Siapakah Sebenarnya yang Murji'ah ?
Tuduhan Murji’ah terus dipropagandakan oleh
ahlul-bida’ kepada Salafiyyun. Di bawah ini akan sedikit dituliskan beberapa
perkataan ‘ulama tentang ciri-ciri Murji’ah dan kapan seseorang bisa dikatakan
berlepas diri darinya. Jika Salafiyyun memang mempunyai ciri-ciri ini, saya
harap mereka – termasuk kita semua, insya Allah – mau rujuk untuk kembali
kepada kebenaran. Namun jika sebaliknya, sudah menjadi kewajaran jika
Salafiyyun tidak perlu menggubris omongan ngelantur yang diucapkan para
pendengki itu.
Para ulama telah menjelaskan beberapa
permasalahan yang jika hal itu ada pada diri seseorang, maka ia berlepas diri
pada Murji’ah. Secara umum hal itu dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) perkara:
1. Barangsiapa yang mengatakan bahwa iman itu
meliputi perkataan, i'tiqad (keyakinan), dan perbuatan, maka ia telah berlepas
diri dari Murji’ah.
Telah berkata Al-Imam Al-Barbahaariy
rahimahullah:
ومن قال:
(الإيمان قول وعمل، يزيد وينق)، فقد خرج من الإرجاء كلِّه، أوَّله وآخره.
“Barangsiapa yang mengatakan: ‘iman itu adalah
perkataan dan perbuatan, bisa bertambah maupun berkurang’ ; sungguh ia telah
keluar dari (bid’ah) irjaa’ secara keseluruhan, dari awal hingga akhirnya” (Syarhus-Sunnah,
hal. 123, 161)
Asy-Syaikh Ibnu Baaz ketika memberikan ta’liq
(komentar) terhadap perkataan ‘Iman itu adalah pengakuan/ucapan dengan lisan
dan pembenaran dengan hati’ sebagaimana terdapat dalam kitab Al-‘Aqiidah
Ath-Thahawiyyah berkata:
هذا التعريف فيه
نظر وقصور، والصواب الذي عليه أهل السنة والجماعة أن الإيمان قول وعمل واعتقاد
يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية.وإخراجُ العمل من الإيمان هو قول المرجئة.
“Definisi ini ada yang perlu dikritik lagi
mengandung kekurangan. Yang benar menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah adalah bahwa
iman itu terdiri dari perkataan, perbuatan, dan i’tiqad (keyakinan), bisa
bertambah dengan ketaatan serta berkurang dengan kemaksiatan………… Mengeluarkan
amal dari cakupan iman merupakan perkatan Murji’ah” (Al-Fataawaa, 2/83)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata saat
mengomentari hal yang sama dalam kitab Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah:
هذا مذهب
الحنفية والماتريدية، خلافاً للسلف وجماهير الأمة.
“Ini adalah madzhab Hanafiyyah dan
Maturidiyyah yang menyelisihi salaf dan mayoritas umat” (Ath-Thahaawiyyah, 1/51)
2. Barangsiapa yang mengatakan iman itu bisa
bertambah dan berkurang, maka ia telah berlepas diri dari Murji’ah.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah
ditanya tentang orang yang mengatakan: ‘iman itu bisa bertambah dan berkurang’
, maka beliau menjawab:
هذا برئَ من
الإرجاء.
“Orang ini telah berlepas diri dari (bid’ah)
irjaa’“ (As-Sunnah oleh Al-Khalaal 2/581/1009)
Telah berkata Al-Imam Ahmad rahimahullah
tentang Murji’/Muji’ah:
ومن زعم أن
الإيمان قول بلا عمل فهو مرجىء ومن زعم أن الإيمان لا يزيد ولا ينقص فقد قال بقول
المرجئة ومن لم ير الاستثناء في الإيمان فهو مرجىء ومن زعم أن إيمانه كإيمان جبريل
والملائكة فهو مرجىء قال ومن زعم أن المعرفة تنفع في القلب لا يتكلم بها فهو مرجىء
“Barangsiapa yang beranggapan bahwasannya iman
itu adalah perkataan saja tanpa perbuatan (amal), maka ia adalah Murji’.
