Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri, Koruptor dan yang Sejenisnya
Alhamdulillaah, wash-shalaatu was-salaamu
‘alaa Rasuulillah wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man waalahu; amma ba’d:
Berikut akan disampaikan keterangan ringkas
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah tentang pembahasan hukum bagi
seorang pencuri yang saya ambilkan dari kitab beliau yang berjudul Majmu’
Al-Fataawaa juz 28 halaman 182-184 dengan sedikit penambahan catatan kaki dari
saya (Abul-Jauzaa’) yang semoga dapat menjadi tambahan faedah bagi para Pembaca
semua. Adapun catatan kaki dari pentakhrij kitab, maka saya berikan keterangan:
“dari pentakhrij” (untuk memisahkan mana catatan kaki dari pentakhrij dan mana
catatan kaki tambahan saya). Hanya kepada Allah lah kita meminta pertolongan, dan
Dia-lah sebaik-baik pemberi balasan. Beliau rahimahullah berkata:
Adapun pencuri, maka
wajib untuk dipotong tangan kanannya berdasarkan Al-Kitab (Al-Qur’an), As-Sunnah,
dan ijma’. Allah ta’ala telah berfirman:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ * فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ
وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barang siapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maaidah: 38-39)
Setelah adanya ketetapan hukum hadd - baik dengan
adanya bukti atau dengan adanya ikrar pengakuan - tidak boleh untuk
mengakhirkan pelaksanaan hukumannya; baik dengan dipenjara, uang tebusan, atau
yang lainnya. Akan tetapi ia harus dipotong tangannya pada waktu-waktu yang diagungkan
dan selainnya. Hal itu dikarenakan penegakan hukuman hadd termasuk ibadah,
seperti halnya jihad fii sabiililah. Maka, sudah sepantasnyalah untuk diketahui
menegakkan huduud merupakan rahmat dari Allah bagi hamba-hamba-Nya. Oleh karena
itu, seorang pemimpin harus bersikap tegas dalam penegakan hukum hadd. Tidak
boleh ada rasa kasihan dalam menegakkan agama Allah hingga ia kemudian
meniadakannya. Tidak lain dari tujuannya dalam penegakan hukum hadd tersebut
adalah rasa kasih sayang terhadap makhluq dengan cara menahan manusia dari
perbuatan-perbuatan munkar. Bukan sebagai obat terhadap rasa amarahnya ataupun
keinginan berlaku sombong atas makhluk. (Tujuan penegakan hukuman hadd) adalah
sebagaimana kedudukan seorang ayah menghukum anaknya. Jika saja ayah itu
menahan untuk menghukum anaknya – sebagaimana dikatakan ibu, karena rasa sayang
dan belas kasih - , niscaya rusaklah keadaan si anak. Seorang ayah menghukum
anaknya hanyalah sebagai perwujudan rasa kasih sayang kepadanya dan upaya
memperbaiki keadaan dirinya. (Ia tetap menghukumnya) meskipun sangat
mencintainya dan mengutamakan agar jangan sampai ia memberikan hukuman
kepadanya. (Tujuan penegakan hukuman hadd tadi) juga seperti kedudukan seorang
dokter kepada orang sakit dengan memberikan minum obat yang pahit, mengamputasi
anggota tubuh yang membusuk, membekamnya, memotong urat dengan cara
mengirisnya, dan yang sejenisnya. Bahkan, hal itu seperti halnya seseorang yang
minum obat yang sangat pahit dan apa saja dari hal yang tidak disukai yang ia
masukkan dalam tubuhnya yang bertujuan untuk memperoleh kesegaran/kesehatan.
Demikianlah
disyari’atkannya huduud, dan demikian pula sepatutnya niat seorang pemimpin
dalam menegakkannya. Sebab, selama niatnya itu bertujuan untuk kebaikan
rakyatnya dan mencegah perbuatan-perbuatan munkar, dengan mendatangkan manfaat
bagi mereka, menahan kemudlaratan dari mereka, mengharap dengannya wajah Allah
ta’ala, dan mentaati perintahnya; niscaya Allah akan lunakkan hati-hati
manusia baginya, memudahkan baginya sebab-sebab (datangnya) kebaikan, mencukupkannya
dari hukuman kemanusiaan, dan kadangkala hal itu menyebabkan orang yang
ditegakkan hukum hadd padanya ridla ketika hukuman itu dijalankan padanya.
