Penjelasan Lengkap tentang Sodomi atau Anal Sex (Bagian dari LGBT)
Definisi Sodomi
‘Sodomi’
dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai: (1) pencabulan dng sesama jenis
kelamin atau dng binatang; (2) sanggama antarmanusia secara oral atau anal,
biasanya antarpria; semburit (Kamus Bahasa Indonesia Online -
http://kamusbahasaindonesia.org/sodomi) Wikipedia yang mengutip dari artikel
What is Sodomy-nya Brendan I. Koener memberikan definisi: istilah hukum yang
digunakan dalam untuk merujuk kepada tindakan seks "tidak alami" yang
bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral atau seks anal atau
semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin, baik dilakukan
secara heteroseksual, homoseksual, atau antara manusia dan hewan (see:
http://id.wikipedia.org/wiki/Sodomi)
Nah, pada kesempatan kali ini, kami akan
sedikit tuliskan tentang sodomi dalam perspektif Islam dengan membatasinya
hanya pada bahasan anal seks seorang suami kepada istrinya.
Islam mengharamkan secara mutlak hubungan seks
(suami-istri) via anal/dubur berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah An-Nabawiyyah
Ash-Shahiihah.
Dalil Al-Qur’an
Allah ta’ala berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah: "Haidl itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka
itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri”. (QS.
Al-Baqarah: 222)
Tentang firman Allah ta’ala: ‘Apabila mereka
telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu’; maka tidak dijelaskan tempat mana yang diperintahkan Allah, karena
hanya menggunakan lafadh ‘haitsu’ (حَيْثُ) Namun, yang dimaksud tempat tersebut
adalah farji berdasarkan keterangan dua ayat:
a. Firman Allah ta’ala (فَأْتُوا
حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ)
‘Maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu sebagaimana kamu kehendaki’ (QS.
Al-Baqarah: 223); dimana kalimat ‘datangilah’ bermakna jima’, sedangkan ‘tempat
bercocok-tanammu’ menjelaskan makna mendatangi yang diperintahkan dengannya
adalah tempat menanam benih anak yaitu nutfah (sperma) Bukan dubur, karena ia
bukan tempat untuk meletakkan benih anak sebagaimana diketahui.
b. Firman Allah ta’ala (فَالْآنَ
بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ)
‘Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu’ (QS. Al-Baqarah: 187); karena maksud kalimat ‘apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu’ adalah (mendapatkan) anak – menurut pendapat jumhur.
Dan ia adalah pendapat Ibnu Jariir, dan ia telah menukil hal itu dari Ibnu
‘Abbaas, Mujaahid, Al-Hakam, ‘Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashriy, As-Suddiy,
Ar-Rabii’, dan Adl-Dlahhaak bin Muzaahim. Telah diketahui bahwa cara
mendapatkan anak hanyalah bisa dilakukan dengan jima’ pada farji. Jadi, farji
(wanita) itulah objek yang diperintahkan Allah untuk berjima’ padanya. Dengan
demikian, jelaslah maksud firman Allah ta’ala: ‘Maka sekarang campurilah
mereka’ yaitu melakukannya pada tempat diharapkannya anak, yaitu farji, bukan
yang lainnya (lihat: Adlwaaul-Bayaan oleh Asy-Syinqithiy, 1/92)
Sebagian ulama ada yang mengartikan firman
Allah ta’ala: ‘maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu’; adalah tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian untuk
menjauhinya karena adanya kotoran yang bersifat sementara, yaitu farji. Hal itu
dijelaskan oleh kalimat sebelumnya (هُوَ
أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى
يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ)
‘Haidl itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidl; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci’. Telah diketahui bahwa mendatangi tempat kotoran itu tidak diperbolehkan.
Pengertian ini sesuai dengan kaidah:
النهي عن الشيء
أمر بضده
“Larangan tentang sesuatu mengkonsekuensikan
perintah pada kebalikannya”.
Oleh karenanya, kalimat (أَمَرَكُمُ
اللَّهُ) ‘yang diperintahkan Allah kepadamu’
adalah konsekuensi dari larangan yang ada pada kalimat (وَلا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ)
‘dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci’; yang keduanya
kembali pada objek yang sama, yaitu farji (baca selengkapnya: Adlwaaul-Bayaan,
1/95)
Allah ta’ala juga berfirman:
نِسَاؤُكُمْ
حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat
kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu
bagaimana saja kamu kehendaki” (QS. Al-Baqarah: 223)
Kalimat (أَنَّى
شِئْتُمْ)
pada ayat di atas juga menjadi jelas maknanya – dengan bahasan sebelumnya - ,
yaitu dilakukan dengan mendatangi/menjimai tempat bercocok tanam (= tempat
diharapkannya anak) dengan posisi apapun yang dikehendaki laki-laki. Apakah
wanita (istrinya) dalam keadaan terlentang, miring, telungkup, atau yang
lainnya. Terkait dengan hal itu, ada beberapa riwayat yang menguatkan makna itu
sebagaimana disebutkan di bawah:
حدثنا قتيبة بن
سعيد، وأبو بكر بن أبي شيبة، وعمرو الناقد. (واللفظ لأبي بكر) قالوا: حدثنا سفيان
عن ابن المنكدر. سمع جابرا يقول: كانت اليهود تقول: إذا أتى الرجل امرأته، من
دبرها، في قبلها، كان الولد أحول. فنزلت: {نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم}.
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin
Sa’iid, Abu Bakr bin Abi Syaibah, dan ‘Amru An-Naaqid (lafadhnya adalah milik
Abu Bakr); mereka berkata: Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari
Ibnul-Munkadir, ia mendengar Jaabir berkata: “Orang-orang Yahudi dulu berkata:
‘Apabila seseorang mendatangi kemaluan istrinya dari arah belakang, anak yang
kelak akan lahir bermata juling. Maka turunlah ayat: ‘Istri-istrimu adalah
(seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’”.
Pada riwayat lain di jalur An-Nu’maan bin
Raasyid, dari Az-Zuhriy, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jaabir terdapat
tambahan (1):
إن شاء مجبية،
وإن شاء غير مجبية. غير أن ذلك في صمام واحد
“Apabila dia ingin dapat dari depan atau
belakang, asalkan dari tempat yang satu (yaitu farji)”. (Diriwayatkan oleh
Muslim no. 1435)
أَخْبَرَنَـا
يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى قِرَاءَةً، أنبأ ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي
مَـالِكُ بْنُ أَنَسٍ، وَابْنُ جُرَيْجٍ، وسفيان بن سعيد الثوري، أن محمد بن
المنكدر حدثهم، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ،"أَخْبَرَهُ أَنَّ
الْيَهُودَ , قَالُوا لِلْمُسْلِمِينَ: مَنْ أَتَى امْرَأَةً وَهِيَ مُدْبِرَةً،
جَاءَ وَلَدُهُ أَحْوَلَ، فَأَنْزَلَ اللَّـهُ تَعَالَى: ﴿نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ
لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ﴾, قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي الْحديث:
فَقَال َرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مُقْبِلَةً
وَمُدْبِرَةً إِذَا كَانَ ذَلِكَ فِي الْفَرْجِ".
Telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus bin
‘Abdil-A’laa secara qira’at: Telah memberitakan Ibnu Wahb: Telah mengkhabarkan
kepadaku Maalik bin Anas, Ibnu Juraij, dan Sufyaan bin Sa’iid Ats-Tsauriy:
Bahwasannya Muhammad bin Al-Munkadir (2) telah menceritakan kepada
mereka, dari Jaabir bin ‘Abdillah yang telah mengkhabarkan kepadanya: Bahwa
orang-orang Yahudi berkata kepada kaum muslimiin: “Barangsiapa yang mendatangi
istrinya dari arah belakang, anaknya nanti (yang lahir) akan juling. Maka Allah
ta’ala pun menurunkan ayat: “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam,
maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki”. Ibnu Juraij berkata dalam hadits tersebut: “Lalu Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Boleh dari arah depan ataupun
belakang, jika itu pada farjinya”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam
At-Tafsiir no. 2133; shahih)
حدثنا يحيى بن
غيلان ثنا رشدين ثنا حسن بن ثوبان عن عامر بن يحيى المعافري حدثني حنش عن بن عباس
قال: أنزلت هذه الآية { نساؤكم حرث لكم } في أناس من الأنصار أتوا النبي صلى الله
عليه وسلم فسألوه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم آتها على كل حال إذا كان في
الفرج
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Ghailaan: Telah menceritakan kepada kami Risydiin: Telah menceritakan kepada
kami Hasan bin Tsaubaan, dari ‘Aamir bin Yahyaa Al-Mu’aafiriy: Telah
menceritakan kepadaku Hanasy, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: “Ayat ini
(‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam’) diturunkan
terkait dengan sekelompok orang dari kaum Anshaar yang mendatangi Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menanyakan ayat tadi, lalu Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Datangilah bagaimanapun caranya
asalkan pada farjinya”. (Diriwayatkan oleh Ahmad 1/268; hasan lighairihi
sebagaimana dikatakan oleh Al-Arna’uth dalam Takhrij Al-Musnad, 4/237)
حدثنا عبد بن
حميد حدثنا الحسن بن موسى حدثنا يعقوب بن عبد الله الأشعري عن جعفر بن أبي المغيرة
عن سعيد بن جبير عن بن عباس قال جاء عمر إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال:
يا رسول الله هلكت قال وما أهلكك قال حولت رحلي الليلة قال فلم يرد عليه رسول الله
صلى الله عليه وسلم شيئا قال فأوحي إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم هذه الآية {
نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم } أقبل وأدبر وأتق الدبر والحيضة
Telah menceritakan kepada kami ‘Abd bin Humaid:
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Muusaa: Telah menceritakan kepada
kami Ya’quub bin ‘Abdillah Al-Asy’ariy, dari Ja’far bin Abil-Mughirah, dari
Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: ‘Umar datang kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, aku
telah binasa”. Beliau bertanya: “Apa yang membuatmu binasa?”. ‘Umar berkata:
“Aku telah mengubah arah tungganganku semalam (3)”. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawabnya sedikitpun. Lalu, Allah
menurunkan wahyu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ayat ini:
‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’
(QS. Al-Baqarah: 223) Beliau bersabda: “Boleh dari arah depan ataupun belakang,
namun hindarilah dubur dan (berjima’) pada waktu haidl” (Diriwayatkan oleh
At-Tirmidziy no. 2980; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan
At-Tirmidziy 3/196 dan Al-Arna’uth dkk. dalam Takhrij Al-Musnad 4/435, serta
dishahihkan oleh Al-Haitsamiy dalam Al-Majma’ 6/319) (4)
Dalil As-Sunnah
Terdapat banyak hadits Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam yang melarang menjimai istri pada duburnya. Di antaranya:
حدثنا عفان ثنا
وهيب ثنا عبد الله بن عثمان بن خثيم عن عبد الرحمن بن سابط قال: دخلت على حفصة
ابنة عبد الرحمن فقلت انى سائلك عن أمر وأنا استحي ان أسألك عنه فقالت لا تستحي يا
بن أخي قال عن آتيان النساء في أدبارهن قالت حدثتني أم سلمة ان الأنصار كانوا لا
يجبون النساء وكانت اليهود تقول انه من جبى امرأته كان ولده أحول فلما قدم
المهاجرون المدينة نكحوا في نساء الأنصار فجبوهن فأبت امرأة ان تطيع زوجها فقالت
لزوجها لن تفعل ذلك حتى آتى رسول الله صلى الله عليه وسلم فدخلت على أم سلمة فذكرت
ذلك لها فقالت اجلسي حتى يأتي رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما جاء رسول الله
صلى الله عليه وسلم استحت الأنصارية ان تسأله فخرجت فحدثت أم سلمة رسول الله صلى
الله عليه وسلم فقال ادعى الأنصارية فدعيت فتلا عليها هذه الآية { نساؤكم حرث لكم
فأتوا حرثكم أنى شئتم } صماما واحدا
Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan: Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim, dari
‘Abdurrahmaan bin Tsaabit, ia berkata: Aku masuk menemui Hafshah binti
‘Abdirrahman, lalu aku berkata: “Aku mau menanyakan kepadamu yang sebenarnya
aku malu untuk menanyakan kepadamu”. Hafshah berkata: “Jangan malu wahai
saudaraku”. Aku berkata: “(Yaitu tentang) mendatangi wanita dari arah
belakang”. Hafshah menjawab: “Telah menceritakan kepadaku Ummu Salamah
bahwasannya orang-orang Anshaar tidak menelungkupkan wanita mereka saat
berjima’ (yaitu tidak menjimai mereka dari arah belakang) Dan adalah
orang-orang Yahudi mengatakan bahwa barangsiapa yang menelungkupkan istrinya (=
menjimai dari arah belakang), maka anaknya yang lahir nanti bermata juling.
