Pembahasan Seputar Shaf Sholat Berjama'ah - Muslim Wajib Tahu ini !!!
Menyusun Shaff
Hadits dari Abu Mas’ud, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam diriwayatkan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
لِيَلِنِيْ مِنْكُمْ
أُولُو الْأَحْلامِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ
يَلُوْنَهُمْ
“Hendaklah yang ada di belakangku (shaf pertama bagian tengah belakang imam) adalah kalangan orang dewasa yang berilmu. Kemudian diikuti oleh mereka yang lebih rendah keilmuannya. Kemudian diikuti lagi oleh kalangan yang lebih rendah keilmuannya" (HR. Muslim no. 432).
Hadits ini mengandung faedah
bahwa menyusun shaf sesuai dengan urutan keutamaan di belakang imam. Hendaknya
di belakang imam adalah orang-orang yang lebih faqih di bidang agama dan lebih
bagus hafalan/bacaannya dalam Al-Qur’an dibandingkan yang lain; sebagaimana
imam dipilih berdasarkan yang demikian(1). Hal tersebut mengandung hikmah bahwa
bila sewaktu-waktu imam lupa/salah dalam bacaan Al-Qur’an, makmum dapat
mengingatkannya. Atau sewaktu-waktu imam ada udzur syar’i (misal batal, sakit,
dan lain-lain) sehingga imam tidak bisa meneruskan shalatnya, maka orang yang
di belakangnyalah yang akan maju menggantikan dan meneruskan imam sebelumnya
memimpin shalat berjama’ah.(2)
Meluruskan Dan Merapatkan
Shaff
1. Hadist An-Nu’man bin Basyir
radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ الله
صلى الله عليه وسلم يُسَوِّيْ صُفُوْفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّيْ بِهَا
الْقِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ ثُمَّ خَرَجَ يَوْماً
فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ فَرَأَى رَجُلاً بَادِياً صَدْرَهُ مِنَ الصَّفِّ
فَقَالَ عِبَادَ اللهِ لَتُسَوُنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ
وُجُوْهِكُمْ
Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
meluruskan shaf-shaf kami (para shahabat) seolah-olah beliau meluruskan ‘qadah’
(3) sehingga beliau yakin bahwa kami telah menyadari kewajiban kami (untuk
meluruskan shaf). Suatu hari, ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam sudah
hendak takbir, tiba-tiba beliau melihat salah seorang diantara kami
membusungkan dadanya ke depan melebihi shaf. Maka beliau bersabda:
“Hendaknya kalian meluruskan shaf-shaf kalian, kalau tidak Allah akan
menjadikan wajah-wajah kalian saling berselisih" (HR. Muslim no. 436).
2. Hadits Anas bin Malik, ia
berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasalam:
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ
فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاةِ. (وَفِيْ لَفْظٍ:
فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاةِ)
“Luruskan
shaf-shaf kalian, karena meluruskan shaf-shaf termasuk menegakkan shalat
(berjama’ah)". Dan dalam lafadh lain: “…karena meluruskan shaf termasuk
kesempurnaan shalat (berjama’ah)" (HR. Al-Bukhari no. 690 dan Muslim no.
433).
3. Hadits An-Nu’man bin Basyir radliyallaahu ‘anhu
ia berkata:
أَقْبَلَ رَسُوْلُ
الله صلى الله عليه وسلم عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ فَقَالَ أَقِيْمُوْا
صُفُوْفَكُمْ ثَلاثاً وَاللهِ لَتُقِيْمُنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ
اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ قَالَ فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ
بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ
Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam pernah
menghadap ke arah jama’ah shalat dan bersabda: “Tegakkanlah shaf kalian,
tegakkanlah shaf kalian, tegakkanlah shaf kalian. Demi Allah, bila kalian tidak
menegakkan shaf kalian, maka Allah akan mencerai-beraikan hati kalian".
