Hukum Berjabat Tangan "Salaman" Setelah Sholat
Tanya:
Saya melihat sebagian jama’ah di masjid kita ini enggan berjabat tangan seusai
shalat berjama’ah sebagaimana lazimnya kaum muslimin yang lain. Bukankah orang tersebut
menyelisihi sunnah Rasul? Bukankah dengan berjabat tangan ini dapat
menggugurkan dosa? Dan apakah ini termasuk dari tanda kesombongan orang
tersebut?
Jawab: Terima kasih atas
pertanyaan yang disampaikan. Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu telaahan
cermat untuk mendudukkan perkara ini sehingga tidak menimbulkan praduga
berlebihan terhadap sesama muslimin. Dan yang lebih penting lagi adalah,
mendudukkan perkara ini dengan timbangan syari’at yang benar sebagaimana
dijelaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para ulama
setelahnya.
Benar apa yang dikatakan
oleh Penanya bahwasannya jabat tangan yang dilakukan oleh seorang muslim dengan
muslim lainnya (dengan ikhlash dan kecintaan) apabila bertemu akan menggugurkan
dosa-dosanya. Hal ini sesuai dengan perkataan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam:
إن المؤمن إذا
لقي المؤمن فسلم عليه و أخذ بيده فصافحه تناثرت خطاياهما كما يتناثر ورق الشجر
“Sesungguhnya seorang mukmin yang apabila bertemu dengan mukmin lainnya mengucapkan salam dan mengambil tangannya untuk berjabat tangan, maka pasti akan gugur dosa-dosa mereka berdua, sebagaimana gugurnya daun dari pohonnya” (Shahih, lihat Silsilah Ash-Shahiihah nomor 526, 2004, dan 2692).
Juga perkataan beliau
dari Barra’ bin ‘Azib radliyallaahu ‘anhu:
ما من مسلمين
يلتقيان فيتصافحان إلا غفر لهما قبل أن يتفرقا
“Tidaklah dua orang muslim yang bertemu,
kemudian mereka berdua saling berjabat tangan, melainkan akan diampuni
(dosanya) sebelum keduanya berpisah” (Shahih, lihat Ash-Shahiihah nomor 525).
Dan lain-lain dari hadits
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang perintah dan keutamaan salam serta
berjabat tangan ketika bertemu. Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada contoh
shahih dari Nabi, para shahabat, serta imam empat yang menjelaskan tentang
disyari’atkannya berjabat tangan seusai shalat berjama’ah. Salam dan jabat
tangan yang dicontohkan dalam riwayat (dalam konteks shalat berjama’ah di
masjid) adalah ketika memasuki masjid dan terjadi pertemuan antara seseorang
dengan yang lainnya. Hal ini
sebagaimana tergambar dalam riwayat:
عن عبد الله بن
عمر يقول: خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى قباء يصلي فيه قال فجاءته الأنصار
فسلموا عليه وهو يصلي قال فقلت لبلال كيف رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يرد
عليهم حين كانوا يسلمون عليه وهو يصلي قال يقول هكذا وبسط كفه وبسط جعفر بن عون
كفه وجعل بطنه أسفل وجعل ظهره إلى فوق
Dari ’Abdillah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma
ia berkata: “Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam keluar menuju Masjid
Quba’ dan melakukan shalat di dalamnya. Maka datanglah sekelompok shahabat Anshar mendatangi
beliau dan mereka mengucapkan salam ketika beliau sedang shalat”. Maka aku
(Ibnu ’Umar) berkata kepada Bilaal: “Bagaimana engkau melihat Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab salam mereka padahal ketika itu beliau
sedang shalat?”. Maka Bilal menjawab: “Seperti ini”. Bilal membuka telapak
tangannya. Ja’far bin ’Aun (perawi hadits ini - menjelaskan apa yang dijelaskan
oleh Bilaal dengan mempraktekkan) membuka telapak tangannya dengan cara
menjadikan telapak tangannya menhadap ke bawah, dan punggung telapak tangannya
menghadap atas” (HR. Abu Dawud no. 927; shahih).(1)
Juga sebagaimana kisah
Ka’b bin Malik yang masyhur dimana ia menceritakan:
.....حَتَّى
دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا رسولُ الله صلى الله عليه وسلم جَالِسٌ حَوْلَه
النَّاسُ، فَقَامَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ رضي الله عنه يُهَرْوِلُ حَتَّى
صَافَحَني وَهَنَّأَنِي.....
