Cinta Tanah Air dan Negara Untuk Kebaikan Dunia dan Akhirat
Dalam sebuah hadits
disebutkan:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا
قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَأَبْصَرَ دَرَجَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ، وَإِنْ
كَانَتْ دَابَّةً حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا
Dari Anas radliyallaahu
'anhu berkata: "Rasulullah ﷺ apabila pulang dari safar, maka
beliau ﷺ melihat dataran tinggi kota Madiinah seraya mempercepat
ontanya. Apabila beliau ﷺ berada di atas kendaraan yang lain (kuda, keledai), maka beliau
ﷺ menggerak-gerakkan kendaraannya karena kecintaan beliau
kepadanya (Madiinah)" (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1802 & 1886,
At-Tirmidziy no. 3441, dan yang lainnya)
Maksudnya - wallaahu
a'lam - , agar cepat kembali sampai di kota Madiinah.
Al-Haafidh Ibnu Hajar
Al-'Asqalaaniy rahimahullah berkata ketika menyebutkan satu faedah dari hadits
di atas:
وَفِي الْحَدِيث دَلَالَة عَلَى فَضْل الْمَدِينَة ، وَعَلَى مَشْرُوعِيَّة
حُبّ الْوَطَن وَالْحَنِين إِلَيْهِ
"Dalam hadits ini
menunjukkan tentang keutamaan Madiinah dan disyari'atkannya cinta kepada
negeri/tanah air (al-wathan) dan rindu kepadanya" (Fathul-Baariy, 3/621)
Ibnu Baththal rahimahullah
juga mengatakan hal senada:
(من حبها ) يعنى
لأنها وطنه ، وفيها أهله وولده الذين هم أحب الناس إليه ، وقد جبل الله النفوس على
حب الأوطان والحنين إليها
"Karena kecintaan
beliau kepadanya (Madiinah); yaitu karena Madiinah adalah negerinya, yang
padanya tinggal keluarga dan anak-anak beliau ﷺ yang merupakan orang-orang yang
paling beliau ﷺ cintai. Allah ta'ala telah menciptakan bagi jiwa-jiwa kecintaan
terhadap negeri/tanah air dan perasaan rindu kepadanya" (Syarh Shahiih
Al-Bukhaariy, 8/35)
Makna 'al-wathan' (الْوَطَنُ) adalah tempat
kelahiran seseorang atau tempat tinggal seseorang.
Hadits yang memiliki
substansi serupa adalah:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَدِيِّ ابْنِ حَمْرَاءَ الزُّهْرِيِّ، قَالَ:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَاقِفًا عَلَى الْحَزْوَرَةِ، فَقَالَ: "
وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ، وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَى
اللَّهِ، وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ ".
Dari ‘Abdullah bin ‘Adiy
bin Hamraa’ Az-Zuhriy, ia berkata: Aku pernah melihat Rasulullah ﷺ berdiri di
Hazwarah lalu bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya engkau (Makkah) adalah bumi
Allah yang paling baik dan bumi Allah yang paling dicintai-Nya. Seandainya aku
tidak diusir darimu, niscaya aku tidak akan keluar darimu” (Diriwayatkan oleh
At-Tirmidziy no. 3925, dan ia berkata: “Hadits hasan ghriib shahih”)
Dalam lafadh Ibnu Maajah:
وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ، وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَيَّ.......
“Demi Allah, sesungguhnya
engkau (Makkah) adalah bumi Allah yang paling baik dan bumi Allah yang paling
aku cintai…….” (As-Sunan no. 3108)
Ketika Nabi ﷺ dan para
shahabat diusir dari Makkah – yang waktu itu masih berstatus Daarul-Kufr,
tempatnya kesyirikan dan kekufuran – dan kemudian berhijrah dan mukim di
Madiinah, maka saat Bilaal sakit dan sembuh dari sakitnya ia berkata:
أَلَا لَيْتَ شِعْرِي هَلْ أَبِيتَنَّ لَيْلَةً بِوَادٍ وَحَوْلِي إِذْخِرٌ وَجَلِيلُ
وَهَلْ أَرِدَنْ يَوْمًا مِيَاهَ مِجَنَّةٍ وَهَلْ يَبْدُوَنْ لِي شَامَةٌ
وَطَفِيلُ.
قَالَ: اللَّهُمَّ الْعَنْ شَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ، وَعُتْبَةَ بْنَ
رَبِيعَةَ، وَأُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ، كَمَا أَخْرَجُونَا مِنْ أَرْضِنَا إِلَى
أَرْضِ الْوَبَاءِ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا
الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي
صَاعِنَا وَفِي مُدِّنَا وَصَحِّحْهَا لَنَا، وَانْقُلْ حُمَّاهَا إِلَى
الْجُحْفَةِ
“Alangkah baiknya
syairku, dapatkah kiranya aku bermalam di sebuah lembah yang dikelilingi pohon
idzkir dan jalil. Apakah ada suatu hari nanti aku dapat mencapai air Majannah.
Dan apakah bukit Syamah dan Thufail akan tampak bagiku?”.
Lalu ia berkata: “Ya
Allah, laknatlah Syaibah bin Rabii’ah, 'Utbah bin Rabii’ah, dan Umayyah bin
Khalaf, sebagaimana mereka telah menyebabkan kami keluar dari negeri kami
(Makkah) ke negeri derita (Madiinah)”.
