Hukum Menghadapkan Orang Yang Sedang Sakaratul-Maut Ke Arah Kiblat
Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Naashiruddin Al-Albaniy rahimahullah berkata dalam kitabnya yang masyhur: Ahkaamul-Janaaiz wa Bida’uhaa hal. 307 (Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1412 H) saat menjelaskan macam-macam bid’ah seputar pengurusan jenazah:
Dari paparan gambar diatas telah disebutkan beberapa poin yang dilakukan oleh orang yang sehat pada orang yang sakaratul maut. kita fokus pada pembahasan poin no. 5.
5. Menghadapkan orang yang sedang sakaratul-maut ke arah kiblat. Perbuatan tersebut telah diingkari oleh Sa’iid bin Al-Musayyib sebagaimana terdapat dalam Al-Muhallaa 5/174 dan Maalik sebagaimana dalam Al-Madkhal 3/229-230. Tidaklah shahih hadits yang menjadi dasar akan hal itu (telah lewat pembahasannya pada halalaman 11)(1).” (selesai).
Adapun atsar Sa’id bin
Al-Musayyib yang dimaksudkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah adalah:
وأما قراءة سورة
( يس ) عنده ، وتو جيهه نحو القبلة فلم يصح فيه حديث ،بل كره سعيد بن المسيب
توجيهه إليها ، وقال: " أليس الميت امرأ مسلما !؟
"
وعن زرعة بن عبد
الرحمن أنه شهد سعيد بن المسيب في مرضه وعنده أبو سلمة بن عبد الرحمن فغشي على
سعيد ، فأمر أبو سلمة أن يحول فراشه إلى الكعبة . فأفاق ، فقال: حولتم فراشي ! ؟
فقالوا نعم ، فنظر إلى أبي سلمة فقال: أراه بعلمك ؟ فقال: أنا أمرتهم!فأمر سعيد أن
يعاد فراشه.
إخرجه ابن أبي
شيبة في " المصنف " ( 4 / 76 ) بسند صحيح عن زرعة .
“Adapun bacaan surat Yaasiin di sisi mayit dan
menghadapkannyake arah kiblat, maka tidak ada satupun hadits shahih. Bahkan
menghadapkan ke arah kiblat merupakan hal yang dibenci oleh Sa’iid bin
Al-Musayyib. Ia berkata: “Bukankah mayit itu seorang muslim?”.
Dan dari Zur’ah bin ‘Abdirrahman, bahwsannya
ia pernah menyaksikan Sa’iid bin Al-Musayyib ketika ia sedang sakit dan di
sisinya ada Abu Salamah bin ‘Abdirrahman. Sa’iid pun pingsan ketika itu. Lalu
Abu Salamah memerintahkan agar tempat tidurnya dihadapkan ke arah Ka’bah
(kiblat). Sa’id kemudian sadar (dari pingsannya) dan berkata: "Apakah kalian
telah merubah tempat tidurku?”. Mereka menjawab: “Ya”. Lalu ia memandang Abu
Salamah dan berkata: “Aku pikir hal itu dilakukan berdasarkan pengetahuanmu”.
