnya seekor unta. Hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum
kedua lututnya” (HR. Abu Dawud no. 840, Nasa’i no. 1091, dan yang lainnya;
shahih).(11)
Ø Ketika sujud, beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam sujud dengan tujuh anggota badan (dahi dan hidung – dianggap satu
kesatuan –, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua kaki). Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ
أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ الْجَبْهَةِ، وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى
أَنْفِهِ، وَالْيَدَيْنِ، وَالرِّجْلَيْنِ، وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
“Aku diperintahkan untuk sujud dengan tujuh
anggota tubuh, yaitu dahi (beliau berisyarat ke hidungnya), kedua (telapak)
tangan, kedua kaki (maksudnya kedua lutut), dan kedua ujung kaki” (HR.
Al-Bukhari no. 812 dan Muslim no. 490).
Ø Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sujud
dengan bertelekan dengan kedua tangannya, mengangkat kedua siku, melebarkan
bentangan tangannya, meletakkan kedua telapak tangan sejajar dengan kedua
bahunya atau kedua telinganya, merapatkannya jari-jarinya serta mengarahkannya
ke kiblat.
عَنِ
الْبَرَاءِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا
سَجَدْتَ، فَضَعْ كَفَّيْكَ، وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ
Dari Al-Barra’, ia berkata: Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila engkau sujud, maka
letakkanlah dua telapak tanganmu dan angkatlah kedua sikumu” (HR. Muslim no.
494).(12)
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ مَالِكٍ ابْنِ بُحَيْنَةَ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَلَّى فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ حَتَّى يَبْدُوَ بَيَاضُ
إِبْطَيْهِ
Dari Abdillah bin Malik bin Buhainah
radliyallaahu ‘anhu: “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila
shalat, maka beliau membentangkan kedua tangannya hingga kelihatan putih
ketiaknya” (HR. Al-Bukhari no. 390 dan Muslim no. 495).
عن وائل بن حجر
قال: ....... ثُمَّ سَجَدَ فَكَانَتْ يَدَاهُ حِذَاءَ أُذُنَيْهِ
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia
berkata: “...Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sujud, sedangkan
kedua tangannya di hadapan (sejajar) kedua telinganya” (HR. Ahmad 4/317 no.
18878; shahih).
عن وائل أَنّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَجَدَ ضَمَّ أَصَابِعَهُ
Dari Wail radliyallaahu ‘anhu: “Bahwasannya
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila sujud, maka beliau merapatkan
jari-jarinya” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 642; hasan).
عَنِ الْبَرَاءِ
بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ، فَوَضَعَ يَدَيْهِ بِالأَرْضِ، اسْتَقْبَلَ بِكَفَّيْهِ
وَأَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ
Dari Al-Barra’ bin ‘Azib radliyallaahu ‘anhu
ia berkata: “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila sujud
maka beliau meletakkan kedua tangannya di bumi/tanah, serta menghadapkan kedua
tangan dan jari-jemarinya ke arah kiblat” (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa
2/112; shahih).
Ø Menempelkan/merapatkan dua kaki dan
mengarahkan jari-jari kaki ke arah kiblat
قالت عائشة
زَوْجِ النَّبِيِّ: فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَكَانَ مَعِي عَلَى فِرَاشِي، فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ، مُسْتَقْبِلا
بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ
Telah berkata ‘Aisyah istri Nabi: “Aku
kehilangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sebelumnya bersamaku di
tempat tidur. Maka aku menemukan beliau sedang bersujud menempelkan tumitnya, ujung-ujung
jemarinya menghadap kiblat” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 654; shahih).
Ø Bacaan dalam sujud
(bisa dipilih dan dibaca yang mudah):
o {سُبْحَانَ
رَبِّيَّ الْأَعْلَى
Subhaana robbiyal-a’laa (tiga kali)
“Maha Suci Allah yang
Maha Tinggi” (HR. Abu Dawud no. 871,
Ibnu Majah no. 890, dan lain-lain; shahih).
o {سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اَللَّهُمَ اغْفِرْ لِيْ
Subhaanakalloohumma wabihamdika
alloohummagh-firlii
“Aku menyucikanmu ya Allah, Tuhan kami, dan
aku memujimu. Ya Allah, ampunilah aku” (HR. Al-Bukhari
no. 794 dan Muslim no. 484).
o سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ
وَالرُّوْحِ
Subbuuhun qudduusun robbul-malaaikati war-ruh
“Engkau Maha Suci, Maha
Qudus, Tuhan para malaikat dan ruh" (HR. Muslim no. 487 dan Abu Dawud no.
872).
Masing-masing doa
tersebut dapat dibaca berulang-ulang (lebuh dari tiga kali) dengan keumuman
hadits yang mnejlaskan lamanya sujud beliau ketika shalat.
Ø Dianjurkan memperbanyak
doa ketika sujud. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَأَمَّا
السُّجُودُ، فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ، فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
“…Adapun ketika bersujud,
maka perbanyaklah doa, karena hal itu lebih pantas untuk dikabulkan” (HR. Muslim no. 479 dan Abu Dawud no. 876).
Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam dalam sujudnya sering berdoa dengan doa berikut:
اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَلَّهُ وآخِرَهُ
وَعَلاَنِيَّتَهُ وَسِرَّهُ
Alloohumagh-firlii dzanbii kullahu diqqohu wa
jillahu wa-awwalahu wa aakhirohu wa ‘alaaniyyatahu wa sirrohu
“Ya Allah, ampunilah semua dosaku, dosa kecil
maupun besar, dosa pertama maupun terakhir, dosa yang dilakukan dengan
terang-terangan mapun sembunyi-sembunyi" (HR. Muslim no. 483).
Ø Diperintahkan untuk thuma’ninah dalam sujud
(dan juga rukuk) serta dilarang untuk sujud (dan rukuk) seperti patukan
burung/ayam.