“....Hingga ketika aku masuk masjid, ternyata
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam sedang duduk dikerumuni oleh
orang-orang. Maka berdirilah Thalhah bin ’Ubaidillah radliyallaahu ’anhu
berlari-lari kecil untuk menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku...”
(HR. Bukhari no. 4156 dan Muslim no. 2769).
Bahkan, membiasakan diri
(melazimkan) berjabat tangan seusai shalat termasuk bid’ah yang tercela.
Sebagai penguat pernyataan ini, akan kami bawakan beberapa perkataan para ulama
madzhab terkait hal tersebut.
ULAMA MADZHAB HANAFIYYAH
Imam Ibnu ‘Abidin dalam
kitab Hasyiyah-nya (6/381) berkata:
لكن قد يقال إن
المواظبة عليها بعد صلوات خمسة قد يؤدي الجهلة إلى اعتقاد سنيتها في خصوص هذا
المواضع وأن لها خصوصية زائدة على غيرها مع أن ظاهر كلامهم أنه لم يفعلها أحد من
السلف في هذه المواضع وكذا قالوا بسنية قراءة السورة الثلاثة في الوتر مع الترك
أحيانا لئلا يعتقد وجوبها ونقل في {تبيين المحارم} عن {الملتقط} أنه تكره المصاحفة
بعد أداء الصلاة بكل حال لأن الصحابة ما صافحوا بعد أداء الصلاة ولأنها من سنن
الروافض
“Akan tetapi, dapatlah dikatakan bahwa
menjadikan hal itu sebagai rutinitas (2) yang dilakukan setelah selesai shalat
yang lima waktu (itu merupakan satu kesalahan), sebab nanti orang-orang awam
akan meyakini perbuatan itu sebagai suatu amalan yang sunnah yang biasa
dilakukan pada tempat-tempat tersebut. Dan mereka juga akan meyakini bahwa perbuatan tersebut
memiliki kelebihan tertentu dibandingkan amalan-amalan lainnya. Padahal mereka
jelas-jelas menyatakan bahwa amalan tersebut tidak pernah dikerjakan oleh
seorangpun dari kaum salaf pada tempat-tempat tersebut (yaitu jabat tangan
seusai shalat). Begitulah juga ketika mereka menyatakan sunnahnya bagi kita
untuk membaca tiga macam surat (Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas di dalam
raka’at terakhir pada) shalat witir, bersamaan dengan itu mereka juga
menganjurkan untuk meninggalkannya sesekali waktu, agar hal tersebut tidak
dianggap wajib hukumnya. Dan telah dinukil dalam kitab Tabyiinil-Mahaarim dari
Al-Multaqith; tentang pendapat dibencinya berjabat tangan setelah selesai
shalat dalam keadaan bagaimanapun juga. Hal itu disebabkan para shahabat
tidaklah berbuat hal tersebut, dan hal itu merupakan sunnahnya kaum Rafidlah” (
= yaitu sebuah kelompok sesat).
Syaikh Mullah Ali Al-Qari
Al-Hanafy telah berkata:
فأين هذا من
السنة ؟ ولهذا صرح بعض علمائنا بأنها مكروهة حينئذ، وأنها من البدع المذمومة
“Dimana posisi perbuatan
ini dalam sunnah yang disyari’atkan (baca: Mana dalil tentang sunnahnya
perbuatan ini – yaitu berjabat tangan seusai shalat)? Untuk itulah, maka
sebagian ulama kami telah memakruhkannya (membencinya) bila dilakukan pada saat
tersebut (yaitu seusai shalat), dan hal tersebut termasuk perbuatan bid’ah yang
tercela” (lihat kitab Tuhfatul-Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi 7/427 oleh
Al-Mubarakfury).
Syaikh Shafiyyurrahman
Al-Mubarakfury berkata setelah menukil perkataan Al-Qaariy dan Al-Hafidh Ibnu
Hajar:
الأمر كما قال
القاري والحافظ
“Perkaranya adalah
sebagaimana dikatakan oleh Al-Qaariy dan Al-Haafidh”(3) (Tuhfatul-Ahwadzi
Syarah Sunan At-Tirmidzi 7/427 oleh Al-Mubarakfury).