Abu Salamah berkata: “Aku (memang) yang memerintahkan mereka !”. Sa’id pun
kemudian menyuruh agar tempat tidurnya dikembalikan ke tempat semula”. (Ahkaamul-Janaaiz,
hal. 20-21).(2)
Penjelasan beliau
rahimahullah di atas perlu dicermati lebih lanjut, karena ada beberapa riwayat
yang bertolak belakang dari apa yang beliau jelaskan. Berikut di antaranya:
أخبرني إسماعيل
بن محمد بن الفضل بن محمد الشعراني ثنا جدي ثنا نعيم بن حماد ثنا عبد العزيز بن
محمد الدراوردي عن يحيى بن عبد الله بن أبي قتادة عن أبيه أن النبي صلى الله عليه
وسلم حين قدم المدينة سأل عن البراء بن معرور فقالوا توفي وأوصى بثلثه لك يا رسول
الله وأوصى أن يوجه الى القبلة لما احتضر فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أصاب
الفطرة وقد رددت ثلثه على ولده ثم ذهب فصلى عليه فقال اللهم اغفر له وارحمه وأدخله
جنتك وقد فعلت. هذا حديث صحيح فقد احتج البخاري بنعيم بن حماد واحتج مسلم بن
الحجاج بالدراوردي ولم يخرجا هذا الحديث ولا أعلم في توجه المحتضر الى القبلة غير
هذا الحديث
Telah mengkhabarkan kepada kami Isma’iil bin
Muhammad bin Fadhl bin Muhammad Asy-Sya’raaniy: Telah menceritakan kepada kami
kakekku: Telah menceitakan kepada kami Nu’aim bin Hammaad: Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad Ad-Daraawardiy, dari Yahyaa bin
‘Abdillah bin Abi Qataadah, dari ayahnya(3): Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam ketika tiba di Madinah, beliau bertanya tentang Al-Barraa’
bin Ma’ruur. Maka mereka (para shahabat) berkata: “Ia telah meninggal dan berwasiat
dengan sepertiga (hartanya) untukmu wahai Rasulullah. Ia juga berwasiat agar ia
dihadapkan ke kiblat jika ia meninggal". Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Ia berada di atas fithrah, dan aku kembalikan sepertiga harta
itu kepada anaknya”. Lalu beliau pergi untuk menshalatinya. Beliau bersabda:
“Ya Allah, ampunilah ia, sayangilah ia, dan masukkanlah ia ke dalam surga-Mu.
Dan aku telah melakukannya”.
Al-Hakim berkata: “Hadits
ini shahih. Nu’aim bin Hammaad telah digunakan sebagai hujjah oleh Al-Bukhari.
Adapun Muslim telah berhujjah dengan Ad-Daraawardiy. Namun hadits ini tidak
diriwayatkan oleh mereka berdua. Aku tidak mengetahui dalil untuk menghadapkan
kiblat bagi orang yang meninggal kecuali hadits ini” (Al-Mustadrak lil-Haakim,
1/353; Majlis Daairatil-Ma’aarif, Cet. 1/1340 H).
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
صحيح، فقد احتج
(خ) بنعيم و(م) بالدراوردي.
“Shahih, Al-Bukhari telah berhujjah dengan
Nu’aim dan Muslim berhujjah dengan Ad-Daraawardiy” (idem, 1/354).
Hadits ini lemah karena
Nu’aim bin Hammaad. Walaupun ia dipakai oleh Al-Bukhariy, para ulama telah
banyak memberikan kritik kepadanya. Setelah menyebutkan beberapa komentar ulama
dalam At-Tahdziib, Ibnu Hajar rahimahullah memberi kesimpulan dalam At-Taqriib:
صدوق يخطىء
كثيرا فقيه عارف بالفرائض
“Jujur namun banyak salahnya. Seorang faqiih
yang mengetahui seluk-beluk ilmu faraaidl” (At-Taqriib, hal. 1006 no. 7215,
tahqiq: Abul-Asybaal Shaghiir Al-Baakistaaniy; Daarul-‘Aashimah).
Selain itu, riwayat ‘Abdul-‘Aziiz
Ad-Darawardiy dari Nu’aim bin Hammaad - sebagaimana dalam sanad yang dibawakan
oleh Al-Haakim - bukan merupakan persyaratan yang dipakai oleh Al-Bukhariy.(4)
Namun riwayat ini
mempunyai beberapa penguat di antaranya:
وأخبرنا أبو بكر
بن القاضي أنبأ أبو سهل بن زياد، ثنا عبد الكريم بن الهيثم، ثنا أبو اليمان، أنبأ
شعيب، عن الزهري، عن عبد الرحمن بن عبد الله بن كعب بن مالك في قصة ذكرها قال:
وكان البراء بن معرور أول مَن استقبل القبلة حياً وميتاً.
Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr
bin Al-Qaadliy: Telah memberitakan kepada kami Abu Sahl bin Ziyad: Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdul-Kariim bin Al-Haitsam: Telah menceritakan
kepada kami Abul-Yamaan: Telah memberitakan kepada kami Syu’aib, dari
Az-Zuhriy, dari ‘Abdurahman bin ‘Abdillah bin Ka’b bin Maalik mengenai kisah
yang ia sebutkan/ceritakan. Ia berkata: “Adalah Al-Barraa’ bin Ma’ruur orang
yang pertama kali menghadap ke kiblat pada saat hidupnya maupun saat matinya” (Diriwayatkan
oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 3/384, tahqiq: Muhammad ‘Abdil-Qaadit ‘Athaa
(3/539-540); Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 3/1424 H. Al-Baihaqiy berkata:
“Hadits tersebut adalah mursal jayyid”).
