Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penyimpangan Aqidah Asyaa'iroh

  

Anda pernah mendengar kelompok yang menamai dirinya Asw*** yang mengaku berpaham Asyaa'irah melakukan pengkafiran terhadap suatu kelompok yang mereka sebut 'Wahabi'?. Saya yakin pernah. Bahkan belakangan genderang ditabuh semakin kencang. Pengkafiran mereka diklaim sudah terjadi semenjak era Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah yang dianggap eyangnya 'Wahabi'. Beliau mendapat kiriman pahala yang cukup banyak atas tuduhan dan makian beberapa oknum Asw***. Btw, saya nggak akan ngurus Asw***, tapi pingin bincang tentang Asyaa'irah. Kalau ditanya balik, apakah Asyaa'irah itu lurus dan benar?. Gak juga. Ternyata, sebagian 'aqidah Asyaa'irah telah banyak dikomentari dan dianggap sebagai penyimpangannya semenjak era sebelum Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Sebagian diantara penyimpangan tersebut adalah:

1. Memiliki teori Kalaamullah terbagi menjadi dua, yaitu kalaam nafsiy yang bersifat qadiim dan kalaam lafdhiy yang bersifat hadiits. Yang pertama bukan makhluk, sedangkan yang kedua makhluk. Allah ta’ala berfirman tanpa huruf dan suara (kalaam nafsi), sedangkan Al-Qur’an yang sampai ke kita melalui perantaraan Jibriil dan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah ibaarat dari firman Allah yang qadiim (yaitu: kalaam lafdhi).

Al-Baijuriy berkata:

ومذهب أهل السنة أن القرآن بمعنى كلام النفسي ليس بمخلوق، وأما القرآن بمعنى اللفظ الذي نقرؤه فهو مخلوق. لكن يمتنع أن يقال: القرآن مخلوق ويراد به اللفظ الذي نقرؤه إلا في مقام التعليم، لأنه ربما أوهم أن القرآن بمعنى كلامه تعالى مخلوق، ولذلك امتنعت الأئمة من القول بخلق القرآن

“Madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (maksudnya: Asyaa’irah) menyatakan bahwa Al-Qur’an dengan makna kalaam nafsiy bukanlah makhluk. Adapun Al-Qur’aan dengan makna lafadh (kalaam lafdhiy) yang kita baca, maka ia adalah makhluk. Akan tetapi terlarang untuk dikatakan Al-Qur’an adalah makhluk – yaitu lafadh yang kita baca - kecuali dalam konteks pengajaran. Karena, perkataan tersebut bisa disalahartikan bahwa Al-Qur’an dengan makna kalam-Nya ta’ala (kalaam nafsiy) adalah makhluk. Dengan alasan itulah para imam melarang terhadap perkataan Al-Qur’an adalah makhluk” (Hasyiyyah Al-Baijuriy ‘alaa Jauharit-Tauhiid, hal. 160)

والحاصل أن كل ظاهر من الكتاب والسنة دل على حدوث القرآن فهو محمول على اللفظ المقروء لا على الكلام النفسي، لكن يمتنع أن يقال: القرآن مخلوق إلا في مقام التعليم كما سبق

“Kesimpulan (dari pembicaraan ini), bahwa setiap nash yang nampak dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan huduutsul-Qur’aan (kemakhlukan Al-Qur’an) dibawa pada pengertian lafadh yang terbaca, bukan pada kalaam nafsiy. Akan tetapi tetap terlarang untuk dikatakan: Al-Qur’an adalah makhluk, kecuali dalam konteks pengajaran sebagaimana yang telah lalu (penyebutannya)” (idem, hal. 162)

Ar-Raaziy berkata:

فإن قيل كيف سمع جبريل كلام الله تعالى، وكلامه ليس من الحروف والأصوات عندكم؟ قلنا يحتمل أن يخلق الله تعالى له سمعا لكلامه ثم أقدره على عبارة يعبر بها عن ذلك الكلام القديم