ULAMA MADZHAB MALIKIYYAH
Imam Ibnul-Hajj Al-Maliki
berkata dalam kitabnya Al-Madkhal (2/219):
وينبغي له أن
يمنع ما أحد ثوه من المصافحة بعد الصلاة الصبح وبعد الصلاة العصر وبعد الصلاة
الجمعة، بل زاد بعضهم في هذا الوقت فعل ذلك بعد الصلوات الخمس، وذلك كله من البدع،
وموضوع المصافحة في الشرع إنما هو عند لقاء المسلم لأخيه لا في ءدبار الصلوات،
فحيث وضعها الشرع نضعها، فينهى عن ذلك ويزجر فاعله لما أتى به من خلاف السنة.
“Dan patut baginya untuk melarang untuk
melarang manusia dari melakukan apa yang telah mereka ada-adakan (dalam agama
ini dengan) berjabat tangan setelah selesai shalat ‘Asar, shalat Shubuh, dan
shalat Jum’at. Dan bahkan pada saat ini mereka juga telah melakukannya pula setelah shalat
yang lima waktu. Semua itu termasuk perbuatan bid’ah (yang terlarang). Adapun
tempat yang benar (yang telah dibenarkan dalam agama) untuk melakukan jabat
tangan itu adalah di saat seorang muslim bertemu dengan saudaranya (yang
muslim). Bukannya di setiap selesai dari shalat. Ketika agama ini mengajarkan
kita demikian, maka hendaklah kita cukup mengikutinya saja (tanpa menambah-nambah).
Maka wajib untuk melarang mereka dari berbuat hal tersebut. Dan hendaklah orang
yang berbuat hal itu dicela lantaran apa yang telah ia perbuat menyelisihi
sunnah” (lihat juga kitab Tahiyyatus-Salaam fil-Islaam 2/842).
ULAMA MADZHAB SYAFI’YYAH
Imam Ibnu Hajar
Al-Haitami Asy-Syafi’i berkata:
إنها بدعة
مكروهة لا أصل لها فى الشرع وإنه ينبه فاعلها أولا ويعزر ثانيا
“(Perbuatan seperti itu –
yaitu berjabat tangan setelah shalat) termasuk perbuatan bid’ah yang dibenci.
Tidak ada asal-usulnya dalam agama ini. Dan wajib bagi setiap orang yang
melakukannya untuk diperingati dalam kali yang pertama dan dihukum ta’zir pada
kali yang kedua” (lihat Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 6/381).
Beliau juga berkata:
اللذي دلت عليه
صرائح السنة، وصرح به النووي وغيره أنه حيث وجد تلاقي بين اثنين سن لكل منهما أن
يتصافح الاخر، وحيث لم يوجد ذلك بأن ضمهما نحو مجلس ولم يتفرقا لا تسن، سواء في
ذلك المصافحة التي تفعل عقب الصلاة، ولو يوم العيد، أو الدرس، أو غيرهما، بل متى
وجد منهما تلاق، ولو بحيلولة شيء بين اثنين بحيث يقطع أحدهما عن الاخر سنت، وإلا
تُسَن
“Yang telah ditunjuki dengan jelas oleh
dalil-dalil sunnah, dan juga yang telah diungkapkan secara jelas oleh An-Nawawi
dan yang lainnya adalah bahwa ketika terjadi pertemuan antara dua orang
(muslim), maka disunnahkan atas setiap dari mereka untuk menjabat tangan
saudaranya itu. Dan ketika hal itu tidak terjadi (yaitu pertemuan antara dua orang muslim)
seperti berkumpulnya mereka dalam satu majelis dan tidak berpisah di antara
mereka, maka tidaklah disunnahkan. Sama halnya dengan ini semua adalah (apa
yang biasa diperbuat oleh kebanyakan orang) yang berjabat tangan seusai shalat,
walaupun itu adalah shalat ‘Ied, atau juga (pertemuan untuk) pelajaran, ataupun
juga hal-hal yang selain dari keduanya, bahkan kapan saja terjadi pertemuan antara
keduanya,…. ketika ada kemungkinan perpisahan antara keduanya, maka hal itu
disunnahkan. Sebaliknya, ketika tidak ada kemungkinan itu, maka tidak
disunnahkan” (Al-Fataawaa Al-Kubraa 4/245).
