Hukum Syair, Musik, dan Nyanyian (Part 3)
Perkataan Ulama Mengenai
Keharaman Nyanyian yang Disertai Alat Musik
Jumhur ulama mengharamkan nyanyian yang disertai alat musik. Hal itu telah menjadi kesepakatan imam empat.
1. ’Utsman bin ’Affan
radliyallaahu ’anhu, ia berkata:
لَقَدِ
اخْتَبَأْتُ عِنْدَ رَبِّي عَشْرًا ، إِنِّي لَرَابِعُ أَرْبَعَةٍ فِي الإِسْلامِ
، وَمَا تَعَنَّيْتُ وَلا تَمَنَّيْتُ
"Sungguh aku telah bersumbunyi dari
Rab-ku selama sepuluh tahun. Dan aku adalah orang keempat dari empat orang yang
pertama kali masuk Islam. Aku tidak pernah bernyanyi dan berangan-angan....."
(Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Mu’jamul-Kabiir no. 122 – Maktabah
Sahab; hasan).
2. ‘Abdullah bin Mas’ud
radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
الغناء ينبت
النفاق في القلب
“Nyanyian itu menumbuhkan
kemunafikan dalam hati" (Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunyaa dalam
Dzammul-Malaahi 4/2 serta Al-Baihaqi dari jalannya dalam Sunan-nya 10/223 dan
Syu’abul-Iman 4/5098-5099; shahih. Lihat Tahrim Alaatith-Tharb hal. 98;
Maktabah Sahab).
3. ‘Abdullah bin ‘Umar
radliyallaahu ‘anhuma. Ibnul-Jauzi meriwayatkan sebagai berikut:
ومر ابن عمر رضي
الله عنه بقوم محرمين وفيهم رجل يتغنى قال ألا لا سمع الله لكم
"Ibnu ’Umar
radliyallaahu ’anhu pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan ihram dimana
bersama mereka ada seorang laki-laki yang sedang bernyanyi. Maka Ibnu ’Umar
berkata kepada mereka: "Ketahuilah, semoga Allah tidak mendengar doa
kalian" (Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal. 209 – Daarul-Fikr 1421).
4. ‘Abdullah bin ‘Abbas
radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata:
الدف حرام ،
والمعازف حرام ، والكوبة حرام ، والمزمار حرام
"Duff itu haram, alat musik (ma’aazif)
itu haram, al-kuubah itu haram, dan seruling itu haram" (Diriwayatkan oleh
Al-Baihaqi 10/222; shahih).
5. Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz
rahimahullah.
Al-Auza’i berkata:
كتب مع عمر بن
عبد العزيز إلى ( عمر بن الوليد ) كتابا فيه "....و إظهارك المعازف والمزمار
بدعة في الإسلام ، ولقد هممت أن أبعث إليك من يَجُزُّ جُمَّتك جمَّة سوء".
‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz pernah menulis surat
kepada ‘Umar bin Al-Waliid yang di diantaranya berisi: “….Perbuatanmu yang
memperkenalkan alat musik merupakan satu kebid’ahan dalam Islam. Dan sungguh
aku telah berniat untuk mengutus seseorang kepadamu untuk memotong rambut
kepalamu dengan cara yang kasar" (Dikeluarkan oleh An-Nasa’i dalam
Sunan-nya (2/178) dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/270) dengan sanad shahih. Disebutkan juga oleh Ibnu
‘Abdil-Hakam dalam Siratu ‘Umar (154-157) dengan panjang lebar. Juga oleh Abu
Nu’aim (5/309) dari jalan yang lain dengan sangat ringkas).
6. Abu Hanifah
rahimahullah.
Ibnul-Jauzi berkata:
أخبرنا هبة الله
بن أحمد الحريري عن أبي الطيب الطبري قال كان أبو حنيفة يكره الغناء مع إباحته شرب
النبيذ ويجعل سماع الغناء من الذنوب قال وكذلك مذهب سائر أهل الكوفة إبراهيم
والشعبي وحماد وسفيان الثوري وغيرهم لا أختلاف بينهم في ذلك قال ولا يعرف بين أهل
البصرة خلاف في كراهة ذلك والمنع منه
“Telah mengkhabarkan kepada kami Hibatullah
bin Ahmad Al-Hariry, dari Abuth-Thayyib Ath-Thabary ia berkata: “Adalah Abu
Hanifah membenci nyanyian dan memperbolehkan perasan buah. Beliau memasukkan
mendengar lagu sebagai satu dosa. Dan begitulah madzhab seluruh penduduk Kufah
seperti Ibrahim (An-Nakha’i), Asy-Sya’bi, Hammad, Sufyan Ats-Tsauri, dan yang lainnya.
Tidak ada perbedaan di antara mereka mengenai hal itu. Dan tidak diketahui pula
perbedaan pendapat akan hal yang sama di antara penduduk Bashrah dalam
kebencian dan larangan mengenai hal tersebut" (1) (Talbis Ibliis oleh
Ibnul-Jauzi hal. 205 – Daarul-Fikr 1421).