Lalu, datanglah orang-orang Muhaajiriin ke Madinah yang menikahi wanita-wanita
Anshaar, lalu mereka menelungkupkan istrinya saat menjimainya. Para wanita
Anshaar itu enggan mentaati permintaan suami mereka itu. Mereka (para istri)
berkata kepada suaminya: “Jangan kalian melakukannya hingga aku mendatangi
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Ia pun kemudian masuk menemui Ummu
Salamah dan menyebutkan permasalahan itu kepadanya. Ummu Salamah berkata:
“Duduklah, hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang”. Ketika
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang, wanita Anshaar itu malu untuk
bertanya kepada beliau dan keluar. Maka Ummu Salamah menceritakan kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pun bersabda: “Panggillah
wanita Anshaar tadi”. Ia pun dipanggil dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
membacakan ayat ini kepadanya ayat ini: ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah
tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu
bagaimana saja kamu kehendaki’. Beliau bersabda: ‘Asalkan pada satu lubang
(yaitu farjinya)” (Diriwayatkan oleh Ahmad 6/305; hasan sebagaimana dikatakan
oleh Al-Arna’uth dkk. dalam Takhrij Al-Musnad 44/220) (5)
حدثنا سفيان قال
ثنا يزيد بن عبد الله بن أسامة بن الهاد عن عمارة بن خزيمة بن ثابت عن أبيه أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أن الله لا يستحي من الحق لا تأتوا النساء في
أدبارهن
Telah menceritakan kepada kami Sufyaan: Telah
menceritakan kepada kami Yazid bin ‘Abdillah bin Usaamah bin Al-Haad, dari
‘Ammaarah bin Khuzaimah bin Tsaabit, dari ayahnya: Bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Allah tidaklah malu dalam
menerangkan kebenaran. Janganlah kalian mendatangi istri kalian pada dubur
mereka” (Diriwayatkan oleh Al-Humaidiy no. 436; dishahihkan oleh Al-Arna’uth
dkk. dalam Takhrij Al-Musnad 36/189) (6)
أخبرنا النضر نا
حماد بن سلمة حدثني حكيم الأثرم عن أبي تميمة الهجيمي عن أبي هريرة رضى الله تعالى
عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من أتى كاهنا فصدقه بما يقول أو أتى
حائضا أو أتى امرأة في دبرها فقد بريء مما أنزل على محمد صلى الله عليه وسلم
Telah mengkhabarkan kepada kami An-Nadlr:
Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad bin Salamah: telah menceritakan
kepadaku Hakiim Al-Atsram, dari Abu Tamiimah Al-Hujaimiy, dari Abu Hurairah
radliyallaahu ta’alaa ‘anhu, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda: “Barangsiapa yang mendatangi dukun lalu membenarkan apa yang
dikatakannya, atau mendatangi (menjimai) wanita yang haidl atau mendatangi
wanita pada duburnya, sungguh ia telah berlepas diri dari apa yang diturunkan
kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam” (Diriwayatkan oleh Ishaaq bin
Rahawaih no. 482; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 7/68-70
no. 2006) (7)
Dalil Ijma’
Al-Maawardiy rahimahullah mengatakan bahwa
pengharaman mendatangi istri pada duburnya merupakan ijma’ para shahabat:
لأنه إجماع الصحابة:
روي ذلك عن علي بن أبي طالب وعبدالله بن عباس وابن مسعود وأبي الدرداء
“Karena ia (pengharaman mendatangi istri pada
duburnya) merupakan ijma’ shahabat. Diriwayatkan hal itu dari ‘Aliy bin Abi
Thaalib, ‘Abdullah bin ‘Abbaas, Ibnu Mas’uud, dan Abud-Dardaa’” (Al-Haawiy,
9/319) (8)
Dalil Atsar
حدثنا عبد
الاعلى عن سعيد عن قتادة عن أبي أيوب عن عبد الله بن عمرو قال: هي اللوطية الصغرى .
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa,
dari Sa’iid, dari Qataadah, dari Abu Ayyuub, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia
berkata: “Ia adalah perbuatan liwath kecil” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
3/363; shahih) (9)
أخبرنا معمر عن
بن طاوس عن أبيه قال سئل بن عباس عن الذي يأتي امرأته في دبرها فقال هذا يسائلني
عن الكفر
Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari
Ibnu Thaawus, dari ayahnya, ia berkata: Ibnu ‘Abbaas pernah ditanya tentang
orang yang mendatangi istrinya pada duburnya. Maka ia berkata: “Orang ini
menanyakan kepadaku tentang kekafiran” (Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no.
20953; shahih)
أخبرنا هناد بن
السري عن وكيع عن الضحاك بن عثمان عن مخرمة بن سليمان عن كريب عن بن عباس قال لا
ينظر الله يوم القيامة إلى رجل أتى بهيمة أو امرأة في دبرها
Telah mengkhabarkan kepada kami Hanaad bin
As-Sariy, dari Wakii’, dari Adl-Dlahhaak bin ‘Utsmaan, dari Makhramah bin
Sulaimaan, dari Kuraib, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: “Allah tidak akan
melihat pada hari kiamat laki-laki yang mendatangi (menjimai) binatang atau
wanita pada duburnya” (Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa, 5/320-321
no. 9002; shahih) (10)
حدثنا هدبة
حدثنا همام عن قتادة قال حدثني عقبة بن وساج عن أبي الدرداء قال: وهل يفعل ذلك إلا
كافر.
Telah menceritakan kepada kami Hudbah: Telah
menceritakan kepada kami Hammaam, dari Qataadah, ia berkata: Telah menceritakan
kepadaku ‘Uqbah bin Wasaaj, dari Abud-Dardaa’, ia berkata: “Tidak ada orang
yang melakukannya kecuali orang kafir” (Diriwayatkan oleh Ahmad 2/210; shahih)
عن معمر عن
الزهري قال سألت بن المسيب وأبا سلمة بن عبد الرحمن عن ذلك فكرهاه ونهياني عنه
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, ia berkata: Aku
pernah bertanya kepada Ibnul-Musayyib dan Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan tentang
perbuatan itu, maka ia membencinya dan melarangku terhadapnya” (Diriwayatkan
oleh ‘Abdurrazzaaq no. 20955; shahih)
حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْأَسْوَدِ عَنْ مُجَاهِدٍ
قَالَ مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا فَهُوَ مِنْ الْمَرْأَةِ مِثْلُهُ
مِنْ الرَّجُلِ ثُمَّ تَلَا { وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمْ اللَّهُ } أَنْ
تَعْتَزِلُوهُنَّ فِي الْمَحِيضِ الْفَرْجَ ثُمَّ تَلَا { نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ
لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ } قَائِمَةً وَقَاعِدَةً وَمُقْبِلَةً
وَمُدْبِرَةً فِي الْفَرْجِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin
Muusaa, dari ‘Utsmaan bin Al-Aswad, dari Mujaahid, ia berkata:
"Barangsiapa menggauli isterinya pada duburnya, maka ia termasuk wanita
yang semisalnya dari kalangan laki-laki”. Kemudian ia membaca ayat: Dan mereka
bertanya kepada kamu tentang haidl, maka katakanlah ia itu kotoran, maka
jauhilah wanita-wanita yang tengah haid, dan jangan kalian dekati mereka hingga
mereka suci, dan apabila mereka telah suci, maka datangilah mereka dari arah
yang Allah subhanallahu wa ta'ala perintahkan kepada kalian (QS. Al-Baqarah:
223): “Yaitu, hendaklah kalian jauhi kemaluan mereka ketika sedang haid”.
Kemudian ia membaca ayat: Isteri-isteri kalian bagaikan sawah ladang kalian,
maka datangilah sawah ladang kalian sesuai kehendak kalian (QS. Al-Baqarah:
223): “Yaitu, baik berdiri, duduk, dari arah depan atau dari arah depan asalkan
pada farjinya" (Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 1135; shahih)
أخبرنا عثمان بن
عمر ثنا خالد بن رباح عن عكرمة { نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم } قال إنما
هو الفرج
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Utsmaan bin
‘Umar: Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Rabbaah, dari ‘Ikrimah
tentang ayat: ‘Isteri-isteri kalian bagaikan sawah ladang kalian, maka
datangilah sawah ladang kalian sesuai kehendak kalian’, ia berkata: “Hanyalah
yang dimaksud akan hal itu adalah farjinya” (Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no.
1124; shahih)
أخبرنا محمد بن
يزيد ثنا يونس بن بكير حدثني بن إسحاق حدثني أبان بن صالح عن طاوس وسعيد ومجاهد
وعطاء إنهم كانوا ينكرون إتيان النساء في أدبارهن ويقولون هو الكفر
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin
Yaziid: Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin Bukair: Telah menceritakan
kepadaku Ibnu Ishaaq: Telah menceritakan kepadaku Abaan bin Shaalih, dari
Thaawus, Sa’iid, Mujaahid, dan ‘Athaa’: Bahwasannya mereka semua mengingkari
perbuatan mendatangi wanita pada duburnya, dan mereka berkata: “Ia adalah
kekufuran” (Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 1146; hasan)
Catatan Penting:
1. Ath-Thahawiy rahimahullah berkata:
حدثنا أحمد بن
داود، قال: أخبرنا يعقوب بن حميد، قال: ثنا عبد الله بن نافع عن هشام بن سعد عن
زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن أبي سعيد: أن رجلا أصاب امرأته في دبرها فأنكر
الناس ذلك عليه وقالوا: أتعزبها فأنزل الله عز وجل نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ
فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُم ْ
قال أبو جعفر:
فذهب قوم إلى أن وطء المرأة في دبرها جائز واحتجوا في ذلك بـهذا الحديث وتأولوا
هذه الآية على إباحة ذلك
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin
Daawud, ia berkata: Telah mengkhabar kepada kami Ya’quub bin Humaid, ia berkata:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, dari Hisyaam bin Sa’d,
dari Zaid bin Aslam, ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Abu Sa’iid: Bahwasannya ada
seorang laki-laki yang mendatangi istrinya pada dubur-nya. Maka orang-orang
mengingkari hal itu dan berkata: “Apakah engkau menjauhinya?”. Lalu Allah ‘azza
wa jalla menurunkan ayat: ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu
bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana
saja kamu kehendaki’.