Imam Al-‘Izz bin
Abdis-Salaam mencela perbuatan ini dengan perkataannya:
المصافحة عقب
الصبح والعصر من البِدّع، إلا لقادمٍ يجتمع بمن يصافحه قبل الصلاة، فإن المصافحة
مشروعة عند القدوم، وكان النبي صلى الله عليه وسلم يأتي بعد الصّلاة بالأذكار
المشروعة، ويستغفر ثلاثاً، ثم ينصرف !! وروي أنه قال: ((ربّ قٍني عذابك يوم تبعث
عبادك)) والخير في إتباع الرسول
“Berjabat tangan seusai
shalat Shubuh dan ’Asar termasuk perbuatan bid’ah. Kecuali bagi orang yang baru
datang dalam sebuah majelis lalu ia berjabat tangan dengan orang lain sebelum
shalat. Sebenarnya, berjabat tangan merupakan hal yang disyari’atkan ketika
seseorang baru datang. Adalah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ketika shalat
usai, beliau melakukan dzikir-dzikir yang disyari’atkan, beristighfar tiga
kali, kemudian setelah itu beliau baru menyingkir. Dan telah diriwayatkan
bahwasannya beliau berdoa: “Wahai Tuhanku, jagalah aku dari siksa-Mu pada hari
Engkau membangkitkan semua hamba-Mu”. Dan segala kebaikan hanyalah ada pada
sikap itiiba’ (mengikuti) Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam (4) “ (Fataawaa
Al-’Izz bin ’Abdis-Salaam hal. 46-47). (5)
Al-Hafidh Ibnu Hajar
Al-‘Asqalani (pensyarah kitab Shahih Al-Bukhari) telah menyangkal orang yang
memperbolehkan perbuatan itu dalam Fathul-Baari (12/324).
ULAMA MADZHAB HANABILAH
Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyyah menyatakan dalam kitab Majmu’ Fataawaa-nya (23/339):
وسئل عن
المصافحة عقيب الصلاة، هل هي سنة أم لا؟
فأجاب: الحمد
لله المصعفحة عقيب الصلاة ليست مسنونة، بل هي بدعة والله أعلم
Beliau ditanya tentang (hukum) berjabat tangan
setelah selesai shalat: “Apakah perbuatan ini termasuk Sunnah atau bukan?”
Kemudian beliau menjawab: “Alhamdulillah,….
berjabat tangan setelah selesai shalat itu bukanlah termasuk perbuatan yang
disunnahkan. Akan tetapi hal itu termasuk perbuatan bid’ah. Allaahu a’lam”.
ULAMA MASA KINI
Para ulama yang tergabung
dalam Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuts wal-Ifta’ (Komisi Tetap Riset/Pembahasan
dan Fatwa) Saudi Arabia pernah ditanya hal sebagai berikut:
ما حكم المصافحة
للمصلي والسلام على الإمام وعلى صاحب اليمين وصاحب اليسار؟
“Apakah hukumnya berjabat
tangan kepada seseorang yang telah selesai dari shalat dan mengucapkan salam
kepada imam serta kepada orang-orang yang berada di samping kanan dan kirinya?”
Maka mereka menjawab
sebagai berikut:
إن لم يكن صافحه
عند لقائه إياه قبل الصلاة صافحه بعد السلام منها، سواء كانت فريضة أم نفلا وسواء
كا عن يمينِه أو يساره لكن يكون في الفريضة بعد الأذكار المشروعة بعدها، أما
السلام المأمومين على الإمام بعد الفراغ من الصلاة فلا نعلم أنه ورد فيه شيء خاص
به
“Apabila orang itu belum berjabat tangan
ketika bertemu dengannya sebelum dia shalat, maka dia boleh untuk menjabat
tangannya setelah dia salam, baik shalat yang wajib maupun sunat/nafilah, baik
jama’ah yang ada di kiri maupun di kanannya. Dan apabila setelah shalat wajib,
maka dia melaksanakan itu (yaitu berjabat tangan) adalah waktu selesai dzikir
setelah selesai shalat. Adapun perbuatan makmum yang menyampaikan salam kepada
imam setelah selesai dari shalat, maka kami belum mengetahui adanya sesuatupun
(dalil) yang khusus (menerangkan) hal itu” (Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah no.
3866).
