Mengirim Pahala untuk Orang yang Telah Meninggal Dunia, Sampaikah?
Permasalahan tentang sampainya pahala yang
dilakukan orang yang masih hidup kepada mayit telah menjadi satu bahasan yang
mu’tabar sejak berabad-abad silam. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah,
bahwa mereka (para ulama) sepakat akan sampainya pahala yang dilakukan
oleh orang yang masih hidup kepada si mayit sebatas yang disebutkan secara
khusus oleh dalil. Yang menjadi khilaf di antara mereka adalah amal-amal selain yang
disebutkan khusus oleh dalil. Apakah amal-amal tersebut bisa diqiyaskan secara
mutlak atau tidak sehingga memberikan konsekuensi sampainya pahala kepada si
mayit? Sebagian ulama berpendapat bisa diqiyaskan, sebagian lain berpendapat
tidak bisa diqiyaskan. Dari sinilah kemudian khilaf muncul. Adapun khilaf
tersebut bisa diterangkan sebagai berikut:
1. Bahwasannya setiap
amal ibadah yang dilakukan oleh manusia yang diperuntukkan pahalanya kepada
seorang Muslim yang telah meninggal dunia adalah boleh secara mutlak dan
pahalanya akan bermanfaat bagi orang yang telah meninggal tersebut. Ini adalah
pendapat masyhur dari Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan sebagian shahabat Imam
Asy-Syafi’i. Ada yang menyebutkan bahwa ini merupakan pendapat jumhur(1).
2. Bahwasannya tidak sampai kepada mayit kecuali apa yang diterangkan oleh dalil tentang pengesahan (untuk) memberikan amalan/pahala kepada mayit, yaitu doa, shadaqah, haji, dan ’umrah. Adapun di luar hal tersebut, maka tidak disyari’atkan dan amalan/pahala yang diniatkan oleh orang yang masih hidup tidak akan sampai pada orang yang telah meninggal dunia. Ini adalah pendapat masyhur dari Imam Malik dan Imam Syafi’i.(2)
Dalil yang Dipergunakan
oleh Kelompok Pertama
1. Hadits ’Aisyah
radliyallaahu ’anhaa bahwasannya ada seorang laki-laki yang mendatangi Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam dan berkata:
يا رسول الله إن
أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku
telah meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya kira, jika ia sempat
berbicara niscaya ia akan bershadaqah. Adakah baginya pahala jika saya
bershadaqah untuknya?". Maka beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab:
"Ya" (HR. Bukhari no. 1322 dan Muslim no. 1004).
2. Hadits ’Aisyah
radliyallaahu ’anhaa bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
pernah bersabda:
من مات وعليه
صيام صام عنه وليه
"Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia
masih memiliki kewajiban puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya" (HR.
Bukhari no. 1851, Muslim no. 1147, Abu Dawud no. 2400, dan yang lainnya).
3. Hadits Abu Qatadah radliyallaahu ‘anhu
dimana ia pernah menanggung (melunasi) hutang sebesar dua dinar dari si mayit
yang kemudian dengan itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الآن حين بردت
عليه جلده
"Sekarang, menjadi
dinginlah kulitnya" (HR. Al-Hakim
2/74 bersama At-Tattabu’ no. 2401. Ia berkata: "Isnadnya shahih namun tidak dikeluarkan
oleh Bukhari dan Muslim).
4. Dan lain-lain.
Dalil-dalil di atas dan yang semisal
diqiyaskan secara mutlak terhadap amal-amal lain yang dengan itu dapat
bermanfaat bagi si mayit. Contoh dalam hal ini adalah kirim pahala amalan dzikir
dan bacaan Al-Qur’an.
Ibnu Taimiyyah pernah
ditanya tentang pembacaan Al-Qur’an dan beberapa dzikir yang dilakukan oleh
ahli mayit yang kemudian dihadiahkan kepada si mayit, maka beliau menjawab:
يصل إلى الميت
قراءة أهله، وتسبيحهم، وتكبيرهم، وسائر ذكرهم لله تعالى، إذا أهدوه إلى الميت، وصل
إليه. والله أعلم.
"Sampai kepada mayit (pahala) bacaan-bacaan
dari keluarganya dan tasbih-tasbihnya, takbir-takbirnya, serta dzikirnya kepada
Allah ta’ala; apabila ia berniat untuk menghadiahkan pahalanya (kepada si
mayit), maka sampai kepadanya. Wallaahu a’lam" (Majmu’ Al-Fataawaa 24/324).
Dalil-Dalil yang Dipakai oleh Kelompok Kedua
Pada dasarnya dalil yang dipakai oleh kelompok
pertama dipakai pula oleh kelompok kedua. Namun, kelompok kedua ini
hanya mengkhususkan amalan-amalan yang sampai adalah sebatas yang disebutkan
oleh dalil saja. Tidak diqiyaskan kepada yang lain. Dalil yang dipergunakan
untuk membangun pendapat tersebut antara lain:
1. Firman Allah ta’ala:
وَأَن لّيْسَ
لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى
"Dan bahwasannya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang diusahakannya" (QS. An-Najm: 39).