Barangsiapa yang beranggapan bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang,
maka ia telah berkata sebagaimana perkataannya Murji’ah. Barangsiapa yang tidak
menganggap adanya istitsna (yaitu perkataan: Saya mukmin insyaAllah – Abu
Al-Jauzaa’), maka ia adalah Murji’. Barangsiapa yang beranggapan bahwa imannya
adalah seperti imannya Jibril dan Mikail, maka ia adalah Murji’. Dan
barangsiapa yang beranggapan bahwa ma’rifah bermanfaat di hati dan tidak perlu
diucapkan dengannya, maka ia adalah Murji’” (Kitaabul-‘Aqidah lil-Imam Ahmad
bin Hanbal; riwayat Ahmad bin Ja’far bin Ya’qub Al-Ashthakhari)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:
فإن الحنافية لو
كانوا غير مُخالفين للجماهير مخالفةً حقيقية في إنكارهم أن العمل من الإيمان
لاتفقوا معهم في أن الإيمان يزيد وينقص..، مع تظافر أدلة الكتاب والسنة والآثار
السلفية على ذلك.
“Jikalau Hanafiyyah tidak menyelisihi
mayoritas (ulama) dengan penyelisihan yang hakiki atas pengingkaran mereka
bahwa amal termasuk bagian dari iman, sungguh mereka telah bersepakat dengan
jumhur tentang bertambah dan berkurangnya iman,….. yang didukung dalil-dalil
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan atsar-atsar salaf atas hal itu” (Ath-Thahaawiyyah,
1/51)
3. Barangsiapa yang memperbolehkan untuk
mengucapkan al-istitsnaa’(1) dalam iman, maka ia telah berlepas diri dari
Murji’ah.
Telah berkata Al-Imam ‘Abdurrahman bin Mahdiy
rahimahullah:
إذا ترك
الإستثناء، فهو أصلُ الإرجاء.
“Apabila seseorang meninggalkan istitsnaa’,
maka hal itu merupakan asas irjaa’” (Asy-Syarii’ah oleh Al-Aajurriy, 2/664)
Telah berkata Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah:
وأما مذهب السلف
أصحاب الحديث كابن مسعود وأصحابه والثوري وابن عيينة وأكثر علماء الكوفة.. وأحمد
وغيره من أئمة السنة: فكانوا يستثنون في الأيمان، وهذا متواتر عنهم.
“Adapun madzhab salaf ashaabul-hadiits seperti
Ibnu Mas’uud dan shahabat-shahabatnya, Ats-Tsauriy, Ibnu ‘Uyainah, serta
kebanyakan ulama Kuffah,….. Ahmad, dan yang lainnya dari kalangan imam-imam
sunnah, kesemuanya ber-istitsnaa’ dalam iman. Telah mutawatir khabar ini dari
mereka” (Al-Fataawaa, 7/438)
فالذين
يُحَرِّمونه هم المرجئة والجهمية ونحوهم.
“Mereka yang mengharamkan istitsnaa’ adalah
kelompok Muji’ah, Jahmiyyah, dan yang lainnya” (idem, 7/429)
Al-Imam Muhammad bin Al-Husain Al-Aajurriy
rahimahullah berkata:
من صفة أهل الحق
ممن ذكرنا من أهل العلم: الاستثناء في الإيمان ، لا على جهة الشك ، نعوذ بالله من
الشك في الإيمان ، ولكن خوف التزكية لأنفسهم من الاستكمال للإيمان ، لا يدري أهو
ممن يستحق حقيقة الإيمان أم لا ، وذلك أن أهل العلم من أهل الحق إذا سئلوا: أمؤمن
أنت ؟ قال: آمنت بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر والجنة والنار ، وأشباه
هذا ، والناطق بهذا ، والمصدق به في قلبه مؤمن ، وإنما الاستثناء في الإيمان
لايدرى أهو ممن يستوجب مانعت الله عز وجل به المؤمنين من حقيقة الإيمان أم لا؟ هذا
طريق الصحابة رضي الله عنهم والتابعين لهم بإحسان ، عندهم أن الاستثناء في الأعمال
، لا يكون في القول ، والتصديق بالقلب ؟ وإنما الاستثناء في الأعمال الموجبة
لحقيقة الإيمان ، والناس عندهم على الظاهر مؤمنون ، به يتوارثون ، وبه يتناكحون ،
وبه تجري أحكام ملة الإسلام
“Di antara sifat Ahlul-Haq dari para ulama
yang telah kami sebutkan adalah bahwa dibolehkan pengecualian dalam iman tetapi
bukan untuk keraguan, na’udzubillah. Akan tetapi ber-istitsna’ (pengecualian)
dalam iman tidak lain adalah untuk menghindari, jangan sampai mengaku dirinya
sampai pada puncak kesempurnaan iman, padahal belum tentu apakah ia sampai