7. Malik bin Anas rahimahullah.
Telah diriwayatkan dengan sanad shahih dari
Ishaaq bin ‘Isa Ath-Thabbaa’ (termasuk perawi Muslim) oleh Abu Bakar Al-Khallal
dalam Al-Amru bil-Ma’ruf (halaman 32) dan Ibnul-Jauzi dalam Talbis Iblis (halaman
244), bahwa ia berkata:
سألت مالك بن
أنس عما يترخص فيه أهل المدينة من الغناء ؟ فقال: " إنما يفعله عندنا الفسّاق
“Aku bertanya kepada
Malik bin Anas tentang nyanyian yang diperbolehkan oleh Ahlul-Madinah ?".
Maka ia menjawab: “Bahwasannya hal bagi kami hanya dilakukan oleh orang-orang
fasiq" (selesai perkataan Imam Malik). (2)
8. Muhammad bin Idris
(Asy-Syafi’i) rahimahullah berkata:
إن الغناء لهو
مكروه يشبه الباطل والمحال ومن استكثر منه فهو سفيه ترد شهادته
“Sesungguhnya nyanyian
itu perkataan sia-sia lagi makruh, sama halnya dengan kebathilan. Barangsiapa
yang sering mendengarkan nyanyian, maka dia itu bodoh, tidak diterima
persaksiannya" (Adabul-Qadla’ - melalui perantara Al-I’laam bi-Naqdi
Kitaab Al-Halal wal-Haram oleh Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan – Maktabah
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Free Program from Islamspirit).
Beliau juga pernah berkata:
تركت بالعراق
شيئا يسمونه التغبير وضعته الزنادقة يصدون به الناس عن القرآن
“Aku meninggalkan Baghdad karena munculnya
sesuatu di sana yang mereka namakan dengan At-Taghbiir yang telah dibuat oleh
kaum Zanadiqah. Mereka memalingkan manusia dari Al-Qur’an" (Nuzhatul-Asmaa’
fii Mas-alatis-Simaa’ oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaly, Daaruth-Thayyibah 1407).
Para ulama telah
menjelaskan makna At-Taghbiir di sini dengan: "Bait-bait syair yang
mengajak bersikap zuhud terhadap dunia, dilantunkan oleh seorang penyanyi.
Sebagian yang hadir kemudian memukulkan potongan ranting di atas hamparan tikar
atau bantal, disesuaikan dengan jenis lagunya". Jumhur fuqahaa telah
melarang taghbiir ini.
9. Sa’id bin Al-Musayib
rahimahullah mengatakan:
إني لأُبغض
الغناء وأحب الرجز
“Sesungguhnya aku
membenci nyanyian, dan lebih menyukai rajaz (semacam syi’ir)" (Dikeluarkan
oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (11/6/19743) dengan sanad shahih).
10. Ahmad bin Hanbal
rahimahullah. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: "Aku pernah mendengar
ayahku (Ahmad bin Hanbal) berkomentar tentang seorang laki-laki yang kebetulan
melihat (beberapa alat musik seperti) thanbur (gitar/rebab), ’uud, thabl
(gendang), atau yang serupa dengannya, maka apa yang harus ia lakukan dengannya
?. Beliau berkata:
اذا كان مغطى
فلا وان كان مكشوفا كسره
"Apabila alat-alat
tersebut tidak tampak, maka jangan (engkau rusak). Namun bila alat-alat
tersebut nampak, maka hendaknya ia rusakkan" (Masaailul-Imam Ahmad bin
Hanbal no. 1174).
Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal pernah bertanya kepada ayahnya tentang nyanyian. Maka beliau menjawab:
يثبت النفاق في
القلب........
"Menetapkan
kemunafikan di dalam hati.......... (idem, no. 1175).
11. Syuraih Al-Qadli
rahimahullah. Abu Hushain mengatakan:
أن رجلاً كسر
طنبور رجل ، فخاصمه شريح ، فلم يضمّنه شيئاً
“Bahwasannya ada seorang
laki-laki yang mematahkan thanbur (mandolin) milik seseorang. Maka hal itu
diperkarakan kepada Syuraih (sebagai seorang Qadli pada waktu itu). Maka ia
(Syuraih) memutuskan bahwa orang yang mematahkan thanbur tersebut tidak memberi
jaminan ganti sedikitpun" (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam
Al-Mushannaf 7/312/3275 dengan sanad shahih. Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqi
6/101 dan Al-Khallal halaman 26, dimana disebutkan bahwa sesuadah itu Abu
Hushain berkata: Telah berkata Hanbal: Aku mendengar Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad)
berkata: “Hal tersebut adalah munkar, sehingga Syuraih tidak memberikan
keputusan apa-apa (pada si pemilik thanbur)".).
