Demonstrasi Bukan Pemberontakan - Syaikh Asy-Syarif Hatim bin 'Arif Al-'Auni
Kabeldakwah.com |
Segala
puji bagi Allah atas besarnya nikmat dan salawat serta salam kepada Rasulullah,
istri dan anak keturunannya.
Amma
ba'du:
Jawaban
atas pertanyaan tentang demonstrasi (unjuk rasa) yang tidak menggunakan senjata
dan tidak menumpahkan darah, dan tidak bertujuan membunuh manusia dan merusak
harta benda, saya katakan (dengan Taufiq Allah):
Unjuk rasa damai bukan pemberontakan, oleh karena itu para Ahli fiqih tidak menyebutnya sebagai tindakan pemberontakan terhadap pemerintah, dan barang siapa yang menyamakannya dengan pemberontakan maka dia telah melakukan kesalahan yang nyata.
Unjuk
rasa damai adalah sebagai wasilah (cara) mengingatkan, mengubah dan menekan
pemerintah untuk mengikuti keinginan rakyat. Bila rakyat benar, perubahan yang
diinginkan membawa maslahat dan keinginan rakyat sesuai dengan syariat, maka
demonstrasi damai yang dimaksud hukumnya boleh. Dengan syarat tidak menimbulkan
kerusakan yang lebih besar dari maslahat yang dituntut. Maka unjuk rasa adalah
sarana, sedang hukum sarana sesuai dengan tujuannya.
Selain
itu, sarana adalah bagian dari mashlahah mursalah yang tidak ada Nash
(Al-qur'an dan Sunnah) yang secara khusus membicarakannya dan menetapkan
hukumnya, maka keumuman Nash dan tujuan syariatlah yang menunjukan
kebolehannya.
Sesungguhnya
Para Salaf dari golongan sahabat yang mulia telah melakukan "unjuk
rasa" dengan cara yang sesuai dengan zamannya.
Para
sahabat keluar pada hari Jamal untuk menuntut atas kasus pembunuhan Utsman
-rodhiyallahu'anhu- yang dipimpin oleh Zubair bin Awwam, Thalhah bin
'Ubaidillah dan A'isyah -rodhiyallahu'anhum- dan ikut serta bersama mereka
puluhan ribu orang. Mereka keluar dari Hijaz menuju Iraq bukan untuk tujuan
berperang (sebagai mana yang diyakini oleh ahlu Sunnah dalam perkara ini).
Jelas
mereka tidak keluar untuk berperang, melainkan untuk mengekspresikan diri
karena tidak adanya qishah pada para pembunuh Utsman -rodhiyallahu'anhu-, dan
untuk menekan Amirul mukminin dan Khilafatul muslimin 'Ali bin Abi Thalib
-rodhiyallahu'anhu- agar segera melakukan qishah terhadap pembunuh Utsman
-rodhiyallahu'anhu-.
Inilah
bentuk Unjuk rasa para salaf, dengan berbagai macam nama yang mereka
istilahkan, terjadi pada masa sahabat yang mulia, dan 'Ali -rodhiyallahu'anhu-
tidak mengingkari perbuatan mereka, dan tidak seorangpun ulama yang
mengharamkan perbuatan mereka, dan ulama tidak mensifati mereka sebagai
Pemberontak pemerintahan yang sah, padahal mafsadah (kerusakan) yang timbul
dari perkara tersebut sangat besar (sebagaimana yang disebutkan dalam
sejarah,pent).
Intinya,
'Ali -rodhiyallahu'anhu- mendiamkan hal ini, padahal bisa saja unjuk rasa
tersebut dipandangnya sebagai penentangan (makar) terhadap pemerintahannya,
bahkan bisa saja 'Ali mengklaim bahwa apa yang dilakukan oleh para sahabat itu
adalah sebuah keharaman karena telah mengumpulkan orang banyak untuk datang ke
Iraq. Andai saja berkumpulnya mereka untuk mendatangi 'Ali di Iraq sesuatu yang
mungkar, tentu 'Ali -rodhiyallahu'anhu- akan mengingkari mereka.
Bahkan
sekalipun 'Ali mengingkari mereka, maka cukuplah perbuatan Zubair, Thalhah,
'Aisyah dan orang-orang yang bersama mereka dari golongan sahabat
-rodhiyallahu'anhu- menunjukkan bahwa unjuk rasa yang mereka lakukan adalah
perkara yang masih diperselisihkan diantara mereka. Ini bila dikatakan bahwa
'Ali mengingkari perbuatan mereka, tapi kenyataannya hal ini tidak terjadi.
