Penjelasan Lengkap Hukum Sholat Dhuha Dalam Islam
Uraian ini akan dimulai
dari hadits pertama yang tertera di buku Bulughul-Maram[1]
yang menyinggung tentang shalat Dhuha.
وَعَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا قَالَتْ: "كَانَ رَسُولُ الله صَلّى الله
عَلَيْهِ وَسَلّم يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعاً، وَيَزِيدُ مَا شَاءَ الله".
رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhu ia berkata:
“Biasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam shalat Dhuha 4 raka’at, dan
beliau menambahnya sebanyak yang Allah kehendaki” (Hadist Shohih Diriwayatkan
oleh Muslim no. 719 – 79).
Ash-Shan’ani dalam Subulus-Salam Syarh
Bulughil-Maram[2]
berkata:
وأما حكمها فقد
جمع ابن القيم الأقوال فبلغت ستة أقوال. الأول: أنها سنة مستحبة. الثاني: لا تشرع
إلا لسبب. الثالث: لا تستحب أصلاً. الرابع: يستحب فعلها تارة وتركها تارة فلا
يواظب عليها. الخامس: يستحب الموظبة عليها في البيوت. السادس: أنها بدعة.
“Adapun mengenai hukum Shalat Dhuha, Ibnul-Qayyim telah mengumpulkan beberapa pendapat hingga mencapai 6 (enam) pendapat: Pertama, bahwa hukumnya termasuk sunnah yang disukai. Kedua, tidak disyari’atkan kecuali karena adanya sebab. Ketiga, tidak disukai sama sekali. Keempat, disukai (mustahab) untuk dikerjakan, tetapi sekali waktu boleh dikerjakan dan sekali waktu boleh untuk ditinggalkan; tidak dikerjakan terus-menerus. Kelima, shalat Dhuha adalah bid’ah” (selesai).
Sumber ke-musykil-an
adalah adanya “pertentangan” antara hadits-hadits mengenai shalat Dhuha ini. Di bawah ini akan disebutkan diantaranya:
1. وَلَهُ
عَنْهَا: أَنَّها سُئِلَتْ: هَلْ كَانَ رَسُولَ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم
يُصَلِّي الضُّحَى؟ قَالَتْ: لا. إِلا أنْ يَجِيءَ مِنْ مَغِيبِهِ.
Dari ‘Aisyah bahwasannya ia ditanya: “Apakah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat Dhuha?”.
Maka ia menjawab: “Tidak, kecuali apabila beliau pulang dari bepergian” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 717).[3]
2. وَلَهُ
عَنْهَا: مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم يُصَلِّي
سُبْحَةَ اَلضُّحَى قَطُّ, وَإِنِّي لَأُسَبِّحُهَا
Dari ‘Aisyah ia berkata: “Aku tidak pernah
melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dhuha dengan
tetap. Akan tetapi aku tetap melakukannya (yaitu shalat Dhuha)”[4] (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari no. 1128 dan Muslim no. 718).[5]
Dua hadits di atas berisi pe-nafi’-an
pengetahuan ‘Aisyah dari amalan shalat Dhuha yang telah menjadi kebiasaan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[6]
Hadits yang kedua secara lebih tegas menjelaskan bahwa walaupun ‘Aisyah tidak
mengetahui kebiasaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat
Dhuha, namun ia radliyallaahu ‘anha tetap melaksanakannya. Hal ini mengandung
pengertian bahwa apa yang dilaksanakan oleh ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha
tersebut berasal dari perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Atau setidaknya,….
berasal dari apa yang ia lihat dari beliau.