12. Asy-Sya’bi (‘Aamir
bin Syaraahiil) rahimahullah. Diriwayatkan oleh Isma’il bin Abi Khaalid bahwa
Asy-Sya’bi membenci upah penyanyi, dan ia (Asy-Sya’bi) berkata:
ما أحب أن آكله
“Aku tidak mau mmakannya"
(Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (7/9/2203) dengan sanad
shahih).
Beliau juga berkata:
إن الغناء ينبت
النفاق في القلب ، كما ينبت الماء الزرع ، وإن الذكر ينبت الإيمان في القلب كما
ينبت الماء الزرع
“Sesungguhnya nyanyian itu menumbuhkan emunafikan
dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan tanaman. Dan sesungguhnya dzikir itu
menumbuhkan iman sebagaimana air menumbuhkan tanaman" (Dikeluarkan oleh
Ibnun-Nashr dalam Qadrush-Shalah halaman 151/2 – 152/1 dengan sanad hasan dari
riwayat Abdullah bin Dukain, dari Firaas bin Yahya (asalnya dari Ibnu Abdillah
– dan hal itu keliru), dari Asy-Sya’bi).
13. Ibrahim bin Al-Mundzir rahimahullah –
seorang tsiqah yang berasal dari Madinah dan termasuk guru dari Al-Imam
Al-Bukhari – pernah ditanya: “Apakah engkau membolehkan nyanyian ?". Maka
beliau menjawab:
معاذ الله ، ما
يفعل هذا عندنا إلا الفسّاق
“Ma’adzallah (aku berlindung kepada Allah),
tidaklah ada yang melakukannya di sisi kami kecuali orang-orang fasiq" (Diriwayatkan
oleh Al-Khallal dengan sanad shahih).
14. Abu ‘Umar bin
Abdil-Barr (Ibnu Abdil-Barr) rahimahullah menjelaskan:
من المكاسب
المجتمع على تحريمها الربا ومهور البغاء والسحت والرشاوي وأخذ الأجرة على النياحة
والغناء وعلى الكهانة وادعاء الغيب وأخبار السماء وعلى الرمز واللعب والباطل كله
“Termasuk usaha-usaha yang haram ialah riba,
hasil perzinahan, makanan haram, suap, upah ratapan, nyanyian, hasil
perdukunan, peramal bintang, serta permainan bathil" (Al-Kaafi - Bab:
Mukhtasharul-Qauli fil-Makaasib – Free Program from Maktabah Al-Misykah).
15. Ibnush-Shalaah rahimahullah berkata dalam
Fataawaa-nya ketika ditanya tentang orang-orang yang menghalalkan nyanyian
dengan rebana dan seruling, dengan tarian dan tepuk tangan, serta mereka
menganggapnya sebagai perkara yang halal yang dapat mendekatkan diri kepada
Allah:
لقد كذبوا على
الله سبحانه وتعالى ، وشايعوا بقولهم هذا باطنية الملحدين ، وخالفوا إجماع
المسلمين ، ومن خالف إجماعهم ، فعليه ما في قوله تعالى: ( ومن يشاقق الرسول من بعد
ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا
"Sungguh, mereka
telah berdusta atas nama Allah subhaanahu wa ta’ala. Mereka mengiringi
orang-orang bathiniyyah atheis dengan perkataan mereka. Mereka juga telah
menyelisihi ijma’ kaum muslimin. Barangsiapa yang menyelisihi ijma’ mereka,
maka baginya adalah seperti yang difirmankan oleh Allah ta’ala: "Dan
barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali" (QS. An-Nisaa’: 115) (Fataawaa Ibnish-Shalah hal.
300-301 – lihat At-Tahrim hal. 115; Maktabah Sahab).
16. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
فمن فعل هـذه
الملاهـي على وجه الديانة والتقرب فلا ريب في ضلالته وجهالته
“Barangsiapa yang memainkan alat-alat musik
tersebut dalam keyakinannya menjalankan agama dan bertaqarrub kepada Allah,
maka tidak diragukan lagi kesesatan dan kebodohannya" (Majmu’ Fatawa
11/162 – Maktabah Al-Misykah).
17. ‘Abdul-‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata:
إن الاستماع إلى
الأغاني حرام ومنكر , ومن أسباب مرض القلوب وقسوتها وصدها عن ذكر الله وعن الصلاة
. وقد فسر أكثر أهل العلم قوله تعالى: سورة لقمان الآية 6 وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ الآية: بالغناء
.
“Sesungguhnya
mendengarkan nyanyian merupakan satu keharaman dan mekunkaran. Termasuk di
antara sebab hati menjadi sakit dan keras. Mencegah dzikir kepada Allah dan
menghalangi ditunaikannya shalat. Dan sungguh telah banyak ulama yang
menafsirkan firman Allah dala QS. Luqman ayat 6 "Dan diantara manusia ada
yang membeli perkataan-perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia
dari jalan Allah" (Al-Ayat). Yaitu dengan nyanyian" (Majmu’ Fatawa wa
Maqaalat Mutanawwi’ah oleh Asy-Syaikh Ibnu Baaz, 3/432 – Free Program from
Islamspirit).