Abu Ja’far berkata: “Sekelompok orang
berpendapat bahwa mencampuri istri pada duburnya diperbolehkan, dan mereka
berhujjah dengan hadits ini serta menta’wilkan ayat ini tentang kebolehannya” (Syarh
Ma’aanil-Aatsaar, 3/40)
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata: Sanad riwayat
tersebut tidaklah shahih. (11) Selain itu, riwayat tersebut bertentangan
dengan riwayat Jaabir, Ibnu ‘Abbaas, dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhum yang lebih shahih
tentang sebab turunnya ayat dimana disebutkan pembolehan mendatangi istri baik
dari depan maupun belakang dengan syarat pada farjinya.
Dan yang perlu dicatat, yang menjadi hujjah
adalah nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah), bukan perbuatan atau perkataan manusia.
2. Ibnu Abi Haatim rahimahullah berkata:
أخبرنا ابن
عبدالحكم قراءةً قال: سمعت الشافعيُّ يقول: ليس فيه-يعني إتيان النساء في الدبر-
عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في التحريم والتحليل حديثٌ ثابت
“Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu
‘Abdil-Hakam secara qira’at, ia berkata: Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata:
“Tidak ada padanya – yaitu permasalahan mendatangi wanita pada duburnya – dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang pengharaman dan
penghalalannya hadits yang tsaabit” (Aadaabusy-Syaafi’iy, hal. 217) (12)
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata: Ketidaktahuan
beliau (Asy-Syaafi’iy) bukanlah hujjah dan penentu hukum, sebab orang yang
mengetahui merupakan hujjah orang yang tidak mengetahui. (13) Itulah
kaedahnya. Telah disebutkan di atas beberapa hadits shahih ataupun hasan yang
menyebutkan tentang pengharamannya. Sebaliknya, tidak diketahui adanya dalil
yang shahih dan jelas penunjukkannya tentang pembolehannya.
3. Beberapa ulama (14) menyebutkan
bahwa Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma membolehkan perbuatan tersebut
berdasarkan riwayat:
حدثني يعقوب قال
حدثنا هشيم قال أخبرنا ابن عون عن نافع قال: كان ابن عمر إذا قر ئ القرآن لم يتكلم
قال فقرأت ذات يوم هذه الآية: (نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ
أَنَّى شِئْتُمْ) فقال: أتدري فيمن نزلت هذه الآية ؟ قلت: لا. قال: نزلت في إتيان النساء
في أدبارهن
Telah menceritakan kepadaku Ya’quub, ia
berkata: Telah mencertakan kepada kami Husyaim, ia berkata: Telah mengkhabarkan
kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Naafi’, ia berkata: Adalah Ibnu ‘Umar apabila
dibacakan Al-Qur’an tidaklah berkata-kata. Pada suatu hari aku membaca ayat ini:
‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’,
maka ia berkata: “Apakah engkau tahu kepada siapa ayat ini diturunkan?”. Aku
berkata: “Tidak tahu”. Ia berkata: “Ayat ini diturunkan berkaitan tentang orang
yang mendatangi istrinya pada ‘dubur’ mereka” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy
4/403-404 no. 4326; shahih)
Al-Imam Al-Bukhaariy menyebutkan riwayat
senada sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ
نَافِعٍ قَالَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا إِذَا قَرَأَ
الْقُرْآنَ لَمْ يَتَكَلَّمْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ فَأَخَذْتُ عَلَيْهِ يَوْمًا
فَقَرَأَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ حَتَّى انْتَهَى إِلَى مَكَانٍ قَالَ تَدْرِي فِيمَ
أُنْزِلَتْ قُلْتُ لَا قَالَ أُنْزِلَتْ فِي كَذَا وَكَذَا ثُمَّ مَضَى وَعَنْ
عَبْدِ الصَّمَدِ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنِي أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ
عُمَرَ { فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ } قَالَ يَأْتِيهَا يأتها في..... َ
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq: Telah
mengkhabarkan kepada kami An-Nadlr bin Syumail: Telah mengkhabarkan kepada kami
Ibnu ‘Aun, dari Naafi’, ia berkata: Adalah Ibnu ‘Umar apabila dibacakan Al-Qur’an
tidaklah berkata-kata hingga selesai. Pada suatu hari aku mengambil mushhaf
untuknya, lalu ia membaca Al-Baqarah hingga selesai dengan hafalannya. Lalu ia
berkata: “Tahukah kamu tentang apa surat ini turun?”. Aku menjawab: “Tidak”. Ia
berkata: “Surat ini turun tentang ini dan itu”. Kemudian dia pergi.
Dan dari ‘Abdush-Shamad: Telah menceritakan
kepadaku ayahku: Telah menceritakan kepadaku Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu
‘Umar tentang ayat: ‘istri-istrimu adalah ladang bagimu maka datangilah
ladang-ladangmu kapan saja sesuai yang kamu sukai’ (QS. Al-Baqarah: 223), maka
Ibnu Umar berkata: “Yaitu mendatanginya pada….”. (Shahih Al-Bukhaariy no.
4526-4527)
Tidak ada keterangan dalam riwayat
Al-Bukhaariy menyebutkan dubur. Akan tetapi, Abu Qilaabah menambahkan lafadh
dalam jalur ‘Abdush-Shamad: “Pada duburnya (في
الدبر)” (Tafsir Ath-Thabariy, 4/406 no. 4331)
Abu Qilaabah adalah seorang yang tsiqah, sehingga riwayat tersebut shahih.
Namun ada riwayat lain yang ‘bertentangan’
dengan riwayat shahih di atas:
أخبرنا الربيع
بن سليمان قال نا أصبغ بن الفرج قال نا عبد الرحمن بن القاسم قال قلت لمالك إن
عندنا بمصر الليث بن سعد يحدث عن الحارث بن يعقوب عن سعيد بن يسار قال قلت لابن
عمر إنا نشتري الجواري فنحمض لهن قال وما التحميض قال نأتيهن في أدبارهن قال أو أو
يعمل هذا مسلم فقال لي مالك فأشهد على ربيعة لحدثني عن سعيد بن يسار أنه سأل بن
عمر عنه فقال لا بأس به
Telah mengkhabarkan kepada kami Ar-Rabii’ bin
Sulaimaan, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Ashbagh bin Al-Faraj, ia
berkata: Telah mengkhabarkan kepada ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, ia berkata:
Aku pernah berkata kepada Maalik: “Sesungguhnya ketika kami di Mesir, Al-Laits
bin Sa’d menceritakan hadits dari Al-Haarits Ya’quub, dari Sa’iid bin Yasaar,
ia berkata: Aku pernah berkata kepada Ibnu ‘Umar: ‘Sesungguhnya kami membeli
beberapa budak wanita dan kami melakukan tahmiidl kepada mereka’. Ibnu ‘Umar
berkata: ‘Apa itu tahmiidl?’. Sa’iid berkata: ‘Kami mendatangi/menjimai mereka
pada duburnya’. Ibnu ‘Umar berkata: ‘Uf, uf, mungkinkah itu dilakukan oleh
seorang muslim? (15)”. (‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim berkata: ) Lalu
Maalik berkata (setelah mendengar ceritaku): ‘Aku bersaksi atas Rabii’ah, ia
telah menceritakan kepadaku, dari Sa’iid bin Yasaar bahwa ia pernah bertanya
kepada Ibnu ‘Umar tentang hal tersebut, lalu Ibnu ‘Umar berkata: ‘Tidak mengapa
dengannya’” (Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 8979; shahih)
Ada beberapa faedah yang dapat kita petik dari
riwayat An-Nasaa’iy di atas. Dua kemungkinan atas perkataan Ibnu ‘Umar yang membolehkan
mendatangi wanita pada duburnya: Pertama, ada kemungkinan bahwa orang yang
mendengar perkataan Ibnu ‘Umar tersebut salah dalam memahami (= salah paham) (16)
Kedua, ada kemungkinan bahwa Ibnu ‘Umar keliru dalam memahami sebab turunnya
ayat lalu berpendapat tentang kebolehan, kemudian ia rujuk setelah mengetahui
nash-nash pelarangannya.
Kemungkinan pertama dikuatkan oleh riwayat
berikut:
أخبرنا علي بن
عثمان بن محمد بن سعيد بن عبد الله بن نفيل قال نا سعيد بن عيسى قال نا المفضل قال
حدثني عبد الله بن سليمان عن كعب بن علقمة عن أبي النضر أنه أخبره أنه قال لنافع
مولى عبد الله بن عمر قد أكثر عليك القول أنك تقول عن بن عمر إنه أفتى بأن يؤتى
النساء في أدبارها قال نافع لقد كذبوا علي ولكني سأخبرك كيف كان الأمر إن بن عمر
عرض المصحف يوما وأنا عنده حتى بلغ { نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم } قال
يا نافع هل تعلم ما أمر هذه الآية إنا كنا معشر قريش نجبي النساء فلما دخلنا
المدينة ونكحنا نساء الأنصار أردنا منهن مثل ما كنا نريد من نسائنا فإذا هن قد
كرهن ذلك وأعظمنه وكانت نساء الأنصار إنما يؤتين على جنوبهن فأنزل الله تعالى {
نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم }
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin
‘Utsmaan bin Muhammad bin Sa’iid bin ‘Abdillah bin Nufail, ia berkata: Telah
mengkhabarkan kepada kami Sa’iid bin ‘Iisaa, ia berkata: Telah mengkhabarkan
kepada kami Al-Mufadldlal, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah
bin Sulaimaan, dari Ka’b bin ‘Alqamah, dari Abun-Nadlr bahwasannya ia telah
mengkhabarkan kepadanya: Bahwa ia pernah berkata kepada Naafi’ maulaa Ibni
‘Umar: “Banyak perkataanmu yang beredar bahwasannya engkau berkata dari Ibnu
‘Umar bahwa ia (Ibnu ‘Umar) berfatwa tentang pembolehan mendatangi wanita dari
duburnya”. Naafi’ berkata: “Sungguh mereka telah berdusta terhadapku. Akan
tetapi akan aku khabarkan kepadamu bagaimana perkara yang sebenarnya.
