Ngalap Berkah Lewat Kuburan Nabi
Tabarruk
adalah aktifitas mencari barakah melalui perantaraan sesuatu. Barakah sendiri
artinya tetapnya kebaikan pada sesuatu (Al-Mufradaat, hal. 44) Ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam aktifitas tabarruk ini, yaitu:
1.
Sesungguhnya semua barakah itu berasal dari Allah ta’ala. Oleh karena itu,
tidaklah kita memohon barakah kecuali pada Allah ta’ala saja. Dalilnya adalah
firman Allah ta’ala:
قُلِ اللّهُمّ مَالِكَ
الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمّنْ تَشَآءُ وَتُعِزّ
مَن تَشَآءُ وَتُذِلّ مَن تَشَآءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنّكَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah:
"Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang
yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau
kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang
yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Ali-‘Imran: 26)
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ
الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ،
عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ:
كُنَّا نَعُدُّ الْآيَاتِ بَرَكَةً وَأَنْتُمْ تَعُدُّونَهَا تَخْوِيفًا، كُنَّا مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَقَلَّ الْمَاءُ، فَقَالَ:
" اطْلُبُوا فَضْلَةً مِنْ مَاءٍ فَجَاءُوا بِإِنَاءٍ فِيهِ مَاءٌ قَلِيلٌ فَأَدْخَلَ
يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ، ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى الطَّهُورِ الْمُبَارَكِ وَالْبَرَكَةُ
مِنَ اللَّهِ فَلَقَدْ رَأَيْتُ الْمَاءَ يَنْبُعُ مِنْ بَيْنِ أَصَابِعِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَقَدْ كُنَّا نَسْمَعُ تَسْبِيحَ الطَّعَامِ
وَهُوَ يُؤْكَلُ "
Telah
menceritakan kepadaku Muhammad bin Al-Mutsannaa: Telah menceritakan kepada kami
Abu Ahmad Az-Zubairiy: Telah menceritakan kepada kami Israaiil, dari Manshuur,
dari Ibraahiim, dari ‘Alqamah, dari ‘Abdullah, ia berkata: “Kami dulu
menganggap ayat-ayat Allah sebagai satu barakah, sedangkan kalian menganggapnya
sebagai satu hal yang menakutkan. Dulu kami pernah bersama Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam safar, dan waktu itu kami mengalami
defisit air. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Carilah kelebihan
air’. Para shahabat datang dengan sebuah bejana yang berisi sedikit air. Lalu
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memasukkan tangannya ke dalam bejana,
lalu bersabda: ‘Kemarilah menuju air yang suci dan diberkahi. Dan barakah itu
berasal dari Allah’. Sungguh, aku melihat air memancar di antara jari-jari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan sungguh kami mendengar tasbihnya
makanan ketika dimakan”. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3579)
Dikarenakan
barakah hanyalah berasal dari Allah ta’ala, maka memohon barakah kepada
selain-Nya adalah perbuatan syirik, dan itu termasuk dosa besar.
2.
Benda-benda, ucapan-ucapan, dan perbuatan-perbuatan yang oleh syari’at
diperbolehkan dipakai mencari barakah, tidak lain itu semua hanyalah sarana
saja. Ia bukanlah yang memberikan barakah. Sama seperti obat. Ia hanyalah
merupakan sarana penyembuh saja, dan yang menyembuhkan pada hakikatnya adalah
Allah ta’ala. Hal itu sebagaiamana diterangkan dalam salah satu doa Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk orang sakit.
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ
مُسْلِمٍ، عَنْ مَسْرُوقٍ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: "
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَوِّذُ بَعْضَهُمْ يَمْسَحُهُ
بِيَمِينِهِ أَذْهِبْ الْبَاسَ رَبَّ النَّاسِ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي، لَا شِفَاءَ
إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
"
Telah
menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Abi Syaibah: Telah menceritakan kepada kami
Yahyaa, dari Sufyaan, dari Al-A’masy, dari Muslim, dari Masruuq, dari ‘Aaisyah
radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata: “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa
berdoa meminta perlindungan untuk sebagian keluarganya, lalu mengusapkan tangan
kanan beliau dan berdoa: ‘Hilangkanlah kesengsaraan, wahai Rabb manusia.