18. Bakr bin ’Abdillah
Abu Zaid rahimahullah berkata:
والذي نقول هنا:
إن الذكر، والدعاء بالغناء، والتلحين، والتطريب، وإنشاد الأشعار، والأت اللهو،
والتصفيق، والتمايل، كل ذلك بدع شنيعة، وأعمال قبيحة، هي من أقبح أنواع الإبتداء
في الذكر والدعاء، فواجب على كل فاعل لها، أو لشيء منها، الإقلاء عنه، وأن لا يجعل
نفسه مطية لهواه وشيطانه، وواجب على من رأى شيئاًَ من ذلك إنكاره، وواجب على من
بسط الله يده علي المسلمين، منعه، وتأدبوهّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّ
فاعله، وردعه، وتبصير لدينه
Dan sesungguhnya kami mengatakan di sini: "Sesungguhnya
dzikir dan doa dengan nyanyian, dengan lirik yang disertai tabuhan alat musik,
melantunkan syair, tepuk tangan; semua itu termasuk perbuatan bid’ah, sangat
menjijikkan dan perbuatan yang buruk. Lebih buruk daripada pelanggaran dalam
berdzikir dan berdoa. Siapapun yang melakukan hal itu atau sebagian di
antaranya harus segera melepaskan diri darinya, tidak membuat dirinya tunduk
kepada hawa nafsu dan bisikan syaithan. Siapapun yang melihat dari sebagian hal-hal itu harus
mengingkarinya. Siapapun di antara kaum muslimin yang mempunyai kekuatan
terhadap harus mencegahnya, mencela pelakunya, meluruskannya, dan menjelaskan
kedudukan hal tersebut dalam kaca mata agamanya" (Tashhiihud-Du’a hal. 78
– Daarul-’Ashimah 1419).
Nyanyian dan musik yang
diperkecualikan…..
Ada saat-saat tertentu
dimana nyanyian dan alat musik ini diperbolehkan untuk dimainkan dan
didengarkan. Di antaranya adalah:
1. Pada saat hari raya.
Dalilnya adalah apa yang
diriwayatkan oleh ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa sebagaimana telah lewat (HR.
Bukhari no. 907 dan Muslim no. 892). Selain itu, masih dalam riwayat ‘Aisyah
yang dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya:
أن أبا بكر رضى
الله تعالى عنه دخل عليها وعندها جاريتان في أيام منى تدففان وتضربان والنبي صلى
الله عليه وسلم متغش بثوبه فانتهرهما أبو بكر فكشف النبي صلى الله عليه وسلم عن
وجهه فقال دعهما يا أبا بكر فإنها أيام عيد وتلك الأيام أيام منى وقالت عائشة رأيت
النبي صلى الله عليه وسلم يسترني وأنا أنظر إلى الحبشة وهم يلعبون في المسجد فزجرهم
عمر فقال النبي صلى الله عليه وسلم دعهم أمنا بني أرفدة يعني من الأمن
"Bahwasannya Abu Bakr radliyallaahu
ta’ala ’anhu masuk menemuinya (’Aisyah) dimana di sampingnya terdapat dua orang
anak perempuan di hari Mina yang memukul duff. Adapun Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam waktu itu dalam keadaan menutup wajahnya dengan bajunya. Ketika melihat hal
tersebut, maka Abu Bakr membentak kedua anak perempuan tadi. Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam kemudian membuka bajunya yang menutup wajahnya dan berkata: "Biarkan
mereka wahai Abu Bakr, sesungguhnya hari ini adalah hari raya Mina" . Pada
waktu itu adalah hari-hari Mina" (HR. Al-Bukhari no. 944).
2. Pada saat pernikahan.
قالت الربيع بنت
معوذ بن عفراء جاء النبي صلى الله عليه وسلم فدخل حين بني علي فجلس على فراشي
كمجلسك مني فجعلت جويريات لنا يضربن بالدف ويندبن من قتل من آبائي يوم بدر إذ قالت
إحداهن وفينا نبي يعلم ما في غد فقال دعي هذه وقولي بالذي كنت تقولين
Telah berkata Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin
’Afraa’: "Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam datang ketika acara
pernikahanku. Maka beliau duduk di atas tempat tidurku seperti duduknya engkau
(yaitu Khalid bin Dzakwaan – orang yang diajak bicara Ar-Rubayi’) dariku.
Datanglah beberapa anak perempuan yang memainkan/memukul duff sambil menyebut
kebaikan-kebaikan orang-orang yang terbunuh dari orang-orang tuaku pada waktu
Perang Badr. Salah seorang dari mereka berkata: "Di antara kami terdapat seorang
Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok hari". Maka Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam berkata: "Tinggalkan perkataan ini (karena perkataan
anak-anak wanita tersebut tidak benar) dan ucapkanlah apa yang tadi engkau
katakan (yaitu sebelum perkataan yang mengandung keharaman tadi)" (HR.
Al-Bukhari no. 4852).