kepadanya atau belum. Para ahli ilmu dari ahlul-haq manakala ditanya:
‘Mukminkah engkau ?’; mereka akan menjawab: ‘Aku beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul, hari akhir, surga, neraka
dan sejenisnya’. Orang yang meyakini ini dan meyakininya dengan hati, maka dia
adalah mukmin. Pengecualian dalam iman hanya boleh disampaikan manakala ia
tidak mengetahui apakah ia termasuk ke dalam golongan orang yang disifati Allah
sebagai mukmin yang memiliki hakikat iman yang sebenar-benarnya atau tidak. Ini
adalah jalan yang ditempuh shahabat radliyallaahu ‘anhum dan oleh tabi’in (yang
mengikuti mereka) dengan penuh kebaikan. Mereka berpendapat bahwa istitsna’
bukan dalam ucapan dan keyakinan dalam hati, tetapi pada amal yang mengantarkan
si hamba kepada hakikat iman. Dan menurut mereka, orang itu pada lahirnya
beriman, dengannya mereka saling mewaris, dan dengannya mereka saling menikah,
serta dengannya berlaku-hukum-hukum Islam” (Asy-Syari’ah oleh Imam Al-Ajurry
hal. 102)
Telah berkata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah tentang istitsnaa’:
قول الإنسان:
(إنَ مؤمن إن شاء الله)؛ إن كان قصده بذلك التبرُّك، أو أنه: (إيمان وقع بمشيئة
الله)؛ فهذا حقٌ ولا إشكال فيه، جائزٌ.
“Perkataan seseorang: ‘Aku mukmin insya
Allah’, apabila tujuan/maksud dari ucapannya itu untuk bertabarruk (mencari
barakah); atau ia berkata: ‘imanku ada menurut kehendak Allah’ – maka ini
adalah benar tanpa ada isykaal di dalamnya. Boleh (untuk mengatakannya)” (Al-Baabul-Maftuh,
pertemuan no. 207, side A, menit 17, Tasjiilaat Al-Istiqaamah)(2)
4. Barangsiapa yang mengatakan bahwa kekufuran
itu dapat terjadi melalui perkataan maupun perbuatan (anggota badan), maka ia
telah berlepas diri dari Murji’ah.
Murji’ah tidak memperhitungkan amal masuk
dalam bagian iman, sehingga amal (anggota badan) – menurut mereka – tidak
mempengaruhi iman, baik memperkuat atau melemahkannya. Atas dasar itu, mereka
membangun keyakinan bahwa tidak ada jalan menuju kekafiran kecuali dengan
i’tiqaad saja.(3)
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata:
إن الإيمان إذا
ذهب بعضه ذهب كله، فهذا ممنوع. وهذا هو الأصل الذي تفرعت عنه البدع في الإيمان، فإنهم
ظنوا أنه متى ذهب بعضه ذهب كله لم يبق منه شيء ثم قالت الخوارج والمعتزلة: هو
مجموع ما أمر اللّه به ورسوله، وهو الإيمان المطلق كما قاله أهل الحديث؛ قالوا:
فإذا ذهب شيء منه لم يبق مع صاحبه من الإيمان شيء فيخلد في النار. وقالت المرجئة
على اختلاف فرقهم: لا تذهب الكبائر وترك الواجبات الظاهرة شيئًا من الإيمان؛ إذ
لو ذهب شيء منه لم يبق منه شيء فيكون شيئًا واحداً يستوى فيه البر والفاجر.
ونصوص الرسول وأصحابه تدل على ذهاب بعضه وبقاء بعضه، كقوله: "يخرج من
النار من كان في قلبه مثقال ذرة من إيمان".
ولهذا كان أهل
السنة والحديث على أنه يتفاضل،
“Adapun perkataan bahwa iman apabila hilang
sebagian maka akan hilang seluruhnya, maka ini adalah terlarang. Dan ini
merupakan pokok yang bercabang darinya bid’ah di dalam iman, karena mereka
(Murji’ah dan yang sepertinya) mengira bahwa apabila sebagian iman hilang, maka
akan hilang seluruhnya dan tidak tersisa sedikitpun darinya. Kemudian
berkatalah golongan Khawarij dan Mu’tazilah: ‘Iman adalah keseluruhan dari apa
yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia adalah iman muthlaq,
sebagaimana dikatakan Ahlul-Hadiits (!!)’. Mereka (Khawarij dan Mu’tazilah)
berkata: ‘Apabila hilang sesuatu darinya (iman), maka tidaklah tersisa
sedikitpun bagi seseorang bagian dari iman, dan ia kekal di dalam neraka’.