An-Nu’man berkata: “Aku saksikan sendiri seorang laki-laki menempelkan bahunya
dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan
mata kaki temannya" (HR. Abu Dawud no. 662 dengan sanad shahih)
4. Atsar dari Nafi’ Maula Ibni
‘Umar bahwasannya ia menceritakan:
كان عمر يبعث رجلا
يقوم الصفوف ثم لا يكبر حتى يأتيه فيخبره أن الصفوف قد اعتدلت
"Adalah
’Umar (bin Al-Khaththab) radliyallaahu ’anhu menugaskan seseorang untuk
mengatur shaff-shaff. Tidaklah ’Umar mulai bertakbir hingga ia (orang yang
ditugaskan tersebut) kembali dan mengkhabarkan bahwasannya shaff-shaff telah lurus"
(Diriwayatkan oleh ’Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 2437 dan 2439).
Hadits di atas mengandung
faedah diantaranya:
- Disunnahkannya meluruskan
shaff dalam shalat berjama’ah, bahkan banyak di antara ulama yang mengatakannya
wajib. Hendaknya para jama’ah benar-benar memperhatikannya dengan memperhatikan
kanan kirinya, mengatur diri, dan saling mengingatkan jama’ah lain, sehingga
shaf dapat menjadi benar-benar lurus dari awal sampai akhir shalat.
- Termasuk kesempurnaan shaff
shalat berjama’ah adalah dengan merapatkannya dengan tidak membiarkan
ruang-ruang yang longgar/sela antar jama’ah. Caranya adalah dengan menempelkan
bahu dengan bahu dan mata kaki dengan mata kaki antar jama’ah/makmum
sebagaimana hadits Nu’man bin Basyir di atas. Jangan ada perasaan risih karena
tertempelnya badan saudara kita dengan badan kita. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda:
خِيَارُكُمْ
أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبَ فِي الصَّلاةِ
“Sebaik-baik kalian adalah
yang mempunyai bahu paling lembut di dalam shalat" (HR. Abu Dawud no. 623;
shahih lighairihi).
Maksud hadits ini adalah bahwa
salah satu katagori orang yang paling baik adalah orang yang ketika berada di
dalam shaff, kemudian ada orang lain yang memegang bahunya untuk menyempurnakan
(merapatkan dan meluruskan) shaff, ia akan tunduk dengan hati yang ikhlash lagi
lapang tanpa ada pembangkangan (lihat selengkapnya dalam Badzlul-Majhuud 4/338
dan Ma’alimus-Sunan 1/184).
- Hendaknya imam memperhatikan
keadaan para jama’ahnya dengan selalu mengingatkan agar shaff selalu lurus dan
rapat. Menjadi satu “keharusan" bagi seorang imam sebelum memulai shalat
untuk mengatur shaff jama’ah. Tidak cukup bagi imam hanya mengatakan (sawwuu
shufuufakum dst. “سَوُّوْا
صُفُوْفَكُمْ......). Tapi harus diikuti dengan mengingatkan dan memeriksa
keadaan shaf jama’ahnya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam. Imam bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya (yaitu
jama’ah/makmum). Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ
وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ اَلْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ
“Setiap dari kamu adalah
pemimpin, dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Dan seorang imam adalah
pemimpin dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya" (HR. Bukhari no. 853).
- Bolehnya seorang imam
menugaskan seseorang atau lebih untuk mengatur shaff-shaff shalat agar lurus
dan rapat.
Sangat Dianjurkan Menyambung
Shaff Dan Mengisi Shaff Yang Lowong.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ
وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ الصُّفُوْفَ وَمَنْ سَدَّ
فُرْجَةً رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً
“Sesungguhnya Allah dan para
malaikat-Nya selalu mendoakan orang-orang yang menyambung shaf-shaf dalam
shalat. Siapa saja yang mengisi bagian shaff yang lowong, akan diangkat
derajatnya oleh Allah satu tingkat" (HR. Ibnu Majah no. 995; shahih
lighairihi).
Termasuk hal yang
diperbolehkan dalam hal ini adalah seorang makmum maju mengisi shaff yang
lowong/kosong yang ada di depannya (yang mungkin disebabkan makmum yang ada di
shaff di depannya batal meninggalkan shaff) ketika shalat berjama’ah sedang
berlangsung.(4)
Shaff pertama adalah shaff yang paling baik
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ
النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا
أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا
...