Ibnu Hajar mengomentari
hadits ini dengan perkataannya:
قال المهلب في
هذا الحديث اعلان النكاح بالدف وبالغناء المباح
"Telah berkata Al-Muhallab: Dalam hadits
ini menunjukkan bahwa mengumumkan pernikahan dengan memainkan duff adalah
diperbolehkan" (Fathul-Bari juz 9 no. 4852).
عن محمد بن حاطب
الجمحي قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فصل بين الحلال والحرام الدف والصوت
في النكاح
Dari Muhammad bin Haathib Al-Jumahi berkata:
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam: "Pembeda antara
yang haram dan yang halal adalah duff dan suara dalam pernikahan" (HR.
Ahmad no. 15489, Tirmidzi no. 1088, dan yang lainnya; hasan).
Hadits-hadits di atas tidak bisa dipahami
bahwa pembolehan tersebut mutlak di semua waktu, semua orang, dan semua alat
musik. Ini tidak benar. Hadits-hadits di atas sifatnya lebih khusus yang
mentakhshish hadits-hadits yang telah disebut sebelumnya yang menyatakan
keharamannya, sehingga yang ’aam (umum) dibawa kepada yang khaash (khusus). Pengkhususan tersebut
meliputi:
a. Terkait dengan waktu,
yaitu pada saat hari raya dan pernikahan.
b. Terkait dengan orang
yang melakukan, yaitu wanita.
c. Terkait dengan alat
musik yang dimainkan, yaitu duff (rebana).
Tidak diriwayatkan
satupun hadits shahih selain dari sifat-sfat yang disebutkan, selain hadits
Buraidah yang akan dibahas kemudian. Diperbolehkannya nyanyian dan memukul duff
pada hari raya dan pernikahan merupakan rukhshah (keringanan). Hal ini sebagaimana jelas dalam riwayat:
عن عامر بن سعد
قال: دخلت على قرظه بن كعب وأبي مسعود الأنصاري في عرس وإذا جوار يغنين فقلت أنتما
صاحبا رسول الله صلى الله عليه وسلم ومن أهل بدر يفعل هذا عندكم فقال اجلس إن شئت
فاسمع معنا وإن شئت اذهب قد رخص لنا في اللهو عند العرس
Dari ’Amir bin Sa’d ia berkata: Aku masuk
menemui Quradhah bin Ka’b dan Abu Mas’ud Al-Anshary radliyallaahu ’anhuma dalam
satu pernikahan yang di situ terdapat anak-anak perempuan yang sedang menyanyi.
Maka aku berkata: "Kalian berdua adalah shahabat Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam dan termasuk ahli Badr. Dan hal ini dilakukan di sisi kalian ?". Maka salah
seorang dari mereka menjawab: "Duduklah jika engkau mau dan dengarkanlah
bersama kami. Atau pergilah jika engkau mau. Sungguh Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasalam memberikan rukhshah (keringanan) kepada kami mendengarkan
hiburan saat pernikahan" (HR. An-Nasa’i
no. 3383, Al-Hakim no. 2752, dan yang lainnya; hasan).
Atsar di atas menunjukkan bahwa nyanyian dan
musik di kalangan shahabat bukan merupakan fenomena yang lazim dimainkan,
sehingga ketika Quradhah dan Abu Mas’ud mendengarkan nyanyian yang dimainkan
oleh gadis kecil saat pernikahan, maka ’Amir bin Sa’d bertanya dengan penuh
keheranan. Namun kemudian dua orang shahabat Nabi tersebut menjawab bahwa
mendengarkan nyanyian dan pukulan duff (rebana) saat pernikahan merupakan satu
keringanan (rukhshah) dalam syari’at Islam.
Kalimat rukhkhisha lanaa menunjukkan bahwa
nyanyian dan memainkan duff merupakan pengecualian (takhshish) yang sangat
jelas dari dalil yang bersifat umum (yang menjelaskan keharaman). Juga, kalimat
tersebut memberikan pengetahuan bahwa perkara sebelum pemberian rukhshah adalah
sesuatu yang patut untuk berhati-hati/diwaspadai – yaitu menunjukkan keharaman
{ الأمر قبل الترخيص محظور – أي محرّم
}. Hal serupa adalah seperti yang terdapat dalam hadits:
عن أنس بن مالك
أنبأهم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رخص لعبد الرحمن بن عوف والزبير بن العوام
في القمص الحرير في السفر من حكة كانت بهما أو وجع كان بهما
Dari Anas bin Malik radliyallaahu ’anhu:
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah memberikan
keringanan (rukhshah) kepada ’Abdurrahman bin ’Auf dan Az-Zubair bin ’Awwam
untuk mengenakan baju dari sutera dalam safar karena mereka berdua terserang
penyakit gatal atau penyakit yang lain" (HR. Al-Bukhari no. 2762 dan
Muslim no. 2076).
