Makna Al Istihlal dan Dalilnya
Allah ta’ala berfirman:
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ
أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ
الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan
terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan
ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”. (QS.
An-Nahl: 116)
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
ويدخل في هذا كل من ابتدع
بدعة ليس (له) فيها مستند شرعي، أو حلل شيئا مما حرم الله، أو حرم شيئا مما أباح الله،
بمجرد رأيه وتشهِّيه
“Dan yang termasuk dalam hal ini
adalah setiap orang yang melakukan bid’ah yang tidak didasarkan pada sandaran
syari’at, atau orang yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, atau
mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah yang hanya didasarkan oleh pendapat
dan hawa nafsunya semata”. (Tafsir Al-Qur’aanil-‘Adhiim, 4/609)
Menghalalkan yang halal dan
mengharamkan yang haram merupakan tuntutan dari syari’at. Sebaliknya,
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, terlarang dalam syari'at
dan dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam (murtad) berdasarkan kesepakatan
ulama.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
والإنسان متى حلّل الحرام
المجمع عليه ، أو حرم الحلال المجمع عليه ، أو بدَّل الشرع المجمع عليه: كان كافراً
مرتدّاً باتفاق الفقهاء ، وفي مثل هذا نزل قوله تعالى – على أحد القولين (وَمَنْ لَمْ
يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ) ( المائدة 44 ) ،
أي: هو المستحل للحكم بغير ما أنزل الله
“Dan seseorang ketika menghalalkan
yang haram yang telah disepakati keharamannya, atau mengharamkan yang halal
yang telah disepakati kehalalannya, atau mengganti syari’at yang telah
disepakati (1) : maka ia kafir lagi murtad dengan kesepakatan fuqahaa’.
Dan yang semisal dengan ini adalah tentang firman Allah ta’ala – menurut salah
satu dari dua pendapat -: ‘Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir’ (QS.
Al-Maaidah: 44), yaitu orang yang menghalalkan untuk berhukum dengan selain
yang diturunkan Allah”. (Majmuu’ Al-Fataawaa, 3/267)
Namun, banyak orang salah paham dalam
permasalahan istihlaal ini, sehingga mengkonsekuensikan penerapan dan
penghukuman yang tidak tepat.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
والاستِحلالُ: اعتِقادُ
أنها حلالٌ له
“Istihlaal adalah i’tiqaad
(keyakinan) bahwasannya sesuatu itu halal baginya” (Ash-Shaarimul-Masluul,
3/971)
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
فإنَّ المُستحلَّ للشيء
هو: الذي يفعله مُعتقِداً حِلَّه
“Karena sesungguhnya orang yang
menghalalkan sesuatu adalah orang yang melakukannya dengan keyakinan akan
kehalalannya”. (Ighaatsutul-Lahfaan, 1/382)
Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
الاستحلال هو: أن يعتقد
الإنسان حلّ ما حرّمه الله ... وأما الاستحلال الفعلي فيُنظر: لو أن الإنسان تعامل
بالربا , لا يعتقد أنه حلال لكنه يُصرُّ عليه ؛ فإنه لا يُكفَّر ؛ لأنه لا يستحلّه
“Istihlaal adalah seseorang yang
meyakini kehalalan apa-apa yang diharamkan Allah…. Adapun istihlaal dalam
perbuatan (fi’liy), maka dilihat: Seandainya seseorang yang bermuamalah dengan
riba tanpa berkeyakinan bahwasannya ia halal, akan tetapi ia terus-menerus
melakukannya; maka ia tidak dikafirkan, karena ia tidak menghalalkannya”. (Al-Baabul-Maftuuh,
3/97, pertemuan ke-50, soal no. 1198) (2)
Dari sini dapat kita ketahui bahwa
istihlaal adalah masalah hati, karena hakekatnya merupakan i’tiqaad (keyakinan)
akan halalnya sesuatu. Dikarenakan masalah hati, maka ia tidak diketahui
kecuali dengan adanya kejelasan yang berasal dari pelakunya.
Sebagian orang mengatakan bahwa
istihlaal dapat diketahui dengan adanya qarinah terus-menerus melakukan
perbuatan dosa. Ini keliru, dan dapat dijawab dari empat sisi:
a. Tidak ada satu pun ulama dari
kalangan Ahlus-Sunnah mutaqaddimiin yang mengatakannya (yaitu, istihlaal yang
mengkonsekuensikan kekafiran dapat dilihat dari perbuatannya) Seandainya hal
itu benar, niscaya mereka (salaf) telah mendahului kita dalam hal ini.
b. Kelaziman tersebut bertentangan
dengan dua ijmaa’. Pertama, ijmaa’ peniadaan kekafiran atas orang yang yang
melakukan dosa besar. Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
اتَّفق أهل السنة والجماعة
– وهم أهل الفقه والأثر – على أنَّ أحداً لا يُخرجه ذنبُه – وإن عظُمَ – من الإسلام
“Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah – dan
mereka adalah ahlul-fiqh wal-atsar - telah bersepakat bahwasannya seseorang
tidaklah dikeluarkan dari wilayah Islam akibat dosa yang dilakukannya –
meskipun itu dosa besar”. (At-Tamhiid, 16/315)
Kedua, ijmaa’ tentang kafirnya orang
yang menghalalkan perbuatan dosa. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
مَن فعل المحارم مستحلاً
لها فهو كافر بالاتفاق
“Barangsiapa yang melakukan hal yang
diharamkan dengan menghalalkannya, maka ia kafir berdasarkan kesepakatan ulama”.