Ayat ini mengandung
pengertian: "Dan tidaklah seseorang yang berbuat itu dibalas melainkan
dari perbuatannya itu sendiri".
2. Hadits Abu Hurairah
radliyallaahu ’anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
bersabda:
إذا مات الإنسان
انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو
له
"Apabila manusia telah meninggal dunia,
maka terputuslah amalnya kecuali atas tiga hal: shadaqah jaariyah, atau ilmu
yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya" (HR. Muslim no.
1631).
An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mengatakan:
وأما قراءة
القرآن فالمشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت........ ودليل
الشافعي وموافقيه قول اللهِ تعالى: وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى.
وقول النبي صلى الله عليه وسلم: إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة
جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
"Adapun bacaan Al-Qur’an (yang pahalanya
dikirmkan kepada si mayit), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi’i adalah
bahwa perbuatan tersebut tidak akan sampai pahalanya kepada mayit yang
dikirimi...... Adapun dalil Imam Syafi’i dan para pengikutnya adalah firman
Allah (yang artinya): "Dan tidaklah seseorang itu memperoleh balasan
kecuali dari yang ia usahakan" (QS. An-Najm: 39); dan juga sabda Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam (yang artinya): "Apabila anak Adam telah
meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali atas tiga hal: shadaqah
jaariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya" (Lihat
Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi 1/90).
Al-Haitsami Haitsami dalam Al-Fatawaa Al-Kubra
Al-Fiqhiyyah telah berkata:
الميت لا يقرأ
عليه مبني على ما أطلقه المقدمون من أن القراءة لا تصله أي الميت لأن ثوابها
للقارء. والثواب المرتب على عمل لا ينقل عن عامل ذلك العمل. قال اللهِ تعالى:
وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى.
"Mayit, tidak boleh dibacakan apapun
berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama’ mutaqaddimiin (terdahulu); bahwa
bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak sampai kepadanya.
Sebab pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil
amalan tidak bisa dipindahkan dari ’aamil (orang yang mengamalkan) perbuatan
tersebut, berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya): "Dan tidaklah
seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang ia usahakan" (QS. An-Najm:
39) (Lihat Al-Fatawaa Al-Kubraa Al-Fiqhiyyah oleh Al-Haitami Haitsami 2/9).
Ibnu Katsiir dalam
Tafsir-nya ketika menafsirkan Surat An-Najm ayat 39 berkata:
أي كما لا يحمل
عليه وزر غيره, كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه, ومن هذه الاَية الكريمة
استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه, أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى,
لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم
أمته ولا حثهم عليه ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء, ولم ينقل ذلك عن أحد من
الصحابة رضي الله عنهم, ولو كان خيراً لسبقونا إليه, وباب القربات يقتصر فيه على
النصوص ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والاَراء
"Yakni sebagaimana
dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain. Demikian juga manusia
tidak memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dan dari ayat
yang mulia ini (ayat 39 QS. An-Najm), Imam Asy-Syafi’i dan ulama-ulama lain
yang mengikutinya mengambil kesimpulan bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan
kepada mayit adalah tidak dapat sampai, karena bukan dari hasil usahanya
sendiri. Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak pernah
menganjurkan umatnya untuk mengamalkannya (pengiriman pahala bacaan), dan tidak
pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat. Dan tidak
ada seorang shahabat pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalaupun
amalan semacam itu memang baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya,
padahal amalan pendekatan diri kepada Allah tersebut hanya terbatas pada
nash-nash (yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak boleh dipalingkan
dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat" (Lihat Tafsir
Al-Qur’aanil-’Adhiim li-Bni Katsiir).
Tarjih
Melihat keseluruhan dalil
yang disebutkan (baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis dalam artikel
ini), maka pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan tidak
sampainya pahala yang dilakukan oleh orang yang masih hidup kepada si mayit kecuali
yang disebutkan secara khusus oleh dalil. QS. An-Najm ayat 39 merupakan nash
yang sangat tegas bahwa seseorang itu hanyalah akan mendapat balasan (baik
pahala ataupun siksa) dari apa yang ia perbuat sendiri. Hadits Abu Hurairah
radliyallaahu 'anhu juga menjelaskan bahwa setelah seseorang itu meninggal,
maka terputuslah segala amal yang dapat bermanfaat baginya. Adapun beberapa
dalil yang menjelaskan tentang sampainya amal dan pahala – yang sama-sama
disebutkan oleh kelompok pertama maupun kedua – merupakan kasus-kasus tertentu
sebagai pengkhususan (takhshish) atas keumuman ayat. Oleh karena itu, tidak
bisa ia diqiyaskan dengan kasus-kasus (amal-amal) lain secara mutlak. Apalagi
telah shahih perkataan Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma yang menguatkan tarjih
ini:
لا يصلي أحد عن
أحد ولا يصوم أحد عن أحد ولكن يطعم عنه مكان كل يوم مدا من حنطة
"Seseorang tidak
boleh shalat untuk menggantikan shalat orang lain, dan tidak pula puasa untuk
menggantikan puasa orang lain. Akan tetapi memberikan makanan darinya setiap
hari sebanyak satu mud biji gandum" (HR. An-Nasa’i
dalam Al-Kubraa no. 2918 dan Ath-Thahawi dalam Musykilul-Aatsaar 3/141; shahih).