Maka, hadits di atas merupakan takhshish dari
keumuman larangan sutera bagi laki-laki sebagaimana sabda beliau shallallaahu
’alaihi wasallam:
لا تلبسوا
الحرير فإنه من لبسه في الدنيا لم يلبسه في الآخرة
"Janganlah kalian
mengenakan sutera, karena sesungguhnya jika ia mengenakannya di dunia maka ia
tidak akan mengenakannya di akhirat" (HR. Al-Bukhari no. 5310 dan Muslim
no. 2069).
Rukhshah di sini datang
setelah adalah pengharaman. Asy-Syaikh ’Abdurrahman As-Suhaim (dalam risalahnya:
Hukmud-Duff lir-Rijaal wan-Nisaa’ fii Ghairil-A’rasy (3)) menukil perkataan
Ibnu Hazm:
لا تكون لفظة
الرخصة إلا عن شيء تقدم التحذير منه
"Tidak ada lafadh
rukhshah kecuali berasal dari sesuatu yang didahului peringatan atas hal
tersebut"
Al-Amidi berkata: { الرخصة ما شرع لعذر مع قيام السبب
المحرم } "Rukhshah itu adalah apa-apa yang disyari’atkan karena
adanya udzur yang bersamaan dengan keberadaan sebab yang mengharamkan (jika ia
mengerjakan atau melanggarnya ditinjau dari hukum asal). Banyak ulama yang
mendefinisikan semisal.
Dan kaidah inilah yang
berlaku secara umum, baik dalam masalah sutera, nyanyian dan musik, serta yang
lainnya. Jika hukum asalnya adalah wajib, maka rukhshah ini berlaku dengan
pembolehan untuk meninggalkan kewajiban atau mengerjakan penggantinya yang
diperbolehkan oleh syari’at. Jika hukum asalnya adalah haram, maka rukhshah di
sini berlaku untuk mengerjakan keharaman itu. (4) Tentunya, semua itu dengan
batasan-batasan yang telah diberikan sesuai dengan penunjukan dalil.
Keharaman nyanyian dan
musik dalam bahasan di sini adalah keharaman karena dzatnya. Tidak bisa kita
katakan bahwa nyanyian dan alat musik itu hukum asalnya adalah mubah. Jika
hukum asalnya adalah mubah, tentu para shahabat tidak akan mengatakan bahwa
kebolehan mendengarkan nyanyian dan tabuhan rebana itu hanya dalam hari raya
dan pernikahan. Hukum mubah itu menafikkan adanya rukhshah. Ringkasnya, tidak
ada keringanan dalam perkara yang asalnya adalah mubah.
Hadits Buraidah
Sebagian orang yang
membolehkan nyanyian dan musik berdalilkan dengan hadits Buraidah radliyallaahu
’anhu:
ان أمة سوداء
أتت رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجع من بعض مغازيه فقالت انى كنت نذرت ان ردك
الله صالحا ان أضرب عندك بالدف قال ان كنت فعلت فافعلي وان كنت لم تفعلي فلا تفعلي
فضربت فدخل أبو بكر وهى تضرب ودخل غيره وهى تضرب ثم دخل عمر قال فجعلت دفها خلفها
وهى مقنعة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان الشيطان ليفرق منك يا عمر أنا
جالس ها هنا ودخل هؤلاء فلما ان دخلت فعلت ما فعلت
"Bahwasannya ada seorang budak wanita
hitam yang datang kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ketika beliau
datang dari sebuah peperangan. Maka budak tersebut berkata kepada beliau: "Sesungguhnya
aku pernah bernadzar untuk memukul rebana di dekatmu jika Allah mengembalikanmu
dalam keadaan selamat". Beliau berkata: "Jika engkau telah bernadzar, maka
lakukanlah. Dan jika engkau belum bernadzar, maka jangan engkau lakukan".
Maka dia pun mulai memukulnya. Lalu Abu Bakr masuk, ia tetap memukulnya.
Masuklah shahabat yang lain, ia pun masih memukulnya. Lalu ’Umar masuk, maka ia
pun segera menyembunyikan rebananya itu di balik punggungnya sambil menutupi dirinya.
Maka Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berkata: "Sesungguhnya setan
benar-benar takut padamu wahai ’Umar. Aku duduk di sini dan mereka ini masuk.
Ketika engkau masuk, maka ia pun melakukan apa yang ia lakukan tadi" (HR.
Ahmad no. 23039, Ibnu Hibban 10/4386, dan yang lainnya; hasan).
Mereka mengatakan bahwa
jika memang nyanyian dan musik itu haram, tentu Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam akan melarangnya. Taqrir beliau atas apa yang dilakukan oleh budak
wanita tersebut menunjukkan kebolehan nyanyian dan memainkan alat musik.
Nyanyian dan alat musik dilarang jika sudah melalaikan. Jika tidak melalaikan
maka itu boleh.