عن رفاعة أن
النبي صلى اللَّه عليه وسلم قال للرجل الذي صلى ..... ثُمَّ إِذَا أَنْتَ
سَجَدْتَ، فَأَثْبِتْ وَجْهَكَ وَيَدَيْكَ حَتَّى يَطْمَئِنَّ كُلُّ عَظْمٍ مِنْكَ
إِلَى مَوْضِعِهِ
Dari Rifa’ah: Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada orang yang sedang melakukan shalat: “...Kemudian
jika kamu melakukan sujud, maka tancapkanlah wajah (dahi) dan kedua tanganmu
sehingga setiap persendian thuma’ninah pada tempatnya” (HR. Ibnu Khuzaimah no.
638; hasan).
عن أبي هريرة
يقول أَمَرَنِي خَلِيلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلاثٍ، وَنَهَانِي
عَنْ ثَلاثٍ: أَمَرَنِي بِرَكْعَتَيِ الضُّحَى، وَصَوْمِ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ مِنَ
الشَّهْرِ، وَالْوِتْرِ قَبْلَ النَّوْمِ، وَنَهَانِي عَنْ ثَلاثٍ: عَنِ
الالْتِفَاتِ فِي الصَّلاةِ كَالْتِفَاتِ الثَّعْلَبِ، وَإِقْعَاءٍ كَإِقْعَاءِ
الْقِرْدِ، وَنَقْرٍ كَنَقْرِ الدِّيكِ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia
berkata: “Kekasihku (yaitu Rasulullah) shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
memerintahkan kepadaku tiga hal dan melarangku tiga hal pula. Beliau
memerintahkanku untuk mengerjakan dua raka’at shalat dluhaa, puasa tiga hari
pada setiap bulannya, dan shalat witir sebelum tidur. Beliau melarangku atas
tiga hal, yaitu berpaling dalam shalat seperti berpalingnya serigala, duduk
seperti duduknya kera, dan mematuk (dalam shalat) seperti mematuknya ayam
jantan” (HR. Ath-Thayalisi no. 2593; hasan).
o. Duduk di Antara Dua
Sujud
Mengucapkan takbir ketika
mengangkat kepala dari sujud.
ثُمَّ يُكَبِّرُ
حِينَ يَسْجُدُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ
“….Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bertakbir ketika sujud, dan bertakbir pula ketika mengangkat kepala
beliau (dari sujud)” (HR. Al-Bukhari no. 789).
Kadang beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mengangkat kedua tangannya ketika mengangkat kepalanya dari sujud.
ثُمَّ سَجَدَ
وَوَضَعَ وَجْهَهُ بَيْنَ كَفَّيْهِ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُودِ
أَيْضًا رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ
“Kemudian beliau sujud
dan meletakkan wajahnya di antara dua telapak tangannya. Dan apabila beliau
mengangkat kepalanya dari sujud, maka beliau juga mengangkat kedua tangannya,
hingga beliau menyelesaikan shalatnya” (HR. Abu
Dawud no. 723; shahih).
عن وائل بن حجر
قال: ...... وَكَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ كُلَّمَا كَبَّرَ وَرَفَعَ وَوَضَعَ بَيْنَ
السَّجْدَتَيْنِ
Dari Wail bin Hujr
radliyallaahu ‘anhu ia berkata: “..... Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
mengangkat kedua tangannya setiap beliau bertakbir. Beliau mengangkat dan
meletakkan (kedua tangannya) di antara dua sujud” (HR. Ahmad no. 18881; hasan).
Beliau duduk iftirasy
dengan cara duduk di atas telapak kaki kiri dan menegakkan kaki kanannya.
عن عبد الله بن
عمر قال مِنْ سُنَّةِ الصَّلَاةِ " أَنْ تَنْصِبَ الْقَدَمَ الْيُمْنَى
وَاسْتِقْبَالُهُ بِأَصَابِعِهَا الْقِبْلَةَ وَالْجُلُوسُ عَلَى الْيُسْرَى
Dari Abdullah bin ‘Umar ia berkata: “Termasuk
sunnah shalat adalah menegakkan telapak kaki kanan, menghadapkan jari-jarinya
ke kiblat, dan duduk di atas telapak kaki kiri” (HR. Nasa’i no. 1145; shahih).
Boleh juga duduk dengan cara iq’a’ (duduk
dengan menegakkan dua telapak kaki/tumit).
عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ، قَالَ: " مِنَ السُّنَّةِ فِي
الصَّلاةِ أَنْ تَضَعَ أَلْيَتَيْكَ عَلَى عَقِبَيْكَ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ta’ala ‘anhuma
ia berkata: “Termasuk di antara sunnah dalam shalat adalah kamu meletakkan
kedua pantatmu di atas kedua tumitmu ketika duduk di antara dua sujud” (HR. Thabarani dalam Al-Kabiir
no. 11015; shahih. Hadits semakna juga diriwayatkan oleh Muslim no. 536).
Bacaan ketika duduk di
antara dua sujud (bisa dipilih salah satu):
اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَعَافِنِيْ وَاهْدِنِيْ وَارْزُقْنِيْ
Alloohummagh-firlii warhamnii wa ‘aafinii
wahdinii warzuqnii
“Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
sehatkanlah aku, dan berilah aku rizki” (HR. Abu Dawud no. 850).
رَبِّ اغْفِرْ
لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاجْبُرْنِيْ وَارْزُقْنِيْ وَارْفَعْنِيْ
Robighfirlii warhamnii wajburnii warzuqnii
warfa’nii
“Tuhanku, ampunilah aku, kasihanilah aku,
cukupilah kekuranganku, berilah aku rizki, dan angkatlah derajatku” (HR. Ibnu
Majah no. 898; shahih).
اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاجْبُرْنِيْ وَاهْدِنِيْ وَارْزُقْنِيْ
Alloohummagh-firlii warhamnii wajburnii
wahdinii warzuqnii
“Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
cukupilah kekuranganku, tunjukilah aku, dan berilah aku rizki” (HR. At-Tirmidzi
no. 284; shahih).