Ash-Shan’aniy berkata:
وقال البيهقي:
المراد بقولها ما رأيته سبحها أي داوم عليها. وقال ابن عبد البر: يرجح ما اتفق
عليه الشيخان وهو رواية إثباتها دون ما انفرد به مسلم وهي رواية نفيها، قال: وعدم
رؤية عائشة لذلك لا يستلزم عدم الوقوع الذي أثبته غيرها هذا معنى كلامه
Al-Baihaqi mengatakan: “Maksud dari perkataan
‘Aisyah: Aku tidak pernah melihatnya mengerjakannya; yaitu tidak senantiasa
melihatnya mengerjakannya”. Ibnu Abdil-Barr mengatakan: “Harus dinilai kuat
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim yang menetapkannya,
daripada hadits yang diriwayatkan sendiri oleh Muslim yang mengingkari Nabi
mengerjakannya dengan tetap. Menurutnya, ‘Aisyah tidak melihatnya itu tidaklah
berarti bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukannya,
karena mungkin dilihat oleh shahabat lain”.[7]
Lalu bagaimana mengkompromikan dua hadits
penafian di atas dengan hadits pertama yang berisi penetapan (dan bahkan
dipakai dalam bentuk kaana yang maknanya adalah “biasanya/selalu”) yang
sama-sama diriwayatkan oleh ‘Aisyah?
Sebagian ulama
menjelaskan bahwasannya lafadh kaana itu dibawa pada pengertian “sering” karena
ada qarinah pertentangan dalam perkataan ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha.
Akan tetapi, ada satu hal
yang perlu dicermati, yaitu perbuatan ‘Aisyah yang tetap mengerjakan shalat
Dhuha (hadits penafian yang kedua) dimana hal itu memberikan pemahaman bahwa
apa yang dilakukan ‘Aisyah itu memalingkan pengingkaran ‘Aisyah itu sendiri,
sekaligus menguatkan pendapat yang menyatakan pengingkaran ‘Aisyah itu
diucapkan sejauh pengetahuan akan perbuatan (fi’il) Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Bisa jadi apa pe-nafi’-an ‘Aisyah tersebut diucapkan saat ia dalam
keadaan tidak mengetahui kebiasaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
melakukan shalat Dhuhaa, dan akhirnya ia pun mengkhabarkan hal yang sebaliknya
(sebagaimana dalam hadits di awal tulisan) setelah datangnya pengetahuan akan
perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut.
Mari kita cermati
beberapa riwayat tentang shalat Dhuha dari shahabat lain:
عن القاسم
الشيباني؛ أن زيد بن أرقم رأى قوما يصلون من الضحى. فقال: أما لقد علموا أن الصلاة
في غير هذه الساعة أفضل. إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال "صلاة الأوابين
حين ترمض الفصال".
Dari Al-Qaasim Asy-Syaibaaniy: Bahwasannya
Zaid bin Arqam melihat suatu kaum yang sedang melaksanakan shalat di waktu dhuha,
maka ia berkata: “Tidakkah mereka mengetahui bahwasannya shalat di selain waktu
ini lebih utama?. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Shalat Awwabiin dilakukan saat anak onta kepanasan” (Diriwayatkan oleh Muslim
no. 748).
عن نعيم بن همار
قال: سمعت رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم يقول: "يقول اللّه عزّوجلّ: يا ابن
آدم لاتعجزني من أربع ركعاتٍ في أول نهارك أكفك آخره".
Dari Nu’aim bin Hammar ia berkata: Aku
mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah ‘azza wa
jalla telah berfirman: Wahai Bani Adam, janganlah engkau merasa tidak mampu
melakukan empat raka’at di awal siang untuk diri-Ku, karena Aku akan
mencukupkan dengannya untuk sisa akhir waktunya” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud
no. 1289; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud
1/239 dan Al-Irwaa’ 2/216).
عن أبي بريدة
يقول: سمعت رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم يقول: "النخاعة في المسجد تدفنها،
والشىء تنحِّيه عن الطريق، فإِن لم تجد فركعتا الضُّحى تجزئك".
Dari Abu Buraidah ia berkata: Aku mendengar
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dahak dalam masjid yang
engkau pendam dalam tanah, sesuatu yang engkau singkirkan dari jalan bisa
menjadi sedekah. Kalau tidak bisa dilakukan, dapat diganti dengan dua raka’at di waktu Dhuha.
Itu sudah cukup” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 5242; dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/984 dan Al-Irwaa’ 2/213).