“Seandainya
manusia mengetahui pahala dari adzan dan shalat jama’ah di shaff pertama, dan
itu hanya bisa mereka dapatkan dengan berundi, maka pasti mereka berundi" (HR.
Al-Bukhari no. 615 dan Muslim no. 437).
خَيْرُ صُفُوفِ
الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا
وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaff bagi
laki-laki adalah yang paling depan, dan yang paling jelek adalah yang paling
belakang. Adapun sebaik-baik shaff bagi wanita adalah yang paling belakang, dan
yang paling jelek adalah yang paling depan" (HR. Muslim no. 440).(5)
Shaff Bagian Kanan Lebih
Afdlal Daripada Shaff Sebelah Kiri
Point ini khusus ditujukan
bagi makmum secara umum yang bukan termasuk jajaran orang-orang yang lebih
berhak menempati posisi di belakang imam (yaitu makmum dari kalangan ’alim dan
faqih) sebagaimana dibahas di point 1. Dari Al-Barra’ bin ’Azib radliyallaahu
’anhu ia berkata:
كُنَّا إِذَا
صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أًحْبَبْنَا
أَنْ نَكُوْنَ عَنْ يَمِيْنِهِ يُقْبَلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ قَالَ فَسَمِعْتُهُ
يَقُوْلُ رَبِّ قِنِيْ عَذَابكَ يَوْمَ تَبْعَثُ أَوْ تَجْمَعُ عِبَادَكَ
"Kami
apabila shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam senang
menempati shaff di sebelah kanan. Beliau kemudian menghadap ke arah kami dan
bersabda: “Rabbi, peliharalah diriku dari siksa-Mu pada hari Engkau
membangkitkan (mengumpulkan) ham-hamba-Mu" (HR. Muslim no. 709, Ibnu Majah
no. 1006, dan Ibnu Khuzaimah no. 1563-1565. Ini adalah lafadh Muslim).(6)
Berdirinya Makmum Sendirian Di Belakang Shaff Dapat
Menyebabkan Shalatnya (Si Makmum Tersebut) Tidak Sah
Dari Hadits Ali bin Syaiban radliyallaahu ‘anhu
bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah melihat seorang
laki-laki shalat bermakmum di belakang shaf, maka beliau berhenti sampai
laki-laki itu selesai shalat. Selanjutnya beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
اسْتَقْبِلْ صَلاتَكَ
فَلا صَلاةَ لِرَجُلٍ فَرْدٍ خَلْفَ الصَّفِّ
“Ulangi
kembali shalatmu. Tidak sah shalat seorang yang yang bermakmum sendirian di belakang shaf"
(HR. Ahmad 4/23 no. 16340 dan Ibnu Majah no. 1003; dengan sanad shahih).
Para ulama berbeda pendapat
tentang permasalahan ini. Namun yang rajih, insya allah, adalah pendapat yang
mengatakan: “shalat tersebut tidak sah tanpa adanya udzur syar’i". Maksudnya:
Bila shaff di depannya masih longgar atau tidak rapat sehingga masih
memungkinkan baginya masuk mengisi di shaff tersebut; namun dia malah memilih
berdiri sendirian di belakang shaf tersebut, maka shalatnya tidak sah. Namun
bila shaf di depannya telah penuh dan rapat sehingga tidak mungkin dia masuk
mengisi di antara shaf-shaf tersebut, maka shalatnya tetap sah. Wallaahu a’lam.
(7)
Orang Yang Bermakmum Sendirian
Berada Sejajar Satu Shaff Dengan Imam
Dari ’Abdullah bin ’Abbas
radliyallaahu ’anhuma ia berkata:
بِتُّ فِي بَيْتِ
خَالَتِي مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا فِي
لَيْلَتِهَا فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ
ثُمَّ جَاءَ إلى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍِ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ
ثُمَّ قَالَ نَامَ الْغُلَيِّمُ أَوْ كَلِمَةٌُ تُشْبِهُهَا ثُمَّ قَامَ فَقُمْتُ
عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِيْنِهِ فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍِ ثُمَّ
صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيْطَهُ أَوْ خَطِيْطَهُ
ثُمَّ خَرَجَ إِلى الصَّلاةِ
"Aku
pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah bin Al-Harits, istri Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam; dan ketika itu beliau berada di rumah bibi saya
itu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat ‘Isya’ (di masjid),
kemudian beliau pulang, lalu beliau mengerjakan shalat sunnah empat raka’at.