Sesungguhnya Ibnu ‘Umar pernah membaca mushhaf untuk hapalannya pada suatu
hari, dan waktu itu aku ada di sisinya. Hingga ia sampai pada ayat:
‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’
(QS. Al-Baqarah: 223) Ia berkata: ‘Wahai Naafi’, apakah engkau mengetahui apa
sebab ayat ini diturunkan?. Sesungguhnya kami masyarakat Quraisy biasa
mendatangi para wanita dengan posisi menungging. Maka ketika kami datang ke
Madinah dan menikahi wanita Anshaar, kami ingin dari mereka seperti apa yang
kami inginkan dari wanita-wanita kami (yang menjimai dengan posisi menungging)
Namun ternyata mereka tidak menyukainya dan menganggapnya sebagai perkara yang
besar. Wanita Anshaar itu biasa didatangi dari arah depan/terlentang. Maka
Allah ta’ala menurunkan ayat: Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu
bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana
saja kamu kehendaki”. (Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 8978;
hasan)
Dalam riwayat sebab turunnya ayat di awal
bahasan ini telah disebutkan para shahabat dulu (sebelum datang ke Madinah)
biasa mendatangi istri mereka dari arah belakang, namun pada farjinya. Anggapan
orang Yahudi bahwa anak yang juling itu akan lahir jika didahului persenggamaan
dari arah belakang, tidak mungkin dipahami bahwa persenggamaan itu dilakukan
pada dubur si wanita (sebab itu tidak akan melahirkan anak).
Itulah yang dimaksud Ibnu ‘Umar dalam riwayat
di atas. Maka, perkataan Ibnu ‘Umar ‘pada duburnya’, maksudnya adalah
mendatangi mereka dari arah dubur mereka (yaitu dari arah belakang), namun
tetap pada farjinya. Riwayat An-Nasaa’iy (no. 8978) di atas lebih terperinci
daripada riwayat sebelumnya (yang berisi ‘pembolehan’), sehingga penunjukan
(dilalah) hukumnya lebih kuat.
Kemungkinan kedua ditunjukkan dari perkataan
‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim sendiri atas diri Sa’iid bin Yasaar. Perkataan
Maalik bahwa Sa’iid bin Yasaar pernah diberi fatwa Ibnu ‘Umar bahwa hal itu
tidak mengapa, dan kemudian di lain waktu ia membeli budak dan melakukan
perbuatan itu lalu ia pun dicela Ibnu ‘Umar karenanya; menunjukkan pelarangan
itu adalah datang kemudian.
Namun apapun itu, membawa pendapat Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhumaa akan pelarangan mendatangi wanita pada duburnya lebih
kuat karena berkesesuaian dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallami – sementara ia dikenal sebagai salah seorang shahaba yang sangat kuat
ittiba’-nya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – dan para shahabat yang
lainnya.
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
وهذا إسناد صحيح
ونص صريح منه بتحريم ذلك، فكل ما ورد عنه مما يحتمل ويحتمل فهو مردود إلى هذا
المحكم
“Sanad ini shahih dan seagai nash yang sharih
(jelas) darinya (Ibnu ‘Umar) tentang pengharaman hal itu. Setiap riwayat yang
datang darinya yang membolehkan atau mengandung kemungkinan membolehkan, maka
ia tertolak berdasarkan hukum ini” (Tafsiir Ibni Katsiir)
4. Ada beberapa nukilan dari beberapa kitab
ulama kita yang menyebutkan Maalik bin Anas membolehkan menjimai wanita dari
duburnya pada kitab As-Sirr. Juga dikuatkan dengan riwayat yang dinukil Ibnu
Hajar:
وَرَوَى عبد
الرَّزَّاقِ عن مَعْمَرٍ قال: لو أَنَّ رَجُلًا أَخَذَ بِقَوْلِ أَهْلِ
الْمَدِينَةِ في اسْتِمَاعِ الْغِنَاءِ وَإِتْيَانِ النِّسَاءِ في أَدْبَارِهِنَّ،
وبقول أَهْلِ مَكَّةَ في الْمُتْعَةِ وَالصَّرْفِ، وَبِقَوْلِ أَهْلِ الْكُوفَةِ
في الْمُسْكِرِ كان شَرَّ عِبَادِ اللَّهِ
“’Abdurrazzaaq meriwayatkan dari Ma’mar, ia
berkata: ‘Seandainya ada seseorang yang mengambil pendapat penduduk Madiinah
tentang pembolehan mendengarkan nyanyian dan mendatangi wanita pada duburnya,
pendapat penduduk Makkah tentang pembolehan (nikah) mut’ah dan sharf, serta
pendapat penduduk Kuufah tentang minuman memabukkan; maka ia menjadi hamba
Allah yang paling jelek (17)” (At-Talkhiish, 3/398)
Sisi pendalilannya: Jika disebut penduduk
Madiinah, maka penghulu mereka di jaman itu adalah Maalik bin Anas. Ma’mar bin
Raasyid termasuk kibaaru atbaa’ut-taabi’iin yang selevel dengan Maalik bin Anas
rahimahumallah. Ada kemungkinan pendapat penduduk Madiinah itu juga merupakan
pendapat Maalik bin Anas.
Kami (Penulis Artikel Ini) berkata: Ada
beberapa riwayat perkataan Maalik yang disebutkan beberapa ulama bertentangan
dengan itu.
Ibnul-Haajib rahimhullah berkata:
ويحل كل استمتاع
إلا الإتيان في الدبر، ونسب تحليله إلى مالك في كتاب (السر) وهو مجهول. وعن ابن
وهب: سألت مالكاً وقلت: إنهم حكوا عنك أنك تراه، فقال: معاذ الله، وتلا {نساؤكم
حرث لكم} وقال: لا يكون الحرث إلا في موضع الزرع
“Dan dihalalkan setiap kesenangan kecuali
mendatangi (menjimai) istri pada duburnya. Adapun penisbatan tentang
pembolehannya dari Maalik (bin Anas) dalam kitab As-Sirr (18) adalah
majhuul (tidak diketahui) Dari Ibnu Wahb: Aku pernah bertanya kepada Maalik,
dan aku berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya mereka menghikayatkan darimu
bahwasannya engkau berpendapat membolehkannya’. Maka ia berkata:
‘Ma’aadzallaah’. Lalu ia membaca ayat: ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah
tempat kamu bercocok-tanam’. Ia berkata: ‘Tidaklah disebut ladang kecuali ia
tempat (ditumbuhinya) tanaman” (Jaami’ul-Ummahaat, 1/261)
Hal yang sama dinukil oleh Al-Qurthubiy
rahimahullah:
وقال مالك لابن
وهب وعلي بن زياد لما أخبراه أن ناساً بمصر يتحدثون عنه أنه يجيز ذلك ، فنفر من
ذلك ، وبادر إلى تكذيب الناقـل فقال: كذبوا عَليَّ ، كذبوا علي ، ثم قال: ألستم
قوماً عرباً ، ألم يقل الله تعالى: نِسَاؤُكُمْ حَرْثُُ لَكُمْ وهل يكون الحرث إلا
في موضع المنبت ؟!
“Telah berkata Maalik kepada Ibnu Wahb dan
‘Aliy bin Ziyaad ketika keduanya mengkhabarkan kepadanya bahwa orang-orang
Mesir mengatakan darinya (Maalik) bahwa ia telah membolehkannya. Maka ia
terkejut akan hal itu dan cepat-cepat mendustakan orang yang menukil. Maalik
berkata: ‘Mereka telah berdusta atas namaku, mereka telah berdusta atas
namaku’. Kemudian melanjutkan: ‘Bukankah kalian termasuk bangsa ‘Arab? Tidakkah
Allah ta’ala telah berfirman: Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu
bercocok-tanam (QS. Al-Baqarah: 223) Bukankah yang disebut ladang itu tempat
yang ditumbuhi tumbuh-tumbuhan?” (Tafsir Al-Qurthubiy, 3/94-95)
Ibnul-Haaj rahimahullah berkata:
وعن عبدالرحمن
بن القاسم أن شرطي المدينة دخل على مالك بن أنس رحمه الله تعالى فسأله عن رجل رفع
إليه أنه قد أتى امرأته في دبرها ، فقال مالك: " أرى أن توجعه ضرباً فإن عاد
إلى ذلك ففرق بينهما
“Dan dari ‘Abdurrahman bin Al-Qaasim:
Bahwasannya petugas keamaan/polisi kota Madiinah masuk menemui Maalik bin Anas
rahimahullahu ta’ala, lalu bertanya kepadanya tentang seseorang yang diajukan
kepadanya dimana ia telah mendatangi istrinya pada duburnya. Maka Maalik
berkata: “Aku berpendapat agar kalian menghukumnya dengan deraan. Jika ia
mengulangi perbuatan itu, ceraikanlah antara keduanya”. (Al-Madkhal, 2/196-197)
Dan ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim sendiri –
sebagai periwayat kitab As-Sirr – mengatakan bahwa Maalik membenci perbuatan
tersebut (At-Talkhiish, 3/398)
Perkataan yang ‘adil dalam hal ini adalah:
Maalik bin Anas kemungkinan memang pernah mengatakan kebolehannya, namun
kemudian ia rujuk dan kemudian tidak membolehkannya karena nampak baginya
hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan hal itu. Wallaahu a’lam.
Tinjauan dari Segi Ilmu Fiqih dan Medis
Islam telah mengharamkan menjimai farji yang
dapat menimpakan penyakit seperti ketika haidl dan nifas, dan ini sifatnya
tidak permanen/sementara. Maka menjimai tempat yang pada asalnya sarang kotoran
dan penyakit lebih ditekankan lagi, karena kotoran yang ada pada lubang dubur
ini sifatnya permanen. Ini adalah dalil akal yang tidak terbantahkan.
Al-Baghawiy rahimahullah berkata:
اتفق أهل العلم
على أنه يجوز للرجل إتيان زوجته في قبلها من جانب دبرها ، وعلى أي صفة شاء، أما
الإتيان في الدبر فحرام ، فمن فعله جاهلاً بتحريمه نُهِىَ عنه ، فإن عاد عُزِّرَ
“Para ulama sepakat bahwasannya diperbolehkan
bagi seorang laki-laki mendatangi istrinya pada farjinya dari arah belakang,
dengan gaya apapun yang ia suka. Adapun mendatangi pada duburnya, maka haram.
Barangsiapa yang melakukannya karena ketidaktahuan akan keharamannya, ia
dilarang darinya. Namun jika ia mengulanginya, ia dihukum”. (Syarhus-Sunnah,
9/196)
Ash-Shan’aniy rahimahullah berkata:
فأباح موضع
الحرث والمطلوب من الحرث نبات الزرع فكذلك النساء الغرض من إتيانهن هو طلب النسل
لا قضاء الشهوة وهو لا يكون إلا في القبل فيحرم ما عدا موضع الحرث ولا يقاس عليه
غيرة لعدم المشابهة في كونه محلا للزرع وأما حل الاستمتاع فيما عدا الفرج فمأخوذ
من دليل آخر وهو جواز مباشرة الحائض فيما عدا الفرج
“Allah hanya membolehkan tempat bercocok
tanam, dan yang dicari dari tempat bercocok tanam adalah tumbuhnya tanaman.
Begitu pula wanita, bahwa tujuan menjimai mereka adalah untuk mencari
keturunan, bukan sekedar pemenuhan syahwat saja. Maka hal itu tidaklah terjadi
kecuali dilakukan pada farji. Maka Allah mengharamkan melakukannya selain dari
tempat bercocok tanam itu. Tidak ada qiyas padanya terhadap selainnya karena
memang tidak ada persamaan dalam keadaannya sebagai tempat tanaman. Adapun
mencari kesenangan (istimtaa’) pada selain farji, maka itu diambil dari dalil
yang lain, yaitu diperbolehkannya mencumbui/mempergauli (mubaasyarah) wanita
haidl selain pada farjinya (19)” (Subulus-Salaam, 3/187)
Apa yang dilarang Allah ta’ala dan Rasul-Nya
shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas pelarangan mendatangi/menjimai wanita pada
duburnya pasti mengandung hikmah, baik ia kita ketahui ataupun tidak. Telah
banyak penelitian para ahli, baik muslim maupun kafir, yang menjelaskan
perilaku menyimpang ini.