عن أبي ذر، عن
النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: يصبح على كل سلامي من أحدكم صدقة فكل تسبيحة
صدقة وكل تحميدة صدقة وكل تهليلة صدقة وكل تكبيرة صدقة وأمر بالمعروف صدقة ونهي عن
المنكر صدقة ويجزئ من ذلك ركعتان يركعهما من الضحى
Dari Abu Dzarr , dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam, bahwasannya beliau bersabda: “Pada setiap pagi, setiap sendi
tubuh Bani Adam harus bersedekah. Setiap tasbih bisa menjadi sedekah. Setiap tahmid bisa
menjadi sedekah. Setiap tahlil bisa menjadi sedekah. Setiap takbir bisa menjadi
sedekah. Setiap amar ma’ruf nahi munkar juga bisa menjadi sedekah. Semua itu
dapat digantikan dengan raka’at yang dilakukan pada waktu Dhuha” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 720).
عن أنس بن مالك
قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من صلى الغداة في جماعة ثم قعد يذكر الله
حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة قال قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم تامة تامة تامة
Dari Anas bin Malik ia berkata: Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa shalat Shubuh
berjama’ah, kemudian duduk dan berdzikir kepada Allah hingga terbit matahari,
kemudian ia shalat dua raka’at (yaitu shalat Dhuha/Isyraq), ia akan memperoleh
pahala ibadah haji dan umrah, sempurna, sempurna, sempurna” (Diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi no. 586 ; dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan
Tirmidzi 1/181).
عن أبي الدرداء
وأبي ذر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الله عز وجل أنه قال: بن آدم أركع لي
من أول النهار أربع ركعات أكفك آخره
Dari Abud-Dardaa’ dan Abu Dzar, dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dari Allah ‘azza wa jalla
yang berfirman: “Wahai Bani Adam, lakukanlah shalat empat raka’at di awal
siang. Aku akan mencukupkan di akhirnya” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no.
475; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/47
dan Al-Irwaa’ 2/219).
عن أبي هريرة؛
قال: أوصاني خليلي صلى الله عليه وسلم بثلاث: بصيام ثلاثة أيام من كل شهر. وركعتي
الضحى. وأن أوتر قبل أن أرقد.
Dari Abu Hurairah ia berkata: “Kekasihku
(yaitu Rasulullah) shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan wasiat/pesan
kepadaku tentang tiga hal: Puasa tiga hari setiap bulan, dua raka’at Dhuhaa,
dan agar aku melakukan shalat witir sebelum tidur” (Diriwayatkan oleh Muslim
no. 721).
Hadits-hadits tersebut di atas menunjukkan
secara jelas perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk
mengerjakannya shalat Dhuha dan keutamaan-keutamaannya bagi siapa saja yang
mengerjakannya. Maka perbuatan ‘Aisyah yang tetap mengerjakan shalat Dhuha bukan tidak
mungkin berdasarkan hadits-hadits di atas atau yang semakna, yang sampai
kepadanya. Perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang tidak
terus-menerus melakukan shalat Dhuha sebagaimana diberitakan oleh ‘Aisyah
mengandung hikmah bagi kita. Salah satunya adalah agar tidak ada anggapan bahwa
shalat ini diwajibkan bagi setiap muslimin.
Pengkhabaran dari para
shahabat (termasuk ‘Aisyah) tentang masyru’-nya shalat Dhuha tidak bisa
diingkari. Penetapan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengandung
pengertian untuk men-dawam-kan sunnah ini, walau dalam hal-hal tertentu atau
waktu-waktu tertentu kita diperintahkan meninggalkannya sesekali sebagai
pengajaran bagi orang yang bodoh agar tidak ada anggapan bahwa shalat Dhuha ini
merupakan kewajiban.
Hal ini sejalan dengan
penjelasan Asy-Syaikh Abdulaziz bin Baaz dalam penjelasannya terhadap kitab
Bulughul-Maraam (sebagaimana yang dinukil oleh Dr. Sa’id Al-Qahthani dalam
Shalatut-Tathawwu’):
“Kedua hadits shahih ini adalah hujjah yang
kuat yang menunjukkan disyari’atkannya shalat Dhuha, bahkan hukumnya adalah
sunnah muakkad. Karena ketika Nabi mewasiatkan kepada seseorang, berarti itu
merupakan wasiat untuk seluruh umatnya, bukan khusus bagi orang itu saja,
kecuali bila ada dalil yang menunjukkan kekhususannya. Demikian juga halnya
dengan perintah dan larangan beliau, maka hukumnya adalah umum, kecuali bila
ada dalil yang mengkhususkannya. Misalnya ketika Nabi menyatakan: “Ini khusus
bagimu saja”. Keberadaan Nabi yang tidak melakukannya secara rutin tidaklah
menghilangkan sunnahnya perbuatan itu. Karena terkadang Nabi mengerjakan satu
perbuatan untuk menunjukkan bahwa perbuatan itu disyari’atkan. Lalu terkadang
beliau meninggalkannya untuk menunjukkan bahwa perbuatan itu tidaklah wajib” (selesai
perkataan Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah).