Al-Haafidh Ibnu Hajar
rahimahullah berkata:
وروى يعقوب بن
سفيان في تاريخه من طريق ابن شهاب عن عبد الرحمن بن عبد الله بن خعب قال: قال خعب:
كان البراء بن معرور أول من استقبل الكعبة حياً وعند حضرة وفاته...
Ya’quub bin Sufyaan meriwayatkan dalam
Taariikh-nya dari jalan Ibnu Syihaab, dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Ka’b,
ia berkata: Telah berkata Ka’b: “Adalah Al-Barraa’ bin Ma’ruur orang yang
pertama kali menghadap ke Ka’bah (kiblat) saat hidupnya dan pada saat
kematiannya…” (Al-Ishaabah oleh Ibnu Hajar, 1/149 no. 619).
عبد الرزاق عن معمر عن الزهري: أن
البراء بن معرور الأنصاري لما حضره الموت قال لأهله وهو بالمدينة: استقبلوا بي
الكعبة.
‘Abdurrazzaaq, dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy:
Bahwasannya Al-Barraa’ bin Ma’ruur Al-Anshaariy saat menjelang kematiannya ia
berkata kepada keluarganya – yang saat itu ia berada di Madinah -: “Hadapkanlah
aku ke Ka’bah !” (Diriwayatkan oleh ‘Abdurazzaaq dalam Al-Mushannaf, 3/392 no.
6064 – mursal).
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وروى ابن شاهن
بإسنا لين من طريق عبد الله بن أبي قتادة حدثني أمي عن أبي: أن البراء بن معرور
مات قبل الهجرة فوجه قبره إلى الكبلة...
Dan Ibnu Syaahin meriwayatkan dengan sanad
layyin (lemah) dari jalan ‘Abdullah bin Abi Qataadah: Telah menceritakan
kepadaku ibuku, dari ayahku: Bahwasannya Al-Barraa’ bin Ma’ruur meninggal
sebelum hijrah, dan kuburnya dihadapkan ke arah Kiblat…” (Al-Ishaabah, 1/149).
Juga tentang kisah wafatnya Faathimah yang
dibawakan oleh Ummu Salmaa, yang di dalamnya disebutkan:
واضطجعت
واستقبلت القبلة وجعلت يدها تحت خدها
“….lalu ia tidur
terlentang, menghadap kiblat, dan meletakkan kedua tangannya di bawah pipinya…”
(Diriwayatkan Ahmad dalam Al-Musnad, 6/461 – dla’if, karena ‘an’anah Ibnu
Ishaaq dan juga karena ke-dla’if-an ‘Ubaidullah bin ‘Aliy bin Abi Raafi’).
Beberapa penguat di atas
dapat menaikkan hadits Al-Barraa’ bin Ma’ruur ke derajat hasan (lighairihi)
sehingga bisa digunakan sebagai hujjah.