Other risk factors associated with increased
anal-cancer risk included gay or bisexual orientation among men, a high number
of lifetime sexual partners and a history of receptive anal sex. The study also
suggested that the overall increase in anal cancer rates might be partially
attributable to an increase in the average number of lifetime sexual partners
and an increase in the number of people engaging in anal sex, particularly
among women.
Among the female control group studied, 21.5
percent had reported practicing anal sex, a significant increase from a
previous case-control study by Daling and colleagues, published in 1987, in
which 11 percent of female controls had reported ever having anal sex.
Similarly, 40 percent of the women in the control group of the current study
reported having five or more lifetime sexual partners as compared to 9 percent
of the female control group in the 1987 study.
"It could be that sexual practices have
changed, but it also could be that people are just more likely to discuss their
sexual behavior these days," Daling said. "However, I suspect that
increased incidence of anal intercourse among both men and women is most likely
to be the primary cause behind the rise in anal cancer." (sumber:
http://www.aphroditewomenshealth.com/news/20040612005751_health_news.shtml)
*******
The anal sphincter muscle is not anatomically
designed to comfortably admit external objects--it is designed to relax and
stretch when stimulated internally by rectal fullness from stool. The automatic
reflex is for it to contract and tighten when pressure is applied externally. So
relaxation of the sphincter for external penetration is learned over time
because otherwise it is very uncomfortable, and must only be done with gentle
continual pressure, and lots and lots of lubricant. The risks, even with gentle
insertion, are laceration of the anal tissue, and rectal mucosa, resulting in
pain, bleeding, and difficulty passing stool comfortably.
Any presence of blood can potentially expose
the insertive partner to bloodborne STDs like Hep. B, Hep. C, and HIV. In
addition, exposure to stool can result in urethral infections in a male
insertive partner.
The receptive partner is at more risk for
contracting STDs if there is trauma (even microscopic) to the anus or rectum
due to the potential presence of virus in semen, if ejaculation takes place in
the rectum. Human papilloma virus also is likely to be spread anally due to
this trauma to the anal and rectal tissue, and some of the most difficult
persistent HPV infections we see are chronic anal warts, both external and
internal to the anal sphincter and they are exceptionally difficult to treat,
often requiring surgery to remove.
Aside from the traumatic and infectious risks,
there is the risk of sphincter tone (tightness) loss over time due to repeated
dilation for insertive intercourse. Many receptive partners experience stool
incontinence (leaking of stool or poor control) when they have anal sphincter
tone decrease. This, needless to say, is very bothersome and uncomfortable and
has to be surgically corrected if it becomes chronic.
Lastly, there is increased risk of spreading
gastrointestinal pathogens through anal contact--whether it is bacterial
infections like salmonella or E. Coli, or parasitic infections like Giardia (sumber:
http://www.wwu.edu/chw/ask_the_doc_old/post/1-1000/0513.html)
*******
Berikut 4 bahaya ketika melakukan hubungan
seks melalui anus, seperti dilansir Menshealth dan Netdoctor, Selasa
(8/2/2011), yaitu:
1. Rasa sakit dan rasa tidak nyaman pada anus
Bila dibandingkan vagina, struktur anus jauh
lebih ketat. Bila pria memberikan tekanan yang kuat saat melakukan hubungan
seks pada anus, maka hal tersebut dapat menyebabkan rasa nyeri, sakit, tidak
nyaman atau bahkan lecet hingga menyebabkan sakit saat buang air besar.
2. Tak ada pelumasan atau lubrikasi di dubur
Tidak seperti organ reproduksi wanita atau
vagina yang diciptakan untuk dapat melubrikasi dirinya sendiri saat merasa
terangsang, pada anus hal tersebut tidak terjadi. Ini juga dapat menyebabkan hubungan
seks anal semakin menyakitkan.
3. Mudah menyebarkan penyakit menular seksual
Kebanyakan orang enggan menggunakan kondom
saat melakukan hubungan seks anal. Inilah yang menjadi pemicu tingginya
penularan penyakit menular seksual (PMS) dari hubungan seks anal.
PMS yang bisa menular melalui hubungan seks
anal antara lain human immunodeficiency virus (HIV), human papilloma virus
(HPV, yang dapat menyebabkan kutil kelamin, kanker dubur, hepatitis A dan C,
chlamydia, gonorrhea dan herpes.
4. Tertular virus dan bakteri berbahaya
Kurangnya pelumasan pada hubungan seks anal
bisa menyebabkan lecet pada penis dan mukosa dubur, sehingga mudah menularkan
virus. Selain penyakit menular seksual, hubungan seks anal juga dapat
menularkan virus dan bakteri tertentu, seperti Escherichia coli (E. coli).
Penularan bakteri ini dapat menyebabkan yang
ringan dan parah seperti gastroenteritis (penyakit infeksi usus yang sangat
menular) Beberapa strain E. coli (E. coli uropathic) juga dapat menyebabkan
infeksi saluran kemih, mulai dari cystitis (radang kandung kemih) hingga
pielonefritis (infeksi ginjal serius akibat bakteri). (sumber:
http://us.health.detik.com/read/2011/02/08/181203/1563118/763/4-bahaya-melakukan-seks-lewat-anus)
Tanya:
dokter yang baek, Saya vins mau nanya apakah
anal seks diperbolehkan dan berbahaya gak? apa akibatnya bila melakukan anal
seks ? terima kasih atas jawabannya.
Jawab:
selamat pagi vins...
sampai saat ini anal seks masih tidak
diperbolehkan menyangkut juga masalah kesehatan.., lubang anus memiliki
diameter yang lebih kecil dari lubang vagina, dan sifatnya tidak elastis, serta
tidak memiliki "pelumas" .
hal ini dapat mengakibatkan perlukaan daerah
anus dan kemungkinan tertular infeksi yang berasal dari feses (pups..) yaitu E.
Coli..
Terima kasih. – dr. Cepi Teguh, Sp.OG - (sumber:
http://www.tanyadokter.com/consultation-topic.asp?zona=CONS&discussionID=61499&discussionTypeID=9)
********
Tanya:
Dokter, saya ingin bertanya seputar seks anal.
Selama ini saya dan pasangan melakukan hubungan anal sekitar lima kali.
Dua hingga tiga bulan sesudahnya, pasangan
mengeluarkan darah setiap kali buang air. Ia mengatakan tidak sakit tapi selalu
keluar darah. Apakah ini tanda anal terkoyak? Saya juga pernah membaca mengenai
penyakit wasir, apakah bisa menyebabkan kanker?
Terimakasih
Jawab:
Pendarahan pada anal jelas karena ada pembuluh
darah yang pecah atau adanya wasir (ambeien) yang harus diperiksa lebih lanjut.
Segera berobat ke dokter untuk pemeriksaan dan pengobatan yang tepat.
Salam,
Dokter Ferry (sumber:
http://www.astaga.com/content/seks-anal-sebabkan-pendarahan)
*******
Hemoroid (hemorrhoid) dikenal oleh masyarakat
luas dengan istilah ambeien atau wasir. Hemoroid merupakan kondisi di mana
pembuluh darah vena yang berada di anus dan sekitarnya mengalami pembengkakan
dan meradang. Kondisi ini dapat terjadi sebagai akibat buang air besar yang
sulit (tinja keras), kehamilan, penuaan, konstipasi kronis, diare kronis, dan
hubungan seksual lewat anus (anal sex intercourse) (sumber:
http://pharos.co.id/news-a-media/beritakesehatan/417-kenali-hemoroid-wasir-lebih-dekat.html)
******
Masih banyak sumber yang dapat digali dari
para ahli bagaimana efek negatif dari anal seks.
Jika Anda ingin mengetahui struktur anatomi
rektum alias anal, silakan buka:
http://anatomyexpert.com/structure_detail/4435/40287/.
Sekilas Tentang Syi’ah
Setelah itu, saya ajak Pembaca budiman untuk
memperhatikan bagaimana posisi sekte Syi’ah dalam masalah mendatangi wanita
pada duburnya. Berikut akan saya bawakan dua riwayat yang tertera dalam
sumber-sumber mereka:
عَنْهُ عَنْ
عَلِيِّ بْنِ الْحَكَمِ قَالَ سَمِعْتُ صَفْوَانَ يَقُولُ قُلْتُ لِلرِّضَا ع
إِنَّ رَجُلًا مِنْ مَوَالِيكَ أَمَرَنِي أَنْ أَسْأَلَكَ عَنْ مَسْأَلَةٍ
فَهَابَكَ وَ اسْتَحَى مِنْكَ أَنْ يَسْأَلَكَ قَالَ مَا هِيَ قَالَ قُلْتُ
الرَّجُلُ يَأْتِي امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا قَالَ نَعَمْ ذَلِكَ لَهُ قُلْتُ
فَأَنْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ قَالَ لَا إِنَّا لَا نَفْعَلُ ذَلِكَ
Darinya, dari ‘Aliy bin Al-Hakam, ia berkata:
Aku mendengar Shafwaan bekata: Aku pernah bertanya kepada Ar-Ridlaa
‘alaihis-salaam: “Sesungguhnya ada laki-laki dari mawaali-mu yang menyuruhku
agar aku bertanya satu permasalahan, namun aku malu kepadamu untuk
menanyakannya”. Ia berkata: “Apakah itu?”. Aku berkata: “Ada seorang laki-laki
yang mendatangi istrinya pada duburnya”. Ia menjawab: “Ya, hal itu
diperbolehkan baginya”. Aku berkata: “Apakah engkau melakukannya?”. Ia menjawab:
“Tidak, kami tidak melakukannya”. (Diriwayatkan oleh Ath-Thuusiy dalam
Tahdziibul-Ahkaam 7/415-416 dan Al-‘Amiliy dalam Al-Wasaail 20/145; kata
Al-Majlisiy: ‘shahih’)
وَ عَنْهُ عَنْ
عَلِيِّ بْنِ أَسْبَاطٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حُمْرَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
أَبِي يَعْفُورٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع عَنِ الرَّجُلِ يَأْتِي
الْمَرْأَةَ فِي دُبُرِهَا قَالَ لَا بَأْسَ إِذَا رَضِيَتْ قُلْتُ فَأَيْنَ
قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
(البقرة -: 222 -) قَالَ هَذَا فِي طَلَبِ الْوَلَدِ فَاطْلُبُوا الْوَلَدَ مِنْ
حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ نِساؤُكُمْ حَرْثٌ
لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ (البقرة -: 223 -)
Darinya, dari ‘Aliy bin Asbaath, dari Muhammad
bin Humraan, dari ‘Abdullah bin Abi Ya’fur, ia berkata: Aku pernah bertanya
kepada Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salam tentang seorang laki-laki yang mendatangi
wanita pada duburnya. Ia berkata: “Tidak mengapa jika ia (wanita) meridlainya”.
