Jadi Jurinya Imam Madzhab
Pada pertemuan pertama mata kuliah
Qawa'id Lughawiyah semester 2 tadi saya menjelaskan bahwa Ushul Fiqh adalah
pilar terpenting di Prodi Perbandingan Mazhab. Kenapa? Karena dalam studi
perbandingan mazhab kita seharusnya tidak terfokus pada Imam A berpendapat ini
dan Imam B berpendapat itu, fokus kita seharusnya adalah kenapa Imam A berkata
ini dan kenapa Imam B berkata itu, dan tak ada cara lain untuk mengetahuinya
selain dengan mengerti ushul fiqh dengan baik.
Saya beri mereka
permisalan, dalil adalah bahan mentah, fikih adalah makanan jadi, dan
pengetahuan dan proses memasak itulah ushul fiqh. Bahan yang sama tapi diolah
dengan cara berbeda bisa menghasilkan makanan yang berbeda, berasnya sama tapi
setelah diolah bisa menjadi lontong, lepeut, bacang, ketupat, nasi, nasi liwet,
hingga bubur. Bahkan beda tangan juga bisa menghasilkan makanan yang berbeda,
bisa jadi nasi yang dibuat itu matangnya pas, bisa jadi terlalu lembek, ataupun
bisa jadi "gigih" karena yang masaknya belum berpengalaman.
Begitu pula
dalam fikih. Saya berikan contoh dengan perbedaan pemahaman terhadap ayat
wudhu, cuma gara-gara huruf "ba" dalam kalimat "wamsahu bi
ru'usikum" ditambah dengan sejumlah hadis terkait mengusap kepala,
ternyata bisa muncul setidaknya ada tiga pendapat tentang batasan minimal
mengusap kepala: seluruh kepala, satu pertiga, asal ada persentuhan antara
tangan yang basah dengan kepala.
Contoh lain saya
berikan perbedaan pemahaman terhadap hadis bid'ah, yaitu: ala Inna kulla
muhdatsah bid'ah wa kulla bid'ah dhalalah. Proses pengolahan dari hadis ini
hingga berujung pada pemahaman bahwa "setiap bid'ah adalah sesat"
atau "ada bid'ah yang tidak sesat" itu jalannya panjang sekali.
Dimulai dari kata kullu sebagai lafaz umum yang cakupannya luas, kemudian kullu
yang pertama disepakati untuk ditakhshish, kemudian kullu yang kedua ternyata
tidak disepakati apakah ditakhshish atau tidak sehingga memunculkan perbedaan.
Dari proses yang panjang inilah hingga muncul kalangan yang tidak melakukan
klasifikasi bid'ah dan kalangan yang melakukan klasifikasi bid'ah seperti Imam
Syafi'i yang mengklasifikasikan bid'ah menjadi dua atau Imam Izzuddin b. Abdissalam
yang mengklasifikasikan bid'ah menjadi lima.
Saya kemudian
bertanya, dalam melihat perbedaan pendapat yang ada ini, apa yang harus kita
lakukan?
Saya jawab, jika
memiliki kemampuan untuk menilai mana yang terkuat dari pendapat yang ada maka
lakukanlah. Tapi jika tidak memiliki kemampuan itu, bahasa Arab ga bisa, hafal
Qur'an juga ngga, atau bisa jadi hafal Qur'an tapi ga bisa bedain mana ayat
hukum dan bukan, hafal hadis cuma seuprit, ga bisa menilai hadis, dan sejumlah
persyaratan lain, maka baiknya ikuti saja pendapat yang ada tanpa menyalahkan
yang lain.
Kita mungkin
saja bisa masak, mengerti bumbu dan cara mengolah makanan, tapi apakah kita
bisa menjadi juri Masterchef? Jelas tidak karena kita tidak memenuhi
kualifikasi untuk jadi juri. Bahkan sepertinya jadi peserta pun kita tidak
cocok karena cuma tau masak ala-ala kosan. Maka, kita bisa jadi paham ushul
fiqh, paham dalil, tau dalil sahih dan dha'if, tapi apakah kita pantas untuk
menjadi juri bagi para imam dalam perbedaan pendapat mereka? Apakah kita
memenuhi kualifikasi untuk menentukan "ini benar-ini salah" atau
"ini sesuai sunnah-ini tidak sesuai sunnah"? Eits, Tunggu dulu...
Oleh: Hamba Allah
Posting Komentar untuk "Jadi Jurinya Imam Madzhab"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.