Sarana Menuju Kesyirikan dan Kekafiran
Mempelajari ta'shil tauhid dan syirik itu penting sehingga dapat membedakan dengan tepat mana syirik akbar dan mana syirik ashghar.
Sujud (menghadap) kepada kuburan sebagai misal. Dalam hadits disebutkan:
لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا
"Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya". (Diriwayatkan oleh Muslim)
Shalat - yang di dalamnya ada SUJUD - dengan menghadap kubur haram hukumnya. Namun apakah shalat dengan menghadap kubur itu syirik akbar ?. Jawabnya TIDAK, jika shalat yang ia lakukan hanya untuk Allah semata. Perbuatannya tersebut merupakan sarana yang dapat menghantarkan kepada syirik akbar, bukan syirik akbar itu sendiri.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
والسبب الذي من أجله نُهِي عن الصلاة في المقبرة في أصح قولي العلماء هو سَدُّ ذريعة الشرك، كما نُهِي عن الصلاة وقت طلوع الشمس، ووقت غروبها
"Dan sebab dilarangnya shalat di pekuburan menurut pendapat paling shahih dari dua pendapat di kalangan ulama adalah menutup sarana menuju kesyirikan, sebagaimana terlarangnya shalat pada waktu terbit dan tenggelamnya matahari". (Minhaajus-Sunnah, 2/439)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-'Utsaimiin rahimahullah berkata:
والحكمة من ذلك أن الصلاة في المقبرة، أو إلى القبر ذريعة إلى الشرك، وما كان ذريعة إلى الشرك كان محرماً، لأن الشارع قد سد كل طريق يوصل إلى الشرك، والشيطان يجري من ابن أدم مجرى الدم، فيبدأ به أولاُ في الذرائع والوسائل، ثم يبلغ به الغايات، فلو أن أحداً من الناس صلى صلاة فريضة أو صلاة تطوع في مقبرة أو على قبر فصلاته غير صحيحة
"Dan hikmah dari hal itu bahwasannya shalat di pekuburan atau menghadap kubur merupakan sarana yang dapat menghantarkan kepada kesyirikan. Dan segala sesuatu yang menghantarkan kepada kesyirikan haram hukumnya, karena Allah menutup semua jalan yang menghantarkan kepada kesyirikan, sedangkan setan berjalan pada aliran darah anak Adam. Setan memulainya dengan sarana dan perantara (kesyirikan), hingga akhirnya sampai kepada tujuan akhirnya (kesyirikan yang sebenarnya) Seandainya ada seseorang yang melakukan shalat wajib atau shalat sunnah di pekuburan atau menghadap kubur, maka shalatnya tidak sah". (sumber: https://goo.gl/S59kgF)
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
ألا ترى الصحابة من فرط حبهم للنبي صلى الله عليه وسلم قالوا: ألا نسجد لك؟ فقال: لا، فلو أذن لهم لسجدوا سجود إجلال وتوقير لا سجود عبادة كما سجد إخوة يوسف عليه السلام ليوسف، وكذلك القول في سجود المسلم لقبر النبي Shollallahu ‘alaihi wa sallam على سبيل التعظيم والتبجيل لا يكفر به أصلا بل يكون عاصيا. فليعرف أن هذا منهي عنه وكذلك الصلاة إلى القبر
"Tidakkah engkau melihat shahabat yang sangat cintanya kepada Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berkata: 'Bolehkah kami sujud kepadamu ?'. Beliau menjawab: 'Tidak boleh'. Seandainya beliau mengizinkan mereka, niscaya mereka akan sujud dengan sujud penghormatan dan pemuliaan, bukan sujud ibadah, sebagaimana sujudnya saudara Yuusuf 'alaihis-salaam kepada Yuusuf. Dan begitu pula dalam masalah sujudnya seorang muslim kepada kubur Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam dengan alasan pengagungan dan penghormatan, maka ia tidak dikafirkan pada asalnya. Akan tetapi itu (tetap) merupakan kemaksiatan. Maka hendaklah diketahui akan larangan ini, sebagaimana larangan shalat menghadap kuburan". (Mu'jamusy-Syuyyuukh, 1/55)