Namun jika tujuan
pemimpin tersebut adalah untuk berlaku sombong atas manusia dan menegakkan
kekuasaannya agar manusia mengagungkannya atau agar manusia mau berkorban
untuknya dari harta benda; niscaya tujuannya itu akan berlawanan atasnya(1).
Diriwayatkan dari ’Umar bin ’Abdil-’Aziz – radliyallaahu ’anhu – bahwasannya
sebelum menjabat khalifah, ia adalah seorang wakil/gubernur Al-Waliid bin
’Abdil-Malik di Madinah. Ia telah memimpin penduduk Madinah dengan kepemimpinan
yang sangat baik. Satu ketika, datanglah Al-Hajjaaj (bin Yusuf Ats-Tsaqafiy)
dari ’Iraaq dimana ia telah memperlakukan mereka (yaitu penduduk Madinah)
dengan siksaan yang buruk. Maka ia bertanya kepada penduduk Madinah perihal
’Umar: “Bagaimana kewibawaannya di tengah-tengah kalian?”. Mereka menjawab: “Kami
tidak sanggup untuk memandang (mata)-nya”. Al-Hajjaj kembali bertanya: “Bagaimana
kecintaan kalian kepadanya?”. Mereka menjawab: “Ia lebih kami cintai daripada
keluarga kami sendiri”. Ia kembali bertanya: “Bagaimana cara ia menghukum di
tengah-tengah kalian?”. Mereka menjawab: “Antara tiga hingga sepuluh kali
cambukan”. Akhirnya Al-Hajjaj berkata:
هذه هيبته، وهذه
محبته، وهذا أدبه، هذا أمر من السماء
“Inilah kewibawaannya. Inilah hukuman yang ia
tegakkan. Dan inilah perintah yang datang dari langit”.
Apabila tangan seorang
pencuri telah dipotong, maka dianjurkan agar (tangan yang terpotong tersebut)
digantungkan di lehernya.(2) Jika ia mencuri untuk kedua kalinya, maka dipotong
kaki kirinya.(3) Jika ia mencuri untuk ketiga dan keempat kalinya, maka dalam
hal ini ada dua pendapat yang ternukil dari para shahabat dan para ulama
setelahnya. Pendapat pertama, dipotong tangan dan kaki sisanya pada pencurian yang
ketiga dan keempat. Ini merupakan pendapat Abu Bakr radliyallaahu ’anhu,
Asy-Syaafi’i, dan Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya. Pendapat
kedua, bahwasannya ia dipenjara. Ini merupakan pendapat ’Aliy radliyallaahu
’anhu, para ulama Kuffah, dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain.(4)
Dan pencurian itu
hanyalah dipotong apabila memenuhi nishab pencurian(5), yaitu ¼ (seperempat)
dinar atau 3 (tiga) dirham menurut jumhur ulama dari kalangan ahli hijaaz, ahli
hadits, dan selain mereka seperti Maalik, Asy-Syaafi’iy, dan Ahmad.(6) Sebagian
mereka ada yang mengatakan (bahwa nishab pencurian itu) adalah 1 (satu) dinar
atau 10 (sepuluh) dirham.(7) Barangsiapa yang mencuri senilai satu nishab, maka
ia dipotong berdasarkan kesepakatan. Dalam Shahihain dari shahabat Ibnu ’Umar
radliyallaahu ’anhuma:
أَنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَطَعَ فِي مِجَنٍ ثَمَنُهُ ثَلاَثَةُ
دَرَاهِمَ
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam memotong (tangan seorang pencuri) yang mencuri perisai yang harganya
tiga dirham”.
