Mengadakan Walimah Sunatan atau Khitanan dan Memenuhi Undangannya
Para ulama berbeda
pendapat mengenai pengadaan walimah khitan. Ada yang mengatakan walimah khitan
itu sunnah, dan memenuhi undangan juga sunnah. Ini adalah madzhab Hanafiyyah(1),
satu pendapat dari madzhab Syafi’iyyah(2), dan satu pendapat dari madzhab
Hanabilah(3).
Dikatakan, disunnahkan
mengadakan walimah khitan hanya untuk anak laki-laki, bukan untuk anak
perempuan – karena khitan anak perempuan itu bersifat tersembunyi dan ada
perasaan malu untuk menampakkannya. Pendapat ini dipilih oleh Al-Adzra’iy dari
kalangan Syafi’iyyah.(4)
Dikatakan, walimah khitan
adalah mubah, dan memenuhi undangannya juga mubah. Ini adalah pendapat
Malikiyyah(5) dan Hanabilah(6).
Dan dikatakan juga,
walimah khitan itu adalah makruh, dan menghadirinya pun makruh. Pendapat ini
dipilih sebagian ulama Malikiyyah(7), dan ia merupakan satu riwayat dari Ahmad(8).
Dari berbagai pendapat
yang ada, yang raajih (kuat) hukum mengadakan walimah khitan adalah mubah,
sebab ia hanyalah terkait dengan adat istiadat dan kebiasaan manusia saja.
Inilah hukum asal dari setiap walimah, sebagaimana ditegaskan dalam kaidah
ushul:
الأصل في
الأشياء الإباحة إلا إذا أتى ما يدل على تحريم ذلك الشيء
“Asal dari segala sesuatu adalah
diperbolehkan, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya” (Min
Ushuulil-Fiqh ‘alaa Manhaji Ahlil-Hadiits, oleh Zakariyya bin Ghulaam Qaadir
Al-Baakistaaniy, hal. 166).
Ia akan diberikan pahala
sesuai dengan apa yang diniatkannya.
Adapun pendapat yang
memakruhkan, atau bahkan sampai mengharamkannya (sebagaimana beredar di
sebagian ikhwah), maka ini keliru.
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إذا دعا أحدكم
أخاه فليجب، عرسا كان أو نحوه.
“Apabila salah seorang di antara kalian mengundang (walimah) saudaranya, hendaklah ia memenuhinya – baik undangan pernikahan atau yang semisalnya” (HR. Abu Dawud no. 3738).
Perkataan beliau: “atau yang semisalnya”
mengandung faedah bahwa walimah itu tidaklah sebatas walimatul-‘urs saja. Namun
walimah-walimah lain yang menjadi kebiasaan dan adat manusia. Termasuk walimah
khitan.
Inilah yang dipegang oleh Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah, dimana beliau mengatakan:
أما الوليمة
العرس فهي سنة، والإجابة إليها مأمور بها وأما وليمة الموت فبدعة، مكروه فعلها،
والإجابة إليها. وأما وليمة الختان فهي جائزة: من شاء فعلها، ومن شاء تركها.
“Walimatul-‘urs hukumnya
sunnah dan memenuhi undangannya adalah diperintahkan. Adapun walimah atas
kematian seseorang, maka itu bid’ah yang dibenci (makruh) melaksanakannya dan
memenuhi undangannya. Sedangkan walimah khitan, maka hukumnya jaaiz
(diperbolehkan). Barangsiapa yang ingin, maka boleh ia melakukannya ataupun
meninggalkannya…” (Majmu’ Al-Fataawaa, 32/206).
Hadits di atas juga
mengandung faedah akan wajibnya memenuhi semua undangan walimah, termasuk
khitan.(9)
Syamsul-Haq ‘Adhiim
‘Abadiy berkata saat menjelaskan hadits riwayat Abu Dawud di atas:
وقد احتج بهذا
من ذهب إلى أنه يجب الإجابة إلى الدعوة مطلقاً. وزعم ابن حزم أنه قول جمهور
الصحابة والتابعين.
“Hadits ini telah digunakan sebagai hujjah
oleh orang yang berpendapat wajibnya memenuhi undangan secara mutlak. Dan Ibnu Hazm mengatakan
bahwasannya hal itu merupakan pendapat jumhur shahabat dan tabi’in” (‘Aunul-Ma’bud,
10/204).
Hal itu dikuatkan oleh
riwayat lain dengan (tambahan) lafadh:
من لم يجب
الدعوة فقد عصى الله ورسوله.