Sembuhkanlah karena Engkaulah Dzat yang bisa menyembuhkan. Tidak ada penyembuh
melainkan Engkau. Suatu penyembuhan yang tidak lagi meninggalkan sakit”. (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 5750)
Adapun
beberapa hadits seperti:
إِنَّ فِي الْحَبَّةِ السَّوْدَاءِ
شِفَاءً مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلَّا السَّامَ
“Sesungguhnya
dalam habbatus-saudaa’ itu terdapat penyembuh bagi seluruh penyakit, kecuali
as-saam (kematian)”. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5688, Muslim no. 2215,
At-Tirmidziy no. 2041, Ibnu Maajah no. 3447, dan yang lainnya)
maka
harus dipahami bahwa al-habbatus-saudaa’ hanyalah sarana saja. Ia dapat
menyembuhkan sesuai dengan ijin Allah. Ketika berobat dengan
al-habbatus-saudaa’, maka kita pun harus memohon kesembuhan pada Allah.
Begitu
pula,… ketika ada penisbatan barakah pada seseorang, maka ia bukanlah sebagai
hakekat pemberi barakah. Hal ini sebagaimana perkataan ‘Aaisyah radliyallaahu
‘anhaa tentang Juwairiyyah radliyallaahu ‘anhaa:
فَمَا رَأَيْنَا امْرَأَةً
كَانَتْ أَعْظَمَ بَرَكَةً عَلَى قَوْمِهَا مِنْهَا
“Tidaklah
kami pernah melihat melihat seorang wanita yang lebih besar barakahnya bagi
kaumnya daripada Juwairiyyah”. (Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3931, Ahmad
6/277, Ibnu Hibbaan no. 4054-4055, dan yang lainnya; hasan)
Juwairiyyah
bukanlah orang yang memberi barakah, melainkan hanyalah sebagai sebab
keberadaan barakah saja. Hal itu diketahui ketika para shahabat mengetahui
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Juwairiyyah, maka mereka
saling berlomba dalam memerdekakan tawanan wanita dari kaumnya, yaitu Bani
Musthaliq. Dengan pernikahan tersebut, Bani Musthaliq menjadi besan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tidak kurang seratus orang dari kaumnya
dimerdekakan oleh para shahabat. Hal itu sebagaimana ada dalam kelanjutan
riwayat:
أُعْتِقَ فِي سَبَبِهَا
مِائَةُ أَهْلِ بَيْتٍ مِنْ بَنِي الْمُصْطَلِقِ
“Telah
dibebaskan seratus orang tawanan keluarga Bani Al-Mushthaliq dengan sebab
dirinya”.
Ini
adalah barakah yang sangat besar dari Allah ta’ala yang penyebabnya tidak lain
adalah Juwairiyyah bin Al-Harits radliyallaahu ‘anhaa.
3.
Mencari barakah pada sesuatu adalah dengan sesuatu yang padanya memang terdapat
barakah. Dan ini menuntut penunjukkan pada nash/dalil. Bukan pada perasaan dan
prasangka semata. Akal sehat tentu tidak akan menerima jika seseorang mencari
keberkahan dari seekor kerbau kiyai Slamet yang dilepas setiap tanggal 1 Suro
sebagaimana banyak diperbuat oleh masyarakat Solo – semoga Allah ta’ala
memberikan petunjuk kepada kita dan mereka.