“Apabila dikatakan: Bagaimana Jibriil dapat mendengar firman Allah (kalaamullah) sementara firman-Nya bukan berupa huruf dan suara menurut kalian?. Kami katakan: Itu diasumsikan Allah ta’ala menciptakan pendengaran baginya (Jibriil) untuk firman-Nya, kemudian Allah menjadikannya mampu membuat ibaarat yang dapat menterjemahkan kandungan firman Allah yang qadiim tersebut” (Mafaatiihul-Ghaib, 2/277)

Al-Juwainiy berkata:

فإن معنى قولهم "هذه العبارات كلام الله" أنها خَلْقُه ونحن لا ننكر أنها خلق الله، ولكن نمتنع من تسمية خالق الكلام متكلما به، فقد أطبقنا على المعنى وتنازعنا بعد الاتفاق في تسميته

"Maka sesungguhnya makna perkataan mereka (Mu’tazilah) ‘Ibarat-ibarat ini adalah kalaamullah’; yaitu ibarat tersebut merupakan makhluk-Nya. Dan kami (Asyaa’irah) tidak mengingkari bahwa itu memang makhluk-Nya. Namun kami melarang dalam hal penamaan Pencipta Kalaam telah berbicara dengannya. Sungguh kami berkesesuaian (dengan Mu’tazilah) dalam makna, namun kami berselisih - setelah adanya kesepakatan – dalam penamaannya” (Al-Irsyaad, hal. 117)

Beda casing saja dengan Mu'tazilah. Para ulama telah mengecam keras jenis penyimpangan ini. Bahkan mengkafirkannya. Diantaranya dikatakan oleh Abu Ja’far Ahmad bin Sinaan rahimahullah (w. 256 H):

مَنْ زَعَمَ أَنَّ الْقُرْآنَ شَيْئَيْنَ ، أَوْ أَنَّ الْقُرْآنَ حِكَايَةٌ ، فَهُوَ وَاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ زِنْدِيقٌ كَافِرٌ بِاللَّهِ ، هَذَا الْقُرْآنُ هُوَ الْقُرْآنُ الَّذِي أَنْزَلَهُ اللَّهُ عَلَى لِسَانِ جِبْرِيلَ ، عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم، لَا يُغَيَّرُ ، وَلَا يُبَدَّلُ ، لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ ، وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ، تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

“Barangsiapa yang menyangka Al-Qur'an terdiri dari dua (yaitu Al-Qur'an yang diturunkan dan yang tidak diturunkan), atau (menyangka) Al-Qur'an merupakan hikaayat; maka dirinya - demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah selain-Nya - orang zindiq lagi kafir kepada Allah. Al-Qur’an ini adalah Al-Qur’an yang Allah turunkan melalui lisan Jibriil kepada Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diubah dan tidak diganti. Tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji…” (Diriwayatkan oleh Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy dalam Ikhtishaashul-Qur’an hal. 31-32 no. 16; sanadnya shahih)

Abu Ja’far Ahmad bin Sinaan Al-Waasithiy adalah guru Al-Imaam Muhammad bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy rahimahumullah.

Al-Barbahaariy rahimahullah (w. 329 H):

والإيمان بأن الله تبارك وتعالى هو الذي كلم موسى بن عمران يوم الطور وموسى يسمع من الله الكلام بصوت وقع في مسامعه منه لا من غيره فمن قال غير هذا فقد كفر بالله العظيم

“Dan beriman bahwasannya Allah tabaraaka wa ta’ala berbicara kepada Muusaa bin ‘Imraan pada suatu hari di bukit Thuur, dan Muusaa mendengar perkataan Allah dengan suara melalui telinganya secara langsung, bukan dengan perantara dari selainnya. Barangsiapa yang mengatakan selain ini, sungguh ia telah kafir kepada Allah Yang Maha Agung” (Syarhus-Sunnah, hal. 90 no. 76)

Al-Laalikaa’iy rahimahullah berkata:

وأن القرآن على الحقيقة متلو في المحاريب، مكتوب في المصاحف، محفوظ في صدور الرجال، ليس بحكاية، ولا عبارة عن قرآن، وهو قرآن غير مخلوق، وغير مجعول ومربوب، بل هو من صفات ذاته، لم يزل متكلمًا، ومن قال غير هذا فهو كافر ضال مبتدع، مخالف لمذاهب أهل السنة والجماعة

