Menyikapi Kekeliruan Masyarakat didalam Bertawassul dan Meminta Syafaat
Ketika kita menjelaskan
kepada masyarakat awam tentang tata cara ber Tawassul dan meminta Syafaat yang
benar sesuai dengan tuntunan syari'at Islam, tentunya dengan tata cara yang
baik dan benar. Dengan mengedepankan adab dan akhlak yang mulia dengan berlemah
lembut didalam menyampaikannya. Karena didalam menyampaikan kebenaran jika
tidak diiringi dengan adab dan akhlak yang baik maka orang akan sulit untuk
mendengar apalagi mau menerima dakwah kita walaupun yang kita sampaikan adalah
suatu kebenaran. Begitu juga sebaliknya jika sesuatu penyimpangan akan mudah
diterima oleh masyarakat awam jika yang menyampaikannya dengan adab dan akhlak
yang baik karena itu yang pertama kali dilihat orang.
Tawasul artinya
mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya,
beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk rasul-Nya, dan mengamalkan seluruh
amalan yang dicintai dan diridhoi-Nya. Atau dengan kata lain seseorang
melakukan suatu ibadah dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah dan surga-Nya.
Namun, sebagian kaum muslimin salah dalam memahami tawasul. Mereka bertawasul
dengan orang-orang shalih dan wali yang sudah mati. Inilah yang mereka anggap
sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah. Padahal hal tersebut dapat
menjerumuskan mereka ke lembah kesyirikan.
Tawasul yang
Diperbolehkan
Perlu diketahui bahwa
tawasul dibagi menjadi dua yaitu tawasul syar’i dan tawasul bid’i. Tawasul
syar’i adalah tawasul yang ditetapkan oleh syariat, yakni yang memiliki dalil
dari Al Qur’an dan Hadits Nabi صلى الله عليه وسلم. Maksudnya mengambil wasilah
(perantara) untuk terkabulnya doa, yakni seseorang yang berdoa mengambil
sebab-sebab yang dapat menjadikan terkabulnya doa. Sedangkan tawasul bid’i
adalah tawasul yang tidak terdapat dalil yang membolehkannya, bahkan di antaranya
merupakan perbuatan kesyirikan. Jenis tawasul syar’i yaitu:
Pertama: Bertawasul
dengan zat Allah yang Maha Suci, dengan nama-nama-Nya yang baik, dengan
sifat-sifat-Nya, atau dengan perbuatan-Nya.
Dalilnya adalah firman Allah سبحانه وتعالى
وَلِلّٰهِ الْاَ
سْمَآءُ الْحُسْنٰى فَا دْعُوْهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا
الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْۤ اَسْمَآئِهٖ ۗ سَيُجْزَوْنَ
مَا كَا نُوْا يَعْمَلُوْنَ
"Dan Allah memiliki
Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan
nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan." (QS. Al-A'raf 7: Ayat 180)
Dan juga sabda Rasulullah
صلى الله عليه
وسلم dalam doa beliau, “… Aku memohon dengan setiap nama-Mu, yang
Engkau memberi nama diri-Mu dengannya, atau yang Engkau ajarkan kepada salah
satu makhluk-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau sembunyikan
dalam ilmu ghaib di sisi-Mu…” (H.R Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih, Silsilah Ash Shahihah no. 199)
Kedua: Bertawasul dengan amal shalih.
Bertawasul dengan amal sholih juga diperbolehkan. Dalilnya adalah firman Allah
(yang artinya), “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar
Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa):
وَاِ ذْ
يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ
الْقَوَا عِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِ سْمٰعِيْلُ ۗ رَبَّنَا
تَقَبَّلْ مِنَّا ۗ اِنَّكَ
اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
"Dan (ingatlah)
ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa),
"Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha
Mendengar, Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 127)
Adapun dalil dari hadits
yakni dalam kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua. Mereka bertawasul
dengan amal shalih yang mereka lakukan berupa berbuat baik kepada kedua
orangtua, meninggalkan perbuatan zina, dan menunaikan hak orang lain, maka
Allah mengabulkan doa mereka sehingga mereka dapat keluar dari goa karena sebab
tawasul dalam doa yang mereka lakukan. Ini menunjukkan diperbolehkannya
sesorang bertawasul dengan amal sholih.
Ketiga: Bertawasul dengan
doa orang lain.