Selain
itu, seseorang yang mencari barakah pada sesuatu yang pada asalnya (sesuai
nash/dalil) mempunyai barakah, maka harus dilakukan dengan cara-cara yang
dibenarkan oleh syari’at. Misalnya, dalam hadits dikatakan bahwa makan sahur
itu terdapat barakah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي
السَّحُورِ بَرَكَةً
“Sahurlah
kalian, karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat barakah”. (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 1923, Muslim no. 1095, At-Tirmidziy no. 708, An-Nasaa’iy
no. 2146, dan yang lainnya)
Barakah
makan sahur hanya akan kita dapatkan bila kita memakan makanan yang baik lagi
halal. Sebaliknya, barakah tidak akan kita dapatkan jika kita makan atau minum
yang diharamkan oleh Allah ta’ala (misalnya: makan daging babi, minum khamr,
dan merokok)
Setelah
kita pahami tiga point di atas, kita akan menginjak bahasan tabarruk dengan
kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana tertera dalam judul.
Perhatikan riwayat berikut:
حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ
بْنُ مُحَمَّدٍ، نا حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَهْبٍ، عَنْ
جَرِيرِ بْنِ حَازِمٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، حَدَّثَنِي مَرْوَانُ بْنُ سُوَيْدٍ الأَسَدِيُّ
قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ مَنْ مَكَّةَ
إِلَى الْمَدِينَةِ، فَلَمَّا أَصْبَحْنَا صَلَّى بِنَا الْغَدَاةَ، ثُمَّ رَأَى النَّاسَ
يَذْهَبُونَ مَذْهَبًا، فَقَالَ: أَيْنَ يَذْهَبُ هَؤُلاءِ؟ قِيلَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ
مَسْجِدٌ صَلَّى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُمْ يَأْتُونَ
يُصَلُّونَ فِيهِ، فَقَالَ: " إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِمِثْلِ
هَذَا، يَتَّبِعُونَ آثَارَ أَنْبِيَائِهِمْ فَيَتَّخِذُونَهَا كَنَائِسَ وَبِيَعًا،
مَنْ أَدْرَكَتْهُ الصَّلاةُ مِنْكُمْ فِي هَذِهِ الْمَسجِدِ فَلْيُصَلِّ، وَمَنْ لا
فَلْيَمْضِ، وَلا يَعْتَمِدْهَا "
Telah
menceritakan kepadaku Ibraahiim bin Muhammad: Telah mengkhabarkan kepada kami
Harmalah bin Yahyaa, dari ‘Abdullah bin Wahb, dari Jariir bin Haazim, dari
Al-A’masy: Telah menceritakan kepadaku Marwaan bin Suwaid Al-Asadiy (1),
ia berkata: Aku pernah keluar bersama Amiirul-Mukminiin ‘Umar bin Al-Khaththaab
dari Makkah menuju Madiinah. Ketika memasuki waktu pagi, kami shalat Shubuh.
Kemudian ia (‘Umar) melihat orang-orang pergi ke suatu tempat, lalu berkata:
“Kemana mereka ini pergi ?”. Dikatakan: “Wahai Amiirul-Mukminiin, (mereka
pergi) ke masjid dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dulu pernah
shalat di dalamnya. Mereka mendatangi untuk shalat di dalamnya”. ‘Umar berkata:
“Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa hanyalah dengan sebab yang
seperti ini. Mereka mengikuti/mencari-cari peninggalan-peninggalan nabi-nabi
mereka, lalu menjadikannya tempat ibadah. Barangsiapa di antara kalian yang
kebetulan mendapatkan waktu shalat di masjid ini, hendaklah ia shalat. Dan
barangsiapa yang tidak mendapatinya, maka janganlah kalian sengaja untuk datang
shalat di situ”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ wan-Nahyu
‘anhaa no. 105; shahih)
Riwayat
di atas menjelaskan larangan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu atas
perbuatan orang-orang yang napak tilas mencari barakah atas jejak-jejak Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang kebetulan pernah shalat di sebuah masjid.