Dalam lafadh Muslim disebutkan:
قَطَعَ سَارِقاً
فِي مِجَنٍ قِيْمَتُهُ ثَلاَثَُ دَرَاهِمَ
“Dipotong (tangan)
seorang pencuri yang mencuri perisai seharga tiga dirham”. (8)
Dalam Shahihain dari
’Aisyah radliyallaahu ’anhaa, ia berkata: Telah berkata Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam:
تُقْطَعُ
الْيَدُ فِي رُبُعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِداً
“Dipotong tangan (seorang
pencuri) karena (mencuri) seperempat dinar atau lebih”.(9)
Dalam lafadh Muslim disebutkan:
لاَ تُقْطَعُ
يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِي رُبُعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِداً
“Tidaklah dipotong tangan seorang pencuri
kecuali (jika ia telah mencuri sesuatu) senilai seperempat dinar atau lebih”.(10)
Dalam riwayat Al-Bukhari, beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda:
اقْطَعُوا فِي
رُبُعِ دِينَارٍ، وَلاَ تَقْطَعُوا فِيمَا هُوَ أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ
“Potonglah karena
(mencuri sesuatu senilai) seperempat dinar, dan jangan dipotong karena
(mencuri) sesuatu yang kurang dari itu”.(11)
Seperempat dinar pada
waktu itu adalah senilai tiga dirham; dan satu dinar itu senilai dengan
duabelas dirham.
Dan tidaklah seseorang
itu disebut pencuri hingga ia mengambil harta dari tempat simpanannya.(12)
Adapun harta yang hilang dari pemiliknya, buah-buahan yang berada di pohon di
padang pasir tanpa pagar, binatang ternak tanpa penggembala di sisinya, atau
yang semisalnya; maka (orang yang mengambilnya) tidaklah dipotong. Akan tetapi
baginya hukum ta’zir, yaitu digandakan (dua kali lipat) baginya denda,
sebagaimana terdapat dalam hadits.
Para ahli ilmu (ulama) telah
berbeda pendapat dalam penggandaan denda dua kali lipat ini. Diantara yang
berpendapat demikian adalah Ahmad dan yang lainnya. Telah berkata Raafi’ bin
Khadiij: “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:
لا قَطْعَ فِي
ثَمَرٍ وَلا كَثَرٍ
“Tidak ada (hukum) potong
tangan dalam (pencurian) tsamar (13) dan katsar (tandan kurma) “ (Diriwayatkan
oleh Ahlus-Sunan).(14)
Dari ’Amru bin Syu’aib,
dari ayahnya, dari kakeknya radliyallaahu ’anhu ia berkata:
سَمِعْتُ
رَجُلاً مِنْ مُزَيْنَةَ يَسْأَلُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، جِئْتُ أَسْأَلُكَ عَنِ الضَّالَةِ مِنَ الْإِبِلِ.
قَالَ: ((مَعَهَا حِذَاؤُهَا وَسِقَاؤُهَا، تَأْكُلُ الشَّجَرَ، وَتَرِدُ
الْمَاءَ، فَدَعْهَا حَتَّى يَأْتِيْهَا بَاغِيهَا)). قَالَ: فَالضَّالَةُ مِنَ
الْغَنَمِ ؟. قَالَ: ((لَكَ أَوْ لِأَخِيْكَ أَوْ لِذِئْبٍِ، تَجْمَعُهَا حَتَّى
يَأْتِيْهَا بَاغِيْهَا)). قَالَ: فَالْحَرِيْسَةُ الَّتِي تُأْخَذُ مِنْ
مَرَاتِعِهَا ؟. قَالَ: ((فِيْهَا ثَمَنُهَا مَرَّتَيْنِ وَضَرْبٌ نَكَالٌ. وَمَا
أُخِذَ مِنْ عَطَنِهِ، فَفِيهِ الْقَطْعُ إِذَا بَلَغَ مَا يُأْخَذُ مِنْ ذَلِكَ
ثَمَنَ الْمِجَنِّ)). قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، فَالثَّمَرُ وَمَا أُخِذَ مِنْ
أَكْمَامِهَا ؟. قَالَ: ((مَنْ أَخَذَ بِفَمِهِ، وَلَمْ يَتَّخِذْ خُبْنَةً،
فَلَيْسَ عَلَيْهِ شَيْءٌ، وَمَنِ احْتَمَلَ فَعَلَيْهِ ثَمَنُهُ مَرَّتَيْنِ،
وَضَرْبٌ نَكَالٌ، وَمَا أُخِذَ مِنْ أَجْرَانِهِ فَفِيْهِ الْقَطْعُ إِذَا بَلَغَ
مَا يُأْخَذُ مِنْ ذَلِكَ ثَمَنَ الْمِجَنِ، وَمَا لَمْ يَبْلُغْ ثَمَنَ
الْمِجَنِّ ، فَفِيْهِ غَرَامَةُ مِثْلَِيْهِ وَجِلْدَاتٌ نَكَالٌ)).