Setelah itu beliau tidur, lalu beliau bangun dan bertanya: “Apakah anak
laki-laki itu (Ibnu ‘Abbas) sudah tidur?" atau beliau mengucapkan kalimat
yang semakna dengan itu. Kemudian beliau berdiri untuk melakukan shalat, lalu
aku berdiri di sebelah kiri beliau untuk bermakmum. Akan tetapi kemudian beliau
menjadikanku berposisi di sebelah kanan beliau. Beliau shalat lima raka’at,
kemudian shalat lagi dua raka’at, kemudian beliau tidur. Aku mendengar suara
dengkurannya yang samar-samar. Tidak berapa lama kemudian beliau bangun, lalu
pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat shubuh" (HR. Al-Bukhari no. 117,
Muslim no. 763).
Muhammad bin Isma’il
Ash-Shan’ani berkata: "Kemudian perkataan Ibnu ‘Abbas: “Lalu beliau
shallallaahu ‘alaihi wasallam menjadikanku (berposisi) di sebelah kanan beliau"
jelas menunjukkan bahwa ia (Ibnu ‘Abbas) berdiri sejajar dengan beliau. Dan
dalam lafadh yang lain disebutkan (فقمت إلى جنبه) = “Aku berdiri di samping
beliau". Dari sebagian shahabat Asy-Syafi’i menyukai/menganjurkan agar
makmum berdiri sedikit di belakang (dari imam). Akan tetapi (hal itu terbantah)
bahwasannya Ibnu Juraij telah meriwayatkan/berkata: Kami bertanya kepada ‘Atha’:
Seorang laki-laki shalat (berjama’ah) bersama seorang laki-laki (imam).
Dimanakah posisi ia berdiri dari imam tersebut?". ‘Atha’ menjawab: “Di
sebelahnya". Aku berkata: “Apakah ia berdiri sejajar dengan imam sehingga
berbaris ( = sebaris dengan imam), sehingga tidak ada selisih antara imam dan
makmum?". ‘Atha’ menjawab lagi: “Ya". Aku berkata: “Apakah tempatnya
tidak jauh sehingga tidak ada selang antara keduanya?". Beliau menjawab:
“Ya". Riwayat serupa (juga terdapat) dalam Al-Muwaththa’ dari ‘Umar dari
hadits Ibnu Mas’ud bahwasannya Ibnu Mas’ud satu shaff dengan ‘Umar dan ‘Umar
menjadikan dia sejajar dengan ‘Umar di sebelah kanannya. (Subulus-Salaam 2/44).(8)
Menghindari Tiang Atau Sesuatu
Lain Dalam Shaff (Yang Akan Memutus Kebersambungan Shaff)
Dari Mu’awiyyah bin Qurrah
dari bapaknya radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
كُنَّا نُنْهَى أَنْ
نَصُفَّ بَيْنَ السَّوَارِيْ عَلَى عَهْدِ رَسوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَنُطْرَدُ
عَنْهَا طَرْداً
“Kami dilarang untuk berbaris
di antara tiang-tiang di jaman Rasulullah dan kami menyingkir darinya"
(HR. Ibnu Majah no. 1002, Ibnu Khuzaimah no.
1567, dan Ibnu Hibban no. 2219; dengan sanad shahih).
Dari Abdul Hamid bin Mahmud
berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ أَنَسِ
بْنِ مَالِكِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ فَدُفِعْنَا إِلَى السَّوَارِيْ فَتَقَدَّمْنَا
وَتَأَخَّرْنَا فَقَالَ أَنَس كُنَّا نَتَّقِي هَذَا عَلَى عَهْدِ رَسوْلِ اللهِ
صلى الله عليه وسلم
“Aku shalat bersama Anas bin
Malik, dan kami terdesak (berbaris) pada tiang-tiang masjid. Sebagian di antara
kami ada yang maju dan ada pula yang mundur. Maka Anas berkata: ‘Kami
menghindari ini di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam" (HR. Abu Dawud no. 673, Ibnu Khuzaimah no. 1568, Ibnu
Hibban no. 2218, dan lain-lain; dengan sanad shahih).
