Kriteria Istri Shalihah dan Kisah Pernikahan Putri Sa'id bin Al Musayyib
Kriteria istri shalihah,
di antaranya:
Istri yang mendengarkan
kata-kata suaminya dengan baik dan membantunya dalam ketaatan kepada Allah.
Istri yang lemah-lembut, baik, belas kasih, zuhud, menutup aurat, ridha,
tenang, suci, menjaga kesucian diri, pelan suaranya, penuh kasih, penyabar, dan
setia. Ia adalah istri yang tidak menginginkan laki-laki lain, menyebut-nyebut
kepada suaminya apa yang telah diperbuatnya, banyak mengeluh, suka memukul,
gemar bersolek, penipu, pendusta, menginginkan segala yang dilihatnya,
berkata-kata dengan dibuat-buat, gemar bermain, banyak tertawa, pasrah, malas,
suka melakukan kesalahan, melakukan suatu aib, fanatisme golongan, banyak
mengkhayal, suka menentang atau asal bicara. Tidak pula berpura-pura sakit,
berbicara yang dibuat-buat, melalaikan perhiasan dirinya, atau mengabdikan diri
dan kecantikannya.
Tidak ada salahnya
seseorang menawarkan putrinya atau saudara perempuannya kepada laki-laki yang
dipandangnya shalih. Nabi Syu'aib telah menawarkan putrinya kepada Musa,
sebagaimana Allah menceritakan perkataannya:
قال إني أريد أن أنكحك إحدى ابنتي هاتين
"Berkatalah dia
(Syu'aib): Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari
kedua anakku ini.” (Al-Qashash: 27)
Umar al-Faruq telah
menawarkan putrinya, Hafshah, setelah kematian suaminya. Seperti diriwayatkan
al-Bukhari dan selainnya dari Umar bin al-Khaththab, ketika putrinya menjanda,
ia mengatakan:
Aku bertemu Utsman bin
Affan, lalu aku menawarkan Hafshah kepadanya. Aku katakan, "Jika engkau
mau, aku nikahkan engkau dengan Hafshah binti Umar." Ia mengatakan, “Aku
akan melihat urusanku." Aku pun menunggu beberapa malam, lalu ia
mengatakan, “Tampaknya aku tidak ingin menikah saat ini." Umar berkata,
"Lalu aku bertemu Abu Bakar, dan aku katakan, 'Jika engkau mau, aku
nikahkan engkau dengan Hafshah binti Umar.' Abu Bakar diam dan tidak memberikan
jawaban apa pun kepadaku. Aku pun lebih sedih dan kesal padanya daripada
terhadap Utsman. Aku pun menunggu beberapa malam, lalu Nabi meminangnya, maka
aku pun menikahkannya dengannya. Setelah itu, Abu Bakar menemuiku seraya
mengatakan, "Mungkin engkau sedih dan kesal terhadapku ketika engkau
menawarkan Hafshah padaku dan aku tidak memberikan jawaban kepadamu." Aku
menjawab, "Ya." la mengatakan, "Tidak ada yang menghalangiku
untuk memberikan jawaban kepadamu atas penawaranmu. Tapi, aku sudah mengetahui
bahwa Rasulullah pernah menyebut-nyebut Hafshah. Tentu saja aku tidak
mau menyebarkan rahasia Rasulullah. Seandainya Rasulullah tidak
menyebut-nyebutnya, niscaya aku telah menerima tawaran tersebut." (HR.
Al-Bukhari)
Perkara ini terus
berlangsung sejak masa Nabi, lalu para sahabat, hingga perkara tersebut
diserahkan kepada tabi'in dan tabi’ tabi’in. Kitabkitab sirah meriwayatkan dari
Abdullah bin Wada'ah. Ia mengatakan:
Aku biasa bersama dengan
Sa'id bin al-Musayyib, lalu ia kehilangan diriku selama beberapa hari (Yakni,
kehilangan diriku di majelisnya. Ini salah satu adab yang dimiliki ulama, yaitu
mereka memperhatikan orang-orang yang ada di majelis dan mengetahui keadaannya).
Ketika aku datang kepadanya, ia bertanya, “Di mana engkau?" Aku menjawab,
"Istriku meninggal dan aku sibuk mengurusnya.” Ia berkata, “Mengapa engkau
tidak mengabarkan kepada kami sehingga kami bisa menghadirinya?" Kemudian
aku hendak beranjak, maka ia mengatakan, “Apakah engkau ingin menikah
lagi?" Aku jawab, "Semoga Allah merahmatimu. Siapakah yang akan
menikahkan aku dengan putrinya, sedangkan aku tidak punya kecuali dua atau tiga
dirham?” Ia menjawab, "Aku."(1) Aku bertanya, “Engkau akan
melakukannya?" Ia menjawab, "Ya." Setelah memuji Allah dan
bershalawat pada Nabi, ia menikahkan aku (dengan putrinya) dengan mahar dua
dirham-atau tiga dirham."
Aku pun berdiri tanpa
tahu apa yang harus aku lakukan karena sedemikian gembiranya. Aku pun kembali
ke rumahku, dan mulai berpikir dari siapa aku akan mengambil, dari siapa aku akan
utang. Aku pun shalat Maghrib, setelah itu kembali ke rumah. Aku lapar karena
berpuasa, lalu aku mengambil makan malamku dan berbuka. Makanan itu berupa roti
dan minyak. Tiba-tiba pintu terketuk, maka aku bertanya, "Siapa?" la
menjawab, "Said."
Aku berpikir setiap orang
yang bernama Sa'id hanyalah Sa'id bin al-Musayyib. Hal itu mengingat selama
empat puluh tahun ia hanya mondar-mandir antara rumahnya dan masjid. Aku pun
keluar menuju kepadanya, ternyata ia adalah Sa'id bin al-Musayyib. Aku
menyangka bahwa ia telah berubah pikiran. Aku katakan, “Wahai Abu Muhammad,
mengapa engkau tidak mengutus orang lain saja kepadaku agar aku datang
kepadamu." Ia menjawab, “Tidak, engkau lebih berhak didatangi." Aku
katakan, “Apa yang akan engkau perintahkan?" Ia menjawab,
"Sesungguhnya engkau laki-laki yang membujang lalu engkau menikah. Aku
tidak suka bila engkau bermalam sendirian. Ini adalah istrimu." Ternyata
ia berdiri di belakang tubuhnya yang tinggi. Lalu ia menyerahkan dan
mendorongnya ke pintu.
Kemudian aku membawanya
masuk, ternyata ia adalah wanita yang paling cantik, paling hafal Kitabullah,
paling tahu tentang Sunnah Rasulullah, dan paling tahu tentang hak suami.
Tidak ada salahnya pula
seorang wanita menawarkan dirinya kepada laki-laki yang dipandangnya sebagai
suami yang shalih untuknya, jika ia merasa aman dari fitnah dan laki-laki itu
adalah laki-laki yang shalih lagi wara'. Sebagaimana dilakukan Ummul Mukminin
Khadijah yang menawarkan dirinya kepada Nabi.
Di sini kami mengingatkan
tentang perlunya kecermatan dalam memilih istri masa depan. Tidak dianjurkan
tergesa-gesa dalam memilih istri. Lantas apakah pedoman dan landasan dalam
memilih suami atau istri masa depan?
Footnote:
(1) Sa'id bin al-Musayyib
memiliki putri yang telah telah dipinang oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan
untuk putranya, al-Walid, namun Sa'id bin al-Musayyib menolaknya.
3 komentar untuk "Kriteria Istri Shalihah dan Kisah Pernikahan Putri Sa'id bin Al Musayyib"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.