“Aku mendengar seorang laki-laki dari Muzainah
bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Ia berkata: ’Wahai
Rasulullah, aku bertanya kepada engkau mengenai unta yang tersesat’. Beliau
menjawab: ’Onta itu membawa sepatunya, membawa tempat minumnya, memakan
pepohonan, dan meminum air’. Maka biarkanlah ia hingga ada orang yang
mencarinya (yaitu pemiliknya) datang’. Ia bertanya kembali: ’Bagaimana halnya
dengan kambing yang tersesat?’. Maka beliau menjawab: ’Ia adalah untukmu, untuk
saudaramu, dan untuk serigala. Kumpulkanlah kambing-kambing itu hingga ada
orang yang mencarinya (yaitu pemiliknya) datang’. Ia kembali bertanya:
’Bagaimana halnya dengan kambing yang diambil dari tempat gembalaannya?’.
Beliau menjawab: ’Ia dikenakan denda dua kali lipat dari harga kambing itu dan
dihukum cambuk. Dan apa-apa yang diambil dari tempat menderum unta, maka
hukumannya adalah dipotong apabila yang diambil itu mencapai dengan harga
perisai (yaitu seperempat dinar)’. Ia bertanya kembali: ’Wahai Rasulullah,
bagaimana dengan buah-buahan dan apa saja yang diambil dari tangkainya?’. Maka
beliau menjawab: ’Barangsiapa yang mengambil dengan mulutnya (yaitu ia makan)
tanpa mengantonginya, maka tidak ada hukuman atasnya. Barangsiapa yang membawanya,
maka baginya denda dua kali lipat dari harganya dan hukum cambuk. Dan apa saja
yang diambil dari tempat penjemurannya, maka baginya hukum potong apabila yang
diambil itu mencapai harga perisai.(15) Dan apa saja (yang diambil) yang tidak
mencapai harga perisai, maka baginya hukuman denda dua kali lipat dan dihukum
beberapa kali cambukan” (Diriwayatkan oleh Ahlus-Sunan, akan tetapi ini
merupakan redaksi An-Nasaa’iy).(16)
Oleh karena itu lah Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ عَلَى
الْمُنْتَهِبِ وَلا عَلَى الْمُخْتَلِسِ وَلا الْخَائِنِ قَطْعٌ
“Tidak ada hukum potong
tangan pada muntahib (perampas), mukhtalis (pencopet), dan khaain (pengkhianat)”.(17)
Muntahib adalah orang
yang merampas sesuatu (milik orang lain) sedangkan orang-orang melihatnya.
Mukhtalis adalah orang yang menarik/mengambil sesuatu (milik orang lain), dan
ia mengetahui barang tersebut sebelum mengambilnya. Adapun tharaar - ia adalah
orang yang merobek kantong, sapu tangan, tempat simpanan, dan sejenisnya – maka
ia dipotong tangannya menurut pendapat yang shahih.(18)
(selesai).
Semoga ada manfaatnya.
Ditulis dari kitab Majmu’
Al-Fataawaa li-Syaikhil-Islam Ibni Taimiyah, hal. Juz 28 hal. 182-184 (atau
penomoran standar: juz 28 hal. 329-333); takhrij: ’Aamir Al-Jazzaar & Anwar
Baaz; Daarul-Wafaa’, tanpa tahun.
Footnote:
(1) Yaitu tidak sesuai
dengan harapan dan tidak membawa maslahat atas dirinya.
(2) Ini merupakan
pendapat madzhab Syafi’iyyah dan Hanaabilah. Adapun pendapat madzhab Hanafiyyah
adalah tidak dianjurkan untuk menggantungnya. Hal itu diserahkan pada imam. Jika
ia melihat padanya ada kemaslahatan, maka hal itu dilakukan. Jika tidak, maka
tidak dilakukan.