Tidak
ada cela tentang benarnya berhujah dengan kejadian ini, sekalipun kerusakan
yang timbul sangatlah besar. Karena kerusakan yang timbul tidak merusak ijtihad
para sahabat yang mengamalkan perkara ini dan tidak menghilangkan fakta bahwa
para ulama membolehkannya. Dan karena kerusakannya terjadi diluar dugaan
disebabkan oleh orang-orang yang memang menginginkan kekacauan dalam unjuk rasa
damai tersebut.
Selain
itu, disyariatkannya unjuk rasa damai tidak harus berdalil dengan kisah yang
masyhur ini, karena pembahasan perkara ini (unjuk rasa) masuk dalam bab Fiqih
yang tidak membutuhkan dalil khusus (sebagaimana yang telah lalu
penyebutannya), kisah ini disebutkan untuk menjawab mereka yang mengaku sebagai
pengikut salaf yang tidak memahami fiqih, untuk meyakinkan bahwa para salaf
membolehkan unjuk rasa damai.
Dan
tidak diragukan bahwa kadar manfaat dan kerusakan yang timbul dari unjuk rasa
damai berbeda-beda sesuai dengan keadaan yang satu dengan keadaan yang lain,
negeri yang satu dengan negeri yang lain, dan unjuk rasa yang satu dengan unjuk
rasa yang lain.
Dan
negeri yang undang-undangnya membolehkan unjuk rasa berbeda dengan negeri yang
undang-undang (pemerintahnya) melarang unjuk rasa. Maka kerusakan yang timbul
dari unjuk rasa di negeri yang pertama (yang membolehkan unjuk rasa) lebih
sedikit dibandingkan dengan negeri yang kedua (yang melarang unjuk rasa).
Dan
memang sudah semestinya seluruh pemerintah kaum muslimin membolehkan unjuk rasa
sebagai sarana untuk menyatakan sikap, karena hal itu sebagai jaminan (bagi
rakyat) untuk menghilangkan tirani pemerintah. Tirani adalah kedzaliman,
sedangkan kedzaliman adalah kegelapan di dunia dan akhirat, dan tidak akan
berdiri tegak suatu negeri kecuali dengan adilnya penguasa, mengatur rakyatnya
dengan syariat Islam dan manhaj Rasyidin.
Telah
berlalu masa Khilafah Islam yang pertama, yakni Abu Bakar As-siddiq
-rodhiyallahu'anhu- dalam khutbah pertama saat beliau diangkat menjadi
Khilafah, beliau berkata :
أيها الناس، فإني قد وُلِّيتُ
عليكم، ولست بخيركم. فان أحسنت فأعينوني، وإن أسأت فقوّموني
"Wahai
sekalian manusia, kalian telah mengangkatku sebagai pemimpin dan aku bukanlah
orang yang terbaik diantara kalian. Jika aku benar, bantulah aku dalam
kebenaran ini, dan bila aku salah maka ingatkanlah aku..."
Begitulah
keadaan Khilafah pertama yang bergelar As-siddiq, meletakkan urusan
kepemimpinan berdasarkan asas kerakyatan, memberikan kebebasan kepada mereka
untuk menyampaikan keinginan, agar bisa melayani bila mereka membutuhkan
pelayanan.
Ringkasnya,
hukum asal unjuk rasa damai adalah mubah bukan haram, kecuali jika telah nyata
kerusakan yang akan timbul lebih besar dari manfaatnya.
Bahkan
hukumnya bisa menjadi wajib, bila tidak ada cara lain untuk menghilangkan
kemungkaran, dengan tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Adapun
pendapat yang mengharamkan unjuk rasa secara mutlak, dan memastikan kerusakan
yang ditimbulkan lebih besar dari manfaatnya, maka sedikit pun tidak ada Nash
yang membenarkan hal ini baik menurut wahyu maupun akal dan jelas menyelisihi
realita zaman.
(Prinsipnya)
Tidak ada keterangan dari Wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah) yang menunjukkan
haramnya unjuk rasa, yang menjadikan kaum muslimin wajib untuk tunduk pada
keharamannya, yang bila di tolak akal dan adat akan mencela.
Sedangkan
pada kenyataannya, unjuk rasa banyak membawa kebaikan, manfaat dan faedah,
sekalipun tidak secara keseluruhan.
Inilah
hukum unjuk rasa sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama, berdasarkan ilmu
Ushul dan kaedah-kaedahnya.
Wallahu
a'lam.
Penulis:
Syaikh Asy-Syarif Hatim bin 'Arif Al-'Auni
Alih
bahasa: Dody Kurniawan
Judul
Asli: Hukmul Mudzaharatus Salimi
Posting Komentar untuk "Demonstrasi Bukan Pemberontakan - Syaikh Asy-Syarif Hatim bin 'Arif Al-'Auni"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.