Jika shalat dan/atau sujudnya itu bertujuan untuk menyembah kepada orang yang ada di dalam kubur, maka ini syirik akbar. (1)
Al-Qarraafiy Al-Maalikiy rahimahullah berkata:
اتفق الناس على أن السجود للصنم على وجه التذلل والتعظيم له كفر ولو وقع مثل ذلك في حق الولد مع والده تعظيما له وتذللا أو في حق الأولياء والعلماء لم يكن كفرا
“Orang-orang bersepakat bahwa sujud kepada berhala dengan merendahkan diri dan pengagungan kepadanya adalah kufur (akbar) Dan seandainya sujud tersebut dilakukan seorang anak kepada orang tuanya sebagai pengagungan kepadanya dan perendahan diri, atau kepada para wali dan ulama, maka bukan kekufuran (akbar)(2)”. (Al-Furuuq, 1/126)
Oleh karena itu, memutlakkan kekafiran sujud kepada selain Allah tanpa perincian merupakan pendapat yang lemah.
Contoh lain adalah minta izin kepada orang tua yang telah meninggal di kuburan karena akan menikah. Apakah ini syirik akbar dan pelakunya langsung dicap musyrik lagi kafir ? Sama seperti di atas, harus dirinci.
1. Jika maksud orang tersebut adalah dalam rangka penghormatan dan wujud berbakti kepada orang tuanya dengan disertai keyakinan bahwa orang tuanya yang telah meninggal itu mendengar perkataan orang yang masih hidup, maka itu bukan syirik akbar. Seandainya sujud kepada manusia yang hidup atau yang telah mati di kubur mereka dalam rangka penghormatan tidak dikatagorikan ulama sebagai syirik akbar, tentu sekedar perkataan/izin menikah - yang itu lebih ringan daripada sujud - lebih utama untuk tidak dikatakan syirik akbar.
Bisa jadi izin itu hanya sekedar pemberitahuan saja sebagaimana jamak di masyarakat. Adapun permasalahan apakah mayit dapat mendengar perkataan orang yang masih hidup, maka ini menjadi perselisihan di kalangan ulama. Yang raajih – wallaahu a’lam – mayyit tidak dapat mendengar perkataan orang yang masih hidup kecuali keadaan-keadaan tertentu yang ditetapkan dalam nash.(3) Diantara dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
إِنّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَىَ وَلاَ تُسْمِعُ الصّمّ الدّعَآءَ إِذَا وَلّوْاْ مُدْبِرِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang”. (QS. An-Naml: 80)
Perbuatan itu bid’ah, diharamkan, dan dapat menghantarkan kepada kesyirikan (akbar)
2. Jika maksud orang tersebut dilandasi rasa khawatir akan tertimpa musibah dari Allah karena dianggap melakukan dosa, kedurhakaan, dan tidak berbakti kepada ayah-ibunya, maka ini juga bukan syirik akbar. Khawatir akan ditimpa musibah dari Allah karena dosa yang diperbuat pada asalnya diperbolehkan. Allah ta’ala berfirman:
وَمَآ أَصَابَكُمْ مّن مّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُواْ عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syuuraa: 30)
Hanya saja, anggapan dosanya itu tidak berdasar karena orang tua yang telah meninggal terputus amalannya, tidak dapat mendengar orang yang masih hidup, dan tidak perlu dimintai izin atas segala sesuatu yang dilakukan oleh orang yang masih hidup. Justru apa yang dilakukannya merupakan bid’ah yang munkar dan sarana yang dapat menghantarkan kepada kesyirikan.