(3) Ini merupakan
pendapat jumhur fuqaha dan ahli ilmu dari empat madzhab. Ibnu ’Abdil-Barr
berkata:
ثبت عن الصحابة
رضي الله عنهم قطع الرجل بعد اليد وهم يقرءون وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ
فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Telah tetap dari para shahabat radliyallaahu
’anhu bahwasannya mereka memotong kaki setelah (memotong) tangan dimana waktu
itu mereka membaca ayat: “Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya” (Dinukil melalui perantaraan Shahih
Fiqhis-Sunnah 4/131).
Dari ’Amru bin Dinar bahwasannya Najdah bin
’Aamir pernah menulis surat kepada Ibnu ’Abbas: “Seorang pencuri yang mencuri,
maka ia dipotong tangannya. Kemudian jika ia mengulanginya, apakah ia dipotong
tangannya yang lain?. Allah ta’ala telah berfirman (yang artinya): “Dan
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”.
Maka Ibnu ’Abbas menjawab:
بلى، ولكن ورجله
من الخلاف
“Benar (apa yang yang
kamu katakan tentang ayat tersebut), akan tetapi (jika ia mengulanginya maka
yang dipotong adalah) kakinya yang sebelah kiri” (Dikeluarkan oleh ’Abdurrazzaq
10/185 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 11/354 dengan sanad shahih).
(4) Kami lebih condong
pada adalah pendapat pertama yang merupakan pendapat jumhur ’ulama. Namun
kemudian mereka berbeda pendapat pada pencurian yang kelima. Jumhur ahli ilmu
yang memegang pendapat ini mengatakan bahwa ia dihukum ta’zir dan dipenjara.
Sebagian yang lain mengatakan ia dibunuh pada kali yang kelima berdasarkan
hadits:
عَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبدِ اللهِ قَالَ: جِيءَ بِسَارِقٍ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
فَقَالَ: "اقْتُلُوهُ". فَقَالُوا: "يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّمَا
سَرَقَ". فَقَالَ: "اقْطَعُوهُ". قَالَ: فَقُطِعَ، ثُمَّ جِيءَ
بِهِ الثَانِيَةَ فَقَالَ: "اقْتُلُوهُ". فَقَالُوا: "يَا رَسُولَ
اللهِ، إِنَّمَا سَرَقَ". فَقَالَ: "اقْطَعُوهُ". قَالَ: فَقُطِعَ،
ثُمَّ جِيءَ بِهِ الثَّالِثَةَ فَقَالَ: "اقْتُلُوهُ". فَقَالُوا:
"يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّمَا سَرَقَ". فَقَالَ:
"اقْطَعُوهُ". ثُمَّ أُتِيَ بِهِ الرَّابِعَةَ فَقَالَ:
"اقْتُلُوهُ". فَقَالُوا: "يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّمَا
سَرَقَ". فَقَالَ: "اقْطَعُوهُ". فَأُتِيَ بِهِ الْخَامِسَةَ
فَقَالَ: "اقْتُلُوهُ". قَالَ چَابِرٌُ: فَانْطَلَقْنَا بِهِ فَقَتَلْنَاهُ،
ثُمَّ اجْتَرَرْنَاهُ فَأَلْقَيْنَاهُ فِي بِئْرٍِ، وَرَمَيْنَا عَلَيْهِ
الْحِجَارَةَ
Dari Jaabir bin ’Abdillah ia berkata: “Didatangkan
seorang pencuri kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka beliau bersabda:
’Bunuhlah ia’. Para shahabat berkata: ’Wahai Rasulullah, ia hanya mencuri’.
Maka beliau bersabda: ’Potonglah (tangannya kanan)-nya’. Jabir berkata: “Maka dia
pun dipotong tangannya. Kemudian orang itu dibawa untuk yang kedua kalinya,
maka beliau bersabda: ’Bunuhlah ia’. Para shahabat berkata: ’Wahai Rasulullah,
ia hanya mencuri’. Maka beliau bersabda: ’Potonglah (kaki kiri)-nya’. Jabir
berkata: “Maka dia pun dipotong (kakinya). Kemudian ia dibawa untuk ketiga
kalinya, maka beliau bersabda: ’Bunuhlah ia’. Para shahabat berkata: ’Wahai
Rasulullah, ia hanya mencuri’. Maka beliau bersabda: ’Potonglah (tangan)-nya’.