Tidak dipungkiri masjid adalah tempat yang diberkahi. (2) Namun
perbuatan mereka yang sengaja mencari-cari barakah tambahan dari jejak Nabi
yang kebetulan pernah shalat di tempat tersebut dan kemudian mengagungkannya,
maka itulah yang keliru. Ibnu Wadldlah rahimahullah berkata:
وكان مالك بن أنس وغيره
من علماء المدينة يكرهون اتيان تلك المساجد وتلك الآثار للنبي صلى الله عليه وسلم ما
عدا قباً واحداً
“Maalik
bin Anas dan yang lainnya dari kalangan ulama Madiinah (3) membenci
mencari-cari masjid-masjid itu dan peninggalan-peninggalan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam selain Masjid Quba’ dan Uhud”.
وَسَمِعْتُهُمْ يَذْكُرُونَ
أَنَّ سُفْيَانَ الثَّوْرِيَّ دَخَلَ مَسْجِدَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَصَلَّى فِيهِ وَلَمْ
يَتَّبِعْ تِلْكَ الآثَارَ وَلا الصَّلاةَ فِيهَا، وَكَذَلِكَ فَعَلَ غَيْرُهُ أَيْضًا
مِمَّنْ يُقْتَدَى بِهِ، وَقَدِمَ وَكِيعٌ أَيْضًا مَسْجِدَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَلَمْ
يَعْدُ فِعْلَ سُفْيَانَ
“Dan
aku mendengar mereka (para ulama) menyebutkan bahwasannya Sufyaan Ats-Tsauriy
pernah masuk ke Masjid Baitul-Maqdis, lalu melakukan shalat di dalamnya. Ia
tidak mencari-cari peninggalan-peninggalan itu, dan tidak pula shalat di tempat
tersebut. Begitu pula yang dilakukan oleh orang-orang selainnya yang
mencontohnya. Wakii’ pernah datang ke masjid Baitul-Maqdis, namun ia tidak
melampaui apa yang dilakukan oleh Sufyaan”. (Al-Bida’ wan-Nahyu ‘anhaa, hal. 80)
Oleh
karenanya, tidaklah mengherankan apabila ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu
‘anhu akhirnya menebang pohon dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
dibaiat di bawahnya.
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ
مُعَاذٍ، قَالَ: أَنَا ابْنُ عَوْنٍ، عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: " بَلَغَ عُمَرَ بْنَ
الْخَطَّابِ أَنَّ نَاسًا يَأْتُونَ الشَّجَرَةَ الَّتِي بُويِعَ تَحْتَهَا، قَالَ:
فَأَمَرَ بِهَا فَقُطِعَتْ "
Telah
menceritakan kepada kami Mu’aadz bin Mu’aadz, ia berkata: Telah memberitakan
kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Naafi’, ia berkata: “Sampai kepada ‘Umar berita
bahwa orang-orang mendatangi pohon dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah dibaiat di bawahnya. Lalu ia memerintahkan untuk menebangnya” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/375; dishahihkan oleh Ibnu Hajar (4) dalam
Fathul-Baariy 7/448)
Seandainya
tempat yang kebetulan pernah dijadikan shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dan pohon yang dijadikan tempat baiat itu terdapat barakah yang diakui
syari’at, niscaya ‘Umar radliyallaahu ‘anhu tidak akan mengingkarinya. Hal itu
mengindikasikan pula bahwa perbuatan tabarruk di tempat-tempat tersebut tidak
dikenal di kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum.
Sama
halnya dengan kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada satu dalil
pun yang menjelaskan keberadaan barakah di kubur seseorang, baik Nabi atau
orang-orang yang berkedudukan di bawahnya. Tidak pula kita akan dapatkan satu
riwayat shahih yang menjelaskan kepada kita para shahabat bertabarruk dengan
kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan cara mengusap-usapnya. Bahkan
riwayat yang ada, para shahabat membencinya sebagaimana Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ،
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، " أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ مَسَّ
قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"
Telah
menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari ‘Ubaidullah, dari Naafi’:
Bahwasannya Ibnu ‘Umar membenci mengusap kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam (Diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Aashim Ats-Tsaqafiy dalam Juuz-nya no.