Aku berkata: “Maka, bagaimana dengan firman Allah ‘azza wa jalla: ‘maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu’ (QS.
Al-Baqarah: 222)?”. Ia menjawab: “Ini jika ia bertujuan untuk
mencari/mendapatkan anak, maka carilah anak di tempat yang Allah perintahkan
kepadamu. Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman: ‘Istri-istrimu adalah (seperti)
tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu
itu bagaimana saja kamu kehendaki’ (QS. Al-Baqarah: 223)”. (Diriwayatkan oleh
Ath-Thuusiy dalam Tahdziibul-Ahkaam 7/414 dan Al-‘Aamiliy dalam
Wasaailusy-Syii’ah 20/146; kata Al-Majlisiy: ‘muwatstsaq’)
Catatan:
Sebagian ulama Syi’ah ada yang menghukumi makruuh, namun kenyataan di lapangan,
‘kebolehan’ praktek keji ini lebih banyak diamini berdasarkan riwayat di atas
dan yang semisal serta fatwa ulama lain yang membolehkannya.
*******
Kembali ke judul di atas: “Suka Sodomi?”.
Tentu saja sebagai seorang muslim/muslimah akan menjawab: “Tidak”.
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada
manfaatnya.
Wallaahu ta’ala a’lam.
Footnote:
(1) An-Nu’maan bin Raasyid, seorang yang lemah
di bidang hapalannya, sehingga tambahan lafadhnya di sini lemah. Sebagian ulama
mengatakan bahwa lafadh ini mudraj dari perkataan/tafsir Az-Zuhriy.
(2) Ibnu Jariir menyebutkan dalam Tafsir-nya:
حدثني عبد
الرحمن بن عبد الله بن عبد الحكم قال، حدثنا عبد الملك بن مسلمة قال، حدثنا
الدراوردي قال، قيل لزيد بن أسلم: إن محمد بن المنكدر ينهى عن إتيان النساء في
أدبارهن. فقال زيد: أشهد على محمد لأخبرني أنه يفعله
Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurahmaan bin
‘Abdillah bin ‘Abdil-Hakam, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami
‘Abdul-Malik bin Maslamah, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami
Ad-Daraawardiy, ia berkata: Dikatakan kepada Zaid bin Aslam: “Sesungguhnya
Muhammad bin Al-Munkadir melarang mendatangi wanita pada duburnya”. Maka Zaid
berkata: “Aku bersaksi atas diri Muhammad, ia telah mengkhabarkan kepadaku
bahwa ia melakukannya” (Tafsir Ath-Thabariy, 4/405 no. 4328)
Asy-Syaikh Ahmad Syaakir rahimahullah berkata
bahwa riwayat itu lemah dengan sebab ‘Abdul-Malik bin Maslamah.
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata: Bagaimana bisa ia
melakukan tersebut padahal ia adalah orang yang meriwayatkan hadits tentang
sebab turunnya ayat, bahwa yang diperbolehkan Allah dan Rasul-Nya adalah pada
farjinya saja?
(3) Maksudnya, menyetubuhi istrinya dari arah
belakang, bukan dari depan.
(4) Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam
Al-Kubraa 5/314 no. 8977, Ahmad 1/297, Ath-Thabariy dalam At-Tafsiir 4/412-413
no. 4347, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 12/9 no. 12317, Abu Ya’laa no. 2736,
Al-Waahidiy dalam Asbaabun-Nuzuul hal. 53, Al-Baghawiy dalam At-Tafsiir 1/198,
Al-Baihaqiy 7/198; dari jalan Ya’quub Al-Qummiy, dari Ja’far bin Abil-Mughirah,
dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas.
Catatan: Ibnu Mandah melemahkan riwayat Ja’far
bin Abil-Mughiirah dari Sa’id bin Jubair (lihat: Tahdziibut-Tahdzib, 2/108)
Adapun Ibnu Hajar menghukumi shaduuq, namun sering ragu (yahimu) Akan tetapi
penghukuman ini dikritik oleh Al-Arna’uth dan Basyar ‘Awwaad, bahwa status
Ja’far ini adalah tsiqah; dan Ibnu Mandah telah menyendiri dalam mengkritiknya.
Apa yang dikatakan keduanya tidak mendapatkan kritik balik dari Maahir Al-Fakhl
dalam Kasyful-Auhaam (lihat: Tahriir At-Taqriib, 1/220-221 no. 960)
(5) Diriwayatkan juga oleh Ad-Daarimiy no.
1119, Ath-Thabariy dalam At-Tafsiir 4/412 no. 4345, Ath-Thahawiy dalam Syarh
Ma’aanil-Aatsaar 3/42-43 dan dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 15/428 no. 6129;
dari jalan Wuhaib bin Khaalid.
Diriwayatkan juga oleh Ahmad 6/318,
At-Tirmidziy no. 2979, Ibnu Abi Syaibah 3/348, Ath-Thabariy dalam At-Tafsiir
4/411-412 no. 4344, Abu Ya’laa no. 6972, dan Al-Baihaqiy 7/195; dari jalan
Sufyaan Ats-Tsauriy.
Diriwayatkan juga Al-Baihaqiy 7/195 dari jalan
Rauh bin Al-Qaasim.
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabariy dalam
At-Tafsiir 4/410-411 no. 4341 dari jalan ‘Abdurrahiim bin Sulaimaan.
Keempatnya (Wuhaib, Sufyaan, Rauh, dan
‘Abdurrahiim) dari ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim, dari Ibnu Saabith, dari
Hafshah, dari Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa.
Diriwayatkan juga oleh Ahmad 6/310 dan
‘Abdurrazzaaq 11/442 no. 20959; dari jalan Ma’mar, dari Ibnu Khutsaim, dari
Shafiyyah binti Syaibah, ia berkata: “Ketika kaum Muhaajiriin datang ke
Madiinah…. (al-hadits)
(6) Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah menukil
perkataan Al-Bazzaar bahwa ia tidak mengetahui dalam bab ini hadits shahih,
baik dalam pelarangannya maupun kemutlakannya (yaitu, hadits yang menghalalkan
ataupun mengharamkannya), dan hadits Khuzaimah bin Tsaabit tidaklah shahih (At-Talkhiish,
3/387-388) – maka perkataan Al-Bazzaar tersebut bukanlah perkataan yang shahih.
Riwayat Khuzaimah bin Tsaabit di sini adalah
berderajat minimal hasan. Berikut penjelasannya:
Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa
5/316 no. 8982, Ahmad 5/213, Ibnul-Jaaruud no. 728, Ath-Thabaraaniy 4/84,
Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 3/43, dan Al-Baihaqiy 7/197; dari
jalan Sufyaan bin ‘Uyainah, dari Yaziid bin Al-Haad, dari ‘Ammaarah bin
Khuzaimah, dari ayahnya.
Asy-Syaafi’iy berkata: “Sufyaan telah keliru
dalam hadits Ibnul-Haad” (As-Sunan Al-Kubraa, 7/197. Lihat juga: At-Talkhiish,
3/387) Pernyataan Asy-Syaafi’iy ini disepakati oleh Abu Haatim bahwa Ibnu
‘Uyainah telah keliru dalam menyampaikan sanad hadits ini, dimana yang benar adalah
Ibnul-Haad, dari ‘Aliy bin ‘Abdilah bin As-Saa’ib, dari Harmiy, dari Khuzaimah,
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (Al-‘Ilal, 1/403)
Al-Baihaqiy berkata: “Ia mempunyai mutaba’ah”.
Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy 2/29 no. 1619,
An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 8983-8991 & 8992-8994, Ibnu Maajah no.
1924, Ahmad 5/214-215, Ad-Daarimiy no. 2213, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kubraa
4/88-90 no. 3733-3743 dan dalam Al-Ausath 1/392 no. 981, Ibnu Hibaan no. 4198
& 4200, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 3/44, dan Al-Baihaqiy
7/197-198; semuanya dari jalan Haramiy bin ‘Abdilah, dari Khuzaimah.
Ibnu Hajar menghukumi Haramiy sebagai perawi
mastuur dan tidak benar orang yang mengatakan bahwa ia termasuk kelompok
shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (Lihat: At-Taqriib, hal. 1019 no.
7326) Akan tetapi, sejumlah perawi tsiqaat meriwayatkan darinya dimana hal itu
dapat menguatkan haditsnya menjadi hasan (hasanul-hadits), wallaahu a’lam.
Diriwayatkan juga oleh Asy-Syaafi’iy 2/29 no.
1619, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 5/318-319 no. 8992-8994, Ath-Thabaraaniy 4/90
no. 3744 dan dalam Al-Ausath 6/337 no. 6353, Ath-Thahawiy dalam
Musykilul-Aatsaar 15/43-431 no. 6132 dan dalam Syarh Ma’aanil-Atsaar 3/43-44,
Al-Baihaqiy 7/196, Al-Baghawiy dalam At-Tafsiir (Ma’aalimut—Tanziil) 1/199;
dari jalan Muhammad bin ‘Aliy bin Syaafi’: Telah mengkhabarkan kepadaku
‘Abdullah bin ‘Aliy bin As-Saaib, dari ‘Amru bin Uhaijah bin Al-Julaah, dari
Khuzaimah bin Tsaabit.
Asy-Syaafi’iy berkata: “Pamanku (Muhammad bin
‘Aliy) tsiqah, ‘Abdullah bin ‘Aliy tsiqah. Telah mengkhabarkan kepadaku
Muhammad, dari Al-Anshariy Al-Muhaddits hal tersebut bahwa ia memujinya dengan
kebaikan. Adapun Khuzaimah, tidak diragukan lagi bahwa ia termasuk ulama yang
tsiqah. Maka, aku tidak pernah memberi keringanan dalam hal itu (mendatangi
wanita pada duburnya), bahkan aku melarangnya” (As-Sunan Al-Kubraa, 7/196)
Adapun ‘Amru bin Uhaijah, Ibnu Hajar
menghukuminya maqbuul (yaitu jika ada mutaba’ah, jika tidak maka lemah) (At-Taqriib,
hal. 730 no. 5022) Namun yang benar, ia adalah majhul ‘ain, karena hanya satu
orang saja yang meriwayatkan darinya (yaitu ‘Abdulah bin ‘Aliy)
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy 5/319 no.
8995 dan Ahmad 5/213; dari jalan ‘Abdurrahmaan: Telah mengkhabarkan kepada kami
Sufyaan, dari ‘Abdullah bin Syaddaad Al-A’raj, dari seorang laki-laki, dari
Khuzaimah bin Tsaabit.
Riwayat ini juga lemah karena ada perawi
mubham.
Kesimpulannya, hadits ini adalah hasan,
wallaahu a’lam.
Dengan keberadaan hadits-hadits lain yang
disebutkan di sini (sebagai syawaahid), dapat mengangkatnya pada derajat
shahih-lighirihi.
(7) Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud no.
3904, At-Tirmidziy no. 135, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 5/323 no. 9017, Ibnu
Maajah no. 639, Ahmad 2/408 & 476, Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir
3/16-17, Ibnul-Jaarud dalam Al-Muntaqaa no. 107, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil
2/220 pada biografi Hakiim Al-Atsram, Al-Baihaqiy 7/318, Ath-Thahawiy dalam
Syarh Ma’aanil-Aatsaar 3/45 dan dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 15/429 no. 6130;
semuanya dari jalan Hammaad bin Salamah, dari Hakiim Al-Atsram, dari Abu
Tamiimah, dari Abu Hurairah.