Abul-Hasan Abdul-Hay Al-Luknawy (seorang
fuqaahaa dan ahli hadits dari negeri India) berkata:
قد شاع في عصرنا
هذا، في أكثر البلاد، وخصوصاً في بلاد الدكن، التي هي منبع البدع والفتن، أمران،
ينبغي تركهما:
أحدهما: أنهم لا
يسلّمون عند دخول المسجد، وقت صلاة الفجر، بل يدخلون ويصلون السنّة، ثم يصلّون
الفرض، ويسلّمون بعضهم على بعض بعد الفراغ منه، ومن توابعه، وهذا أمر قبيح، فإن
السلام إنما هو سنّة عند الملاقاة، كما ثبت ذلك في الأخبار، لا في أثناء المجالسة .
وثانيهما: أنهم
يصافحون بعد الفراغ من صلاة الفجر والعصر، وصلاة العيدين والجمعة، مع أن مشروعية
المصافحة أيضاً، أنما هي عند أوّل الملاقاة
“Telah tersebar luas perbuatan bid’ah dan
fitnah pada jaman kita sekarang ini di berbagai belahan negeri, yaitu dua hal
yang sudah selayaknya patut untuk ditinggalkan:
Pertama, bahwasannya
mereka tidak mengucapkan salam ketika masuk ke masjid pada waktu shalat Shubuh.
Akan tetapi mereka langsung masuk begitu saja dan mengerjakan shalat sunnah.
Baru setelah itu mereka mengerjakan shalat fardlu. Mereka malah mengucapkan
salam kepada sesama mereka setelah shalat telah usai. Ini adalah perbuatan yang
buruk/jelek. Sesungguhnya mengucapkan salam itu hanyalah disunnahkan ketika
adanya perjumpaan, sebagaimana yang telah tetap hal itu dalam hadits.
(Mengucapkan salam itu) bukan dilakukan di tengah-tengah majelis yang sedang
berlangsung.
Kedua, bahwasannya mereka
berjabat tangan seusai shalat Shubuh, shalat ’Asar, shalat ’Iedain, dan shalat
Jum’at dengan berkeyakinan bahwa hal itu disyari’atkan. Padahal berjabat tangan
itu hanyalah dilakukan di awal perjumpaan saja” (As-Si’aayah hal. 264).
Beliau menambahkan:
وممن منعه ابن
حجر الهيتمي الشافعي وقطب الدين بن علاء الدين المكي الحنفي، وجعله الفاضل الرومي
في ((مجالس الأبرار)) من البدع الشنيعة، حيث قال: المصافحة حسنة في حال الملاقاة،
وأما في غير حال الملاقاة، مثل كونها عقب صلاة الجمعة والعيدين، كما هو العادة في
زماننا، فالحديث سكت عنه، فيبقى بلا دليل وقد تقرر في موضعه: أن ما لا دليل عليه
مردود، ولا يجوز التقليد فيه
“Di antara ulama yang melarang berjabat tangan
seusai shalat adalah Ibnu Hajar Al-Haitamiy Asy-Syafi’iy dan Quthbuddin bin
’Alaauddin Al-Makkiy Al-Hanafiy. Adapun Al-Faadlil Ar-Ruumiy dalam kitab
Majaalisul-Abraar mengklasifikasikannya sebagai perbuatan bid’ah yang keji,
dimana ia berkata: ’Berjabat tangan itu adalah perbuatan yang baik ketika
bertemu, Adapun jika dilakukan selain waktu tersebut, seperti berjabat tangan
seusai shalat Jum’at dan ’Iedain sebagaimana yang menjadi tradisi pada jaman
kita, tidak ada hadits yang menjelaskan/mengajarkan hal seperti itu. Maka
tinggallah perbuatan tersebut (dilakukan) tanpa adanya dalil, hingga harus
dikatakan pada pembahasan ini: Segala sesuatu yang tidak memiliki dalil, maka
ia adalah tertolak dan tidak boleh untuk diikuti” (idem).
على أن الفقهاء
من الحنيفّة والشافعيّة والمالكيّة صرحوا بكراهتها، وكونها بدعة. قال في
((الملتقط)): يكره المصافحة بعد الصّلاة بكل حال، لأن الصحابة ما صافحوا بعد
الصلاة، ولأنها من سنن الروافض . وقال ابن حجر من علماء الشافعيّة: ما يفعله الناس
من المصافحة عقيب الصلوات الخمس مكروهة، لا أصل لها في الشرع
“Selain itu para fuqahaa dari kalangan
Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Malikiyyah secara jelas membenci perbuatan
tersebut dan menganggapnya sebagai perbuatan bid’ah. Dan dikatakan dalam kitab
Al-Multaqath: ’Berjabat tangan seusai shalat merupakan perbuatan yang dibenci
dalam segala kondisi. Hal itu dikarenakan para shahabat tidaklah berjabat
tangan seusai shalat. Justru hal tersebut merupakan perbuatan kaum Rafidlah.