“Barangsiapa yang tidak
memenuhi undangan tersebut, sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”
(HR. Ahmad no. 5263; shahih – lihat
keterangannya dalam Adaabuz-Zifaaf, hal. 154).
Tanbih!
عن الحسن قال:
دعي عثمان بن أبي العاص إلى ختان فأبى ان يجيب فقيل له فقال انا كنا لا نأتي
الختان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا ندعى له
Dari Al-Hasan ia berkata:
“’Utsman bin Abil-‘Ash pernah diundang walimah khitan, maka ia menolak untuk
memenuhinya. Lalu ditanyakan kepadanya hal tersebut. Ia menjawab: ‘Kami dulu
pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mendatangi undangan
khitan dan tidak diadakan undangan padanya” (Diriwayatkan oleh Ahmad 4/217 no.
17938 dan Ath-Thabaraniy 9/48).
Hadits ini adalah dla’if
karena ‘an’anah Muhammad bin Ishaq, sedangkan ia seorang mudallis. Oleh karena
itu, riwayat ini tidak bisa digunakan sebagai hujjah.
Itu saja yang dapat
dituliskan. Semoga ada manfaatnya.
Oleh: Abul Jauzaa’ Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Badaai’ush-Shanaai’ (7/10).
(2) An-Nawawi rahimahullah berkata:
الوليمة مستحبة
لغير العرش
“Walimah itu disunnahkan, selain dari walimah
pernikahan (yang dihukumi wajib)” (I’aanatuth-Thaalibiin, 3/357).
وأما سائر
الولائم، فمستحبة، ليس بواجبة على المذهب وبه قطع الجمهور، ولا يتأكذ تأكد وليمة
النكاح.
“Adapun seluruh walimah, maka hukum sunnah,
bukan wajib berdasarkan pendapat madzhab. Dan pendapat inilah yang dinyatakan
oleh jumhur ulama. Namun hal itu tidaklah ditekankan (untuk mengadakannya)
sebagaimana ditekankan dalam walimah pernikahan” (Raudlatuth-Thaalibiin, 7/333).
(3) Dikatakan dalam Al-Inshaaf (5/320):
هذا قول أبي حفص
العكبري، وقطع به في الكافي، والمغني، والشرح، وشرح ابن منجا، وهو ظاهر كلام ابن
أبي موسى، قاله في المستوعب.
“Ini adalah perkataan Abu Hafsh Al-‘Ukbariy
yang dinyatakan dalam Al-Kaafiy, Al-Mughniy, Asy-Syarh, dan Syarh Ibni Manjaa. Dan hal itu yang nampak
dari perkataan Ibnu Abi Musa, dimana ia mengatakannya dalam Al-Mustau’ab”.
(4) Mughnil-Muhtaaj,
4/403.
(5) Dikatakan dalam
Mawaahibul-Jaliil (4/3):
ومباحة الإجابة:
وهي التي تعمل من غير قصد مذموم، كالعقيقة للمولود، والنقيعة للقادم من السفر،
والوكيرة لبناء الدار والخرس للنفاس، والإعذار للختان، ونحو ذلك.
“Walimah yang hukumnya mubah untuk memenuhi
undangannya adalah walimah yang dilakukan bukan untuk tujuan yang tercela,
seperti: ‘aqiqah saat kelahiran bayi, perjamuan yang dilakukan oleh orang yang
baru datang dari safar, perjamuan karena pembangunan rumah dan wanita setelah
selesai nifas, perjamuan pada waktu khitan, dan yang lainnya”.
(6) Syarh Muntahaa Al-Iraadaat (3/33),
Kasysyaaful-Qinaa’ (5/166), dan Mathaalibu Ulin-Nuhaa fii Syarh
Ghaayatul-Muntahaa (5/234). Dikatakan dalam Al-Inshaaf (8/320): “Ia merupakan
pendapat yang shahih dari madzhab”.
(7) Dikatakan dalam Asy-Syaamil:
ووجوب إجابة
الدعوة إنما هو لوليمة العرس، وأما ما عداها فحضوره مكروه إلا العقيقة فمندوب.
“Wajib hukumnya memenuhi
undangan hanya untuk walimatul-‘urs (pesta pernikahan) saja. Adapun selainnya,
maka menghadirinya adalah makruh, kecuali ‘aqiqah yang itu dianjurkan (untuk
menghadirinya)”.
(8) Al-Inshaaf (8/231).
(9) Dengan syarat jika
walimah tersebut tidak mengandung/memuat perkara-perkara yang diharamkan oleh
syari’at.
Posting Komentar untuk "Mengadakan Walimah Sunatan atau Khitanan dan Memenuhi Undangannya"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.