Yang paling lengkap
dengan penggabungan beberapa riwayat hadits adalah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِيْ، وَارْحَمْنِيْ، وَاجْبُرْنِيْ، وَارْفَعْنِيْ، وَاهْدِنِيْ،
وَعَافِنِيْ، وَارْزُقْنِيْ
Alloohummagh-firlii warhamnii wajburnii
warfa’nii wahdinii wa’aafinii warzuqnii
“Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
cukupilah kekuranganku, angkatlah derajatku, tunjukilah aku, sehatkanlah aku,
dan berikanlah aku rizki”.
رَبِّ اغْفِرْ
لِيْ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ
Robbighfirlii robbighfirlii
“Ya Tuhanku, ampunilah aku, ya Tuhanku
ampunilah aku” (HR. Ibnu Majah no. 897; jayyid).
Diperintahkan untuk
thuma’ninah ketika duduk.
ثُمَّ يَقُوْلُ
اَللهُ أَكْبَرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ وَيَثْنِيْ رِجْلَهُ الْيُسْرَى فَيَقْعُدُ
عَلَيْهَا حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ إِلَى مَوْضِعِهِ
“….Kemudian beliau
mengucapkan ‘Alloohu akbar’ dan mengangkat kepalanya (dari sujud). Beliau
membengkokkan kaki kirinya serta duduk di atasnya hingga setiap tulang kembali
pada tempatnya (yaitu duduk dengan tegak dan tenang)” (HR. Abu Dawud no. 730;
shahih).
p. Berdiri untuk
Melanjutkan Raka’at Kedua (dan Keempat).
Ø Duduk istirahat sebelum
berdiri ke raka’at kedua (dan keempat).
عن مالك بن
الحويرث الليثي أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُصَلِّي فَإِذَا كَانَ فِي وِتْرٍ مِنْ صَلَاتِهِ لَمْ يَنْهَضْ حَتَّى
يَسْتَوِيَ قَاعِدًا
Dari Malik bin Al-Huwairits Al-Laitsi:
Bahwasannya ia melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat.
Apabila beliau berada pada raka’at ganjil (yaitu rakaat pertama dan ketiga)
dalam shalatnya, maka beliau tidak langsung bangkit berdiri (ke raka’at kedua
dan keempat) hingga beliau duduk sejenak terlebih dahulu (HR. Al-Bukhari no. 823).
Ø Berdiri dengan
mendahulukan mengangkat kedua lutut sebelum tangan.
عَنْ أَبِي قِلَابَةَ،
قال: كَانَ مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ يَأْتِينَا فَيَقُولُ: أَلَا أُحَدِّثُكُمْ
عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُصَلِّي فِي غَيْرِ وَقْتِ
الصَّلَاةِ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ فِي أَوَّلِ الرَّكْعَةِ
اسْتَوَى قَاعِدًا ثُمَّ قَامَ فَاعْتَمَدَ عَلَى الْأَرْضِ
Dari Abu Qilaabah, ia berkata: “Malik bin
Al-Huwairits pernah mendatangi kami, lalu berkata: "Maukah kalian aku
ceritakan bagaimana shalat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam? Maka
beliau shalat di luar waktu shalat. Apabila beliau mengangkat kepalanya dari
sujud kedua pada raka’at pertama, maka beliau duduk dengan tegak. Kemudian beliau bangkit
sambil bertelekan pada tanah” (HR. An-Nasaa’iy no. 1153; shahih). (13)
Ø Kadang beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menggenggamkan/mengepalkan kedua telapak
tangannya untuk bertelekan ke tanah ketika berdiri dari sujud.
عن الازرق بن
قيس: رأيت ابن عمر يعجن في الصلاة: يعتمد على يديه إذا قام . فقلت له ؟ فقال: رأيت
رسول الله صلى اللَّه عليه يفعله
عَنِ الأَزْرَقِ
بْنِ قَيْسٍ رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَعْجِنُ فِي الصَّلاةِ ؛ يَعْتَمِدُ عَلَى
يَدَيْهِ إِذَا قَامَ ، فَقُلْتُ لَهُ، فَقَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
Dari Al-Azraq bin Qais: Aku melihat Ibnu ‘Umar
melakukan ‘ajn (menggenggam tangan) ketika shalat, yaitu bertelekan dengan dua
tangannya ketika berdiri. Maka aku bertanya kepadanya tentang hal tersebut.
Maka ia menjawab: “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
melakukannya” (HR. Abu Ishaq Al-Harbi dalam Ghariibul-Hadiits 2/525; dengan sanad shalih).
q. Wajib Membaca
Al-Fatihah pada Setiap Raka’at
وكان من أصحاب
النبي صلى الله عليه وسلم قال جاء رجل ورسول الله صلى الله عليه في المسجد فصلى
قريبا منه ثم انصرف إليه فسلم عليه فقال له رسول الله صلى الله عليه .........ثم
اقرأ بأم القرآن ثم اقرأ بما شئت .......ثم اصنع ذلك في كل ركعة
Dari salah seorang shahabat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam ia berkata: Datang seseorang dan pada waktu itu
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di masjid. Maka orang tersebut
melakukan shalat di dekat beliau. Setelah usai melakukan shalat, maka ia
berpaling kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan salam
terhadap beliau. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya
(tentang bagaimana tata cara shalat yang benar): “….Kemudian bacalah
Ummul-Qur’an (Al-Fatihah) dan setelah itu bacalah surat yang engkau
kehendaki……kemudian lakukanlah hal tersebut pada setiap raka’at (dalam
shalatmu)” (HR. Ibnu Hibban no. 1787 dengan sanad qawiy (kuat)).
r. Tasyahud Awal
Duduk tasyahud awal adalah duduk iftirasy
sebagaimana duduk di antara dua sujud
عن أبي حميد
الساعدي: ...... فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ
الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى
Dari Abu Humaid As-Sa’idi: “….Apabila beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam duduk pada raka’at kedua (yaitu duduk tasyahud
awal), maka beliau duduk di atas telapak kaki kirinya dengan menegakkan telapak
kaki kanannya” (HR. Al-Bukhari no. 828).
Meletakkan kedua tangan
di atas lutut (atau di atas paha), tangan kanan menggenggam (atau membuat
lingkaran antara jari tengah dan ibu jari), dan berisyarat dengan jari telunjuk
tangan kanan dengan mengerak-gerakannya.