Hammaad, Hakiim, dan Abu Tamiimah (namanya
Thariif bin Mujaalid) adalah tsiqaat. Sebagian ulama ada yang menghukumi
riwayat ini munqathi’ dengan sebab penyimakan Abu Tamiimah dari Abu Hurairah
berdasarkan perkataan Al-Bukhaariy sebagaimana dinukil Al-Mizziy saat
menyebutkan biografi Hakiim Al-Atsram:
حكيم الأثرم
بصرى عن أبى تميمة الهجيمى ، عن أبى هريرة " من أتى كاهنا " ، لا يتابع
فى حديثه و لا نعرف لأبى تميمة سماعا من أبى هريرة
.
“Hakiim Al-Atsram, orang Bashrah, dari Abi
Tamiimah Al-Hujaimiy, dari Abu Hurairah: ‘Barangsiapa yang mendatangi dukun’;
tidak ada mutaba’ah dalam haditsnya, dan kami tidak mengetahui penyimakan Abu
Tamiimah dari Abu Hurairah” (lihat pula dalam Tahdziibut-Tahdziib, 5/13 –
biografi Abu Tamiimah)
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata: Apa yang
dikatakan Al-Bukhaariy tersebut tidak secara tegas menafikkan penyimakan
riwayat Abu Tamiimah dari Abu Hurairah.
Abu Tamiimah mempunyai mutaba’aat.
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thahawiy dalam
Syarh Ma’anil-Aatsaar 3/44: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Daawud, ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf, ia berkata: Telah
mengkhabarkan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Iyaasy, dari Suhail, dari Al-Haarits
bin Mukhallad, dari Abu Hurairah.
Sanad riwayat ini lemah karena Ismaa’iil bin
‘Iyaasy lemah dalam periwayatan dari orang-orang Hijaz, dan Suhail (bin Abi
Shaalih) termasuk di antaranya. Al-Haarits juga seorang yang majhuul haal.
Diriwayatkan juga oleh Ahmad 2/429 dari jalan
Yahyaa bin Sa’iid bin ‘Auf, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Khalaas,
dari Abu Hurairah dan Al-Hasan, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Riwayat ini munqathi’. Khalaas (bin ‘Amru
Al-Hajuriy) tidak mendengar riwayat dari Abu Hurairah. Adapun Al-Hasan
(Al-Bashriy) menyampaikan riwayat secara mursal.
Diriwayatkan juga oleh Al-Haakim 1/8 dari
jalan Al-Haarits bin Abi Usaamah: Telah menceritakan kepada kami Rauh bin
‘Ubaadah: Telah menceritakan kepada kami ‘Auf, dari Khalaas dan Hasan, dari Abu
Hurairah.
Secara keseluruhan hadits ini adalah shahih
sebagaimana terlihat.
(8) Akan tetapi banyak di antara ulama
berpendapat bahwa para shahabat tidaklah ijma’ dalam pengharamannya,
sebagaimana ternukil dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa yang
membolehkannya. Akan ada pembahasan mengenai pendapat Ibnu ‘Umar ini dalam
paragraf-paragraf lanjutan.
(9) Sa’iid bin ‘Abi ‘Aruubah adalah seorang
yang tsiqah lagi haafidh, paling tsabt periwayatannya dari Qataadah, namun
berubah hapalannya di akhir hayatnya. Tidak diketahui apakah ‘Abdul-A’laa
meriwayatkan sebelum ataukah setelah masa ikhtilath-nya, sebagaimana dikatakan
Ibnul-Qaththaan. Akan tetapi periwayatan ‘Abdul-A’laa dari Sa’iid dipakai oleh
Al-Bukhaariy dan Muslim, sehingga hal ini cukup bagi kita berhusnudhdhan akan
keshahihannya karena kredibilitas mereka berdua. Abu Ayyuub Al-Maraghiy adalah
perawi yang tsiqah.
Jadi riwayat ini shahih.
Diriwayatkan pula oleh ‘Abdurrazzaaq 11/443
no. 20956 dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 5381; dari jalan Ma’mar,
dari Qataadah: Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Amru berkata: …..dst.
Riwayat ini munqathi’ (terputus) Qataadah
mengugurkan Abu Ayyuub antara dirinya dan ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu
‘anhumaa.
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam
Al-Kubraa 5/320 no. 8998-8999; dari jalan Humaid Al-A’raj, dari ‘Amru bin
Syu’aib, dari ‘Abdullah bin ‘Amru secara mauquf.
Riwayat ini munqathi’ (terputus), karena ‘Amru
bin Syu’aib tidak pernah mendengar riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Amru.
Dibawakan pula secara marfu’, namun ia
tidaklah mahfudh (sebagaimana akan diterangkan)
حدثنا هدبة
حدثنا همام قال سئل قتادة عن الذي يأتي امرأته في دبرها فقال قتادة حدثنا عمرو بن
شعيب عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم قال هي اللوطية الصغرى
Telah menceritakan kepada kami Hudbah, ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammaam, ia berkata: Qatadah pernah
ditanya tentang orang yang mendatangi istrinya pada duburnya. Qataadah pun
berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari
kakeknya: Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ia adalah
perbuatan liwath kecil” (Diriwayatkan oleh Ahmad 2/210)
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam
Al-Kubraa 5/320 no. 8997, Ahmad 2/182 & 210, dan Al-Baihaqiy 7/198; dari
jalan Hammaam, dari Qataadah, dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari
kakeknya secara marfu'.
Qataadah telah menjelaskan penyimakan
riwayatnya dari ‘Amru bin Syu’aib sebagaimana riwayat dari jalur Hudbah di
atas. Hammaam adalah tsiqah. ‘Amru bin Syu’aib dan ayahnya adalah shaduuq.
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam
Al-Kubraa 5/319 no. 8996 dari jalan ‘Abdullah bin Al-Haitsam bin ‘Utsmaan:
Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Katsiir Abu Ghasaan: Telah
mengkhabarkan kepada kami Zaaidah bin Abir-Ruqaad Ash-Shairafiy, dari ‘Aamir
Al-Ahwal, dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya.
Sanad riwayat ini sangat lemah. Zaaidah adalah
seorang yang munkarul-hadiits, sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar (At-Taqriib,
hal. 333 no. 1992)
Walhasil, hadits dari jalur 'Amru bin Syu'aib,
dari ayahnya, dari kakeknya adalah hasan. Namun, Hammaam dalam riwayat marfu'
bertentangan dengan Sa'iid dan Ma'mar yang mauquf pada periwayatan dari
Qataadah.
Al-Bukhaariy berkata: “Riwayat marfuu’
tidaklah shahih” (Ash-Shaghiir, 1/273)
Ibnu Hajar berkata: “Diriwayatkan oleh
An-Nasaa’iy dan ia men-ta’lil-nya. Yang mahfudh dari ‘Abdullah bin ‘Amru, bahwa
itu merupakan perkataannya” (At-Talkhiish, 3/391)
Ibnu Katsiir: “Ini (riwayat mauquf) lebih
shahih” (Tafsiir Ibni Katsiir, 2/314)
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam
Al-Kubraa 5/320 no. 9000; dari jalan Zakariyyaa bin Yahyaa: Telah mengkhabarkan
kepada kami Syaibaan: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Hilaal, dari Mathr
Al-Warraq, dari ‘Amru bin Syu’aib secara maqthu’ (masuk dalam perkataannya)
Namun riwayat ini tidak shahih. Mathr bin
Thuhmaan Al-Warraaq adalah seorang yang shaduuq, namun banyak salahnya (At-Taqriib,
hal. 947 no. 6744) Begitu juga dengan Abu Hilaal (Muhammad bin Sulaim),
meskipun ia seorang yang shaduuq, namun hapalannya diperbincangkan para ulama (idem,
hal. 849 no. 5960)
(10) Wakii’ bin Al-Jarraah dalam periwayatan
mauquf diselisihi oleh Khaalid Al-Ahmar yang meriwayatkan secara marfu’
sebagaimana diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1165, An-Nasaa’iy dalam
Al-Kubraa no. 9001, Ibnu Abi Syaibah 4/251-252, Abu Ya’laa no. 2378, Ibnu
Hibbaan no. 4203-4204 & 4418, dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 10/99-100.
Namun Khaalid Al-Ahmar tidaklah sebanding
dengan Wakii’. Wakii’ adalah seorang yang tsiqah, tsabat, lagi hujjah. Adapun
Khaalid, seorang yang shaduuq, namun banyak keliru (yukhthi’) Oleh karena itu,
riwayat mauquf-lah yang mahfuudh.
Ibnu Hajar berkata: “Ia (riwayat mauquuf)
lebih shahih menurut mereka (para ulama/muhaddits) daripada marfuu’” (At-Talkhiish,
3/390)
(11) Karena perawi yang bernama Ya’quub bin
Humaid (bin Kaasib Al-Madaniy) Ibnu Hajar berkata: “Shaduuq, kadang ragu
(rubamaa wahm)”. Namun ini tidak benar, bahkan ia seorang yang dla’iif (lihat:
Tahriirut-Taqriib, 4/125 no. 7815 – dan penghukuman tidak mendapatkan kritik
oleh Dr. Maahir Al-Fakhl dalam Kasyful-Auhaam)
Ya’quub dalam periwayatan dari ‘Abdullah bin
Naafi’ mempunyai mutaba’ah dari Al-Haarits bin Suraij sebagaimana diriwayatkan
oleh Abu Ya’laa no. 1103. Akan tetapi, Al-Haarits bin Suraij adalah perawi yang
sangat lemah (Miizaanul-I’tidaal, 1/433 no. 1619)
‘Abdullah bin Naafi’ mempunyai mutaba’ah dari
Yahyaa bin Ayyuub sebagaimana diriwayatkan oleh Usaamah bin Ahmad At-Tajiibiy
dengan lafadh:
كُنَّا نَأْتِي
النِّسَاءَ فِي أَدْبَارِهِنَّ وَيُسَمَّى ذَلِكَ الْإِثْفَارُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ
الْآيَةَ
“Kami dulu mendatangi istri dari dubur mereka,
dan itu dinamakan dengan itsfaar. Maka Allah pun menurunkan ayat (QS.
Al-Baqarah: 223)” (lihat: At-Talkhiish, 3/395)
Yahyaa bin Ayyuub Al-Ghaafiqiy adalah seorang
yang shaduuq, namun kadang keliru (At-Taqriib, hal. 1049 no. 7561)
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabariy dalam
At-Tafsiir 4/408 no. 4334 dari jalan Yuunus, ia berkata: Telah mengkhabarkan
kepadaku Ibnu Naafi’, dari Hisyaam bin Sa’d, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Athaa’
bin Yasaar secara mursal.