Saya katakan: Sungguh
jauh apa yang mereka sangkakan itu. Tidak ada taqyid pengharaman dengan kata "melalaikan"
dalam nash. Itu hanyalah hal yang mereka buat-buat semata. Jika memang taqyid "melalaikan"
itu dipakai, maka itu akan membatalkan beberapa manthuq nash yang menjelaskan
tentang keharaman nyanyian dan alat musik sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya. Jika kita terima taqyid mereka, maka sifat melalaikan itu
hakekatnya ada pada semua hal. Bukan hanya pada nyanyian dan alat musik. Maka
taqyid mereka itu akan membawa konsekuensi hukum bahwa asal dari perkara
nyanyian dan alat musik adalah mubah. Sebab, hanya perkara mubahlah yang dapat
ditaqyid dengan sifat melalaikan. Ini adalah aneh dan janggal..... Bagaimana
bisa dipakai taqyid ini padahal Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah
dengan tegas menjelaskan keharaman alat musik dan penyanyi. Bahkan dalam beberapa
hadits ditegaskan jenis alat musiknya (seperti al-kuubah). Bahkan para shahabat
besar dan tabi’in sangat tegas membenci nyanyian. Apalagi lafadh-lafadh hadits
memakai lafadh celaan, laknat, atau kutukan. Maka tidak bisa tidak,
lafadh-lafadh itu mengandung hukum asal yang menunjukkan keharaman.
Selain itu, jika kita
terima taqyid "melalaikan" dari mereka, maka atsar mauquf (namun
dihukumi marfu) dari ’Aamir bin Sa’d akan sia-sia. Perkataan Abu
Mas’ud/Quradhah tentang rukhshah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
mendengarkan nyanyian dan tabuhan duff ketika pernikahan menjadi tidak
bermakna. Apa makna rukhshah jika hukum asalnya adalah mubah ? Ini menyalahi
kaidah ushul.
Justru dalam hadits
Buraidah itu terdapat lafadh yang menunjukkan tentang hukum asal keharamannya. Lafadh tersebut adalah: { ان كنت فعلت فافعلي وان كنت لم تفعلي فلا تفعلي} "Jika engkau
telah bernadzar, maka lakukanlah. Dan jika engkau belum bernadzar, maka jangan
engkau lakukan".
Perkataan beliau "jika engkau belum
bernadzar, maka jangan engkau lakukan"; menunjukkan bahwa pada asalnya
perbuatan tersebut adalah tidak diperbolehkan. Perkataan ini menunjukkan
bahwa sebenarnya beliau tidak mau/ingin mendengarkannya. Namun kemudian beliau
membolehkannya karena ia telah menadzarkannya karena besarnya rasa gembira
dengan kepulangan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dari peperangan
dalam keadaan selamat. Beliau membolehkan pelaksanaan nadzar budak perempuan
itu yang pada asalnya tidak boleh sebagai satu kekhususan bagi dirinya yang tidak
diberlakukan bagi selain dirinya. Asy-Syaikh
Al-Albani berkata:
وقد يُشكل هذا
الحديث على بعض الناس ، لأن الضرب بالدف معصية في غير النكاح والعيد ، والمعصية لا
يجوز نذرها ولا الوفاء بها .
والذي يبدو لي
في ذلك أن نذرها لما كان فرحا منها بقدومه عليه السلام صالحا منتصرا ، اغتفر لها
السبب الذي نذرته لإظهار فرحها ، خصوصية له صلى الله عليه وسلم دون الناس جميعا ،
فلا يؤخذ منه جواز الدف في الأفراح كلها ، لأنه ليس هناك من يُفرح به كالفرح به
صلى الله عليه وسلم ، ولمنافاة ذلك لعموم الأدلة المحرمة للمعازف والدفوف وغيرها ،
إلا ما استثني كما ذكرنا آنفا
"Hadits ini telah membuat kerumitan bagi
sebagian orang karena memukul duff (rebana) selain waktu pernikahan dan hari
raya adalah kemaksiatan. Dan kemaksiatan itu tidak diperbolehkan dijadikan
nadzar dan ditunaikan. Maka yang nampak bagiku adalah bahwa nadzar yang
dilakukan oleh budak perempuan tersebut disebabkan kegembiraan karena
kedatangan/kepulangan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan
selamat, sehat, dan menang. Nabi pun memaafkan penyebab nadzarnya itu untuk
meluapkan kegembiraan tersebut. Hal ini sebagai kekhususan bagi beliau
shallallaahu ‘alaihi wasallam, bukan untuk seluruh manusia. Sehingga tidak boleh
dijadikan dalil bolehnya memukul rebana pada setiap kegembiraan. Sebab, tidak
ada yang lebih menggembirakan dari kegembiraan atas datangnya Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam" (Silsilah Ash-Shahiihah 4/142 dan At-Tahriim hal. 85).
Asy-Syaikh Al-Albani
mengisyaratkan apa yang menjadi pendapatnya tersebut juga tersirat dalam
penjelasan Al-Imam Al-Khaththabi dalam Ma’aalimus-Sunan (4/382).