عَنِ ابْنِ
عُمَرَ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا جَلَسَ فِي
الصَّلَاةِ، وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ، وَرَفَعَ إِصْبَعَهُ الْيُمْنَى،
الَّتِي تَلِي الإِبْهَامَ، فَدَعَا بِهَا، وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ
الْيُسْرَى، بَاسِطُهَا عَلَيْهَا
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma:
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila duduk dalam shalat,
beliau meletakkan kedua (telapak) tangannya di atas kedua lututnya, dan beliau
mengangkat jari (telunjuknya) yang kanan, maka beliaupun berdoa (bersamaan)
dengan itu, dan (telapak) tangan kirinya terhampar di atas lututnya yang kiri” (HR.
Muslim no. 580, At-Tirmidzi no. 294, Ibnu Majah no. 913, dan yang lainnya).
Dalam riwayat lain dari
Ibnu ‘Umar:
كَانَ إِذَا
جَلَسَ فِي الصَّلَاةِ، وَضَعَ كَفَّهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى،
وَقَبَضَ أَصَابِعَهُ كُلَّهَا، وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الَّتِي تَلِي
الإِبْهَامَ، وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى
"Apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam duduk (tasyahud) dalam shalat, maka beliau meletakkan telapak tangan
kanannya di atas paha kanannya. Beliau menggenggam semua jari tangan kanannya dan
berisyarat dengan jari telunjuk. Dan meletakkan telapak tangan kirinya di atas
paha kirinya" (HR. Muslim no. 580).
ان وائل بن حجر
الحضرمي قال: ........فَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ
الْيُسْرَى، وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الأَْيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى،
ثُمَّ قَبَضَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ، فَحَلَّقَ حَلْقَةً، ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَه، فَرَأَيْتُهُ
يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا
Bahwasannya Wail bin Hujr Al-Hadlrami
radliyallaahu ‘anhu berkata: “...Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha dan lututnya yang kiri pula, dan
meletakkan ujung siku tangan kanannya di atas pahanya yang kanan dan beliau pun
membuat lingkaran (dengan jari tengah dan ibu jarinya) dan beliau mengangkat
jari (telunjuknya). Maka aku pun (yaitu Wail) melihat beliau menggerak-gerakkannya (jari
telunjuk) sambil berdoa dengannya” (HR. Ahmad
no. 18890; shahih).(14)
عن عبد الله بن
الزبير قال: ..... وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ، وَوَضَعَ إِبْهَامَهُ
عَلَى إِصْبَعِهِ الْوُسْطَى
Dari Abdullah bin Zubair radliyallaahu ‘anhuma:
“...Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari
telunjuknya dan meletakkan ibu jarinya di atas jari tengahnya” (HR. Muslim no.
579).
عن وائل بن حجر
قال: ....... ثُمَّ أَشَارَ بِسَبَّابَتِهِ، وَوَضَعَ الإِبْهَامَ عَلَى
الْوُسْطَى حَلَّقَ بِهَا
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia
berkata: “...Kemudian beliau shallallaau ‘alaihi wasallam berisyarat dengan
jari telunjuknya dan meletakkan ibu jari di atas jari tengah dengan membuat
lingkaran” (HR. ‘Abdurrazzaq no. 2522; shahih).
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
melakukan hal itu pada setiap tasyahud, baik tasyahud awal maupun akhir.
عن عبد الله بن
الزبير قال: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ
فِي الثِّنْتَيْنِ أَوْ فِي الْأَرْبَعِ يَضَعُ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ
أَشَارَ بِأُصْبُعِهِ
Dari ‘Abdullah bin Zubair radliyallaahu
‘anhuma ia berkata: “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila
duduk di raka’at kedua atau di raka’at keempat, beliau meletakkan kedua
tangannya di atas kedua lututnya, kemudian berisyarat dengan jari (telunjuknya)”
(HR. Nasa’i dalam As-Shughraa no. 1161; shahih).
Membaca tasyahud, di antaranya adalah (bisa
dipilih salah satu):
o اَلتَّحِيَّاتُ للهِ، وَالصَّلَوَاتُ،
وَالطَّيِّبَاتُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ
وَبَرَكَاتُهُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ،
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ
At-tahiyyaatu lillaah, wash-sholawaatu
wath-thoyyibaat, as-salaamu ‘alaika ayyuhannabiyyu warahmatulloohi wabarokatuh,
as-salaamu ‘alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish-shoolihiin, asyhadu al-laa ilaaha
illalloohu wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh
“Segala ucapan selamat,
kebahagiaan, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan
kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakahnya. Mudah-mudahan
kesejahteraan dilimpahkan kepada kami pula dan kepada seluruh hamba Allah yang
shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan
Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya” (HR.
Al-Bukhari no. 831 dan Muslim no. 402).
o اَلتَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ
الطَّيِّبَاتُ للهِ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ
وَبَرَكَاتُهُ اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ
اللهِ. وفي رواية: عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
At-tahiyyaatul-mubaarokaatush-sholawaatuth-thoyyibaatu
lillaah, as-salaamu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu warohmatulloohi wabarokaatuh,
as-salaamu ‘alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish-shoolihiin, asyhadu al-laa ilaaha
illalloohu wa asyhadu anna Muhammadar-“Rosuulullah” (dalam riwayat lain:)
’abduhu warosuuluh
“Segala ucapan selamat,
barakah, kebahagiaan, dan kebahagiaan adalah milik Allah. Mudah-mudahan
kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi, beserta rahmat Allah dan
barakahnya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepada kami pula dan kepada
seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak
disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah
‘Rasululah’ (dalam riwayat yang lain:) ‘hamba-Nya dan utusan-Nya’ (HR. Muslim no. 403, Abu ‘Awanah no. 1597, Nasa’i
no. 1174).
o اَلتَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ للهِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
At-tahiyyaatuth-thoyyibaatush-sholawaatu
lillaah, as-salaamu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu warohmatulloohi wabarakaatuh,
as-salaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish-shoolihiin, asyhadu al-laa ilaaha
illalloohu wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh
“Segala ucapan selamat,
kebaikan, dan kebahagiaan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan
dilimpahkan kepada kami pula dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku
bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya” (HR. Muslim no.