An-Nawawi rahimahullah
mengunggulkan pendapat bahwa shalat Dhuha adalah sunnah muakkad.[8]
Dan inilah pendapat jumhur ulama.
Allaahu a’lam.
Oleh: Abul Jauzaa’ Dony Arif Wibowo
[1] Tahqiq, takhrij, dan ta’liq: Samiir bin Amiin Az-Zuhairiy,
Cet. 7/1424 H; hal. 114 no. 387.
[2] 2/24 no. 363, tahqiq: ‘Ishaamuddin
Ash-Shabaabithiy & ‘Imaad As-Sayyid; Daarul-Hadiits, Cet. Thn. 1425.
[3] Lihat Buluughul-Maraam no. 388.
[4] Secara lengkap, lafadh hadits tersebut adalah
sebagai berikut:
عن
عائشة؛ أنها قالت: ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي سبحة الضحى قط. وإني
لأسبحها. وإن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليدع العمل، وهو يحب أن يعمل به،
خشية أن يعمل به الناس، فيفرض عليهم.
Dari ‘Aisyah bahwasannya ia berkata: “Aku tidak
pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dhuha
dengan tetap. Akan tetapi aku tetap melakukannya (yaitu shalat Dhuha). Jika
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu amalan padahal
beliau sebenarnya senang melakukannya, itu adalah karena khawatir amalan
tersebut dilakukan oleh orang banyak lalu diwajibkan bagi mereka”.
[5] Lihat Buluughul-Maraam no. 389.
[6] Selain dua hadits tersebut, terdapat pula
beberapa riwayat yang berisi pe-nafi’-an shalat Dhuha, diantaranya:
عن
عائشة قالت: ما صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم سبحة الضحى في سفر ولا حضر.
Dari ‘Aisyah ia berkata: “Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan shalat Dhuha secara tetap, baik
ketika safar ataupun hadir/mukim” (Diriwayatkan oleh Ad-Daarimi 1/339 dengan
sanad kuat (qawiy)).
عن
مورق قال: قلت لابن عمر رضي الله عنهما: أتصلي الضحى؟ قال: لا، قلت: فعمر؟ قال:
لا، قلت: فأبو بكر؟ قال: لا، قلت: فالنبي ؟ قال: لا إخاله.
Dari Muwarriq ia berkata: Aku pernah bertanya
kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma: “Apakah engkau melakukan shalat
Dhuha?”. Ia menjawab: “Tidak”. Aku kembali bertanya: “Bagaimana dengan ‘Umar?”. Ia
menjawab: “Tidak”. Aku kembali bertanya: “Abu Bakr?”. Ia menjawab: “Tidak”. Aku
kembali bertanya: “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam?”. Ia menjawab: “Beliau
tidak membiasakannya Aku kira tidak” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1175).
عن
عبد الرحمن بن أبي بكرة قال: رأى أبو بكرة ناسا يصلون الضحى فقال: إنهم ليصلون
صلاة ما صلاها رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا عامة أصحابه رضي الله عنهم
Dari ‘Abdurrahman bin Abi
Bakrah ia berkata: “Abu Bakrah pernah melihat orang-orang melaksanakan shalat
Dhuha. Maka ia berkata: ‘Sesungguhnya mereka melakukan shalat dimana Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan umumnya para shahabatnya radliyallaahu
‘anhum tidak melakukannya” (Diriwayatkan oleh Ahmad 5/45 dan Ad-Daarimiy 1/339;
rijal-nya tsiqaat dan sanadnya laa ba’sa bih).
[7] Subulus-Salaam, 2/25.
[8] Lihat Syarh Shahih Muslim 5/237 dan
Fathul-Baariy 3/57.
Posting Komentar untuk "Penjelasan Lengkap Hukum Sholat Dhuha Dalam Islam"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.