Telah berkata Ibnu Hajar dari kalangan ulama Syafi’iyyah: ’Apa yang dilakukan
manusia dari perbuatan berjabat tangan seusai shalat lima waktu adalah
perbuatan yang dibenci (makruh), tidak ada asalnya dalam syari’at” (idem).
Dan lain-lain dari perkataan
para ulama.
Apa yang dapat kita
simpulkan dari pembahasan di atas adalah bahwa:
Berjabat tangan
disunnahkan pada saat bertemu.
Tidak ada dalil khusus
yang menyatakan disunnahkannya berjabat tangan setelah selesai shalat. Maka
mengkhususkan dan membiasakan perbuatan itu termasuk bid’ah yang dicela menurut
sebagian ulama atau termasuk perbuatan yang dibenci (makruh) menurut ulama yang
lain.
Berjabat tangan setelah
selesai shalat diperbolehkan jika sebelumnya dua orang muslim tersebut belum
bertemu dengan mengucapkan salam dan berjabat tangan (dengan tanpa
menyengaja/rutinitas mengakhirkannya setelah shalat).
Kebiasaan berjabat tangan
seusai shalat yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin di masjid-masjid
hendaknya ditinggalkan karena tidak sesuai dengan contoh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya.
Itulah yang dapat kami
jawab. Allaahu a’lam. (6)
Footnote:
(1) Al-Qadli
Ibnul-’Arabiy berkata:
قد تكون الإشارة
في الصّلاة لردّ السلام، لأمر ينزل بالصلاة، وقد تكون في الحاجة تعرض للمصلي . فإن
كانت لردّ السلام، ففيها الآثار الصحيحة، كفعل النبي صلى الله عليه وسلم في قُباء
وغيره
“Memberikan isyarat ketika shalat pun
dilakukan dilakukan untuk menjawab salam dikarenakan terjadi sesuatu pada waktu
shalat itu. Hal itu (yaitu memberikan isyarat ketika shalat) dilakukan karena
adanya keperluan yang menimpa orang yang shalat seperti halnya menjawab salam.
(Hal itu adalah diperbolehkan). Banyak atsar shahih yang menerangkannya,
seperti perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam masjid Quba’ dan
beberapa tempat yang lainnya” (‘Aaridlatul-‘Ahwadzi 3/162).
Penjelasan yang semisal juga datang dari Imam
Ahmad bin Hanbal sebagaimana terdapat dalam kitab Masaailul-Marwadzi hal. 22.
Sungguh sunnah ini telah banyak ditinggalkan
oleh banyak kaum muslimin (kecuali yang dirahmati oleh Allah) !! Mereka ketika masuk ke
masjid banyak yang tidak mengucapkan salam. Entah karena enggan atau malu. Dan
jikalah ada yang mempraktekkan cara menjawab salam ketika shalat sebagaimana
dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, niscaya mereka akan
terheran-heran dan menduga yang tidak-tidak kepada saudaranya.
(2) Dalam teks asli
memakai kata المواظبة yang mempunyai
makna rutinitas (hal-hal yang dilakukan secara rutin/teratur).
(3) Yaitu beliau
menyepakati perkataan Al-Qaariy dan Al-Haafidh tentang bathilnya pemutlakan
pembagian bid’ah menjadi lima (yaitu bid’ah waajibah, bid’ah muharramah, bid’ah
makruuhah, bid’ah mustahabbah, dan bid’ah mubaahah) dan bid’ahnya perbuatan
berjabat tangan seusai shalat. Silakan lihat dalam referensi yang telah
ditunjukkan.
(4) Kalimat “dan segala
kebaikan hanyalah ada pada sikap ittiba’ (mengikuti) Rasul shallallaahu ’alaihi
wasallam” menunjukkan bahwa kata “bid’ah” yang beliau maksudkan pada kalimat
sebelumnya adalah bid’ah yang tercela.