Pemahamannya adalah, kita tidak diperkenankan
untuk melakukan shalat (baik shalat wajib atau sunnah) bagi orang lain (baik
yang masih hidup, apalagi yang telah meninggal). Begitu pula dengan amalan
puasa(3).
Selain itu alasan yang
menjadi latar belakang tarjih ini adalah:
a. Prinsip dasar dalam
ibadah yaitu tawaquf (diam) sampai terdapat dalil yang menunjukkan disyari’atkannya.
Sedangkan di sini hanya terdapat dalil yang menunjukkan pensyariatan sebagian
saja, sehingga diharuskan meninggalkan selain itu.
b. Tidak pernah terdengar
pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan juga masa para shahabatnya
bahwa ada seseorang yang membaca Al-Qur’an kemudian menghadiahkan pahalanya
kepada si mayit. Kalaupun itu merupakan kebaikan, pastilah mereka telah
mendahului kita untuk mengerjakannya, karena mereka adalah orang yang paling
mengetahui agama Allah dan Rasul-Nya.
c. Pemberlakuan qiyas
terhadap ibadah-ibadah yang diterangkan oleh dalil dapat membukakan pintu buat
ahli bid’ah untuk memasukkan apa saja yang mereka sukai ke dalam agama Allah.
d. Bahwa para ahli bid’ah
di masa sekarang telah mengada-adakan hal-hal yang bathil, seperti mengupah
para qaari’ untuk membaca Al-Qur’an dan sebagainya, yang seringkali dilakukan
terhadap jenazah beberapa waktu setelah kematiannya. Oleh karena itu, menutup
pintu ini berarti tidak memberikan peluang kepada mereka untuk berbuat sesukanya.
e. Kebanyakan manusia
pada masa sekarang (kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah) telah
melupakan ibadah-ibadah yang disyariatkan, yang terdapat dalil shahih tentang
bolehnya menghadiahkan pahala kepada mayit; sebaliknya, mereka berpegang kepada
apa-apa yang tidak terdapat dalil padanya.
Semoga tulisan ringkas
ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua. Amien.
Wallaahu a’lam
bish-shawwab.
Footnote:
(1) Al-Majmu’
Syarhul-Muhadzdzab oleh An-Nawawi 15/522 dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah
oleh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy (tahqiq At-Turky dan takhrij Al-Arna’uth) hal.
664.
(2) Al-Majmu’
Syarhul-Muhadzdzab oleh An-Nawawi 15/521 dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah
oleh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy (tahqiq At-Turky dan takhrij Al-Arna’uth) hal.
664.
(3) Hadits: "Barangsiapa
yang meninggal dunia dan ia masih memiliki kewajiban puasa, maka hendaklah
walinya berpuasa untuknya"; terdapat perbedaan pendapat mengenai jenis
puasa yang dimaksud. Apakah ia merupakan jenis puasa Ramadlan, puasa qadla’,
puasa nadzar, atau puasa yang lainnya? Yang rajih, puasa yang dimaksudkan dalam
hadits ini adalah puasa nadzar. Penunjukan
tersebut dijelaskan dalam hadits yang lain:
عن بن عباس: أن
امرأة ركبت البحر فنذرت إن نجاها الله أن تصوم شهرا فنجاها الله فلم تصم حتى ماتت
فجاءت ابنتها أو أختها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمرها أن تصوم عنها
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma: "Bahwasannya
ada seorang wanita yang naik kapal lalu ia bernadzar jika Allah menyelematkan
ia (sampai ke daratan) ia akan berpuasa selama sebulan. Allah pun kemudian
menyelamatkannya. Wanita tersebut belum berpuasa (memenuhi nadzarnya) hingga ia
meninggal dunia. Maka datanglah anak perempuannya atau saudara perempuannya kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau memerintahkannya untuk
berpuasa untuknya" (HR. Abu Dawud no. 3308; shahih).
Posting Komentar untuk "Mengirim Pahala untuk Orang yang Telah Meninggal Dunia, Sampaikah?"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.