404).
Perhatikan yang kalimat
yang digaris bawah di atas. Sebagian ulama berpendapat bahwa kalimat as-salaamu
‘alaika itu diucapkan ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.
Adapun setelah beliau meninggal, maka disyari’atkan mengganti kalimat tersebut
dengan: as-salaamu ‘alan-nabiy. Hal
ini berdasarkan beberapa riwayat, diantaranya:
عَنْ عَطَاءٍ:
أَنَّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانُوا يُسَلِّمُونَ
وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيٌّ: السَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، فَلَمَّا مَاتَ قَالُوا: السَّلامُ
عَلَى النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
"
Dari ‘Atha’: Bahwasannya para shahabat Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bila mereka memberikan salam (dan shalawat
ketika shalat) dan waktu itu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup:
As-salaamu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu warohmatulloohi wabarokaatuh. Namun ketika
beliau telah wafat, maka mereka mengatakan: “As-salaamu ‘alan-nabiyyi
warohmatulloohi wabarokatuh “ (Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam
Al-Mushannaf no. 3075; shahih).
Dan inilah yang lebih
benar dalam pengamalan. Wallaahu a’lam.
Membaca shalawat kepada
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, diantaranya adalah (bisa dipilih salah
satu):
o اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى
أَهْلِ بَيْتِهِ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ
إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى
أَهْلِ بَيْتِهِ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ
إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
Alloohumma sholli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa
ahli baitihi wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa shollaita ‘alaa aali
Ibroohiima innaka hamiidum-majiid. Wabaarik ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa ahli
baitihi wa ‘alaa azwaajihi wadzurriyyatihi kamaa baarokta ‘alaa aali Ibroohiima
innaka hamiidum-majiid
“Ya Allah, berilah kebahagiaan kepada Muhammad
dan kepada Ahli Baitnya, istri-istrinya serta keturunannya sebagaimana Engkau
telah memberikan kebahagiaan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha
Terpuji lagi Maha Mulia. Dan berikanlah barakah kepada Muhammad dan kepada Ahli
Baitnya, istri-istrinya, serta keturunannya, sebagaimana Engkau telah
memberikan barakah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji
lagi Maha Mulia.” (HR. Ahmad no. 23221; shahih).
o اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ
مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ
حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ
مَجِيْدٌ
Alloohumma sholli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa
aali Muhammad kamaa shollaita ‘alaa Ibroohiima wa ‘alaa aali Ibroohiim, innaka
hamiidum-majiid. Alloohumma baarik alaa Muhammadin wa ‘alaa aali Muhammad kamaa
baarokta ‘alaa Ibroohiima wa ‘alaa aali Ibroohiima innaka hamiidum-majiid
“Ya Allah, berikanlah kebahagiaan kepada
Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan kebahagiaan kepada Ibrahim dan
kepada keluarga Ibrahiim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya
Allah, berikanlah barakah kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad,
sebagaimana Engkau telah memberikan barakah kepada Ibrahim dan kepada keluarga
Ibrahiim. Sesunggunya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia” (HR. Al-Bukhari no.
3370 dan Muslim no. 406).
o اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ
مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ فِي
الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
Alloohumma sholli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa
aali Muhammad, kamaa shollaita ‘alaa aali Ibroohiim, wa baarik ‘alaa Muhammad
wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarokta ‘alaa aali Ibroohiima fil-‘aalamiina innaka
hamiidum-majiid
“Ya Allah, berikanlah kebahagiaan kepada
Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan kebahagiaan kepada keluarga
Ibrahiim. Dan berikanlah barakah kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad,
sebagaimana Engkau telah memberikan barakah kepada keluarga Ibrahiim di seluruh
alam. Sesunggunya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia” (HR. Muslim no. 405).
o اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النبي الأمي
وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
Alloohumma sholli ‘alaa Muhammad,
an-nabiyyil-ummiyyi wa ‘alaa aali Muhammad
“Ya Allah, berikanlah kebahagiaan kepada
Muhammad – nabi yang ummi – dan kepada keluarga Muhammad” (HR. Abu Dawud no.
981; hasan).
Bolehkah menambah kata “sayyidinaa” sebelum
lafadh/penyebutan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Ibrahim
‘alaihis-salaam dalam shalawat ketika shalat?
Pendapat yang rajih
adalah tidak boleh. Hal itu dikarenakan apa yang diajarkan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah tanpa kata “sayyidinaa”. Begitu pula
dengan apa yang diajarkan oleh para shahabat. Tidak satupun di antara mereka
yang mengucapkan dan menambahkan “sayyidinaa”. Lafadh shalawat adalah lafadh
yang sifatnya tauqifiyyah (yang berdasarkan wahyu) dimana tidak diperbolehkan
penambahan kalimat-kalimat dari manusia. Apalagi hal itu diucapkan dalam
shalat. Satu hal yang menunjukkan hal itu (yaitu satu lafadh doa haruslah
persis sama dengan yang diajarkan Rasulullah shallallaahu ‘alahi wasallam)
adalah ketika beliau menegur Al-Barra’ bin ‘Azib ketika Al-Barra’ keliru dalam
mengucapkan doa/dzikir sebelum tidur. Al-Barra’
mengisahkan:
فرددتها علي
النبي صلى الله عليه وسلم فلما بلغت: اَللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِيْ
أَنْزَلْتَ قلت وَرَسُوْلِكَ قال لا وَنَبِّيِّكَ الَّذِيْ أَرْسَلْتَ
فَرَدَّدْتُهَا
عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا بَلَغْتُ اللَّهُمَّ
آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ قُلْتُ: وَرَسُولِكَ، قَالَ: لَا،
وَنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ
“Maka aku mengulanginya (doa yang diajarkan)
di hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Ketika aku sampai pada bacaan:
“Alloohumma aamantu bi-kitaabikal-ladzii anzalta”; maka aku melanjutkannya
dengan: “warosuulika”. (Mendengar itu) maka beliau menegurku: “Bukan begitu!, akan tetapi (yang
benar): ‘wanabiyyikal-ladzii arsalta’” (HR. Al-Bukhari no. 247).(15)
s. Bangkit kepada Raka’at
Ketiga dan/atau Keempat.