Hadits di atas menunjukkan bahwa shaff sebaiknya
menghindari jalur yang ada tiangnya, karena hal itu dapat memutuskan shaff. Hal ini dilakukan apabila
memungkinkan, yaitu masjidnya luas. Namun apabila sempit, maka tidak mengapa
insya Allah.
*****
Marilah kita membiasakan diri
dan ‘memakmurkan’ sunnah-sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Sebagai penutup bahasan, apa yang menjadi maksud penulisan risalah singkat ini
adalah sebagaimana dikatakan Nabi Hud dalam Al-Qur’an:
إِنْ أُرِيدُ إِلاّ
الإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِيَ إِلاّ بِاللّهِ عَلَيْهِ
تَوَكّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud (kecuali)
mendatangkan perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufiq
bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal
dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali" (QS. Huud: 88).
Semoga bermanfaat. Wallaahu
a’lam.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam telah bersabda:
"يؤم القوم أقرؤهم لكتاب
الله فإن كانوا في القراءة سواء فأعلمهم بالسنة، فإن كانوا في السنة سواءً فأقدمهم
هجرة، فإن كانوا في الهجرة سواءً فأقدمهم سلماً – وفي رواية - سنّاً ولا يؤمّنَّ
الرَّجلُ الرَّجلَ في سلطانه ولا يقعد في بيته على تكْرِمَتِه إلا بإذنه“. وفي
لفظ: "يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله وأقدمهم قراءة، فإن كانت قراءتهم سواءً...“
"Yang
berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak
hafalan Al-Qur’annya. Kalau dalam Al-Qur’an kemampuannya sama, dipilih yang
paling mengerti tentang Sunnah. Kalau dalam Sunnah juga sama, maka dipilih yang
lebih dahulu berhijrah. Kalau dalam berhijrah sama, dipilih yang lebih dahulu
masuk Islam". Dalam riwayat lain: ".....yang paling tua usianya".
Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasannya, dan
janganlah ia duduk di rumah orang lain di tempat duduk khusus/kehormatan untuk
tuan rumah tersebut tanpa ijin darinya".
Dan dalam lafadh yang lain: "Satu
kaum diimami oleh orang yang paling pandai membaca Al-Qur’an di antara mereka
dan yang paling berpengalaman membacanya. Kalau bacaan mereka sama.... (sama
seperti lafadh sebelumnya). (HR. Muslim no. 673).
(2) Caranya adalah: Imam yang
udzur atau batal shalatnya tersebut memegang tangan salah seorang makmum di
belakangnya yang menurutnya pantas untuk maju menggantikannya sebagai imam
shalat. Dasarnya adalah atsar ‘Amru bin Maimun
yang menceritakan:
إني لقائم ما بيني
بينه (عمر بن الخطاب) إلا عبد الله بن عباس غداة أصيب،...... فما هو إلا أن كبَّر
فسمعته يقول: قتلني أو أكلني الكلب حين طعنه،.... وتناول عمر يد عبد الرحمن بن عوف
فقدَّمه،..... فصلى بهم عبد الرحمن صلاة خفيفة
"Aku ketika itu sedang
berdiri, sementara antara aku dengannya (yaitu ’Umar bin Al-Khaththab) hanya
ada ’Abdullah bin ’Abbas - pada hari ketika beliau tertikam. Saat itu ’Umar
hanya bertakbir dan aku mendengarnya berkata: "Aku dibunuh atau aku
dimakan oleh anjing"; yaitu ketika beliau tertikam. ’Umar segera memegang
tangan ’Abdurrahman bin ’Auf dan mengajukannya sebagai imam. ’Abdurrahman
langsung shalat mengimami jama’ah secara ringkas" (HR. Al-Bukhari no. 3497
dengan peringkasan).