Dalilnya adalah firman Allah سبحانه وتعالى ketika mengkisahkan anak-anak Nabi Ya’qub
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
قَا لُوْا يٰۤاَ
بَا نَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَاۤ اِنَّا كُنَّا خٰـطِـئِيْنَ
"Mereka berkata,
"Wahai ayah kami! Mohonkanlah ampunan untuk kami atas dosa-dosa kami,
sesungguhnya kami adalah orang yang bersalah (berdosa)." (QS. Yusuf 12:
Ayat 97)
Sedangkan dalil dari
hadits adalah doa Rasullullah صلى
الله عليه وسلم untuk ‘Ukasyah bin Mihson رضي الله عنه Beliau صلى الله عليه وسلم memohon kepada Allah agar menjadikan
‘Ukasyah termasuk tujuh puluh ribu golongan yang masuk surga tanpa hisab.
Para Sahabat Bertawasul
dengan Rasulullah صلى
الله عليه وسلم
Semasa Rasulullah صلى الله عليه وسلم masih hidup,
di antara para sahabat ada yang bertawasul dengan beliau. Seorang arab badui
pernah menemui Rasulullah صلى
الله عليه وسلم di saat beliau sedang berkhotbah dan ia meminta didoakan oleh beliau.
Demikian pula yang dilakukan sahabat ‘Ukasyah bin Mihson adalah contoh
bertawasul lewat perantaraan Nabi صلى الله عليه وسلم .Namun yang perlu diingat, yang
dilakukan oleh para sahabat tersebut adalah saat Rasulullah صلى الله عليه وسلم masih hidup. Adapun
setelah wafatnya beliau, maka hal ini tidak diperbolehkan. Oleh karena itu,
ketika di masa khalifah ‘Umar رضي
الله عنه terjadi kekeringan, mereka tidak meminta kepada kubur Rasulullah صلى الله عليه وسلم agar berdoa kepada Allah
untuk meminta hujan namun ‘Umar meminta kepada ‘Abbas رضي الله عنه paman Rasulullah صلى الله عليه وسلم . ‘Umar
berkata, “Ya Allah, sesungguhnya kami dulu bertawasul kepada-Mu dengan Nabi
kami maka Engkau menurunkan hujan kepada kami. Sekarang kami bertawasul
kepada-Mu dengan paman Nabi kami maka turunkanlah hujan kepada kami” (H.R
Bukhori)
Akhirnya, Allah سبحانه وتعالى menurunkan hujan kepada mereka
melalui perantaraan do’a Abbas.
Bertawasul dengan Doa,
Bukan Dengan Zat
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ menjelaskan,
“Adapun yang dimaksud tawasul dengan Nabi صلى الله عليه وسلم dalam perkataan para sahabat رضي الله عنهم adalah bertawasul dengan doa dan
syafaat Nabi”. Beliau melanjutkan lagi, “ Adapun tawasul dengan doa dan syafaat
sebagaimana yang dilakukan ‘Umar adalah bertawasul dengan doa, bukan bertawasul
dengan zat Rasulullah صلى
الله عليه وسلم. Seandainya itu merupakan tawasul dengan zat beliau, maka tentu
bertawasul kepada
Nabi صلى الله عليه وسلم lebih utama daripada ‘Abbas
رضي الله عنه Ketika mereka
berpaling dari bertawasul dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
“Kami tidak menyembah
mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya”.” (QS. Az Zumar:3)
Mereka bertawasul dengan
‘Abbas, maka dari sini kita ketahui bahwa bertawasul dengan
Nabi صلى الله عليه وسلم hanya berlaku
ketika beliau masih hidup dan terlarang setelah wafatnya beliau.” Maka nyatalah
kebatilan perbuatan sebagian kaum muslimin yang bertawasul dengan zat dan
kedudukan orang-orang shalih yang telah meninggal.
Tawasul Terlarang
Tawasul yang terlarang
adalah tawasul yang dilakukan oleh kaum musyrikin, sebagaimana Allah sebutkan
dalam Al Quran (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain
Allah (berkata)
Allah سبحانه وتعالى
berfirman:
اَ لَا لِلّٰهِ
الدِّيْنُ الْخَا لِصُ ۗ وَا
لَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖۤ
اَوْلِيَآءَ ۘ مَا
نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَاۤ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰى ۗ اِنَّ
اللّٰهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِيْ مَا هُمْ فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ ۗ اِنَّ
اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ مَنْ هُوَ كٰذِبٌ كَفَّا رٌ
"Ingatlah! Hanya
milik Allah agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil
pelindung selain Dia (berkata), "Kami tidak menyembah mereka melainkan
(berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya."
Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka
perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang
yang sangat ingkar." (QS. Az-Zumar 39: Ayat 3)
Dalam ayat lain Allah سبحانه وتعالى berfirman, “Dan mereka menyembah
selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada
mereka dan tidak (pula) kemanfa’atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah
pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah” (QS. Yunus:18)
Kedua ayat di atas menggambarkan
kondisi kaum musyrikin di zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Mereka menyembah selain Allah
sebagai perantara, mendekatkan mereka kepada Allah dan memberi syafaat bagi
mereka. Mereka tidak semata-mata meminta kepada sesembahan mereka, namun sesembahan
mereka hanyalah sebagai perantara dan pemberi syafaat. Kondisi ini sama persis
dengan yang dilakukan kaum musyrikin zaman kita. Mereka menganggap wali yang
sudah meninggal dapat menjadi perantara dan pemberi syafaat bagi mereka.
Bertawasul dengan Kedudukan
Orang Shalih
Sebagian orang melakukan
tawasul dengan jah (kedudukan) orang shalih yang sudah meninggal. Mereka
mengatakan, “Demi kehormatan Nabi-Mu atau demi kehormatan wali fulan…”. Tawasul
yang demikian ini terlarang, ditinjau dari dua sisi. Pertama, berarti dia telah
bersumpah dengan selain Allah, sedangkan bersumpah dengan selain Allah adalah
haram, bahkan termasuk syirik yaitu syirik asghar (syirik kecil). Kedua, orang
itu berarti mempunyai keyakinan bahwa seseorang memiliki hak atas diri Allah.
Padahal seseorang itu tidaklah memiliki hak selain yang telah Allah anugerahkan
kepadanya.
inilah beberapa fenomena
tawasul yang tersebar di masyarakat. Sebagiannya salah dalam memahami dan
mengamalkan tawasul sehingga terjerumus dalam keharaman, bahkan kesyirikan.
Begitu juga dengan
Syafaat.
Sedangkan secara istilah,
syafaat berarti menjadi penengah bagi orang lain dengan memberikan manfaat
kepadanya atau menolak madharat, yakni pemberi syafaat itu memberikan manfaat
kepada orang yang diberi syafaat atau menolak madharat untuknya.
Syafaat terdiri dari dua
macam:
Macam Pertama, syafaat
yang didasarkan pada dalil yang kuat dan shahih, yaitu ditegaskan Allah سبحانه وتعالى Kitab-Nya, atau yang
dijelaskan Rasulullah صلى
الله عليه وسلم Syafaat tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang
bertauhid dan ikhlas; karena
Abu Hurairah رضي الله عنه bertanya, “Wahai Rasulullah,
siapa yang paling bahagia mendapatkan syafaatmu?” Beliau menjawab, “Orang yang
mengatakan, ‘Laa ilaaha illallah’ ikhlas dari dalam hatinya.”
Syafaat mempunyai tiga
syarat:
Pertama, Allah سبحانه وتعالى meridhai orang yang memberi
syafaat.
Kedua, Allah سبحانه وتعالى meridhai orang yang diberi
syafaat.
Ketiga, Allah سبحانه وتعالى mengizinkan pemberi syafaat
untuk memberi syafaat.
Syarat-syarat di atas
secara global dijelaskan Allah dalam firman-Nya,
وَكَم مِّن
مَّلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لاَتُغْنِى شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلاَّ مِن بَعْدِ
أَن يَأْذَنَ اللهُ لِمَن يَشَآءُ وَيَرْضَى
“Dan berapa banyaknya malaikat di langit,
syafaat mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi
orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).” (QS. An-Najm: 26)
Kemudian firman Allah سبحا نه وتعالى:
مَن ذَا الَّذِي
يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tiada yang dapat memberi
syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.” (QS.
Al-Baqarah: 255)
Lalu firman Allah سبحانه
وتعالى:
يَوْمَئِذٍ
لاَتَنفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلاَّ مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ
قَوْلاً
“Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali
(syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia
telah meridhai perkataannya.” (QS. Thaha: 109)
Kemudian firman Allah سبحانه وتعالى:
يَعْلَمُ
مَابَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ وَلاَيَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى
وَهُم مِّنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ
“Allah mengetahui segala sesuatu yang di
hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tidak memberi
syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu
berhati-hati kerana takuT kepada-Nya.” (QS. Al-Anbiya’: 28)
Agar syafaat seseorang
diterima, maka harus memenuhi ketiga syarat di atas. Dalam hal Ini kita harus
menjelaskan kepada masyarakat tentang Tawasul dan Syafaat yang benar.
(Abu Hikmatyar)
Posting Komentar untuk "Menyikapi Kekeliruan Masyarakat didalam Bertawassul dan Meminta Syafaat"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.