Ditambah lagi, perbuatan
sebagian shahabat Sa’iid bin Al-Musayyib kepada Sa’id untuk menghadapkannya ke
arah kiblat saat menjelang wafatnya menunjukkan perbuatan tersebut merupakan
satu kelaziman di kalangan salaf. Adapun pengingkaran Sa’id, ada kemungkinan ia
belum mengetahui dalil akan masyru’-nya perbuatan itu sebagaimana diketahui
para shahabatnya rahimahumullah.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
يستحب أن يستقبل
به القبلة وهذا مجمع عليه وفى كيفيته المستحبة وجهان (أحدهما) علي قفاه واخمصاه
الي القبلة ويرفع رأسه قليلا ليصير وجهه إلى القبلة حكاه جماعات من الخراسانيين
وصاحبا الحاوى والمستظهري من العراقيين وقطع به الشيخ أبو محمد الجويني والغزالي
وغيرهما قال امام الحرمين وعليه عمل الناس (والوجه الثاني) وهو الصحيح المنصوص
للشافعي في البويطي وبه قطع جماهير العراقيين وهو الاصح عند الاكثرين من غيرهم وهو
مذهب مالك وأبى حنيفة يضحع على جنبه الايمن مستقبل القبلة كالموضوع في اللحد فان لم
يمكن لضيق المكان أو غيره فعلى جنبه الايسر إلى القبلة فان لم يمكن فعلى ففاه
والله أعلم
“Disukai untuk
menghadapkannya ke arah kiblat, dan ini telah menjadi kesepakatan. Adapun dalam
hal kaifiyah-nya, maka ada dua cara: Pertama, ia dibaringkan di atas tengkuk
dan punggungnya ke arah kiblat, dan kepalanya diangkat sedikit agar wajahnya
menghadap kiblat. Pendapat ini diriwayatkan dari para ulama Khurasan, serta
pengarang kitab Al-Haawiy (yaitu Al-Mawardiy) dan Al-Mustadhariy dari kalangan
ulama ‘Iraq. Asy-Syaikh Abu Muhammad Al-Juwainiy, Al-Ghazzaaliy, dan yang
lainnya juga memilih pendapat ini. Al-Imam Al-Haramain berkata: ‘Perbuatan
inilah yang diamalkan oleh orang-orang’. Kedua, dan inilah yang shahih ternukil
dari Asy-Syaafi’iy dalam riwayat Al-Buwaithiy. Pendapat inilah yang dipilih
oleh mayoritas ulama ‘Iraq; dan paling shahih menurut mayoritas ulama (lainnya)
dibandingkan selain mereka. Inilah madzhab Maalik dan Abu Hanifah, yaitu orang
yang akan mati itu tidur miring ke sebelah kanan menghadap kiblat, seperti
jenazah yang diletakkan di liang lahat. Apabila itu tidak bisa dilakukan karena
sempitnya tempat atau yang lainnya, maka miring ke sebelah kirinya sambil
menghadap kiblat. Jika itu tidak bisa juga, maka di atas tengkuknya (sebagaimana
cara pertama). Wallaahu a’lam” (Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, 5/105-106, tahqiq:
Muhammad Najiib Al-Muthii’iy; Maktabah Al-Irsyaad).
Asy-Syaukaniy rahimahullah berkata:
والأولى
الاستدلال لمشروعية التوجيه بما رواه الحاكم والبيهقي عن أبي قتادة: "أن
البراء بن معرور أوصى أن يوجه للقبلة إذا احتضر فقال رسول اللَّه صلى اللَّه عليه
وآله وسلم: أصاب الفطرة"
“Dan istidlal yang lebih kuat adalah
disyari’atkanya untuk menghadapkan (mayit/orang yang akan mati ke arah kiblat)
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Haakim dan Al-Baihaqiy dari Abu
Qataadah: ‘Bahwasannya Al-Barraa’ bin Ma’ruur berwasiat agar dihadapkan ke
kiblat apabila ia meninggal. Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Ia telah sesuai dengan fithrah” (Nailul-Authaar, 4/21; Maktabah Ad-Dakwah
Al-Islaamiyah).
Kesimpulan: Disunnahkan
bagi orang yang hendak meninggal untuk dihadapkan ke arah kiblat. Perbuatan ini
bukan termasuk bid’ah. Inilah pendapat kuat yang dipegang jumhur ulama salaf.
Wallaahu a’lam.
(Banyak mengambil faedah
dari penjelasan Asy-Syaikh Mushthafa bin Al-‘Adawiy hafidhahullah dalam
Al-Ghusl wal-Kafaan)
Oleh: Abul Jauzaa’ Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Sebagaimana dalam
kitab asli – Abul-Jauzaa’.
(2) Ada empat lafadh dalam
atsar Sa’iid bin Al-Musayyib rahimahullah ini:
حدثنا أبو عامر
العقدي عن محمد بن قيس قال حدثني زرعة بن عبد الرحمن أنه شهد سعيد بن المسيب في
مرضه وعنده أبو سلمة بن عبد الرحمن فغشي على سعيد فأمر أبو سلمة أن يحول فراشه إلى
الكعبة فأفاق فقال حولتم فراشي فقالوا نعم فنظر إلى أبي سلمة فقال أراه عملك فقال
أنا أمرتهم فقال فأمر سعيد أن يعاد فراشه
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir
Al-‘Aqadiy, dari Muhammad bin Qais, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku
Zur’ah bin ‘Abdirrahman, bahwsannya ia pernah menyaksikan Sa’iid bin
Al-Musayyib ketika ia sedang sakit dan di sisinya ada Abu Salamah bin
‘Abdirrahman. Sa’iid pun pingsan ketika itu. Lalu Abu Salamah memerintahkan
untuk tempat tidurnya dihadapkan ke arah Ka’bah (kiblat). Sa’id kemudian sadar
(dari pingsannya) dan berkata: Apakah kalian telah merubah tempat tidurku?”.