27, dan darinya Adz-Dzahabiy dalam Mu’jamusy-Syuyuukh 1/45 dan As-Siyar 12/378;
shahih)
Perkara
mengusap-usap, menyentuh, atau mencium satu benda tertentu dalam rangka
mendapatkan barakah atau ibadah harus mempunyai dalil spesifik.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَابِسِ بْنِ
رَبِيعَةَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ جَاءَ إِلَى الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ
فَقَبَّلَهُ فَقَالَ إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْ
لَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا
قَبَّلْتُكَ
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin katsiir: Telah mengkhabarkan kepada kami
Sufyaan, dari Al-A’masy, dari Ibraahiim, dari ‘Aabis bin Rabii’ah, dari ‘Umar
radliyallaahu ‘anhu: Bahwasannya ia pernah mendatangi hajar aswad lalu
menciumnya dan berkata: “Sesungguhnya aku tahu bahwasannya engkau hanyalah
sebuah batu yang tidak memberikan kemudlaratan dan tidak pula manfaat.
Seandainya aku tidak melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menciummu, aku
tidak sudi menciummu”. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1597)
Artinya,
‘Umar radliyallaahu ‘anhu tidak akan mencium benda-benda yang tidak pernah
dicium oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka ibadah, baik pada
waktu beliau masih hidup ataupun setelah meninggal dunia.
Ada
perkataan yang sangat bagus dari An-Nawawiy rahimahullah dalam permasalahan ini:
يكره مسحه باليد وتقبيله،
بل الأدب أن يبعد منه كما يبعد منه لو حضر في حياته صلى الله عليه وسلم، هذا هو الصواب،
وهو الذي قاله العلماء وأطبقوا عليه، وينبغي أن لا يغتر بكثير من العوام في مخالفتهم
ذلك، فإن الاقتداء والعمل إنما يكون بأقوال العلماء، ولا يلتفت إلى محدثات العوام وجهالاتهم،
ولقد أحسن السيد الجليل أبو علي الفضيل بن عياض رحمه الله تعالى في قوله ما معناه:
اتبع طرق الهدى، ولا يضرك قلة السالكين، وإياك وطريق الضلالة ولا تغتر بكثرة الهالكين.
ومن خطر بباله أن المسح باليد ونحوه أبلغ في البركة فهو من جهالته وغفلته، لأن البركة
إنما هي في ما وافق الشرع، وأقوال العلماء، وكيف يبتغى الفضل في مخالفة الصواب؟
“Dimakruhkan
mengusap dengan tangan dan menciumnya. Namun, adab yang benar adalah menjauhi
perbuatan itu, sebagaimana ia menjauhinya (mengusap-usap dan mencium)
seandainya ia hadir di masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Itulah yang
benar. Dan itulah yang dikatakan dan diterapkan para ulama dalam permasalahan
tersebut. Sudah sepatutnya agar tidak terpedaya oleh perbuatan orang-orang awam
dan penyelisihan mereka terhadapnya. Karena masalah mengikuti dan beramal
hanyalah berdasarkan penjelasan para ulama. Tidak boleh berpaling pada perkara
yang diada-adakan orang-orang awam dan kebodohan mereka. Sungguh indah apa yang
dikatakan oleh As-Sayyid Al-Jaliil Abu ‘Aliy Fudlail bin ‘Iyaadl rahimahullah
ta’ala yang maknanya: ‘Ikutilah jalan-jalan petunjuk, dan tidaklah
memudlaratkanmu sedikitnya orang yang menempuhnya. Jauhilah jalan kesesatan dan
jangan engkau terpedaya dengan banyaknya orang yang binasa’. Barangsiapa yang
terlintas dalam hatinya bahwa mengusap dengan tangan atau semisalnya bisa
mendapatkan barakah, maka itu termasuk kebodohan dan kelalaiannya. Hal itu
dikarenakan barakah hanyalah ada pada hal-hal yang berkesesuaian dengan
syari’at dan perkataan para ulama. Lantas bagaimana satu keutamaan diharapkan
dengan cara yang menyelisihi kebenaran ?”. (Al-Iidlaah wal-Manaasik oleh
An-Nawawiy, hal. 161)
Namun,....
bagaimana dengan riwayat:
1.