Golongan Murji’ah berkata kebalikan dari mereka: ‘Iman tidaklah dapat hilang
sedikitpun dengan mengerjakan dosa-dosa besar dan meninggalkan
kewajiban-kewajiban yang dhahir’….. Dan nash-nash dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya menunjukkan hilangnya sebagian iman dan
menetapkan sebagian lainnya, seperti sabdanya: (يخرج
من النار من كان في قلبه مثقال ذرة من إيمان)
“Akan keluar dari neraka orang yang masih ada iman seberat dzarrah di dalam
hatinya” . Oleh karena itu, Ahlus-Sunnah dan Ahlul-Hadits berpendapat bahwa
iman itu bertingkat-tingkat” (Al-Iman oleh Ibnu Taimiyyah hal. 176)
Al-Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
ومن شعب الإيمان
القولية شعبة يوجب زوالها زوال الإيمان, فكذلك من شعبه الفعلية ما يوجب زوالها
زوال الإيمان وكذلك شعب الكفر القولية والفعلية. فكما يكفر بالإتيان بكلمة الكفر
اختيارا وهي شعبة من شعب الكفر فكذلك يكفر بفعل شعبة من شعبه كالسجود للصنم
والاستهانة بالمصحف
“Di antara cabang-cabang keimanan (yang
berupa) perkataan itu ada cabang yang bisa menghilangkan keimanan jika ia
hilang. Demikian juga dengan cabang yang berupa perbuatan ada yang bisa hilang
jika ia hilang.
Begitu pula halnya dengan cabang-cabang
kekafiran yang berupa perkataan dan perbuatan, sebagaimana (orang itu) bisa
menjadi kafir dengan mengucapkan perbuatan kufur, karena ikhtiyar-nya sendiri
(bukan paksaan) Ini adalah cabang kekafiran. Demikian juga (orang itu) bisa
menjadi kafir karena mengerjakan satu cabang kekafiran seperti sujud kepada
berhala dan menghina mushhaf” (Ash-Shalaah, 55-56)
Telah berkata Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah:
لقد أفاد رحمه
الله أن الكفر نوعان: كفر عمل، وكفر جحود واعتقاد.
وأن كفر العمل
ينقسم إلى ما يضاد الإيمان، وإلى ما لا يضاده، فالسجود للصنم، والاستهانة بالمصحف،
وقتل النبي وسبه؛ يضاد الإيمان.
“Beliau (Ibnul-Qayyim) telah memberikan satu
penjelasan bahwa kekufuran itu ada dua macam, yaitu kufur amal serta kufur
juhuud (pengingkaran) dan i'tiqaad. Kufur amal terbagi menjadi (dua, yaitu)
kekufuran yang menjadi lawan/kebalikan dari keimanan dan yang bukan menjadi
lawan dari keimanan. Adapun sujud kepada berhala, menghina mushhaf, serta
membunuh dan menghina Nabi termasuk kekufuran yang bertentangan dengan iman
(sehingga dapat mengkonsekuensikan kepada kufur akbar)” (Silsilah
Ash-Shahiihah, 7/134)(4)
5. Barangsiapa yang mengatakan tentang
wajibnya mendengar dan taat kepada ulil-amri meskipun mereka jahat/dhalim, maka
ia telah berlepas diri dari Murji’ah.
Telah berkata ‘Abdullah bin Thaahir
rahimahullah mengenai Murji’ah:
يا أحمد إنكم
تبغضون هؤلاء القوم جهلا، وأنا أبغضهم عن معرفة. أولا: إنهم لا يرون للسلطان طاعة
الثاني: إنه ليس للإيمان عندهم قدر
“Wahai Ahmad, kamu membenci mereka (Murji’ah)
tanpa didasari ilmu, sedangkan aku membenci mereka dengan dasar ilmu. Pertama,
mereka (Murji’ah) tidak memandang taat kepada penguasa; dan yang kedua mereka
tidak memandang adanya kadar/tingkatan bagi keimanan” (Aqidatus-Salaf
Ashhaabil-Hadits, hal. 68)
Telah berkata Al-Imam Sufyan bin ‘Uyainah
rahimahullah:
إن قول المرجئة
يخرج إلى السيف.
“Sesungguhnya perkataan Muji’ah adalah keluar
(ketaatan) menuju pedang” (As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, no.