(Ash-Shaarimul-Masluul, 3/971)
Pemutlakan mereka (para ulama) atas
ijmaa’ peniadaan kekafiran pelaku dosa besar bersamaan dengan ijmaa’ mereka
atas kafirnya orang yang menghalalkan perbuatan dosa; sebagai dalil penafikan
terus-menerus melakukan satu perbuatan dosa sebagai satu penghalalan (istihlaal)
c. Anggapan terus-menerus melakukan
perbuatan dosa sebagai satu penghalalan (istihlaal), akan mengkonsekuensikan
pengkafiran para pelaku dosa. Padahal, ijmaa’ Ahlus-Sunnah berseberangan dengan
hal tersebut.
d. Hakekat istihlaal adalah i’tiqaad
(keyakinan) akan halalnya sesuatu, maka hal itu tidak mungkin diketahui -
dengan pengetahuan yang yakin (3) - kecuali dengan adanya pengakuan atau
ucapan dari orang yang mempunyai i’tiqaad tersebut.
Termasuk cabang dari bahasan ini
adalah: Tidak ada bedanya antara seseorang yang melakukan perbuatan dosa
sekali, atau dua kali, atau puluhan kali selama ia tidak menghalalkannya
perbuatan tersebut, maka ia tidak dikafirkan. Sebaliknya, seseorang yang
menghalalkan perbuatan dosa walau hanya sekali melakukannya, atau bahkan tidak
melakukannya sama sekali (namun ia berkeyakinan kehalalannya), ia dikafirkan
berdasarkan ijmaa’.
Inilah sedikit penjelasan mengenai
istihlaal (yang mengkonsekuensikan kekufuran), semoga ada manfaatnya. (4)
Footnote:
(1) Perkataan Syaikhul-Islaam
rahimahullah: ‘atau mengganti syari’at yang telah disepakati’, harus dipahami
sesuai dengan orang yang mengatakannya (yaitu, Syaikhul-Islaam) Dalam tempat lain,
beliau telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan mengganti syari’at yang
mengkonsekuensikan kekafiran berdasarkan ijmaa’:
الشرعُ المبدَّلُ: وهو
الكذبُ على الله ورسوله ، أو على الناس بشهادات الزور ونحوها والظلم البيِّن ، فمن
قال: ( إن هذا مِن شرع الله ) فقد كفر بلا نزاع
“Syari’at yang diganti: ia merupakan
kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, atau terhdap manusia dengan
persaksian-persaksian palsu dan yang semisalnya, dan merupakan kedhaliman yang
nyata. Barangsiapa yang berkata: ‘Sesungguhnya ini termasuk syari’at Allah’,
sungguh ia telah kafir tanpa ada perselisihan” (Majmuu’ Al-Fataawaa, 3/268)
Perkataan Ibnu Taimiyyah ini senada
dengan perkataan Ibnul-‘Arabiy rahimahumallah:
وهذا يختلف: إن حكم بما
عنده على أنه من عند الله فهو تبديل له يوجب الكفر. وإن حكم به هوى و معصية فهو ذنب
تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين
"Dan ini berbeda: Jika dia
berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah
maka ia adalah tabdiil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya. Dan jika
dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat,
maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok Ahlus-Sunnah
tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa" (lihat: Ahkaamul-Qur’an,
2/624)
(2) Baca artikel: Penghalalan
(Istihlaal) Dalam Amal Perbuatan Yang Mengkonsekuensikan Kekafiran.
(3) Dikarenakan kekafiran harus
berdasarkan keyakinan tanpa ada keraguan sedikitpun. Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata:
وليس لأحد أن يكفر أحدًا
من المسلمين ـ وإن أخطأ وغلط ـ حتي تقام عليه الحجة، وتبين له المحَجَّة، ومن ثبت إسلامه
بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك، بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة، وإزالة الشبهة.
“Dan tidak boleh bagi seorangpun
untuk mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah dan keliru
– sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan.
Barangsiapa yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah
hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali
setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” (Majmuu’
Al-Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah, 12/466)
(4) Catatan penting: Tulisan ini
tidak bermaksud membatasi kekafiran hanya karena istihlaal saja.
(Perumahan Ciomas Permai, Ciapus,
Ciomas, Bogor – 29 Ramadhan 1432 H; banyak mengambil faedah dari kitab Al-Hukmu
bi-Ghairi Maa Anzalallaah karya Bundar bin Naayif Al-‘Utaibiy, taqdiim:
Muhammad bin Hasan Aalusy-Syaikh (anggota Lajnah Daaimah & Haiah
Kibaaril-‘Ulamaa), hal. 12-15; Cet. 2/1429 H)
Penulis: Abul Jauzaa’
(Alumnus IPB & UGM)
Editor: Ahmadi As-Sambasy
(Cilacap – Jawa Tengah)
Posting Komentar untuk "Makna Al Istihlal dan Dalilnya"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.