Abu Ayyuub Al-Anshaariy radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا عَبدُ الْمَلِكِ
بنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا كَثِيرُ بنُ زَيْدٍ، عَنْ دَاوُدَ بنِ أَبي صَالِحٍ، قَالَ:
أَقْبلَ مَرْوَانُ يَوْمًا فَوَجَدَ رَجُلًا وَاضِعًا وَجْهَهُ عَلَى الْقَبرِ، فَقَالَ:
أَتَدْرِي مَا تَصْنَعُ؟ فَأَقْبلَ عَلَيْهِ فَإِذَا هُوَ أَبو أَيُّوب، فَقَالَ: نَعَمْ،
جِئْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ آتِ الْحَجَرَ، سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَا تَبكُوا عَلَى
الدِّينِ إِذَا وَلِيَهُ أَهْلُهُ، وَلَكِنْ ابكُوا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ
أَهْلِهِ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdul-Malik bin ‘Amru: Telah menceritakan kepada kami
Katsiir bin Zaid, dari Daawud bin Abi Shaalih, ia berkata: Pada suatu hari
Marwaan mendapati seorang laki-laki yang meletakkan wajahnya di atas kubur
(Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) Marwaan berkata: “Apakah engkau
mengetahui apa yang kamu perbuat itu ?”. Lalu ia mendekatinya, dan ternyata
laki-laki itu adalah Abu Ayyuub (Al-Anshaariy) Abu Ayyuub menjawab: “Ya. Aku
mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan aku tidak mendatangi
batu. Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian menangis karena agama seandainya ia telah diurus oleh
ahlinya. Namun tangisilah ia jika diurus selain dari ahlinya” (Diriwayatkan oleh
Ahmad 5/422)
????
Jawab:
Riwayat itu lemah karena jahalah Daawud bin Shaalih – sebagaimana dijelaskan
oleh Syu’aib Al-Arna’uth. Juga Katsiir bin Zaid, maka para ulama berselisih
pendapat kehujjahan dirinya. Seandainya shahih, Abu Ayyuub dalam riwayat di
atas sama sekali tidak bermaksud untuk bertabarruk dengan kubur beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun hanyalah bermaksud ziarah dan mengucapkan
salam sebagaimana riwayat Abi Khaitsamah dalam At-Taariikh no. 1801 dan Ibnu
‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq 57/250 dari jalan Katsiir bin Zaid, dari
Al-Muthallib bin ‘Abdillah Al-Makhzuumiy.
2.
Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
‘Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal rahimahumallah berkata:
سألته عن الرجل يمس منبر
النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ويتبرك بمسه ويقبله ويفعل بالقبر مثل ذلك
أو نحو هذا يريد بذلك التقرب إلى الله عَزَّ وَجَلَّ فقال: لا بأس بذلك
“Aku
pernah bertanya kepadanya (Ahmad) tentang seseorang yang mengusap mimbar Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bertabarruk dengan usapannya itu, serta
menciumnya. Dan ia melakukan hal yang serupa terhadap kubur beliau shallallaahu
atau yang semisal ini, yang dimaksudkan dengan perbuatannya itu untuk
bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘azza wa jalla ?’. Ia (Ahmad)
menjawab: ‘Tidak mengapa dengan hal itu” (Al-‘Ilal fii Ma’rifatir-Rijaal, 2/492)
????