“Dan bahwasannya Al-Qur’an secara hakiki dibaca di mihrab-mihrab, tertulis di mushhaf-mushhaf, dan terjaga (dihafal) di dada-dada manusia. (Semua itu) bukan hikayat dan bukan pula ibaarat dari Al-Qur’an. Al-Qur’an bukan makhluk, bukan buatan, dan bukan marbuub. Namun Al-Qur’an termasuk diantara sifat-sifat Dzaat-Nya, dan Allah akan senantiasa berbicara. Barangsiapa yang mengatakan selain ini, maka ia kafir, sesat, mubtadi’, dan menyelisihi madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah” (Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/330)

Asy-Syaikh ‘Abdul-Qaadir Al-Jiilaaniy rahimahullah (w.561 H):

فمن زعم أنه مخلوق أو عبارته أو التلاوة غير المتلو أو قال: لفظى بالقرأن مخلوق فهو كافر بالله العظيم ولا يخالط ولا يؤاكل ولا يناكح ولا يجاور٬ بل يهجر ويهان٬ ولا يصلى خلفه٬ ولا تقبل شهادته٬ ولا تصح ولايته في نكاح وليه٬ ولا يصلى عليه إذا مات٬ فإن ظفر به استتيب ثلاثا كالمرتد٬ فإن تاب وإلا قتل

“Barangsiapa yang menyangka Al-Qur’an adalah makhluk, atau ibaarat-Nya, atau bacaan yang bukan dibaca; atau mengatakan ‘lafadhku dengan Al-Qur’an adalah makhluk’; maka ia kafir terhadap Allah Yang Maha Agung. Tidak boleh diajak bergaul, tidak boleh diajak makan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh dijadikan tetangga. Bahkan wajib di-hajr (dijauhi) dan dihinakan. Tidak boleh shalat di belakangnya, tidak diterima persaksiannya, tidak sah hak perwaliannya dalam pernikahan, dan tidak boleh dishalati apabila ia meninggal. Apabila ia dapat ditangkap, maka diminta bertaubat sebanyak tiga kali seperti orang murtad. Apabila bertaubat, maka diterima; namun jika tidak, maka dibunuh” (Al-Ghunyah li-Thaalibiy Thariiqil-Haqq, 1/128)

2. Mengingkari sifat-sifat Allah yang lain.

Asyaa’irah banyak mengingkari sifat-sifat Allah dan kemudian menta’wilkannya dengan ta’wil-ta’wil menyimpang ala Jahmiyyah. Ini sudah jamak diketahui, bahkan hingga sekarang. Sangat menonjol dalam pengingkarannya terhadap sifat al-‘ulluw, an-nuzuul, serta sifat-sifat dzaatiyyah seperti tangan dan yang semisalnya.

Setelah membawakan hadits tentang shadaqah dan menjelaskan tentang madzhab salaf berkaitan dengan sifat Allah ta’ala, At-Tirmidziy rahimahullah (w.279 H) berkata:

وَأَمَّا الْجَهْمِيَّةُ فَأَنْكَرَتْ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ، وَقَالُوا: هَذَا تَشْبِيهٌ وَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي غَيْرِ مَوْضِعٍ مِنْ كِتَابهِ الْيَدَ وَالسَّمْعَ وَالْبَصَرَ، فَتَأَوَّلَتْ الْجَهْمِيَّةُ هَذِهِ الْآيَاتِ فَفَسَّرُوهَا عَلَى غَيْرِ مَا فَسَّرَ أَهْلُ الْعِلْمِ، وَقَالُوا: إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَخْلُقْ آدَمَ بِيَدِهِ، وَقَالُوا: إِنَّ مَعْنَى الْيَدِ هَاهُنَا الْقُوَّةُ،