Yuunus, ia adalah Ibnu ‘Abdil-A’laa bin
Maisarah Ash-Shadafiy, seorang yang tsiqah (At-Taqriib, hal. 1098 no. 7964)
Diriwayatkan juga oleh Usaamah bin Ahmad At-Tajiibiy
dari jalan Ma’n bin ‘Iisaa, dari Hisyaam (dari Zaid bin Aslam, dari ‘Athaa’ bin
Yasaar), tanpa menyebutkan Abu Sa’iid Al-Khudriy (lihat: At-Talkhiish, 3/395)
Ma’n bin ‘Iisaa bin Yahyaa bin Diinaar
Al-Asyja’iy seorang yang tsiqah lagi tsabat (At-Taqriib, hal. 963 no. 6868)
Oleh karena itu, riwayat mursal inilah yang
lebih shahih lagi mahfuudh.
(12) Senada dengan perkataan ini, Ibnu Hajar
rahimahullah pun berkata:
وذهب جماعة من
أئمة الحديث كالبخارى والذهلي والبزار والنسائي وأبي على النيسابوري إلى أنه لا
يثبت فيه شيء
“Sekelompok ahli hadits seperti Al-Bukhaariy,
Al-Bazzaar, An-Nasaa’iy, dan Abu ‘Aliy An-Naisaabuuriy berpendapat bahwa tidak
ada hadits yang shahih sedikitpun tentang hal tersebut” (Fathul-Baariy, 8/191)
Akan tetapi Ibnu Hajar menyatakan
ketidakvalidan pendapat mereka karena hadits-hadits tentang pengharaman
mendatangi istri pada duburnya diriwayatkan dari banyak jalan sehingga kuat dan
dapat dipergunakan sebagai hujjah.
(13) Dan sangat tidak boleh dipahami bahwa
Asy-Syaafi’iy membolehkan perbuatan nista itu – sebagaimana dihikayatkan oleh
Asy-Syaukaaniy (Nailul-Authaar 6/353) -, sebab ia (Asy-Syaafi’iy) sendiri
berkata:
وكذلك المستحل
لاتيان النساء في أدبارهن فهذا كله عندنا مكروه محرم
“Begitu juga orang yang menghalalkan
mendatangi wanita dari dubur mereka. Semua ini menurut kami adalah perbuatan
yang dibenci lagi diharamkan….” (Al-Umm, 6/222)
Ash-Shan’aaniy rahimahullah berkata:
ولكن قال الربيع
والله الذي لا إله إلا هو لقد نص الشافعي على تحريمه في ستة كتب ويقال إنه كان
يقول بحله في القديم وفي الهدي النبوي عن الشافعي أنه قال لا أرخص فيه بل أنهى عنه
وقال إن من نقل عن الأئمة إباحته فقد غلط عليهم أفحش الغلط وأقبحه وإنما الذي
أباحوه أن يكون الدبر طريقا إلى الوطء في الفرج فيطأ من الدبر لا في الدبر فاشتبه
على السامع انتهى
“Akan tetapi Ar-Rabii’ berkata: ‘Demi Allah
yang tiada tuhan yang berhak disembah selain Dia, sungguh Asy-Syaafi’iy telah
menegaskan keharamannya dalam enam kitab. Dikatakan bahwa ia telah mengatakan
kehalalannya dalam pendapatnya yang terdahulu (al-qaulul-qadiim) Dan dalam
kitab Al-Hudan-Nabiy dari Asy-Syaafi’iy, ia berkata: ‘Aku tidak memberi
keringanan/memperbolehkan hal itu, namun aku melarangnya’. Ia juga berkata:
‘Sesungguhnya siapa saja yang menukil dari para imam tentang kebolehannya,
sunguh ia telah keliru dengan sejelek-jelek kekeliruan. Hanya saja yang mereka
perbolehkan adalah arah belakang sebagai jalan untuk menjimai farji, bukan
menjimai dubur. Maka keraguan ada pada pendengar” (Subulus-Salaam, 3/187)
(14) Lihat: Al-Jaami’ li-Ahkaamin-Nisaa’,
3/405.
(15) Ini adalah uslub pengingkaran yang jelas
atas perbuatan itu. Mafhum-nya, orang muslim tidaklah melakukan perbuatan
tersebut.
(16) Mungkin termasuk di antara mereka (yang
salah paham) adalah Ibnu ‘Abbaas, sebagaimana riwayat yang dibawakan oleh Abu
Daawud:
حدثنا عبد
العزيز بن يحيى أبو الأصبغ حدثني محمد يعني بن سلمة عن محمد بن إسحاق عن أبان بن
صالح عن مجاهد عن بن عباس قال: إن بن عمر والله يغفر له أوهم إنما كان هذا الحي من
الأنصار وهم أهل وثن مع هذا الحي من يهود وهم أهل كتاب وكانوا يرون لهم فضلا عليهم
في العلم فكانوا يقتدون بكثير من فعلهم وكان من أمر أهل الكتاب أن لا يأتوا النساء
إلا على حرف وذلك أستر ما تكون المرأة فكان هذا الحي من الأنصار قد أخذوا بذلك من
فعلهم وكان هذا الحي من قريش يشرحون النساء شرحا منكرا ويتلذذون منهن مقبلات
ومدبرات ومستلقيات فلما قدم المهاجرون المدينة تزوج رجل منهم امرأة من الأنصار
فذهب يصنع بها ذلك فأنكرته عليه وقالت إنما كنا نؤتى على حرف فاصنع ذلك وإلا
فاجتنبني حتى شري أمرهما فبلغ ذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم فأنزل الله عز وجل
نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم أي مقبلات ومدبرات ومستلقيات يعني بذلك موضع
الولد
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz
bin Yahyaa Abul-Ashbagh: Telah menceritakan kepadaku Muhammad – yaitu – bin
Salamah, dari Muhammad bin Ishaaq, dari Abaan bin Shaalih, dari Mujaahid, dari
Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: “Sesungguhnya Ibnu Umar - semoga Allah mengampuninya
-, ia telah melakukan suatu kesalahan. Sesungguhnya terdapat sebuah kampung
Anshar yang merupakan para penyembah berhala, hidup bersama kampung Yahudi yang
merupakan ahli kitab. Dan mereka memandang bahwa orang-orang yahudi memiliki
keutamaan atas diri mereka dalam hal ilmu. Dan mereka mengikuti kebanyakan
perbuatan orang-orang Yahudi. Di antara keadaan Ahli Kitab adalah bahwa mereka
tidak menggauli isteri mereka kecuali dengan satu cara, dan hal tersebut lebih
menjaga rasa malu seorang wanita. Dan orang-orang Anshar ini mengikuti
perbuatan mereka dalam hal tersebut. Sementara orang-orang Quraisy menggauli
isteri-isteri mereka dengan cara yang mereka ingkari; yaitu, orang-orang
Quraisy menggauli mereka dalam keadaan menghadap dan membelakangi serta dalam
keadaan terlentang. Kemudian ketika orang-orang Muhajirin datang ke Madinah,
salah seorang diantara mereka menikahi seorang wanita Anshar. Kemudian ia
melakukan hal tersebut. Kemudian wanita Anshar tersebut mengingkarinya dan
berkata; sesungguhnya kami didatangi dengan satu cara, maka lakukan hal
tersebut, jika tidak maka jauhilah aku! Hingga tersebar permasalahan mereka,
dan hal tersebut sampai kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Kemudian Allah 'azza wa jalla menurunkan ayat: Isteri-isterimu adalah (seperti)
tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu
itu bagaimana saja kamu kehendaki. Yakni dalam keadaan menghadap (saling berhadapan),
membelakangi, dan terlentang; yaitu pada tempat diperolehnya anak (farji)” (Diriwayatkan
oleh Abu Daawud no. 2164; hasan. Penyimakan riwayat Ibnu Ishaaq ada pada
riwayat Al-Baihaqiy 7/195-196)
(17) Karena mengumpulkan pendapat-pendapat syaadz
di kalangan ulama.
(18) Jumhur ulama Maalikiyyah mengingkari
penisbatan kitab As-Sirr pada Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah.
Al-Khaliiliy berkata saat menyebutkan biografi Haniifah:
يروى عن عبد
الرحمن بن القاسم العتقي عن مالك بن أنس كتاب (السر) لمالك، والحفاظ قالوا: لا يصح
عن عبد الرحمن انه روى ذلك لأن فيه أشياء ينزه مالك عنها
“Meriwayatkan dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim
Al-‘Ataqiy, dari Maalik bin Anas kitab As-Sirr kepunyaan Maalik. Adapun para
huffaadh berkata: ‘Tidak shahih dari ‘Abdurrahman bahwasannya ia meriwayatkan
hal itu, karena di dalamnya terdapat beberapa hal yang Maalik jauh darinya” (Al-Irsyaad,
1/405)
Akan tetapi Ibnu Hajar dalam At-Talkhiish
menetapkannya bahwa ia memang kitab Maalik bin Anas dari riwayat Al-Haarits bin
Miskiin, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, dari Maalik.
(19) Di antara dalilnya adalah:
وحدثني زهير بن
حرب. حدثنا عبدالرحمن بن مهدي. حدثنا حماد بن سلمة. حدثنا ثابت عن أنس؛ أن اليهود
كانوا، إذا حاضت المرأة فيهم، لم يؤاكلوها ولم يجامعوهن في البيوت. فسأل أصحاب
النبي صلى الله عليه وسلم النبي صلى الله عليه وسلم. فأنزل الله تعالى:{ويسألونك
عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض إلى آخر الآية} (2/البقرة/ الآية
222) فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم "اصنعوا كل شيء إلا النكاح......
Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin
Harb: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurahman bin Mahdiy: Telah menceritakan
kepada kami Hammaad bin Salamah: Telah menceritakan kepada kami Tsaabit, dari
Anas: Bahwasannya orang-orang Yahudi jika wanita mereka sedang haidl, mereka
tidak makan dan berkumpul dengannya dalam rumah. Maka para shahabat bertanya
kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam perihal itu, lalu Alah ta’ala
menurunkan ayat: ‘Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, 'Haidh
itu adalah suatu kotoran'. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidl….’ (QS. Al-Baqarah: 222), hingga akhir ayat. Lalu
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Lakukan apapun (kepada
wanita haidl), kecuali nikah (= jima’)” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 302)
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ خَلِيلٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ قَالَ
أَخْبَرَنَا أَبُو إِسْحَاقَ هُوَ الشَّيْبَانِيُّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا
كَانَتْ حَائِضًا فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ يُبَاشِرَهَا أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِي فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ
يُبَاشِرُهَا قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْلِكُ إِرْبَهُ
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin
Khaliil, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin Mus-hir, ia
berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Ishaaq – ia adalah Asy-Syaibaaniy
- , dari ‘Abdurrahman bin Al-Aswad, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata:
“Jika salah seorang dari kami (istri-istri Nabi) sedang mengalami haid dan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkeinginan untuk bermesraan
(mubaasyarah) dengannya, maka beliau menyuruhnya untuk mengenakan sarung guna
menutupi tempat keluarnya darah haidl (kemaluan), lalu beliau pun mencumbuinya.”
Aisyah berkata, “Hanya saja, siapakah di antara kalian yang mampu menahan
hasratnya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan?”. (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 302)
Penulis:
Abul Jauzaa’
(Alumnus
IPB & UGM)
Editor:
Ahmadi As-Sambasy
Cilacap
– Jawa Tengah
Posting Komentar untuk "Penjelasan Lengkap tentang Sodomi atau Anal Sex (Bagian dari LGBT)"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.