Perbuatan itu bisa masuk klasifikasi tathayyur apabila ada anggapan sial jika tidak izin dulu kepada orang tua yang telah meninggal. Anggapan sial ini karena bersandar pada sebab yang tidak ada hakekatnya sebagaimana tathayyur pengikut Fir’aun atas musibah yang menimpa mereka karena keberadaan Muusa ‘alaihis-salaam dan pengikutnya. Allah ta’ala berfirman:
Allah ta’ala berfirman:
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَٰذِهِ ۖ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُ ۗ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: ‘Ini disebabkan (usaha) kami.’ Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui” (QS. Al-A’raaf: 131)
Thiyarah sendiri adalah kesyirikan, sebagaimana sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam:
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan tidaklah diantara kami pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini) Akan tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakkal (kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Muslim)
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمْ:اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ
“Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, sungguh ia telah berbuat kesyirikan”. Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa tebusannya?”. Beliau Shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah salah seorang diantara mereka mengucapkan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathayyur) melainkan makhluk-Mu dan tidak ada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Engkau” (Diriwayatkan oleh Ahmad; shahih)
Thiyarah sendiri adalah syirik ashghar, bukan syirik akbar.
3. Jika izin tersebut dilakukan karena yang bersangkutan berkeyakinan orang tuanya yang telah meninggal lah yang berkuasa memberikan maslahat dan mudlarat dalam pernikahannya, maka ini syirik akbar.
Perbuatan haram yang dapat menghantarkan kepada kesyirikan harus tetap dicegah, karena itu akan menggiring manusia kepada syirik akbar. Meski syirik ashghar, bukan berarti ia kecil di mata Allah, karena ia tetap termasuk dosa besar. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. An Nisa’: 48)
Oleh karena itu, dalam berfatwa harus hati-hati. Mengeluarkan seseorang dari wilayah Islam harus berpikir 7 kali – bahkan lebih – yang dilandasi sikap wara’ dan ketelitian terhadap permasalahannya, karena Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ وَمَنِ ادَّعَى مَا لَيْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
“Tidak ada seorang lelakipun yang mengakui bapak kepada orang yang bukan bapaknya padahal ia tahu (kalau itu bukan bapaknya), kecuali dia telah kufur. Barangsiapa yang mengaku sesuatu yang bukan haknya, berarti dia tidak termasuk golongan kami dan hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka. Dan barangsiapa yang memanggil seseorang dengan panggilan “kafir” atau “musuh Allah” padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dan Muslim)
Jangan kita menjadi badut yang ringan berfatwa takfir, yang fatwanya itu membahayakan hak kaum muslimin (darah, harta, dan kehormatannya)
Wallaahu a’lam.
Footnote:
(1) Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
السُّجُودُ عَلَى ضَرْبَيْنِ: سُجُودُ عِبَادَةٍ مَحْضَةٍ ، وَسُجُودُ تَشْرِيفٍ ، فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَلَا يَكُونُ إلَّا لِلَّهِ
“Sujud ada dua jenis: sujud ibadah mahdlah, dan sujud untuk pemuliaan/penghormatan. Adapun jenis pertama, maka tidak boleh dilakukan kecuali hanya untuk Allah”. (Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/361)
Silakan baca artikel: Sujud kepada Manusia dalam Rangka Penghormatan.
(2) Bukan berarti boleh, karena sujud kepada selain Allah apapun bentuknya tetap diharamkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
أجمع المسلمون على أن السجود لغير الله محرم
Kaum muslimin sepakat bahwa sujud kepada selain Allah diharamkan” (Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/358)
(3) Selengkapnya silakan baca artikel: Apakah Orang Mati bisa Mendengar ?.
Penulis: Abul Jauza’
(Alumnus IPB & UGM)
Layouter: Ahmadi As-Sambasy
Cilacap – Jawa Tengah
Posting Komentar untuk "Sarana Menuju Kesyirikan dan Kekafiran"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.