(5) Perkataan Al-’Izz bin
’Abdis-Salaam ini sungguh sangat “menakjubkan”, karena beliau adalah salah satu
fuqahaa Syafi’iyyah yang mengklasifikasikan bid’ah menjadi lima (bid’ah wajib,
sunnah, makruh, haram, dan mubah). Padahal tidak syakk (ragu) lagi bahwa
klasifikasi beliau ini adalah klasifikasi yang aneh lagi bertentangan dengan
dalil. Namun begitu, tentang masalah berjabat tangan seusai shalat ini beliau
tidak mengkatagorikannya sebagai bid’ah hasanah sebagai pendapat umumnya
masyarakat kita !
(6) Sebagai amanat ilmiah
kami katakan bahwa, ada sebagian ulama lain yang membolehkan berjabat tangan
seusai shalat, misalnya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi:
واعلم أن هذه
المصافحة مستحبّة عند كل لقاء، وأما ما اعتاده الناسُ من المصافحة بعد صلاتي الصبح
والعصر، فلا أصلَ له في الشرع على هذا الوجه، ولكن لا بأس به، فإن أصل المصافحة
سنّة
"Dan ketahuilah
bahwasannya berjabat tangan itu merupakan perbuatan yang disunnahkan dalam
setiap pertemuan. Adapun yang dilakukan manusia yang mereka berjabat tangan
seusai shalat Shubuh dan ’Asar, maka hal itu tidak ada asalnya dalam syari’at.
Akan tetapi hal itu tidak mengapa dilakukan karena hukum asal dari berjabat
tangan adalah sunnah” (Al-Adzkar hal. 171; Maktabah Al-Misykah).
Perkataan An-Nawawi ini perlu
dicermati lebih lanjut karena ada tanaqudl di dalamnya. Di satu sisi beliau
mengatakan bahwa perbuatan tersebut (yaitu membiasakan berjabat tangan seusai
shalat itu tidak ada asalnya dalam syari’at), namun di sisi lain beliau
mengatakan bahwa melakukannya adalah tidak mengapa dengan alasan hukum asal
berjabat tangan adalah sunnah.
Sebagaimana telah
dimafhumi dalam ketentuan syari’at bahwa segala sesuatu yang disunnahkan itu
ada ketentuan dan aturannyanya. Jika demikian, apakah Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam ketika usai shalat pernah mencontohkan hal tersebut? Apakah para
shahabat pernah melakukan hal tersebut? Juga para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in
yang shalih? Telah diketahui bersama bahwa mereka semua tidak pernah
melakukannya. Jika saja perbuatan itu baik dalam kaca mata syari’at, tentu
mereka telah mendahului kita dalam melakukan hal itu, sebab mereka adalah
generasi terbaik dalam Islam yang sangat tamak akan kebaikan. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
bersabda:
خير الناس قرني
ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
"Sebaik-baik manusia adalah generasiku
(yaitu para shahabat), kemudian generasi setelahnya (yaitu tabi’in), dan
setelahnya (atba’ut-tabi’in)” (HR. Bukhari no. 3451 – tartib maktabah sahab dan
Muslim no. 2535; mutawatir).
Dan pada kenyataannya, akibat perbuatan
tersebut banyak sekali orang awam yang tertipu sehingga mereka menganggapnya
benar-benar merupakan perbuatan yang disunnahkan dalam syari’at (dan mempunyai
dalil). Mereka mencintai orang yang melakukan perbuatan tersebut, dan sebaliknya
membenci orang yang tidak melakukannya (dan bahkan mencelanya !!). Para ulama
telah menetapkan beberapa kaidah dalam mementukan bid’ah sebagiannya tersebut
di bawah ini:
إذا تَرَكَ
الرسول صلى الله عليه وسلم فعل عبادة من العبادات مع كون موجبها وسببها المقتضي
لها قائمًا ثابتًا، والمانع منها منتفيًا ؛ فإن فعلها بدعة
“Apabila Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam meninggalkan suatu ibadah yang ada, padahal faktor dan sebab yang
menuntut untuk dikerjakannya ada, sementara faktor penghalangnya tidak ada;
maka melaksanakan ibadah tersebut adalah bid’ah” (Lihat Iqtidlaa’
Shiraathil-Mustaqiim (2/591-597), Majmu’ Fataawaa (6/172), Al-I’tishaam
(1/361), Al-Ibdaa’ lisy-Syaikh ’Ali Mahfudh (hal. 34-45).