Ada juga ulama lain yang
membawa hadits Buraidah ini tentang kebolehan menabuh rebana (oleh wanita)
karena ada orang yang datang. Dan ini merupakan pendapat dari sebagaian ulama
Najd. ’Abdis-Salaam bin Taimiyyah (kakek dari Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah)
membawa hadits Buraidah dalam pemahaman ini dimana dalam kitab Al-Muntaqaa min
Akhbaaril-Musthafaa beliau meletakkannya dalam Bab: Dlarbun-Nisaa’ bid-Duff li
Quduumil-Ghaaibi Wamaa fii Ma’naahu (Bab: Wanita yang Memukul Rebana karena
Kedatangan Seseorang atau Alasan yang Semisalnya). Pemahaman dalil ini pun bisa
diterima karena takhshish ini menunjukkan pada waktu, yaitu saat Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam pulang dari salah satu peperangan. Wallaahu
a’lam.
Tanbih !
Di jaman sekarang
muncullah istilah yang disebut an-nasyid. Sebagian ulama kontemporer
membolehkan jika tidak disertai oleh alat musik, tidak berlebihan, tidak
mengandung unsur-unsur yang haram. Namun jika dicermati sebagian diantara ulama
yang membolehkan an-nasyid dengan model tersebut adalah yang mempunyai sifat
seperti syi’ir, rajaz, atau hidaa’ (sebagaimana yang saya pahami dalam salah
satu fatwa Asy-Syaikh Al-Albani (dalam kaset yang berjudul: Hukum Nasyid
Islamy) dan Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin (yang terdapat dalam kaset Nuur
’alad-Darb no. 337 side B). Jika nasyid tersebut telah dilantunkan dengan
gubahan dan aturan-aturan melodi ala Barat, maka dilarang. Tapi ada juga yang
membencinya secara tegas seperti Asy-Syaikh Ibnu Fauzan (seperti dalam Majalah
Ad-Da’wah edisi 1632, tgl 7 Dzulhijjah 1418 dan dalam Al-Khuthabul-Minbariyyah
3/184-185), Asy-Syaikh Shalih Alu Syaikh (dalam Al-Fataawaa hal. 28),
Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri (dalam Iqaamatud-Daliil ’alal-Man’i
Minal-Anaasyid) dan yang lainnya.
Kesimpulan:
1. Nyanyian dan musik
adalah haram menurut pendapat yang rajih yang didasarkan oleh nash-nash yang
shahih.
2. Nyanyian dan musik
hanya diperbolehkan pada waktu pernikahan dan hari raya (dengan catatan dan lihat kesimpulan no. 3). Bisa juga dilakukan
ketika seorang pemimpin atau orang besar datang, menurut salah satu pendapat.
Hal itu merupakan satu rukhshah yang dipandang dalam syari’at Islam.
3. Alat yang
diperbolehkan untuk dimainkan hanyalah rebana (duff) yang dibawakan oleh
perempuan. Laki-laki diharamkan untuk memukul rebana. Tidak diriwayatkan satu
pun shahabat dan tabi’in besar yang memukul rebana.
Alhamdulillah selesai....
Footnote:
(1) Kecuali apa yang
diriwayatkan oleh ‘Ubaidillah bin Hasan Al-Anbary yang menurutnya tidak
apa-apa.
(2) Ada sebagian ulama
yang menyebutkan bahwa ahli/penduduk Madinah memberikan kelonggaran dalam hal
itu, sebagaimana yang dikatakan Imam Adz-Dzahabi terhadap biografi Yusf bin
Ya’qub bin Abi Salamah bin Al-Majisyun: {قلت: أهل المدينة يترخصون في الغناء ، وهم
معروفون بالتسمُّح فيه} “Aku berkata: Penduduk Madinah memberikan kelonggaran dalam
hal nyanyian. Dan mereka memang dikenal sebagai orang-orang yang longgar dalam
masalah ini" (selesai perkataan Adz-Dzahabi). Maka perlu ditegaskan bahwa
ketika disebutkan Ahlul-Madinah, maka di sini tidak termasuk Imam Malik bin
Anas sebagai penghulu ulama Ahlul-Madinah.
Sungguh aneh pula apa
yang dikatakan oleh Asy-Syaukani yang menukil dari Al-Qaffal bahwa madzhab Imam
Malik membolehkan nyanyian dengan musik !
(3) Saya peroleh dari
www.saaid.net/books
(4) Perincian rukhshah di sini ada enam keadaan, yaitu (1) Rukhshah dalam menggugurkan kewajiban, (2) Rukhshah dalam bentuk mengurangi kadar kewajiban, (3) Rukhshah dalam bentuk mengganti kewajiban, (4) Rukhshah dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, (5) Rukhshah dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban, (6) Rukhshah dalam bentuk merubah kewajiban, dan (7) Rukhshah dalam bentuk membolehkan melakukan perkara yang diharamkan. Semua rukhshah tersebut terbingkai dengan syarat: Adanya udzur syar’i.
Oleh: Abul Juzaa' Doni Arif Wibowo
Posting Komentar untuk "Hukum Syair, Musik, dan Nyanyian (Part 3)"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.