Asy-Syaukani menjelaskan: "Dalam
hal itu ada indikasi yang membolehkan seorang imam mengambil pengganti ketika
ia berhalangan sehingga tindakan itu harus diambil. Karena para shahabat
membenarkan tindakan ’Umar dan tidak ada yang menyalahkannya, sehingga menjadi
ijma’. Demikian juga tindakan serupa dilakukan oleh ’Ali dan para shahabat juga
membenarkannya" (Nailul-Authaar 2/416).
(3) Kayu untuk anak panah
ketika dipahat dan diasah menjadi anak panah.
(4) Dalilnya adalah hadits
Sahl bin Sa’d As-Saa’idy radliyallaahu ‘anhu:
أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم ذهب إلى بني عمرو بن عوف ليصلح بينهم فحانت الصلاة فجاء المؤذن إلى أبي
بكر فقال أتصلي بالناس فأقيم قال نعم قال فصلى أبو بكر فجاء رسول الله صلى الله
عليه وسلم والناس في الصلاة فتخلص حتى وقف في الصف فصفق الناس وكان أبو بكر لا
يلتفت في الصلاة فلما أكثر الناس التصفيق التفت فرأى رسول الله صلى الله عليه وسلم
فأشار إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أن امكث مكانك فرفع أبو بكر يديه فحمد
الله عز وجل على ما أمره به رسول الله صلى الله عليه وسلم من ذلك ثم استأخر أبو
بكر حتى استوى في الصف وتقدم النبي صلى الله عليه وسلم فصلى ثم انصرف فقال يا أبا
بكر ما منعك أن تثبت إذ أمرتك قال أبو بكر ما كان لابن أبي قحافة أن يصلي بين يدي
رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم مالي رأيتكم
أكثرتم التصفيق من نابه شيء في صلاته فليسبح فإنه إذا سبح التفت إليه وإنما
التصفيح للنساء
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam pernah pergi ke Bani ‘Amru bin ‘Auf untuk mendamaikan mereka.
Datanglah waktu shalat, lalu muadzin datang menemui Abu Bakr radliyallaahu
‘anhu dan berkata: “Maukah engkau shalat bersama manusia (dan menjadi imam)? Akan
aku kumandangkan iqamat sekarang". Abu Bakr menjawab: “Ya". Maka Abu Bakr pun shalat (dan
menjadi imam bagi mereka). Datanglah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
ketika manusia sedang menunaikan shalatnya. Beliau mengendap ke depan hingga
masuk ke shaff makmum. Para makmum pun bertepuk tangan memberi isyarat, namun
Abu Bakr tidak menoleh sedikitpun dalam shalatnya. Ketika semakin banyak makmum
yang bertepuk tangan, Abu Bakr pun akhirnya menoleh dan melihat Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
memberikan isyarat kepadanya agar tetap diam di tempatnya (menjadi imam
shalat). Abu Bakr mengangkat kedua tangannya, bertahmid kepada Allah ’azza wa
jalla atas perintah Rasulullah kepada dirinya tersebut. Namun ia tetap mundur
dan masuk ke dalam shaff makmum (yang ada di belakangnya). Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam pun maju menjadi imam. Ketika selesai, beliau bersabda: "Wahai
Abu Bakr, apa yang menghalangimu untuk tetap berada di tempatmu sebagaimana aku
perintahkan?". Abu Bakr menjawab: "Tidaklah pantas bagi seorang anak
Abu Quhafah shalat di depan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam" (HR.
Bukhari no. 652 dan Muslim no. 421).
Hadits di atas menunjukkan
bolehnya seorang imam atau makmum untuk maju atau mundur dari shaff karena satu
sebab/keperluan dalam shalat.
(5) Shaff paling baik bagi
wanita adalah yang paling belakang ini berlaku ketika jama’ah bercampur antara
laki-laki dan perempuan. Namun jika jama’ah hanya terdiri dari kaum wanita
saja, maka shaff yang paling baik adalah yang terdepan sebagaimana keumuman
hadits sebelumnya. Wallaahu a’lam.