Kemudian ia dibawa untuk yang keempat kalinya, maka beliau bersabda: ’Bunuhlah
ia’. Para shahabat berkata: ’Wahai Rasulullah, ia hanya mencuri’. Maka beliau
bersabda: ’Potonglah (kaki)-nya’. Kemudian ia dibawa untuk yang kelima kalinya,
maka beliau bersabda: ’Bunuhlah ia’. Jabir berkata: “Maka kami pun membawanya
dan membunuhnya. Lalu melemparkannya ke dalam sebuah sumur dan melemparinya
dengan batu” (Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4410, An-Nasa’iy no. 4993, dan
Al-Baihaqiy 8/272)
Para ulama berbeda
pendapat mengenai penerimaan hadits ini. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits
ini dla’if sebagaimana dikatakan oleh An-Nasaa’iy, Ibnu ’Abdil-Barr, dan yang
lainnya. Akan tetapi sebagian yang lain mengatakan hasan dengan syawahid-nya –
dan memang dhahir sanad hadits ini adalah dla’if - ; sebagaimana pendapat
Asy-Syafi’i, Al-Albaaniy (Irwaaul-Ghaliil 8/86-88), Al-Hilaaly
(Iiqaadhul-Himaam hal. 200). Jikalau hadits ini maqbul (diterima – karena
berderajat shahih/hasan), maka pendapat yang menyatakan dibunuhnya seseorang
pada pencurian yang kelima adalah pendapat yang kuat. Lain halnya jika hadits
ini ghairu maqbul. Wallaahu a’lam bish-shawwab.
(5) Madzhab Dhahiriyyah
menyelisihi ketetapan ini dimana mereka berpendapat tidak ada nishab dalam
pencurian. Sedikit atau banyak barang yang diambil harus ditegakkan hukum
potong tangan. Mereka berdalil dengan firman Allah (yang artinya): “ Dan
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”.
Di sini tidak ada batasannya, baik yang dicuri itu sedikit atau banyak. Mereka
berdalil pula dengan sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam:
لَعَنَ اللهُ
السَّارِقَ، يَسْرِقُ الْبَيضَةَ فَتُقَْْعُ يَدُهُ، وَيَسْرِقُ الْحَبْلَ
فَتُقْطَعُ يَدُهُ
“Allah melaknat pencuri
yang mencuri sebutir telur kemudian tangannya dipotong, dan mencuri seutas tali
kemudian tangannya dipotong” (HR. Al-Bukhaariy
no. 6783 dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu).
Namun pendapat ini lemah
karena bertentangan dengan dalil-dalil yang begitu banyak yang menetapkan
nishab pencurian. QS. Al-Maaidah ayat 38 adalah dalil yang bersifat muthlaq
yang harus dibawa kepada dalil muqayyad jika berkesesuaian sebab dan hukum. Dan
dalil-dalil yang bersifat muqayyad ini ada (banyak) sebagaimana dibawakan oleh
Syaikhul-Islam selanjutnya. Adapun hadits Abu Hurairah radloyallaahu ’anhu di
atas, Asy-Syaikh ’Abdullah bin ’Abdirrahman Ali Bassam menjawab:
فالمراد بذلك
بيان سخف وضعف عقل السارق وخساسته ودناءته، فإنه يخاطر بقطع يده للأشياء الحقيرة
التافهة
“Maksudnya adalah sebagai penjelasan kelemahan
akal pencuri dan kehinaannya karena dia menjerusmuskan tangannya kepada sesuatu
yang hina dan rendah. Ungkapan ini termasuk jenis balaghah, yang di dalamnya
ada istilah tanfir, tabsyi’, penggambaran perbuatan orang durhaka dengan suatu
gambaran yang buruk dan hina” (Taisirul-’Allam Syarh ’Umdatil-Ahkaam 2/483 no.
351 – Daar Ibnil-Haitsam, Cet. Th. 1425).
(6) Inilah pendapat yang
kuat (rajih).
(7) Ini adalah pendapat
Abu Hanifah dan pengikutnya. Mereka berdalil dengan hadits:
لا يقطع السارق
إلا في عشرة دراهم
“Tidak dipotong (tangan) seorang pencuri
kecuali bila mencapai sepuluh dirham” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni no.
3428; dla’if).