363)
Al-Imam Qatadah rahimahullah berkata:
إنما أحدث
الارجاء بعد هزيمة ابن الاشعث
“Paham irja’ itu hanya muncul pertama kali
setelah terjadinya fitnah Ibnul-Asy’ats” (As-Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal, no. 644)
Telah berkata Asy-Syaikh Ibnu Baaz
rahimahullah:
ويجب على
المسلمين طاعة ولاة الأمور في المعروف لا في المعصية، فإذا أمروا بالمعصية فلا
يطاعون في المعصية، لكن لا يجوز الخروج عليهم بأسبابها.
“Wajib bagi kaum muslimin untuk taat kepada
ulil-amri dalam perkara yang ma’ruf, bukan dalam perkara maksiat (kepada Allah)
Apabila mereka menyuruh kepada maksiat, maka tidak boleh untuk mentaatinya
dalam perkara maksiat itu. Akan tetapi, (bersamaan dengan itu) tidak boleh
keluar dari ketaatan dari mereka dengan sebab-sebab itu” (Al-Fataawaa, 8/203)
Lantas, siapakah sebenarnya yang Murji’ah ?.
Salafiyyun atau ... (?)
Penulis:
Abul Jauzaa’
(Alumnus
IPB & UGM)
Editor:
Ahmadi As-Sambasy
Cilacap
– Jawa Tengah
Footnote:
(1) Yaitu ucapan: “Saya mukmin insya Allah”.
(2) Termasuk dalam hal ini mereka yang senang
menyebut seseorang dengan: “Asy-Syahiid Fulaan”. Secara dhaahir ucapan ini
merupakan bentuk tazkiyyah terhadap amal dan iman. Jika maksud perkataan
tersebut demikian, tentu saja tidak diperbolehkan. Namun jika yang dimaksudkan
adalah sebagai pengharapan atau doa agar Fulan tersebut termasuk orang-orang
yang mati syaahid, maka selayaknya ia mengatakan dengan istitsnaa’: “Syahiid
insya Allah”.
(3) Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata saat menyebutkan ciri-ciri Murji’ah yang menyempitkan
makna kekafiran hanya pada takdziib (pendustaan) dalam hati, dimana mereka
mengatakan:
كل من كفره
الشارع فإنما كفره لانتفاء تصديق القلب بالرب - تبارك وتعالى.
“Setiap yang dikafirkan oleh syari’at
sesungguhnya hanyalah disebabkan karena ketidakadaan kepercayaan di dalam hati
kepada Rabb tabaaraka wa ta’ala…” (Majmu’ Al-Fataawaa, 7/364)
(4) Ini adalah satu perkataan yang jelas dari
Asy-Syaikh Al-Albani bahwa beliau menegaskan kekafiran itu bisa terjadi pada
perkataan maupun perbuatan – tanpa diiringi istihlaal – karena bertentangan
dengan keimanan dari segala seginya. Sekaligus sebagai jawaban terhadap
ahlul-bida’ yang seringkali mencap Asy-Syaikh Al-Albani sebagai Murji’ah karena
anggapan mereka bahwa beliau menafikkan adanya kekafiran dari amal perbuatan
tanpa diiringi istihlaal.
Murid-murid beliau (Asy-Syaikh ‘Ali
Al-Halabiy, Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy, Asy-Syaikh Masyhuur Hasan Salman,
Asy-Syaikh Musa Alu Nashr, dan yang lainnya) pun berkeyakinan serupa dimana
mereka mengatakan:
من الكفر العملي
- والقولي - ما هو مخرج من الملة بذاته، ولا يشترط فيه استحلال قلبي، وهو ما كان
مضادّاً للإيمان من كل وجه، مثل: سبِّ الله - تعالى - وشتم الرسول صلى الله عليه
وسلم، والسجود للصنم، وإلقاء المصحف في القاذورات..وما في معناها.
“Termasuk kufur amaliy – dan qauliy – yang
dapat mengeluarkan pelakunya dari agama tanpa perlu dipersyaratkan adanya
istihlaal (penghalalan) dalam hati dimana hal itu bertentangan dengan keimanan
dalam segala segi; seperti: mencaci-maki Allah – ta’ala - , menghina Rasul
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sujud kepada berhala, membuang mushhaf ke
tempat yang najis….dan yang semisalnya”. (Mujmal Masaailil-Iman Al-‘Ilmiyyah,
hal. 18)
Posting Komentar untuk "Siapakah Sebenarnya yang Murji'ah ?"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.