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا
أَرَادَ أَنْ يَسْجُدَ كَبَّرَ، ثُمَّ يَسْجُدُ، وَإِذَا قَامَ مِنَ الْقَعْدَةِ
كَبَّرَ، ثُمَّ قَامَ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu: “Bahwasannya
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam apabila hendak sujud, maka beliau bertakbir,
kemudian sujud. Dan apabila beliau hendak berdiri dari tempat duduknya (dalam shalat), maka
beliau bertakbir, kemudian berdiri” (HR. Abu
Ya’la no. 6029 dengan sanad jayyid).
قال أبو
حميد........ ثُمَّ إِذَا قَامَ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ
حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ
Berkata Abu Humaid radliyallaahu ’anhu: “....Kemudian
apabila beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam berdiri dari raka’at kedua,
beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua
pundaknya” (HR. Abu Dawud no. 730; shahih).
t. Tasyahud Akhir.
Ø Secara umum, apa yang dilakukan pada
tasyahud awal juga dilakukan pada tasyahud akhir. Hanya saja dalam tasyahud
akhir, posisi duduk adalah tawaruk.
عن أبي حميد
الساعدي: ..... وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ
الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ
Dari Abu Humaid As-Sa’idi radliyallaahu ’anhu:
“......Dan apabila beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam duduk pada raka’at
terakhir, maka beliau menjorokkan (telapak) kaki kirinya, menegakkan (telapak)
kaki kanan, dan duduk di atas pantatnya” (HR. Al-Bukhari no. 828).
Ø Membaca doa sebelum salam
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda:
عن أبي هريرة
يقول قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا فَرَغَ
أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ الآخِرِ، فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ،
مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا
وَالْمَمَاتِ، وَمِنَ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia
berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila
salah seorang diantara kamu telah menyelesaikan (bacaan) tasyahud akhir, maka
mohonlah kepada Allah agar dilindungi dari empat perkara, (yaitu): siksa neraka
Jahannam, siksa kubur, fitnah/cobaan hidup dan mati, dan kejahatan Al-Masih
Ad-Dajjal” (HR. Muslim no. 588).
Adapun lafadh doanya adalah:
اَللَّهُمَّ
إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ
فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ
Alloohumma innii a’uudzubika min ‘adzaabi
jahannama wa min ‘adzaabil-qobri wa min fitnatil-mahyaa wal-maaati wa min
syarri fitnatil-masiihid-dajjaal
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung
kepada-Mu dari siksa neraka Jahannam, siksa kubur, fitnah hidup dan mati, serta
dari kejahatan fitnah Al-Masih Ad-Dajjal” (idem).
Selain doa tersebut juga
bisa dibaca:
اَللَّهُمَّ
إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ ظُلْماً كَثِيْراً وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلا
أَنْتَ فَاغْفِرْ لِيْ مَغْفِرَة مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِيْ إِنَّكَ أَنْتَ
الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ
Alloohumma innii dholamtu nafsii dhulman
katsiiroo, walaa yaghfirudz-dzunuuba illaa anta, faghfirlii maghfirotam-min
‘indika, warhamnii innaka antal-ghofuurur-rohiim
“Ya Allah, sesungguhnya
aku banyak menganiaya diriku, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa melainkan
Engkau. Oleh karena itu, ampunilah dosa-dosaku dan berilah rahmat kepadaku.
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (HR. Al-Bukhari no.
834; dan Muslim no. 2705).
اللَّهُمَّ
حَاسِبْنِي حِسَابًا يَسِيرًا
Alloohumma haasibnii hisaabay-yasiiro
“Ya Allah,
hisablah/perhitungkanlah (segala amalku) dengan hisab/perhitungan yang mudah” (HR.
Ahmad no. 24261 dengan sanad jayyid).
اللَّهُمَّ
إِنِّي أَسْأَلُكَ يَا اللَّهُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ
يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ، أَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي إِنَّكَ
أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Alloohumma innii as-aluka yaa
alloohul-ahadush-shomad, alladzii lam yalid walam yuulad, walam yakul-lahuu
kufuwan ahad. An-taghfiro lii dzunuubii innaka antal-ghofuurur-rohiim
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu
ya Allah Yang Maha Esa, Maha Tunggal, Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu, yang tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang
pun yang setara dengan-Nya; agar Engkau mengampuni dosa-dosaku. Sesungguhnya
Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (HR. Abu Dawud no. 985; shahih).
u. Salam
Salam pertama termasuk
bagian rukun shalat yang harus dikerjakan, sedangkan salam kedua merupakan
sunnah.
عَنْ عَامِرِ
بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: كُنْتُ أَرَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ، وَعَنْ يَسَارِهِ، حَتَّى أَرَى
بَيَاضَ خَدِّهِ
Dari ’Amir bin Sa’d dari ayahnya radliyallaahu
’anhu ia berkata: “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
melakukan salam (di akhir shalat) dengan menoleh ke kanan dan ke kiri, sehingga
aku melihat putih pipi beliau” (HR. Muslim no. 582).
عَنْ عَائِشَةَ،
أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ فِي
الصَّلَاةِ تَسْلِيمَةً وَاحِدَةً تِلْقَاءَ وَجْهِهِ يَمِيلُ إِلَى الشِّقِّ
الْأَيْمَنِ شَيْئًا
Dari ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa: Bahwasannya
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam pernah melakukan satu kali salam (yaitu ke
kanan tanpa ke kiri) dalam shalatnya. Beliau memiringkan wajahnya sedikit ke
sebelah kanan” (HR. At-Tirmidzi no. 296; shahih).