قطع رسول الله
صلى الله عليه وسلم يد رجل في مجن قيمته دينار أو عشرة دراهم
“Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
memotong tangan seorang laki-laki yang mencuri perisai seharga satu dinar atau
sepuluh dirham” (HR. Abu Dawud no. 4387 dan An-Nasa’i no. 4947; dla’if).
Dan beberapa atsar dari shahabat dan tabi’in
yang tidak sepi dari kritik (lihat Sunan Ad-Daruquthni, Kitaabul-Huduud no.
3421-3432 – Muassasah Ar-Risalah, Cet. 1/1424).
(8) Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dalam Al-Huduud (no. 6796) dan Muslim dalam Al-Huduud (1686/6) –
dari pentakhrij.
(9) Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dalam Al-Huduud (no. 6789) – dari pentakhrij.
(10) Diriwayatkan oleh
Muslim dalam Al-Huduud (1684/2) – dari pentakhrij.
(11) Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dalam Al-Huduud (no. 6791) – dari pentakhrij.
(12) Berkata Asy-Syaikh
’Abdullah bin ’Abdirrahman Aali Bassam: “Tempat penyimpanan ini berbeda-beda,
tergantung pada jenis harta, negara, dan orang yang menanganinya. Maka, tidak
ada hukum potong tangan jika barang yang dicuri tidak dari tempat penyimpanan
atau yang semisalnya” (Taisirul-’Allam Syarh ’Umdatil-Ahkaam, 2/484 no. 351).
(13) Al-Khaththaabiy
berkata: Tsamar dalam hadits ini maksudnya adalah kurma yang masih tergantung
di pohon sebelum dipetik dan dikumpulkan (Sunan Abi Dawud ma’a Ma’aalimis-Sunan
4/357, no. 4388 – Daaru Ibni Hazm, Cet. 1/1418).
(14) Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam
Al-Huduud (no. 4388) dan At-Tirmidzi dalam Al-Huduud (no. 1449) – dari
pentakhrij.
(15) Hadits ini men-takhshish hadits
sebelumnya (yaitu hadits Raafi’ bin Khaadiij), dimana seseorang yang mencuri
tsamar yang sudah tersimpan dalam tempat pengeringan (jariin) tetap dipotong
tangannya jika telah mencapai nishab harga perisai (seperempat dinar). Senada
dengan keterangan Ibnu Taimiyyah sebelumnya. Ath-Thahaawiy berkata:
بذلك أيضا ففرق
رسول الله صلى الله عليه وسلم في الثمار المسروقة بين ما أواه الجرين منها وبين ما
لم يأوه وكان في شجره فجعل فيما أواه الجرين منها القطع وفيما لم يأوه الجرين
الغرم والنكال
“Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
membedakan buah yang dicuri antara buah yang disimpan di tempat pengeringan
dengan buah yang belum disimpan yaitu yang masih berada di pohon. Dan menetapkan hukum potong
tangan dalam pencurian buah yang telah disimpan. Adapun buah yang belum
disimpan, maka sanksinya adalah denda dan hukuman” (Syarh Ma’anil-Aatsaar 3/173).
(16) Diriwayatkan oleh
Abu Dawud dalam Al-Huduud (no. 4390), dan An-Nasa’i dalam Qath’us-Saariq (no.
4959) – dari pentakhrij.
Saya (Abul-Jauzaa’)
tambahakan: Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud (3/52).
(17) Diriwayatkan oleh
Abu Dawud dalam Al-Huduud (no. 4391-4393) dan An-Nasa’i dalam Qath’us-Saariq
(no. 4971), dan ia berkata: “Sufyan tidak mendengar (hadits) dari Abuz-Zubair”.
Semuanya berasal dari riwayat Jabir bin ’Abdillah radliyallaahu ’anhu – dari
pentakhrij.
Saya (Abul-Jauzaa’)
tambahkan: Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil (no. 2403).
(18) Ini adalah pendapat
jumhur ‘ulama, seperti Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan yang lainnya; kecuali
yang ternukil dari Abu Hanifah dimana ia yang menyelisihi pendapat ini.
Oleh: Abul Jauzaa’ Dony Arif Wibowo
Posting Komentar untuk "Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri, Koruptor dan yang Sejenisnya"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.