Jawab:
Ini adalah dhahir perkataan yang ternukil dari Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
Namun ada kemungkinan terjadi kekeliruan dalam membawakan riwayat Ahmad
tersebut. Perhatikan riwayat sebelum dan sesudahnya:
صالح بن مسلم البكري ليس
به بأس، ثم قال: صالح بن مسلم ثقة.
سألته عن الرجل يمس منبر
النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ويتبرك بمسه ويقبله ويفعل بالقبر مثل ذلك
أو نحو هذا يريد بذلك التقرب إلى الله عَزَّ وَجَلَّ فقال: لا بأس بذلك.
سألت أبي عن سالم أبي النضر
وسمي، فقال: كلاهما ثقة.
“(No.
3242) Shaalih bin Al-Bakriy: ‘Tidak mengapa dengannya’. Kemudian ia berkata:
‘Shaalih bin Muslim tsiqah’.
(No.
3243) Aku pernah bertanya kepadanya (Ahmad) tentang seseorang yang mengusap
mimbar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bertabarruk dengan usapannya
itu, serta menciumnya. Dan ia melakukan hal yang serupa terhadap kubur beliau
shallallaahu atau yang semisal ini, yang dimaksudkan dengan perbuatannya itu
untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘azza wa jalla ?’. Ia (Ahmad)
menjawab: ‘Tidak mengapa dengan hal itu’.
(No.
3244) Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang Saalim bin An-Nadlr dan Sumiy,
maka ia menjawab: ‘Keduanya tsiqah” (Al-‘Ilal, 2/492-493)
Dapat
kita lihat bahwa konteks pembicaraan dalam Al-‘Ilal adalah membicarakan tentang
status rijaal. Begitu pula beberapa nomor sebelumnya (hingga no. 3241) dan
setelahnya (no. 3245-dst.) membicarakan status rijaal, bukan membicarakan hukum
satu perbuatan. Oleh karena itu, kemungkinan besar jawaban Ahmad (yaitu: laa
ba’sa bi-dzaalik) itu berkaitan dengan status orang yang bertabarruk tersebut –
dan kemudian tidak disebutkan namanya (mubham)
Kemungkinan
adanya kekeliruan dalam membawakan riwayat Ahmad ini dikuatkan oleh riwayat
lain yang dibawakan oleh para ulama madzhab Hanabilah yang bertentangan
dengannya. Misalnya yang direport oleh Ibnu Qudaamah rahimahullah:
فصل: ولا يستحب التسمح
بحائط قبر النبي صلى الله عليه و سلم ولا تقبيله قال أحمد: ما أعرف هذا قال الأثرم:
رأيت أهل العلم من أهل المدينة لا يمسون قبر النبي صلى الله عليه و سلم يقومون من ناحية
فيسلمون قال أبو عبد الله: هكذا كان ابن عمر يفعل
“Pasal:
Tidak disukai mengusap tembok kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
tidak pula menciumnya. Ahmad berkata: ‘Aku tidak mengetahuinya’. Al-Atsram
berkata: ‘Aku melihat ulama dari kalangan penduduk Madiinah tidak mengusap
kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka berdiri dari sisi
mengucapkan salam. Abu ‘Abdillah berkata: ‘Begitulah yang dilakukan Ibnu ‘Umar”.
(Al-Mughniy, 3/556)
Riwayat
yang semisal di atas juga dibawakan oleh Ibnu ‘Abdil-Hadiy rahimahullah dalam
Ash-Sharimul-Munkiy 1/145. Bahkan dalam kitab Kasysyaaful-Qinaa’ disebutkan:
اتَّفَقَ السَّلَفُ وَالْأَئِمَّةُ
عَلَى أَنَّ مَنْ سَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ
غَيْرِهِ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ الصَّالِحِينَ فَإِنَّهُ لَا يَتَمَسَّحُ بِالْقَبْرِ
وَلَا يُقَبِّلُهُ
“Salaf
dan para imam telah bersepakat bahwasannya siapa saja yang mengucapkan salam
kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau selainnya dari kalangan para
nabi yang shalih, maka ia tidak mengusap kubur dan menciumnya”. (4/439)
Dengan
melihat keterangan-keterangan tersebut maka kita dapat melihat bahwa Ahmad
tidak berpendapat membolehkan mengusap dan mencium kubur Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, karena riwayat dalam kitab Al-‘Ilal di atas keliru –
wallaahu a’lam.