“Dan adapun Jahmiyyah mengingkari riwayat-riwayat ini. Mereka berkata: ‘Ini adalah tasybiih’. Padahal Allah ‘azza wa jalla telah menyebutkan di banyak tempat dalam Kitab-Nya tentang (sifat) tangan, pendengaran, dan penglihatan. Namun Jahmiyyah menta’wilkan ayat-ayat ini dan menafsirkannya pada tafsiran selain yang ditafsirkan para ulama. Mereka (Jahmiyyah) berkata: ‘Sesungguhnya Allah tidak menciptakan Adam dengan tangan-Nya’; dan mereka pun berkata: ‘Sesungguhnya makna tangan di sini adalah kekuatan” (Sunan At-Tirmidziy, 2/43)

Ini juga ta’wil bathil khas Asyaa’irah yang meniru pendahulunya dari kalangan Jahmiyyah.

Muhammad bin Mush’ab Al-‘Aabid rahimahullah berkata:

مَنْ زَعَمَ أَنَّكَ لا تَتَكَلَّمُ وَلا تَرَى فِي الآخِرَةِ فَهُوَ كَافِرٌ بِوَجْهِكَ لا يَعْرِفُكَ، أَشْهَدُ أَنَّكَ فَوْقَ الْعَرْشِ فَوْقَ سَبْعِ سَمَاوَاتٍ لَيْسَ كَمَا يَقُولُ أَعْدَاءُ اللَّهِ الزَّنَادِقَةُ

“Barangsiapa yang menyangka Engkau (Allah) tidak berbicara dan tidak dapat dilihat di akhirat, maka ia kafir terhadap wajah-Mu dan tidak mengenal-Mu. Aku bersaksi bahwasannya Engkau berada di atas ‘Arsy, di atas tujuh langit. Tidak seperti yang dikatakan musuh-musuh-Mu, yaitu Zanaadiqah” (Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 167)

Abu ‘Abdillah Al-Haakim rahimahullah berkata:

سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ صَالِحِ بْنِ هَانِئٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْحَاقَ بْنِ خُزَيْمَةَ، يَقُولُ: مَنْ لَمْ يُقِرَّ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَلَى عَرْشِهِ قَدِ اسْتَوَى فَوْقَ سَبْعِ سَمَاوَاتِهِ، فَهُوَ كَافِرٌ بِرَبِّهِ يُسْتَتَابُ، فَإِنْ تَابَ، وَإِلا ضُرِبَتْ عُنُقُهُ

Aku mendengar Muhammad bin Shaalih bin Haani’ berkata: Aku mendengar Abu Bakr Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah berkata: “Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwasannya Allah ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy, di atas tujuh lagit, maka ia telah kafir terhadap Rabbnya. Ia diminta untuk bertaubat. Jika mau bertaubat, maka diterima, jika tidak, dipenggal lehernya”. (Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits hal. 84)

Abul-‘Abbaas As-Sarraaj rahimahullah (w. 313 H) berkata:

من لم يقر بأن الله تعالى يعجب، ويضحك، وينزل كل ليلة إلى السماء الدنيا، فيقول: " من يسألني فأعطيه " فهو زنديق كافر، يستتاب، فإن تاب وإلا ضربت عنقه، ولا يصلى عليه، ولا يدفن في مقابر المسلمين

“Barangsiapa yang tidak mengakui dan beriman bahwa Allah ta’ala heran, tertawa, turun (setiap malam) ke langit dunia seraya berfirman ‘Barangsiapa yang meminta kepadaku, maka akan aku beri’; maka ia zindiq lagi kafir. Ia diminta untuk bertaubat. Apabila ia bertaubat, maka diterima; namun apabila enggan, dibunuh. Tidak boleh dishalatkan (jenazahnya dan tidak boleh pula dikuburkan di pekuburan kaum muslimin”. (Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 14/396; sanadnya qawiy (kuat))

Jenis penyimpangan tersebut termasuk kufur akbar yang menyebabkan keluar dari wilayah Islam. Ini kata ulama, bukan kata saya. Sebagian ulama bahkan sangat keras terhadap kelompok Asyaa’irah ini sebagaimana riwayatnya dikumpulkan Al-Harawiy dalam Dzammul-Kalaam. Diantaranya Abu Manshuur Al-Mu’adzdzin rahimahullah berkata:

سمعت عمر بن إبراهيم يقول: لا تحل ذبائح الأشعرية؛ لأنهم ليسوا بمسلمين، ولا بأهل كتاب، ولا يثبتون في الأرض كتاب الله

Aku mendengar ‘Umar bin Ibraahiim berkata: ‘Tidak halal sembelihan orang Asy’ariyyah, karena mereka bukan termasuk kaum muslimin, bukan pula ahli kitab. Mereka tidak menetapkan Kitabullah di bumi” (Dzammul-Kalaam no. 1318)

Al-Harawiy rahimahullah berkata:

وسمعت أحمد بن الحسن الخاموشي الفقيه الرازي في داره بالري في محفل يلعن الأشعرية، ويطري الحنابلة، وذلك سنة خرجنا مع الحاج

“Dan aku pernah mendengar Ahmad bin Al-Hasan Al-Khaamuusyiy Al-Faqiih Ar-Raaziy di rumahnya di negeri Ray dalam satu perkumpulan melaknat Asy’ariyyah dan memuji Hanabilah. Hal itu terjadi di tahun kami pergi melaksanakan haji” (idem, no. 1337)

Ini adalah hukum secara umum (mutlak) tentang penyimpangan-penyimpangan mereka. Secara individu, kita tidak boleh langsung menghukumi kafir kecuali jika terpenuhi syarat-syarat pengkafirannya dan ditegakkan padanya hujjah. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وأيضا فإن تكفير الشخص المعين ، وجواز قتله موقوف على أن تبلغه الحجة النبوية التي يكفر من خالفها ، وإلا فليس كل من جهل شيئا من الدين يكفر ، ولهذا كنت أقول للجهمية من الحلولية والنفاة الذين نفوا أن الله تعـالى فوق العرش لما وقعت محنتهم أنا لو وافقتكم كنت كافرا ، لأني أعلم أن قولكم كفر ، وأنتم عندي لا تكفرون لأنكم جهال " ، وكان هذا خطابا لعلمائهم وقضاتهم ، وشيوخهم وأمرائهم ؛ وأصل جهلهم شبهات عقلية حصلت لرؤوسهم في القصور من معرفة المنقول الصحيح والمعقول الصريح الموافق له

“Dan juga, sesungguhnya pengkafiran terhadap individu tertentu dan pembolehan hukum bunuh terhadapnya tergantung pada sampainya hujjah nubuwwah yang mengkonsekuensikan hukum kekafiran terhadap orang yang menyelisihinya (nash tersebut) Jika tidak, maka tidak ada pengkafiran atas orang yang tidak mengetahui (jahil) sesuatu dari perkara agama. Oleh karena itu aku pernah mengatakan kepada penganut Jahmiyyah dari kalangan Huluuliyyah dan orang-orang yang menafikkan keberadaan Allah ta’ala di atas ‘Arsy ketika fitnah mereka muncul: ‘Seandainya aku sepakat dengan (kesesatan/penyimpangan) kalian, niscaya aku menjadi kafir, karena aku mengetahui perkataan kalian itu adalah kufur. Sedangkan kalian menurutku tidaklah kafir, karena kalian itu orang-orang bodoh (juhaal)’. Ucapan ini ditujukan kepada para ulama, hakim, syaikh, dan pemimpin mereka. Dan pokok dari kejahilan mereka adalah syubuhaat ‘aqliyyah yang berasal dari pembesar-pembesar mereka karena kurangnya pengetahuan atas nash yang shahih dan akal yang shariih yang sejalan dengannya (nash)”. (Ar-Radd ‘alal-Bakriy, hal. 259)

Wallaahu a’lam.

Penulis: Abul Jauza’

(Alumnus IPB & UGM)

Layouter: Ahmadi As-Sambasy

Cilacap – Jawa Tengah

KabeL DakwaH
KabeL DakwaH Owner Gudang Software Ryzen Store

Posting Komentar untuk "Penyimpangan Aqidah Asyaa'iroh"