Ada beberapa macam cara
salam dalam shalat, yaitu:
Mengucapkan “assalaamu
’alaikum warohmatullooh” ke kanan dan ke kiri
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ
يَمِينِهِ، وَعَنْ شِمَالِهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَةُ اللَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
Dari Abdullah (bin Mas’ud) radliyallaahu ’anhu:
Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam mengucapkan salam ke kanan dan
ke kiri hingga terlihat putih pipinya (dengan ucapan:) “Assalaamu’alaikum
warohmatullooh, assalaamu ’alaikum warohmatullooh” (HR. Abu Dawud no. 996;
shahih).
Mengucapkan salam pertama (ke kanan) «assalaamu
’alaikum warohmatulloohi wabarookatuh» dan salam kedua (ke kiri) «assalaamu
’alaikum warahmatullah»
عن وائل قال
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ يُسَلِّمُ
عَنْ يَمِينِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، وَعَنْ
شِمَالِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
Dari Wail radliyallaahu ’anhu ia berkata: “Aku
pernah shalat bersama Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, dimana beliau
mengucapkan salam ke kanan: Assalaamu ’alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh;
dan ke kiri: Assalaamu ’alaikum warohmatullooh” (HR. Abu Dawud no. 997; shahih).
Mengucapkan salam pertama (ke kanan)
«assalaamu ’alaikum warahmatullah” dan salam ke dua (ke kiri) “assalaamu
’alaikum”
عَنْ وَاسِعِ
بْنِ حَبَّانَ، قَالَ: قُلْتُ لِابْنِ عُمَرَ: أَخْبِرْنِي عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ كَانَتْ؟ قَالَ: " فَذَكَرَ
التَّكْبِيرَ قَالَ: يَعْنِي وَذَكَرَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
عَنْ يَمِينِهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ عَنْ يَسَارِهِ
Dari Wasi’ bin Hibban ia berkata: Aku bertanya
kepada Ibnu ’Umar: “Khabarkanlah kepadaku bagaimana sifat shalat Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam?”. Maka Ibnu ’Umar menjawab: “Maka beliau
mengucapkan takbir, yaitu (maksudnya) mengucapkan Assalaamu ’alaikum
warohmatullooh ke kanan dan Assalaamu ’alaikum ke kiri” (HR. Nasa’i no. 1321;
shahih).
Mengucapkan sekali salam ke kanan dengan «Assalaamu
’alaikum warohmatullaah» sebagaimana disebutkan dalam hadits ’Aisyah
radliyallaahu ’anhaa di atas.
Wallaahu a’lam.
Oleh: Abul Jauzaa’ Dony Arif Wibowo
Bahan bacaan: Shifatu Shalatin-Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam (Syaikh Al-Albani – Maktabah Al-Ma’arif), Ashlu Shifati Shalatin-Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam (Syaikh Al-Albani – Maktabah Al-Ma’arif), Fiqih
Sunnah untuk Wanita (Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim – Al-I’tisham),
Kitabul-’Ilm (Syaikh Ibnu ’Utsaimin – Daaruts-Tsuraya), Ad-Duruusul-Muhimmah
(Syaikh Ibnu Baaz – islamhouse.com/Departemen Urusan Keislaman, Saudi Arabia),
Menggerakkan Jari Telunjuk ketika Tasyahud (Ustadz Ibnu Saini – Maktabah
Abdullah), Taisirul-’Allam Syarh ’Umdatil-Ahkaam (Syaikh Aali Bassam – Daar
Ibnu Haitsam), Sunnah-Sunnah dalam Shalat yang Ditinggalkan (Dr. Anis bin Ahmad
bin Thahir – Bahrul-Ulum), Mausu’ah Hadits (Maktabah Ruuhul-Islaam),
Fathul-Baariy (Ibnu Rajab – Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah), Syarh Matni
Syuruuthish-Shalaah wa Arkaanihaa wa Waajibatihaa lisy-Syaikh Muhammad bin
’Abdil-Wahhab (Dr. Muhammad Aman Al-Jaami – Maktabah Ruuhul-Islaam), Hukmu
Taarikish-Shalah (Syaikh Al-Albani – Daarul-Jalalain), dan yang lainnya.
Footnote:
(1) Contohnya adalah sebagaimana firman Allah
ta’ala:
يَأَيّهَا
الّذِينَ آمَنُواْ صَلّواْ عَلَيْهِ وَسَلّمُواْ تَسْلِيماً
“Hai orang-orang yang beriman, berdoalah
(bershalawatlah) kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS.
Al-Ahzab: 56).
(2) Hal ini didasarkan oleh sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ
افْتَرَضَهُنَّ اللهُ تَعَالَى مَنْ أَحْسَنَ وُضُوْءَهُنَّ وَصَلاَهُنَّ
لِوَقْتِهِنَّ وَأَتَمَّ رُكُوْعَهُنَّ وَخُشُوْعَهُنَّ كَانَ لَهُ عَلَى اللهِ
عَهْدٌ أَنْ يَغْفرَ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَيْسَ لَهُ عَلَى اللهِ عَهْدٌ
إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
“Allah ta’ala telah
mewajibkan shalat lima waktu (atas para hamba-Nya). Barangsiapa yang
membaguskan wudlunya, shalat tepat pada waktunya, menyempurnakan rukuknya, dan
khusyu’; maka dia memiliki perjanjian di sisi Allah (untuk itu) untuk
mendapatkan ampunan. Dan barangsiapa yang tidak berbuat demikian, maka ia tidak
mempunyai perjanjian apapun dengan Allah. Jika Allah kehendaki, maka dia akan
diampuni. Dan jika Allah kehendaki, maka dia akan disiksa” (HR. Abu Dawud no.
425; shahih).
(3) Ada perbedaan ulama
mengenai larangan shalat setelah ‘Ashar. Sebagian ulama mengatakan bahwa
diperbolehkan mengerjakan shalat sunnah setelah ‘Ashar dengan syarat matahari
masih tinggi (panas). Adapun jumhur ulama tetap melarangnya.
(4) Lihat penjelasan Dr.
Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qaththani dalam bukunya Shalatut-Tathawwu’: Mafhumun
wa Fadlaailun wa Anwa’un wa Adabun fii Dlauil-Kitab was-Sunnah.