Seandainya
riwayat dalam Al-‘Ilal itu kita nilai sebagaimana dhahirnya, maka pendapat
Ahmad itu menyelisihi perbuatan salaf, menyelisihi perkataannya yang lain, dan
menyelisihi pendapat yang masyhur dalam madzhabnya (Hanaabilah) Setiap orang
dapat diterima dan ditolak perkataannya kecuali Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.
Berikut
akan saya ketengahkan video singkat bagaimana perbuatan bid’ah mengusap dan
mencium kuburan dalam rangka tabarruk sangat dekat dengan kesyirikan, hingga
menjerumuskan pada rukuk dan sujud pada kubur.
Ini dia kebodohan yang dilakukan oleh orang-orang shufiy: Kebodohan Orang-orang Shufi
Dan
inilah perbuatan orang-orang Syi’ah – kaum yang sangat akrab dengan bid’ah dan
khurafaat – terhadap kuburan tokoh-tokoh mereka:
Footnote:
(1)
Penulisan ini keliru. Yang benar adalah: Ma’ruur bin Suwaid Al-Asadiy
rahimahullah.
(2)
Karena ia adalah salah satu tempat yang paling dicintai oleh Allah ta’ala,
sebagaimana riwayat:
وحَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ
مَعْرُوفٍ، وَإِسْحَاق بْنُ مُوسَى الأَنْصَارِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ
عِيَاضٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي ذُبَابٍ فِي رِوَايَةِ هَارُونَ وَفِي حَدِيثِ الأَنْصَارِيِّ،
حَدَّثَنِي الْحَارِثُ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مِهْرَانَ مَوْلَى أَبِي هُرَيْرَةَ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
" أَحَبُّ البِلَادِ إِلَى اللَّهِ، مَسَاجِدُهَا، وَأَبْغَضُ البِلَادِ إِلَى
اللَّهِ، أَسْوَاقُهَا "
Dan
telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Ma’ruuf dan Ishaaq bin Muusaa
Al-Anshaariy, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Anas bin
‘Iyaadl: Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abi Dzubaab dalam riwayat Haarun,
sedangkan dalam hadits Al-Anshaariy: Telah menceritakan kepadaku Al-Haarits,
dari ‘Abdurrahmaan bin Mihraan maulaa Abu Hurairah, dari Abu Hurairah:
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Bagian)
negeri yang paling Allah cintai adalah masjid-masjidnya, dan yang paling Allah
benci adalah pasar-pasarnya” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 671)
(3)
Ini menunjukkan pendirian madzhab Maalikiyyah dalam permasalahan ini. Ibnu
Wadldlah rahimahullah sendiri adalah salah seorang ulama madzhab Maalikiyyah.
(4)
Namun setelah diteliti kembali, yang benar sanad riwayat itu adalah munqathi’,
karena Naafi’ tidak pernah bertemu dengan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu
‘anhu, sebagaimana dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Sekaligus, ini
sebagai koreksi atas pernyataan shahih atas riwayat tersebut dalam artikel:
Dialog Bersama ‘Pecinta Kubur’.
Semoga
artikel ini ada manfaatnya.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
(Ciomas
Permai, Ciapus, Ciomas, Bogor)
Penulis: Abul Jauzaa’
(Alumnus IPB & UGM)
Editor: Ahmadi As-Sambasy
(Cilacap – Jawa Tengah)
Posting Komentar untuk "Ngalap Berkah Lewat Kuburan Nabi"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.