Mereka menjawab: “Ya”. Lalu ia memandang Abu Salamah dan berkata: “Aku pikir
hal itu dilakukan berdasarkan pengetahuanmu”. Abu Salamah berkata: “Aku
(memang) yang memerintahkan mereka !”. Sa’id pun kemudian menyuruh agar tempat
tidurnya dikembalikan ke tempat semula” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
dalam Al-Mushannaf, 3/239, tahqiq & takhrij: Muhammad ‘Awwaamah (7/121);
Daarul-Qiblah, Cet. 1/1427 H - shahih).
حدثنا جعفر بن
عون عن سفيان عن إسماعيل بن أمية عن سعيد بن المسيب أنه كرهه وقال أليس الميت
امرءا مسلما
Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin
‘Aun, dari Sufyaan, dari Ismaa’iil bin Umayyah, dari Sa’iid bin Al-Musayyib:
Bahwasannya ia membencinya (memiringkan mayit ke arah kiblat – Abul-Jauzaa’). Ia berkata: “Bukankah
mayit itu orang yang beragama Islam (muslim)?” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 3/239 (7/120) – shahih).
عن عبد الرزاق
عن ابن جريج عن إسماعيل بن أمية أن إنساناً حين حضر ابن المسيب الموتُ وهو مستلق،
قال: احرفوه، قال: أو لست عليها، يعني أنه على القبلة وإن لم كن مستقبلها لأنه
مسلم.
Dari ‘Abdurrazzaaq, dari Ibnu Juraij, dari
Ismaa’iil bin Umayyah: Bahwasannya ada seseorang yang hadir saat Sa’iid bin
Al-Musayyib menjelang kematiannya, dan ia alam keadaan tidur terlentang. Orang
tersebut berkata: “Balikkanlah ia (ke arah kiblat)”. Sa’iid berkata: “Atau
apakah aku tidak berada di atasnya?” – yaitu ia berada di atas kiblat, meskipun
ia tidak menghadap ke arahnya, karena ia seorang muslim (Diriwayatkan oleh
‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf, 3/392 no. 6062, tahqiq & takhrij:
Habiibur-Rahmaan Al-A’dhamiy, Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 2/1403 H – shahih).
عبد الرزاق عن
معمر والثوري عن إسماعيل بن أمية أن رجلاً دخل على ابن المسيب وهو شاكي مستلقي
فقال: وجّهوه للقبلة، فغضب سعيد، وقال: أَوَ لستُ إلى القبلة.
‘Abdurrazzaq, dari Ma’mar dan Ats-Tsauriy,
dari Ismaa’iil bin Umayyah: Bahwasannya ada seorang laki-laki yang masuk
menemui Ibnul-Musayyib yang tengah sakit dan tidur terlentang. Ia berkata: “Hadapkanlah
ia ke arah kiblat !”. Sa’id pun marah (mendengar itu) dan berkata: “Ataukah aku
tidak berada di atas kiblat (muslim)?” (Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dalam
Al-Mushannaf, 3/392 no. 6063 – shahih).
(3) Yang benar: “Dari
Yahyaa – yaitu Ibnu Abi Katsiir - , dari ‘Abdullah bin Abi Qataadah, dari
ayahnya” (lihat Tatabbu’u Auhaam Al-Haakim allatiii Sakata ‘Alaihadz-Dzahabiy
oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Haadiy Al-Wadi’iy, 1/499; Daarul-Haramain, Cet.
1/1417 H).
(4) Lihat At-Ta’diil
wat-Tajriih liman Kharaja ‘anhul-Bukhaariy fil-Jamii’ish-Shahiih oleh
Abul-Waliid Al-Baajiy, 2/860 no. 735, tahqiq: Ahmad Al-Bazzaar; Cet. Maroko).
Posting Komentar untuk "Hukum Menghadapkan Orang Yang Sedang Sakaratul-Maut Ke Arah Kiblat"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.