(5) Abu Ishaq
Asy-Syairazy rahimahullah, seorang pembesar madzhab Syafi’iyyah berkata: “Kemudian
ia berniat. Berniat termasuk fardhu-fardhu shalat karena berdasarkan sabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam: ‘Sesugguhnya amalan itu tergantung niatnya dan
bagi setiap orang apa yang ia niatkan’.; dan karena ia juga merupakan ibadah
murni (mahdlah). Maka tidak sah tanpa disertai niat seperti puasa. Sedang
tempatnya niat itu adalah di hati. Jika ia berniat dengan hatinya, tanpa
lisannya, niscaya cukup. Di antara sahabat kami ada yang berkata: ‘Dia berniat
dengan hatinya, dan melafazhkan (niat) dengan lisan’. Pendapat ini tak ada
nilainya karena niat itu adalah menginginkan sesuatu dengan hati”. (Lihat
Al-Muhadzdzab (3/168 bersama Al-Majmu’) karya Asy-Syairazy rahimahullah)
An-Nawawiy rahimahullah
berkata ketika menukil pendapat orang-orang bermadzhab Syafi’iyyah yang
membantah ucapan Abu Abdillah Az-Zubairy di atas: “Para sahabat kami -yakni
orang-orang madzhab Syafi’iyyah- berkata: ‘Orang yang berpendapat demikian
telah keliru. Bukanlah maksud Asy-Syafi’i dengan “mengucapkan” dalam shalat
adalah ini (bukan melafazhkan niat). Bahkan maksudnya adalah (mengucapkan)
takbir’” (Lihat Al-Majmu (3/168)).
(6) Adapun sutrah makmum
adalah sutrah yang dipakai oleh imam.
(7) Yaitu sebagai isyarat
dimulainya shalat dimana pada waktu itu diharamkan mengerjakan sesuatu apapun
kecuali dari gerakan shalat.
(8) Yaitu sebagai isyarat
telah selesainya shalat yang sekaligus diperbolehkannya mengerjakan suatu
pekerjaan yang lain.
(9) Hadits yang
menyatakan tentang peletakan kedua tangan di perut adalah dla’if (lemah).
(10) Terdapat pembicaraan
yang panjang dalam hadits Samurah ini yang mempunyai inti bahwa hadits ini
adalah lemah. Namun maknanya adalah benar bahwa terdapat dua tempat untuk
berhenti sejenak dalam shalat, yaitu setelah takbiratul-ihram dan setelah
membaca qira’at sebelum rukuk. Ini adalah madzhab jumhur ulama. Untuk
pembahasan takhrij hadits, silakan baca Irwaaul-Ghalil juz 2 hal. 284-288
hadits no. 505. Dan penjelasan hukum silakan baca Ashlu Shifatish-Shalatin-Nabi
hal. 601. Wallaahu a’lam.
(11) Ini adalah pendapat
Imam Malik, Imam Al-Auza’i, Imam Ahmad, dan jumhur ahli hadits. Adapun
hadits-hadits yang menyatakan sunnah meletakkan kedua lutut sebelum kedua
tangan, maka hadits-hadits ini adalah dla’if (lihat kitab Irwaa’ul-Ghaliil no.
357).
(12) Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang menghamparkan kedua siku ketika sujud
(yaitu dengan menempelkan kedua siku di lantai) dengan sabdanya:
اعْتَدِلُوْا
فِي السُّجُوْدِ وَلاَ يَبْسُطُ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبُ
“Luruslah (punggungmu)
ketika sujud, dan janganlah salah seorang diantara kamu menghamparkan kedua
hasta/sikunya seperti anjing menghamparkannya” (HR. Al-Bukhari no. 822).
(13) Adapun hadits Wail
bin Hujr, Abu Hurairah, dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhum yang menyatakan
bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mendahulukan mengangkat tangan
daripada lutut ketika berdiri dari sujud adalah hadits dla’if (lemah). Lihat
selengkapnya pembahasan takhrij hadits dalam kitab Irwaaul-Ghaliil .
(14) Adapun hadits:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيرُ بِأُصْبُعِهِ إِذَا
دَعَا وَلَا يُحَرِّكُهَا
Bahwasannya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam berisyarat dengan jari telunjuknya dan tidak
menggerak-gerakkannya” (HR. Abu Dawud no. 989, An-Nasa’i no. 1270, Abu ‘Awanah
no. 2019, dan yang lainnya); adalah hadits syadz lagi dla’if, sehingga tidak
dipakai.
(15) Doa selengkapnya adalah:
اَللَّهُمَّ
أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَضْتُ أَمْرِيْ إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِيْ
إِلَيْكَ رَغْبَة وَرَهْبَة إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَى مِنْكَ إِلَّا
إِلَيْكَ اَللَّهمَّ آمَنْتُ بِكتَابِكَ الَّذيْ أَنْزَلْت وَنَبِّيِّكَ الَّذِيْ
أَرْسَلْتَ
“Ya Allah, aku berserah
diri kepada-Mu dengan penuh harap dan rasa takut kepada-Mu. Tidak ada tempat
berlindung dan tempat mencari keselamatan dari murka dan siksa-Mu kecuali
kepada-Mu. Ya Allah, aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan
kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus”.
Perhatikanlah! Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan toleransi kepada Al-Barra’ bin
‘Azib ketika ia salah mengucapkan doa, dengan mengganti lafadh “nabi” menjadi
“rasul”. Padahal, secara substansi kedua kata ini dalam keseluruhan makna doa
tidaklah berbeda. Hanya saja, beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tetap
menginginkan keselarasan doa yang diucapkan Al-Barra’ dengan yang beliau
ajarkan kepadanya.
Lantas, bagaimana jika
kita menambah lafadh “sayyidinaa” kepada Nabi pada shalawat dalam shalat?
Penolakan ini bukanlah berarti penolakan kedudukan Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam sebagai sayyid bagi manusia. Namun, semata-mata hanyalah meneladani
lafadh doa yang beliau ajarkan sesuai dengan hadits-hadits shahih yang sampai
pada kita.
Posting Komentar untuk "Sholat dan Tata Caranya (Lengkap) Sesuai Sunnah"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.