(6) Tanbih !! Termasuk
kesalahan imam adalah ketika ia memerintahkan makmum untuk menyeimbangkan
antara shaff yang sebelah kanan dengan shaff sebelah kiri ketika ia melihat
para jama’ah lebih memilih shaff sebelah kanan. Samahatusy-Syaikh
’Abdul-’Aziz bin Baaz mengatakan:
قد ثبت عن النبي ما
يدل على أن يمين كل صفّ، أفضل من يساره، ولا يشرع أن يقال للناس: (اعدلوا الصف)
ولا حرج أن يكون يمين الصف أكثر، حرصاً على تحصيل الفضل . أما ما ذكره بعضهم من
حديث: ((مَنْ عمر مياسر الصفوف، فله أجران)) فلا أعلم له أصلاً !! و الأظهر أنه
موضوع، وضعه بعض الكسالى الذين لا يحرصون على يمين الصف، أو لا يسابقون إليه،
والله الهادي إلى سواء السبيل
"Telah
tetap dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam yang menunjukkan bahwasannya
shaff di sebelah kanan itu lebih afdlal (utama) dibandingkan sebelah kiri.
Tidaklah disyari’atkan (bagi imam) untuk mengatakan kepada makmum: "Seimbangkanlah
shaff". Tidaklah mengapa jika makmum yang berada di sebelah kanan shaff
itu lebih banyak (dibandingkan sebelah kiri) karena menginginkan keutamaannya.
Adapun yang disebutkan oleh sebagian orang tentang hadits: "Barangsiapa
yang mengisi shaff sebelah kiri, maka baginya dua pahala" . Aku tidak
mengetahui darimana hadits ini berasal. Bahkan hadits itu adalah hadits palsu,
yang dipalsukan oleh sebagian orang-orang yang malas yang tidak bersemangat
atau bergegas mengisi shaff sebelah kanan. Hanya Allah sajalah yang
menunjukkan jalan yang benar" (Al-Fataawaa 1/61).
(7) Sebagai rujukan untuk
muraja’ah, dapat dilihat kitab-kitab sebagai berikut: Al-Mughni (Ibnu Qudamah)
3/49, Nailul-Authar (Asy-Syaukani) 2/429, Asy-Syarhul-Mumti’ (Al-‘Utsaimin),
dan yang lainnya.
(8) Hal ini berlaku pada
shalat wajib dan shalat sunnah secara umum yang antara makmum dan imam sejenis
(laki-laki semua atau wanita semua). Adapun jika imamnya laki-laki dan
makmumnya wanita, maka posisinya tetap sebagaimana biasa, yaitu imam di depan
dan makmum di belakang.
Kaifiyah ini dikecualikan
untuk shalat jenazah berjama’ah. Imam tetap berada di depan makmum, berapapun
jumlah makmum. Hal itu didasari oleh hadits ‘Abdullah bin Abi Thalhah
disebutkan:
أن أبا طلحة دعا رسول
الله صلى الله عليه وسلم إلى عمير بن أبي طلحة حين توفي فأتاه رسول الله صلى الله
عليه وسلم فصلى عليه في منزلهم، فتقدم رسول الله صلى الله عليه وسلم، وكان أبو
طلحة وراءه وأم سليم وراء أبي طلحة، ولم يكن معهم غيرهم
“Bahwasannya
Abu Thalhah pernah mengundang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mendatangi
‘Umair bin Abi Thalhah pada saat itu ia meninggal dunia. Lalu Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam datang menshalatkannya di tempat tinggal mereka.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam maju sedang Abu Thalhah di belakang beliau
serta Ummu Sulaim di belakang Abu Thalhah. Dan tidak ada orang lain lagi
bersama mereka" (HR. Hakim 1/365, Baihaqi 4/30 dan 31. Al-Hakim berkata:
“Hadits ini shahih sesuai syarat Asy-Syaikhaan". Pernyataan ini disepakati
oleh Adz-Dzahabi. Akan tetapi perkataan Al-Hakim itu dibantah oleh Syaikh
Al-Albani dalam Ahkaamul-Janaaiz yang mengatakan: Hadits itu shahih hanya
berdasarkan syarat Muslim saja).
Posting Komentar untuk "Pembahasan Seputar Shaf Sholat Berjama'ah - Muslim Wajib Tahu ini !!!"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.