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: “Ya
Allah, jadikanlah Madinah sebagai kota yang kami cintai sebagaimana kami
mencintai Makkah atau bahkan lebih dari itu. Ya Allah, berkahilah timbangan
shaa’ dan mudd kami. Sehatkanlah (makmurkanlah) Madinah untuk kami dan
pindahkanlah wabah demamnya ke Juhfah” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1889)
Bilaal tetap mencintai
tanah air/negeri asalnya, yaitu Makkah, dan tersirat harapan (kelak) dapat
kembali ke sana; meskipun saat itu dirinya mukim di Madiinah berhijrah bersama
Nabi ﷺ. Dalam hal ini, Nabi ﷺ tidak mengingkari perkataan
Bilaal. Dan itulah yang dirasakan oleh para shahabat lainnya.
Dalam Al-Qur’an terdapat
ayat-ayat yang mengisyaratkan keinginan dan kecintaan seseorang terhadap
negeri/tanah air sebagaimana keinginan dan kecintaannya kepada ruh/jiwanya,
sebagaimana firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا
مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلا قَلِيلٌ مِنْهُمْ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا
مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا
“Dan sesungguhnya kalau
Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari
kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil
dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang
diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka
dan lebih menguatkan (iman mereka)” (QS. An-Nisaa’: 66)
Allah juga berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ
وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tiada melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahanah:
8)
Dalam hal ini, Allah
ta’ala menjadikan ‘tidak mengeluarkan dari negeri’ sebagai sebab perlakuan baik
dan adil kepada orang-orang kafir, karena tinggal di dalam negeri merupakan
kecintaan setiap orang.
Beberapa dalil di atas
menunjukkan bahwa manusia secara tabi’at cinta dan mengutamakan negeri/tanah
airnya. Negeri tempat tinggal keluarganya. Oleh karena itu, secara tabiat pula,
setiap orang pasti menginginkan kebaikan negeri yang ia dan keluarganya
tinggali. Sebagaimana doa yang dipanjatkan Ibraahiim ‘alaihis-salaam untuk
kebaikan negeri yang ditinggali keluarga dan keturunannya:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي
وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الأصْنَامَ
“Dan (ingatlah), ketika
Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah), negeri yang
aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah
berhala-berhala” (QS. Ibraahiim: 35)
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ
أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
“Dan (ingatlah), ketika
Ibraahiim berdoa: ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa,
dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di
antara mereka kepada Allah dan hari kemudian” (QS. Al-Baqarah: 126)
Sama seperti doa Nabi
Muhammad ﷺ untuk kecintaan dan keberkahan Madiinah, negeri baru setelah
diusir dari Makkah.
Kecintaan terhadap tanah
air/negeri akan bernilai ibadah apabila tanah air/negeri yang dicintai itu
termasuk yang diperintahkan Allah ta’ala untuk mencintainya seperti Makkah dan
Madiinah. Atau mencintainya karena adanya kebaikan di sana berupa keimanan dan
sunnah.
So, kita tidak perlu
alergi untuk mengatakan kita mencintai tanah air/negeri Indonesia, atau lebih
spesifik wilayah dimana kita tinggal, serta menginginkan kebaikan di sana.
Tentu, kecintaan yang tanpa berlebihan (ghulluw), apalagi menabrak rambu-rambu
syari’at. Allah ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ
فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا
يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: "Jika
bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada
Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai
Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasiq” (QS. At-Taubah: 24)
Allah ta’ala dan
Rasul-Nya tetap harus lebih diutamakan dari segalanya. Bahkan apabila kita
tidak dapat menjalankan agama kita dan menampakkannya, serta dipaksa melakukan
kesyirikan dan kekufuran, wajib untuk berhijrah dari negerinya ke negeri lain
yang lebih layak apabila memiliki kemampuan. Bahkan Allah ta’ala mengecam orang
yang mampu berhijrah namun tidak berhijrah:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا
فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ
أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا
”Sesungguhnya orang-orang
yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka)
malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka
menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri
(Makkah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas,
sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya
neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisaa’:
97)
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata:
فنزلت هذه الآية الكريمة عامة في كل من أقام بين ظهراني المشركين وهو قادر على
الهجرة، وليس متمكنا من إقامة الدين، فهو ظالم لنفسه مرتكب حراما بالإجماع
”Maka ayat yang mulia ini
turun mencakup setiap orang yang tinggal di tengah-tengah orang-orang musyrik
sedangkan ia mampu hijrah dan di sisi lain tidak mampu untuk menegakkan agama;
maka (dalam keadaan ini) ia mendhalimi dirinya dan melakukan keharaman berdasarkan
ijma’” (Tafsiir Ibni Katsiir, 2/389)
Kita mencintai tanah
air/negeri tanpa mengatakan: “Nabi ﷺ bersabda: ‘Cinta tanah air
adalah bagian dari iman”; karena hadits itu palsu, bahkan tidak ada
asal-usulnya.
Kecintaan kita kepada
tanah air/negeri adalah untuk menciptakan maslahat dunia dan akhirat. Cinta
dengan kebaikan yang ada di dalamnya, dan berusaha menghilangkan kemunkarannya.
Berkontribusi positif dengan ilmu dan amal. Bukan kecintaan buta dengan membela
kemaksiatan, kekufuran, dan kesyirikan yang mungkin ada padanya.
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
Oleh: Abul Jauzaa’ Doni Arif Wibowo
Posting Komentar untuk "Cinta Tanah Air dan Negara Untuk Kebaikan Dunia dan Akhirat"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.