كل عبادة من
العبادات ترك فعلها السلف الصالح من الصحابة والتابعين وتابعيهم أو نقلها أو
تدوينها في كتبهم أو التعرض لها في مجالسهم فإنها تكون بدعة بشرط أن يكون المقتضي
لفعل هذه العبادة قائمًا والمانع منه منتفيًا
“Semua ibadah yang tidak dilakukan oleh
As-Salafush-Shalih dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in, atau
mereka tidak menukilnya (tidak meriwayatkannya) atau tidak menukilnya dalam
kitab-kitab mereka atau tidak pernah menyinggung masalah itu dalam
majelis-majelis mereka; maka jenis ibadah itu adalah bid’ah dengan syarat faktor
penuntut untuk mengerjakan ibadah itu ada dan faktor penghalangnya tidak ada” (At-Targhiib
min Shalaatir-Raghaaib Al-Maudluu’ah (hal. 9) dan Al-Baa’its ’alaa
Inkaaril-Bida’ wal-Hawaadits (hal. 47)).
كل عبادة مطلقة
ثبتت في الشرع بدليل عام ؛ فإن تقييد إطلاق هذه العبادة بزمان أو مكان معين أو
نحوهما بحيث يوهم هذا التقييد أنه مقصود شرعًا من غير أن يدلّ الدليل العام على
هذا التقييد فهو بدعة
“Setiap ibadah mutlak yang telah tetap dalam
syari’at dengan dalil umum, maka membatasi kemutlakan ibadah ini dengan waktu
atau semacamnya sehingga memberikan anggapan bahwa pembatasan inilah yang
diinginkan syari’at tanpa ada dalil umum yang menunjukkan terhadap pembatasan
ini, maka ia adalah bid’ah” (Al-Baa’its (hal. 47-54), Al-I’tishaam (1/229-231,
249-252, 345, 346; 2/11) dan Ahkaamul-Janaaiz (hal. 242)).
إذا فُعل ما هو
مطلوب شرعًا على وجه يُوهم خلاف ما هو عليه في الحقيقة فهو ملحق بالبدعة
“Apabila sesuatu yang dituntut berdasarkan
syari’at dikerjakan dengan cara yang menimbulkan anggapan hal yang berbeda
dengan kenyataannya (apa yang sebenarnya), maka hal itu adalah bid’ah” (refernsi
kaidah banyak dan tersebar dengan berbagai macam contohnya, sebagaimana yang
ada pada kitab Al-Hawaadits wal-Bida’ (hal. 66), Al-I’tishaam (1/345-346;
2/22-32), Al-Baa’its (hal. 54), Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim (2/630), dan
Al-Amru bil-Ittiba’ wan-Nahyu ’anil-Ibtida’ (hal. 180)).
إذا فُعل ما هو
جائز شرعًا على وجه يُعتقد فيه أنه مطلوب شرعًا فهو ملحق بالبدعة
“Jika sesuatu yang dalam syari’at hukumnya
boleh lalu dikerjakan dengan keyakinan bahwa dalam dalam syari’at hukumnya
mandub/dituntut (baik tuntutan wajib ataupun sunnah), maka hal itu dapat
dikatagorikan sebagai bid’ah” (Al-I’tishaam (1/346-347; 2/109)).
Dan lain-lain (sengaja
dipilih yang berkaitan dengan pembahasan), adapun penjelasannya, maka tidak
mungkin untuk dijabarkan di sini karena sangat panjang. (banyak diambil dari
Qawaaidu Ma’rifatil-Bida’ karya Muhammad bin Husain Al-Jizani hafidhahulah).
Oleh karena itu, apa yang
dikemukakan oleh An-Nawawi dan beberapa ulama yang sepakat dengannya merupakan
pendapat yang lemah (marjuh) dan telah mendapat kritikan dari para ulama lain
karena bertentangan dengan dalil dan kaidah (silakan baca uraian Al-Mubarakfury
dalam Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi).
NB: Jawaban dalam artikel
ini banyak saya nukil dari buku Al-Ustadz Ibnu Saini: Hukum Berjabat Tangan
dalam Syari'at Islam dengan penambahan lainnya (Al-Qaulul-Mubiin fii
Akhthaail-Mushalliin, Tuhfatul-Ahwadzi, Qawaaidu Ma'rifatil-Bida', dan yang
lainya.
Oleh: Abul Jauzaa’ Dony Arif Wibowo
Posting Komentar untuk "Hukum Berjabat Tangan "Salaman" Setelah Sholat"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.